Langit Roma menyambut malam dengan tenang, hanya beberapa bintang yang berkilauan di antara awan-awan tipis. Di sudut kota yang biasanya penuh dengan wisatawan, seorang pria berjaket hitam melangkah tanpa suara menuju salah satu bangunan paling dijaga di dunia—Museum Vatikan. Elan Aldridge, seorang pencuri ulung, tidak asing dengan situasi ini. Adrenalin yang mengalir dalam nadinya, setiap langkah yang ia ambil telah diperhitungkan dengan presisi.
Elan berhenti sejenak di depan tembok tinggi yang mengelilingi museum. Ia memandang sekeliling, memastikan tidak ada yang melihat sebelum mengaktifkan alat kecil di tangannya. Sebuah tali baja terlempar ke atas, menempel kuat di salah satu patok di atap. Tanpa suara, Elan mulai memanjat, tubuhnya bergerak dengan ketangkasan seekor kucing.
Sesampainya di atap, ia mengambil napas dalam-dalam. Di balik dinding ini, di dalam ruangan yang dijaga ketat oleh kamera dan sensor, terdapat targetnya: sebuah kitab kuno yang tak ternilai harganya, "Ars Goetia." Tugasnya sederhana: masuk, ambil buku tua itu, dan keluar. Imbalannya? Satu miliar. Cukup untuk menjamin masa depan anak-anak di panti asuhan tempat ia dibesarkan. Tapi Elan tahu, uang sebanyak itu selalu datang dengan risiko besar.
Dengan gerakan cepat, Elan memasuki museum melalui ventilasi yang telah ia buka sebelumnya. Ruangan tempat "Ars Goetia" dipajang sangat gelap, hanya diterangi oleh sinar lemah dari lampu keamanan. Buku itu terletak di tengah ruangan, dikelilingi oleh kaca pelindung. Tapi yang menarik perhatian Elan bukan hanya buku itu. Di sampingnya, terdapat sebuah cincin emas sederhana yang dihiasi ukiran-ukiran kuno. "Solomon's Ring, " demikian tertulis pada label di bawahnya.
Elan tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. Ia tahu bahwa buku itu sangat berharga, tapi cincin ini—dengan sejarah yang misterius dan ukiran yang tampak seperti tidak berasal dari dunia ini—pasti memiliki nilai yang tak terhingga. Pikiran untuk menjualnya ke kolektor atau melelangnya mengisi benaknya. Tanpa ragu, ia memutuskan untuk mengambil keduanya.
Dengan kecepatan yang mengagumkan, Elan berhasil mengatasi sistem keamanan dan mengambil buku serta cincin itu. Saat ia keluar dari museum, bayangan gelap mulai menyelimuti pikirannya. Perasaan tidak nyaman merayapi benaknya, tapi ia menepisnya. Tugasnya belum selesai.
Beberapa jam kemudian, di sebuah bukit di pinggir kota, Elan bertemu dengan kliennya. Tempat itu adalah sebuah puri tua dengan suasana yang sangat sunyi, jauh dari keramaian kota. Sosok pria berpakaian rapi menunggunya di depan gerbang puri itu. Dia adalah Vincent Perreira, seorang profesor misterius yang menemukan Etan dari broker dan mengajukan permintaan untuk mencuri Ars Goetia dengan imbalan 1 miliar.
"Tuan Vincent, saya sudah membawa barang yang Anda minta, " kata Elan sambil berjalan menghampiri pria itu. Ia membuka ranselnya dan mengeluarkan Ars Goetia dari sana. Cincin yang ia ambil sebelumnya ia sembunyikan di sakunya.
Tapi, ada sesuatu yang salah dengan pria itu. Ketika Elan mendekat, Vincent tersenyum dengan cara yang membuat darah Elan membeku. Manusia tidak bisa tersenyum melebihi batas bibirnya kan?
"Sial, apa-apaan senyumnya itu?!," batin Elan.
Rambut dan jenggotnya memanjang, matanya bagaikan binatang buas dan mulutnya menganga penuh dengan gigi-gigi tajam. Ia tampak seperti manusia berkepala singa dan dari tangannya keluar seekor ular yang mendesis.
"Dugaanku benar, " kata makhluk itu dengan suara yang dalam dan menggema. "Kau berhasil, hahahaha"
"Ah, nyamannya kembali ke wujud ini hahaha Aku adalah Purson. Terima ka…., " makhluk yang menyebut dirinya Purson itu menghentikan kalimatnya karena baru sadar bahwa Elan sudah berlari tunggang langgang meninggalkannya.
