Chereads / Baaq: Son of The Storm / Chapter 1 - Prolog

Baaq: Son of The Storm

🇮🇩Bakwanijo
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 2.7k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Prolog

Seorang pria tua yang sudah sangat bungkuk sedang melakukan sesuatu terhadap penelitiannya. Meski ia ilmuwan, tapi dari penampilan dan lingkungannya tidak mencerminkan bahwa ia adalah ilmuwan.

Ilmuwan tua itu berdiri dari kursinya memandang objek penelitiannya dengan tatapan yang sulit diartikan sambil mengelus janggutnya yang tebal, berjalan mondar-mandir tanpa melepas pandangannya.

"Guru ..." Panggil seorang pemuda bertanduk satu yang membuat ilmuwan tua menoleh. Pemuda itu menggenggam lentera di tangannya yang menyala redup, memperlihatkan wajahnya yang kelelahan sehabis mendaki gunung.

"Kau datang lagi, Nak Kerbau." Sambut ilmuwan tua itu dengan nada jenaka sambil terus mengelus janggutnya.

"Berhenti memanggilku begitu, guru. Jangan bilang kau sudah lupa namaku lagi?" Pemuda yang dipanggil Nak Kerbau itu mendekat ke ilmuwan tua dan mendudukkan dirinya di rumput yang kering. "Haah, jangan atur pikunmu sesuka hati."

"Lihat, Nak Kerbau. Malam ini bintangnya indah sekali." Ilmuwan tua mendongak memandang formasi acak bintang-bintang yang bersinar menakjubkan.

Nak Kerbau ikut mendongak dan terpana memandang langit, ia merasa dirinya sedang berada di dunia lain hanya dengan melihat megahnya malam, angin lembut berhembus menggoyangkan rambutnya yang dikucir. Jika sejak dulu ia tahu malam selalu seperti ini, maka ia tak mungkin menghabiskannya hanya dengan membasahi tanah.

"Nak Kerbau," ilmuwan tua memecah keheningan. "Menurutmu, bintang-bintang yang sedang kau lihat sekarang itu sebenarnya apa?"

"Bintang?" Nak Kerbau menoleh menatap ilmuwan tua dengan bingung sebelum mengalihkan pandangannya kembali ke atas. "Bintang-bintang itu, sebenarnya apa?"

Pertanyaan yang sebenarnya begitu mendasar dan tak pernah terpikirkan olehnya namun baru ia sadari mampu membuat dirinya bertanya-tanya.

"Baiklah, melihatmu kesulitan menjawabnya, maka aku ganti pertanyaannya." Ucap ilmuwan tua setelah sekian lama Nak Kerbau hanya diam saja. "Apakah tanganmu bisa menggapai bintang?"

"Tentu saja tidak bisa, sudah jelas." Tukas Nak Kerbau sambil terkekeh, ada-ada saja.

"Meski kau tahu itu mustahil tapi tanganmu tetap terjulur seakan kau mencoba meraihnya." Ilmuwan tua mengamati Nak Kerbau yang buru-buru menarik tangannya kikuk.

"Tidak perlu sungkan. Hal-hal yang belum diketahui adalah mainan baru untuk bayi bagi para ilmuwan. Sungguh suatu kebetulan yang menyenangkan." Ilmuwan tua kembali berkutat pada penelitiannya.

"Nak Kerbau, apakah kau sadar beberapa dari bintang itu kian membesar tiap tahunnya?" Ilmuwan tua tak mengalihkan pandangannya dari penelitiannya.

Nak Kerbau tertegun, dengan cepat menatap ilmuwan tua penuh tanda tanya kemudian kembali mencoba melihat langit sekali lagi. Tak ada yang berubah. Ia sendiri tak dapat menemukan perbedaan meski selalu memandang bintang-bintang itu selama bertahun-tahun.

