Beberapa saat sebelumnya.
Jauh dari kota, di kaki Gunung Stormcloud, di salah satu petak hutan yang gundul, terdapat rumah kayu yang lapuk, bagian depannya hampir tertutup oleh salju. Orang yang melihatnya pasti akan mengira rumah itu tak berpenghuni kalau bukan karena bagian dalamnya yang terang.
Seorang bocah cilik berambut hitam sedang berusaha membersihkan teras rumah itu, ia hampir selesai. Bocah itu terus mengeruk salju dengan sekopnya sampai hawa dingin menembus sarung tangan kumalnya, menyentuh tangan mungilnya yang kasar. Untuk anak berusia tujuh tahun seperti dirinya, membersihkan salju adalah pekerjaan yang berat, tapi ia sudah terbiasa dengan hal-hal berat. Hidup berdua dengan ayahnya di tengah hutan memaksa mereka untuk lebih semangat bertahan hidup. Bocah itu akhirnya selesai membersihkan teras, waktunya masuk untuk makan malam. Bocah itu menaruh sekop ke tempatnya semula, lalu beranjak membuka pintu rumahnya yang kesat.
"Ah, kau sudah selesai, Ikiru." Sambut Shiyamada, ayah Ikiru melihat anaknya menutup pintu kembali, ia tengah menyiapkan makan malam. Menu malam ini adalah sup biji cemara. "Oi, cuci tangan dan kakimu, Kita makan bersama." Ujar Shiyamada ramah sambil menuang poci berisi air hangat. "Ayah ingin bicara sesuatu."
Ikiru mengamati tubuhnya, lihatlah, rambut dan wajah mungilnya belepotan salju. Tanpa disuruh pun ia akan ke kamar mandi, membersihkan sisa kotoran yang menempel. Ikiru segera menuju meja makan setelah membersihkan diri. Ayahnya duduk di salah satu kursi, menghadap ke perapian di dekat meja makan. Ikiru mengambil tempat duduk di seberang ayahnya.
"Ada apa, yah?" Ikiru menyendok sup biji cemaranya.
"Ikiru," ucap ayahnya ragu. "Ayah berpikir sebaiknya kau mulai bersekolah-"
Ikiru yang sedang menyeruput kuah supnya seketika tersedak."Ti-dak mau!" Ikiru kembali terbatuk, ia menatap ayahnya kecewa, tubuhnya gemetar.
"Kau harus," Shiyamada selalu bingung dengan jawaban Ikiru. Ia sudah menanyakan hal ini berkali-kali, berharap anaknya akan berubah pikiran, tapi ia tak kunjung siap. Padahal Shiyamada telah mempersiapkan Ikiru agar siap untuk sekolah, membekali Ikiru dengan mengajarinya berhitung sampai pelajaran bahasa. Ikiru suka membaca, itu membuat ayahnya lebih mudah mendidik Ikiru. Beri dia buku, maka ia akan membacanya. Tahun ajaran baru sudah dekat.
"Jangan-hiks-jangan sekolah. Aku- takut." Ucap Ikiru tersendat tangisnya bersiap bangkit dari tempat duduknya, menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca.
Shiyamada balas menatap anaknya prihatin. Sungguh, sebenarnya Shiyamada terpaksa mengambil keputusan ini. Mau bagaimana lagi? Ikiru membutuhkannya, walau ia membencinya.
Ikiru memiliki trauma terhadap orang asing-itu salah satu sebab kenapa mereka masih kukuh bertahan hidup di gunung bahkan setelah enam tahun. Terkadang ia dan ayahnya pergi ke kota dalam waktu berkala untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Setiap kali pergi ke kota, orang dewasa akan menatapnya sinis sementara anak-anak akan lari ketakutan seakan mereka baru saja melihat monster, laki-laki maupun perempuan, semuanya memandangnya tidak bersahabat. Bahkan ada yang pernah sampai melempar Ikiru dengan batu. Kata-kata seperti 'Enyahlah kau, dasar pembawa sial!' menjadi hal yang paling sering masuk ke telinganya kala itu. Sekuat apapun Ikiru berusaha menahannya, ia tetap tak bisa menghadapinya. Tatapan-tatapan itu terus membayangi benaknya, ucapan-ucapan itu terus menggaung dalam kepalanya.
Tok..Tok..Tok..
Lamunan Shiyamada terpecah oleh ketukan pintu rumah mereka. Alisnya sontak mengerut, Shiyamada ragu-ragu untuk membukakan pintu.
Tok..Tok..Tok...
Pintu kembali diketuk, Shiyamada tidak punya banyak waktu. Ia harus cepat bertindak.