"Berandal kecil ini!, " geram Purson lalu mengejar Elan dengan kesal.
"Hei! Dengarkan aku bicara!, " teriak Purson sambil berlari mengejar Elan seperti anjing pemburu. Elan menengok ke belakang dan langsung menambah kecepatannya.
"Hei! Berhenti kau bocah! Kenapa kau malah lari?!, " teriak Purson, mereka berkejaran di tengah malam seperti kucing dan tikus.
"Apa kau bodoh?! Mana ada yang mau mendengarkanmu dengan wujud seperti itu?! Wajahmu jelek sekali!, " teriak Elan sambil terus berlari tanpa menoleh ke belakang.
Urat di kepala Purson berkedut, "Bodoh?! Jelek??!! Bangsat! Kemari kau brandal kecil!" Purson semakin gencar mengejarnya dengan emosi meluap.
"Hwaaaa!!!!!! Pergi kau! Jangan ikuti aku!!!!," Elan menengok sebentar lalu berteriak sambil berlari seperti orang gila dan Purson terus mengejarnya seperti anjing gila. Yah, ini memang malam yang gila.
Ular di tangan Purson menghujani Elan dengan racun secara membabi buta, menghantam tanah dan dinding di sekitarnya, memecah batu dan menciptakan ledakan kecil. Elan menghindar dengan gesit, mencoba mencari cara untuk melarikan diri. Namun, Purson semakin mendekat dengan cepat.
"Brugh!"
Elan tersandung akar pohon dan jatuh terguling, Ars Goetia terlempar dari tangannya, begitu juga cincin yang ada di sakunya.
Purson terlihat berhenti dan menatap Ars Goetia dengan serakah. "Hahahaha….akhirnya, aku akan jadi yang pertama bangkit!", ucapnya lalu mengulurkan tangannya untuk mengambil Ars Goetia.
Elan berpikir cepat, meski tubuhnya sakit karena jatuh tapi dia masih bisa berlari. Matanya langsung tertuju pada cincin yang tergeletak di tanah.
"Aku jelas tak bisa mengharapkan bayaran dari misi ini, aku tidak boleh pulang dengan tangan kosong!," kata Elan dalam hati, ia merangkak menuju cincin itu lalu mengenakannya di jarinya agar tidak jatuh lagi.
"Aarrrggh!!," tiba-tiba Purson berteriak kesakitan. Elan terkejut dan sontak berbalik menatap ke arah Purson, tangan makhluk itu terlihat seperti hangus terbakar.
"Sialan! Ternyata memang tidak bisa aku pegang sendiri!," Purson mengibas-ngibaskan tangannya lalu melirik ke arah Elan dan menyeringai.
"Hehehehe….bawakan buku ini untukku dan aku akan melepaskanmu bocah!," ucapnya sambil menyeringai.
Tapi bukannya menanggapinya, Elan langsung berlari meninggalkan Purson yang menatapnya dengan kesal.
"Dasar bocah sialan! Dengarkan kalau iblis sedang bicara!," serunya sambil mengejar Elan.
"Kata-katamu tidak masuk akal! Aku diajarkan untuk tidak mendengarkan suara iblis! Dasar bodoh!," teriak Elan sambil terus berlari, entah kenapa dia tak bisa berhenti berkomentar mendengar kalimat Purson yang sedari tadi dirasa tak masuk akal itu.
"Brengsek! Persetan! Aku akan membunuhmu!," teriak Purson menggila, kata-kata Elan benar-benar membuatnya kesal. Dia adalah salah iblis yang paling cerdas, jadi saat Elan mengatainya 'bodoh' jelas sangat melukai harga dirinya.
"Sial! Aku tidak boleh mati disini! Maria dan yang lainnya menungguku!, " gumamnya sambil terus berlari tanpa berani menengok ke belakang. Maria adalah nama gadis yang tumbuh bersamanya di panti asuhan, saat ia tak ada hanya Maria yang merawat adik-adik sepanti mereka.
Sudah 15 menit Elan berlari sekuat tenaga, namun setiap langkah terasa semakin berat.
"Khahahahahaha….khikhihikhi!!, "Suara tawa Purson menggema di belakangnya, seolah mengejek upayanya yang sia-sia untuk melarikan diri. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya, tapi ia terus berlari, berusaha menjauh dari makhluk mengerikan yang terus memburunya.