"Sejujurnya benda-benda langit bukanlah sesuatu yang kuteliti, namun sejak kecil aku sudah suka melihat malam, jadi aku tahu persis letak setiap bintang di awal dan akhir tahun, kapan serbuk bersinar akan muncul, dan juga waktu bintang berekor lewat ...." Ilmuwan tua itu terus berceloteh sambil berkutat pada penelitiannya.

Mendengar cerita ilmuwan tua membuat Nak Kerbau akhirnya sadar bahwa rasa penasarannya kian memuncak. Terlalu banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan pada ilmuwan tua itu.

"Guru, aku sudah menjadi muridmu selama bertahun-tahun, tapi aku tidak pernah tahu apa sebenarnya penelitianmu selama ini. Eemm, jadi..." Nak Kerbau ragu untuk bertanya. "Aa-"

"Kehidupan." Jawab ilmuwan tua singkat, membuat Nak Kerbau terdiam.

Ilmuwan tua menoleh menatap Nak Kerbau dalam. "Dan kelak kau akan mewarisinya."

"Tunggu dulu," Nak Kerbau beranjak dari tempatnya duduk dan mendekat ke ilmuwan tua tergesa. "Kau tidak serius mengatakannya, kan? Halo ... Guru ..."

"Aku serius." Ilmuwan tua kembali berkutat dengan penelitiannya yang tampak amat rumit di mata Nak Kerbau.

"Dengar, aku memang muridmu, tapi aku tidak tahu nama komponen yang sedang kau otak-atik dari tadi itu. Bagaimana kau bisa menyerahkan penelitianmu pada orang sepertiku?" Ujar Nak Kerbau tanpa jeda, berusaha meyakinkan bahwa gurunya.

"Lantas kenapa kau dulu ngotot jadi muridku kalau benda ini saja kau tidak tahu?" Balas ilmuwan tua membuat Nak Kerbau tertohok.

"Ahaa, itu ...." Nak Kerbau menggaruk bagian bawah tanduknya yang berdekatan dengan telinganya.

"Saat ini aku merasa sangat yakin." Ucap ilmuwan tua lugas tanpa beban.

"Haah!? Guru, sepertinya ada yang salah dengan dirimu hari ini." Nak Kerbau mencoba menghentikan pekerjaan ilmuwan tua untuk mendapat waktu berbicara yang intens. "Sejak awal mengoceh tentang masa lalumu, bilang ingin mewariskan penelitian pentingmu kepadaku, lalu sekarang kau merasa sangat yakin? Ini," Nak Kerbau menggelengkan kepalanya tegas. "Ini tidak seperti ilmuwan tua yang biasanya."

"Guru yang kukenal adalah orang yang tertutup, rasional, idealis, dan, dan dipenuhi keraguan karena-

"Karena hanya dengan keraguan rasa ingin tahu akan terus mengalir." Sambung ilmuwan tua melirik Nak Kerbau yang tampak frustasi. Ilmuwan tua menghentikan pekerjaanya dan tersenyum ramah.

"Memang benar selama ini aku selalu memupuk hati dan pikiranku dengan keraguan, tapi kali ini berbeda." Ilmuwan tua menatap Nak Kerbau dalam-dalam. "Aku tak pernah merasa seyakin ini seumur hidupku, seakan pertemuan kita ini adalah bagian dari takdir, takdir dunia yang tengah dipertaruhkan.

"Aku tidak tahu apakah kau menyadarinya, tapi ini sudah hampir dua puluh tahun sejak pertama kali kita bertemu. Dan selama itu manusia pasti berubah. Begitu pula ras Iblis, aku tidak ingat kalian para Iblis adalah ras berumur panjang. Tapi kau berbeda, kau selalu tampak sama di mataku."

Nak Kerbau berjalan mundur dan terduduk kembali di rumput setelah mendengar semua ucapan ilmuwan tua itu. Ia tak sadar selama ini telah diperhatikan. Ia mengamati gurunya lebih teliti. Rambut panjangnya telah sepenuhnya beruban, banyak kerut pada wajahnya yang letih dan pucat, punggungnya lebih bungkuk dari pertama kali ia melihatnya, dan geraknya sudah semakin terbatas dan berbobot. Ilmuwan itu sudah sangat tua.