"Tunggu sebentar," Shiyamada membuat keputusan. "Ikiru, tetaplah disitu." Shiyamada bangkit dari tempat duduk, ia berusaha menutupi rasa cemas di wajahnya, melangkah menuju ruang depan dengan langkah terlatih.
Ikiru tidak mengerti maksud ayahnya.
Shiyamada memegang kenop pintu, memutarnya perlahan, tetap siaga. Pintu terbuka, menciptakan celah yang dapat dilewati seekor tikus. Namun bersamaan dengan itu, sebuah bola kecil menggelinding masuk, dan...
BUUUMMMM!!!!!!!
Bola itu meledak, menghancurkan rumah mereka, puing-puing berserakan dimana-mana, asap tebal menyelimuti sekeliling. Beruntung Shiyamada segera melompat mundur dan sempat meraih Ikiru, segera menciptakan perisai setengah lingkaran tak kasat mata berdiameter lima depa. Perisai itu memancarkan aura biru menyala.
Ikiru gemetar, masih mencerna apa yang tengah terjadi. Ia melirik ayahnya yang tadi masih tenang, kini raut wajahnya mengeras, matanya nyalang menatap bayangan di balik asap yang berangsur mendapatkan wujud mereka. Tiga orang dengan jubah berwarna merah tua berjalan membelah asap. Ikiru menatap nanar tiga sosok itu dengan gemetar ketakutan.
Orang di tengah menyibak tudungnya, memperlihatkan wajahnya yang menyeramkan, tatapannya buas, rambutnya berwarna merah darah dengan tiga tindik menghiasi wajahnya, satu di telinga kanan, dua lainnya di bawah bibir.
"Pigor." Desis Shiyamada dingin, menurunkan Ikiru dari dekapannya. Sekilat cahaya muncul di tangan kanan Shiyamada membentuk sebilah pedang katana, cahaya itu sempurna menjadi katana yang kini ia genggam.
"Aku bosan dengan perlawanan." Pigor terus berjalan mendekati perisai bersama dua orang lainnya. "Berikan vision naga padaku. Sudah saatnya kau melepasnya." Sambungnya tanpa mengubah raut sedikitpun.
Shiyamada tidak menjawab, memasang kuda-kuda.
Pigor menatap tajam Shiyamada, mereka hanya terhalang perisai. "Serahkan kadal itu, Anak Tadayori." Pigor mengulurkan tangan kanannya mencoba bernegosiasi. "Sebagai jaminan, kami tak akan menyentuh anakmu. Nona Iris memiliki hak asuh atasnya jika kau tak melawan."
Shiyamada diam tidak memedulikan ucapan Pigor yang kini berhenti di depan perisai.
"Sekeruh itukah hatimu sampai-sampai kau tak mempercayaiku sedikitpun?" Pigor menghela napas. "Jika kau benar-benar mencintai anakmu, maka berikanlah vision naga pada kami. Biarkan kami mengantarnya pada ibunya, anak itu berhak bahagia." Pandangan Pigor terpaku pada sorot mata yang terluka di balik perisai biru.
Shiyamada tak bergeming, mengabaikan semua kata-kata Pigor.
"Aku tak punya pilihan lain." Ucap Pigor.
Sesaat setelah Pigor mengatakannya, dua rekannya melesat, lalu muncul tepat di depan Shiyamada dan di belakang Ikiru, siap menggorok mereka dengan belati yang mereka genggam.
Shiyamada tak menyangka mereka dapat memasuki perisai. Ikiru dalam bahaya. Belati itu siap memotong lehernya.
"SHIRYUUUU!!!!" Teriak Shiyamada membahana di langit. Bersamaan dengan itu aura biru muda bergejolak keluar dari tubuh Shiyamada, mengakibatkan tekanan yang kuat, membuat kedua rekan Pigor terpental. Shiyamada segera meraih dan menahan Ikiru dari hempasan kekuatannya, lantas membawa Ikiru ke tempat aman dalam waktu singkat.
Kedua rekan Pigor yang terpental tadi buru-buru menyeimbangkan tubuh mereka. Namun belum genap salah seorang dari mereka mendarat di tanah, Shiyamada sudah berada di depannya mengayunkan katana horizontal.
Orang itu menangkis serangan Shiyamada, lalu membalas mengayun belatinya. Pertahanan orang itu terbuka lebar, ini kesempatan Shiyamada melancarkan serangan. Tanpa membuang waktu Shiyamada menebas tangan orang itu lantas menebas lehernya. Itu gerakan yang sangat cepat, bahkan orang itu belum sempat menjerit kesakitan.
Shiyamada melesat lagi dan muncul di atas orang yang satunya.
"Membusuklah di neraka!" Shiyamada melepas tendangan, kakinya memancarkan aura biru muda telak menghantam orang itu, berdentum kencang, membuat tubuh orang itu tercecer dimana-mana.