"Bruakk!, " Elan tersandung akar pohon untuk kedua kalinya dan terjungkal hingga terguling kedepan. Belum sempat merasakan sakit di tubuhnya, Purson melayangkan tendangan ke perutnya dan membuat dia terlempar menabrak pohon maple yang cukup besar. Pandangan Elan mulai kabur, darah segar mengalir dari kepalanya. Elan berusaha berdiri namun kembali jatuh terduduk karena lemas, ia bersandar pada pohon itu sambil samar-samar melihat Purson berjalan mendekat dengan santai. Elan memaksakan diri untuk berdiri lagi, ia berhasil berdiri meski gemetaran.
Ia menarik belati yang ia selipkan di lengan kirinya dan mengambil kuda-kuda untuk menyerang. Purson menatap dengan penuh penghinaan, "Hahahaha, apakah itu usaha terakhirmu bocah? Lucu sekali, kau pikir bisa melukaiku dengan belati kecil yang kau beli di toko loak? Kwahahahaha"
Suara tawa Purson menggema di kegelapan malam itu, membuat Elan tak kuasa menahan kakinya untuk gemetar. Meski ia terlihat berani saat mengata-ngatai Purson dari tadi, tapi melihat Purson berjalan semakin dekat Elan pun mulai panik, ia ingin berlari tapi kakinya tak bisa ia gerakkan. "Bergerak! Ayo bergeraklah!, " gumamnya sambil terus berusaha menggerakkan kakinya, tapi kakinya tak bergeming.
Purson mulai berlari mendekat dan melompat ke arahnya, "Apa kau ketakutan tikus kecil? Kwhahahha!"
Dengan putus asa Elan mengangkat belati di tangannya lalu menusuk kakinya sendiri, "Bergeraklah kaki sialan!"
Seketika kakinya bisa bergerak dan Elan berguling ke samping tepat saat Purson menghantam tanah tempatnya berdiri tadi dengan keras.
"Boom!, " suara pukulannya begitu keras dan membuat debu-debu beterbangan, Elan yakin kepalanya akan hancur jika sampai terkena pukulan itu.
"Wah, kau masih bisa menghindar? Lumayan! Hahahaha, " Purson tertawa dari balik kumpulan debu-debu yang beterbangan karena pukulannya.
"Diamlah kau kucing jelek! Kau ingin membunuhku? Kita lihat apa kau mampu!, " Elan sudah masa bodoh dengan rasa takutnya atau fakta bahwa lawannya bukan manusia. Dia tidak akan diam dan menunggu kematian.
Tiba-tiba Purson menghilang dari pandangannya, lalu tanpa suara sebuah pukulan menghantam pelipis Elan dan membuatnya kembali terlempar. Namun kali ini Elan langsung pingsan. Darah mengalir di kepala, lengan, dan pahanya yang tadi tertusuk belati.
"Aku tidak suka mangsa yang sok keras, huh!, " cibir Purson sambil berjalan mendekati tubuh Elan yang terbaring tak bergerak.
Purson bahkan tak menyadari, darah Elan mengenai cincin Solomon yang ada di jarinya dan membuat cincin itu menyala kemerahan.
Purson mencengkeram kepala Elan dan mengangkatnya hingga tubuh Elan menggelantung. "Hehe, seharusnya tadi kau membantuku. Sekarang aku jadi harus mencari orang lain untuk membawa buku itu," gumamnya.
Tiba-tiba mata Elan terbuka namun tatapan itu bukan tatapan bocah yang tadi ia hajar hingga setengah mati.
"Purson….kau semakin lancang!, " Elan berbicara tapi bukan suara Elan yang keluar, suara itu bergema penuh dengan wibawa.
Purson terhentak dan melepaskan kepala Elan, ia melompat ke belakang dengan mata melebar dan ketakutan. "So-Solomon? Tidak mungkin... kau sudah mati!"
"Rupanya kau masih mengingatku. Bukankah kita punya urusan yang belum selesai?, " Solomon tersenyum sinis dengan tatapan dingin pada Purson. Meski itu adalah tubuh Elan, bocah yang tadi dia hajar, tapi Purson jelas mengenali suara dan sikap ini. Dia adalah Solomon, Raja Kebijaksanaan dan Penghakiman, pria yang berkuasa tiga ribu tahun yang lalu sebagai raja paling bijaksana dan kaya di seluruh dunia sekaligus orang yang menundukkan ke 72 iblis, termasuk Purson.