"Sedari awal aku tidak tertarik dengan dirimu dan semua tentang dirimu begitu pula sebaliknya. Kita hanyalah guru dan murid, tak ada yang berubah sejak saat itu.

"Tapi selama dua puluh tahun kau menjadi muridku, aku berhak merasa yakin. Yakin bahwa kau adalah orang yang ditakdirkan untuk kehidupan."

"Guru," Nak Kerbau menghela napas pasrah. "Semua ini terdengar abstrak dan ambigu. Kau bukan orang yang akan berkata seperti itu."

"Aku tak menyangkalnya, tapi inilah kenyataannya. Kita sedang berada dalam kekangan tali takdir. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada dirimu di masa lalu, tapi aku bisa bilang kalau terlalu lama hidup bukanlah sebuah anugerah."

"Meski kau bilang tak tahu apa-apa tentangku tapi kau berhasil menebaknya dengan tepat." Nak Kerbau bergidik melihat tingkah ilmuwan tua yang kemudian berbalik kembali bekutat dengan penelitiannya. "Mungkin aku akan berpikir ulang untuk jadi seorang ilmuwan sebelum berakhir menjadi sepertimu."

"Benarkah? Syukurlah kalau begitu. Setidaknya setelah semua ketidakpastian yang kuucapkan, diriku masih berdiri pada sisi rasionalitas yang teguh." Ucap ilmuwan tua menghentikan tangannya. "Dan sepertinya kau tak perlu mewarisi apapun dariku."

"Apa maksudnya? Apa kau berhasil menyelesaikan penelitiannya?" Nak Kerbau menegakkan punggungnya meski enggan.

"Daripada dibilang selesai aku lebih suka menyebutnya berakhir." Ilmuwan tua itu merapikan barang-barang di mejanya yang berantakan, menumpuk buku-buku, dan mengumpulkan perkaman-perkaman jadi satu.

"Syukurlah, guru. Akhirnya kau bisa beristirahat setelah semua ini." Nak Kerbau merentangkan tubuhnya berbaring di atas rumput hijau yang kering, memilih tak peduli.

"Nak Kerbau," panggil ilmuwan tua lirih. "Bagimu, seberapa berharga sebuah kehidupan itu?"

"Hmm ..." Nak Kerbau memandang bintang-bintang di langit malam yang indah. "Kupikir itu sangat berharga karena setelah makhluk hidup merasakan kematian semuanya berakhir. Banyak orang di luar sana yang rela menukarkan apapun demi hidup mereka."

"Begitu yaa ..." Ilmuwan tua berdeham puas. "Kau benar-benar berpikir uang dan kekuasaan bisa membeli kehidupan?"

"Entahlah, habisnya dalam keadaan sekarat kebanyakan makhluk berakal selalu menjadi rakus." Nak Kerbau terlihat tak peduli, melipat kedua tangannya untuk sandaran kepalanya.

"Sepertinya kau berbakat menjadi seorang ilmuwan, Nak Kerbau." Ilmuwan tua itu memandang seluruh penelitiannya yang sudah siap memasuki tahap terakhir dengan senyum terulas tegas pada bibirnya. Ia tahu betul apa yang akan terjadi setelah ia benar-benar menyelesaikan penelitian itu. Terlepas dari hasilnya, ia tahu bahwa penelitian itu adalah hal paling mengerikan yang pernah ia saksikan seumur hidupnya. Meski begitu ia tetap memilih untuk mengakhirinya dengan benar.

"Guru," panggil Nak Kerbau tanpa mengalihkan pandangannya dari langit. "Kalau kita benar-benar bisa membeli kehidupan, berarti kita juga bisa menggadaikannya, bukan?"

"Entahlah." Gumam ilmuwan tua sedikit bergetar. "Seharusnya kau tahu tentang hal itu lebih baik dariku."