Purson mundur beberapa langkah, wajahnya yang tadi penuh percaya diri kini berubah pucat. "Ti-tidak…ja-jangan mendekat! Kau su-sudah mati! Kau tidak berhak mengatur kami! Le–lepaskan aku, aku sudah bebas!, " Purson terlihat panik dan terus mundur dengan hati-hati seolah ia takut akan langsung mati jika membuat gerakan mendadak.
Solomon mengangkat alis, memandang Purson dengan tatapan yang sedikit mengejek. "Kau berpikir aku akan begitu mudah memaafkan pengkhianatanmu, Purson? Setelah semua yang telah kalian lakukan?, " tersirat amarah di dalam suara Solomon.
Sekujur tubuh Elan merinding, punggungnya mendadak terasa dingin dan nafasnya tak teratur seperti orang yang terkena serangan panik.
Sebelum Purson bisa menjawab, Solomon menggerakkan tangannya dengan santai, dan seberkas energi muncul dan menghantam Purson, membuatnya terjerembab ke tanah. Makhluk itu meringis kesakitan sambil memegangi lengan kirinya yang sudah tak ada, lengan itu telah terbakar menjadi abu dan tertiup angin.
"Kau iblis rendahan berani bertingkah kurang ajar! Ingat dimana tempatmu!." Solomon melangkah mendekat, setiap langkahnya membawa rasa takut yang mendalam ke dalam hati Purson.
Purson gemetar, tubuhnya menelungkup seperti orang bersujud di hadapan Solomon. "Tidak, tuanku... Aku tidak bermaksud... Aku hanya—"
"Tidak perlu banyak bicara!, " Solomon memotong dengan nada dingin. "Aku di sini bukan untuk mendengarkan alasan. Kalian sudah bebas terlalu lama sampai lupa bahwa kalian seharusnya di neraka!"
"Sekarang, sebelum kita berpisah lagi untuk waktu yang lama. Apakah ada yang ingin kau ucapkan Purson?, " tanya Solomon tanpa ekspresi.
Purson gemetaran, ia tahu bahwa setelah ini mungkin dia akan disegel atau dihancurkan. Namun amarahnya melebihi rasa takutnya, ia telah bebas selama ribuan tahun dan menikmati menjadi bangsawan di dunia manusia selama ini. Mana mungkin dia rela mati seperti anjing?
Sebelum dipanggil oleh Solomon ke dunia, Purson adalah bangsawan di neraka. Namun setelah dipanggil ke dunia oleh Solomon dia malah menjadi pesuruhnya dan melakukan berbagai pekerjaan yang tidak ia sukai, saat kematian Solomon adalah saat paling membahagiakan baginya dan ke 71 iblis lainnya. Tapi sekarang bahkan setelah ribuan tahun setelah kematiannya orang mengerikan itu malah kembali, dan sialnya Purson adalah yang pertama bertemu dengannya.
"Sial! Sial! Sial! Kenapa harus aku yang bertemu dengannya?!, " Purson terus mengumpat dalam hatinya. Purson adalah iblis yang cerdas, dia adalah yang pertama menyadari bagaimana cara menggunakan Ars Goetia tanpa Solomon sang pemilik buku tersebut. Tapi ia benar-benar tak menyangka ia malah bertemu Solomon saat mencoba mengambilnya.
"Ah, baiklah. Sepertinya tidak ada yang ingin kamu katakan. Selamat tinggal!, " ucap Solomon dengan dingin.
"Eh, Tungg…., " belum sempat Purson berkata, sebuah cahaya melesat dari cincin Solomon yang ada di tangan Elan dan mengubah Purson menjadi abu.
Purson telah musnah, kini hanya sebuah batu kristal bersimbol aneh yang tertinggal di tengah tumpukan abu itu.
"Sungguh sia-sia…."
"Brugh!," tubuh Elan tiba-tiba ambruk setelah Solomon memusnahkan Purson.
"Ah…sepertinya aku berlebihan, tubuh anak ini sedang sekarat," gumam Solomon masih dalam tubuh Elan. "Maaf nak, tunggu sebentar aku akan merawatmu."
Malam itu roh Solomon merawat dan memulihkan luka-luka Elan sambil berbaring di rerumputan yang dingin.
-Bersambung-