Chapter 2 - JIWA SANG RAJA

"Eng….di..mana ini?," Elan mengerang, matahari pagi menyinari wajahnya dari celah-celah pepohonan membuatnya terbangun. Ia duduk dan memandang pepohonan di sekelilingnya, ia bisa melihat tanah yang hancur karena pukulan Purson semalam masih membekas tak jauh dari lokasinya.

"Glugh….ternyata itu bukan mimpi ya? Eh?! Dimana monster itu?!," Elan langsung berdiri dengan dan melihat ke sekeliling dengan panik, tapi tak ada apapun kecuali kupu-kupu dan burung yang beterbangan di sekitar hutan itu.

"Aneh… apa yang terjadi? Ga mungkin kan dia ninggalin aku gitu aja?" gumam Elan, matanya menangkap sebuah benda berkilau yang aneh tak jauh dari tempatnya berdiri.

Elan memicingkan mata dan perlahan mendekatinya. "Ini…kristal?" gumam Elan dengan penasaran, ia mengambilnya dengan hati-hati lalu melihatnya dengan seksama. Ada ukiran aneh di tengah kristal aneh berbentuk memanjang itu.

Belum sempat Elan mendapat jawaban dari rasa penasarannya, cincin di jari tangannya tiba-tiba bergetar. Ukiran yang melingkari cincin itu terlihat menyala merah dan semakin menganga lebar seperti mulut monster yang bergerigi, dari dalamnya muncul sesuatu yang panjang seperti lidah lalu merampas kristal itu dari tangan Elan dan membawanya masuk ke dalam mulutnya.

"Krauk…krauk…,"terdengar bunyi renyah saat cincin itu mengunyah kristal itu. Setelah selesai, cincin itu kembali normal seperti cincin pada umumnya. Elan menganga dengan ngeri sambil memandangi cincin di jadi tangannya dengan gemetar.

"A-apa-apaan itu?!" gumam Elan tergagap. Sebenarnya ia ingin segera melepas cincin itu tapi ia takut jadinya akan digigit jadi ia mengamati cincin itu dengan hati-hati dan mengambil ranting kering untuk mendorong cincin itu dari jarinya, tapi seberapa keraspun dia mendorong cincin itu tetap saja tak mau lepas.

"Apa yang kau lakukan?"

"Aku harus melepasnya, cincin ini men….. Gulph.." Elan tidak melanjutkan kalimatnya dan menelan ludah dengan kasar.

"Sial! Aku kan sendirian, lalu suara siapa tadi itu?!," batin Elan sambil menggigit bibirnya dan memejamkan mata. Dengan gerakan cepat dia melompat dan membalikkan badan, tapi dia langsung menatap bingung ke sekitarnya karena tidak ada siapa-siapa.

"Aneh…," gumamnya sambil mengerutkan kening dan menggaruk-garuk dagunya dengan penasaran.

"Sebenarnya apa yang kau lakukan?"

"Hwaaa!!! Siapa?!! Siapa itu??!!" Elan berteriak panik dan memanjat pohon maple di belakangnya, tapi setelah sampai di atas ia tak melihat siapapun.

"Sial! Apa aku sudah gila?!," umpatnya dengan kesal.

"Itu juga yang ingin aku tanyakan, apa kamu gila?"

Seketika wajah Elan menjadi pucat. "I-ini sudah pasti hantu kan?" gumamnya ketakutan sambil memeluk erat batang maple itu. Melawan sesuatu yang tak terlihat dan tak berwujud adalah mimpi buruk yang berbeda dari menghadapi monster berwujud fisik.

"Hei nak! Aku tahu kamu mendengarku!," Solomon semakin melantangkan suaranya.

"Ya ampun, Tuhan maafkan aku jika aku pernah mencuri! Lindungilah aku dari segala roh jahat!," Elan berdoa dengan asal sambil memeluk erat pohon maple itu seolah hidupnya bergantung disana.

Solomon mulai tak sabar melihat sikap Elan. "Hei! Siapa yang kamu panggil roh jahat hah?!" bentak Solomon, Elan kaget dan terjatuh dari pohon yang tingginya tak seberapa itu.

"Arrghh…aduh…" Elan mengerang kesakitan, untungnya ia jatuh di rerumputan bukan bebatuan.

"Nama?!," Solomon bertanya dengan tegas. Sementara Elan masih kebingungan karena tidak tahu harus melihat ke arah mana.

"Siapa namamu?!," ulang Solomon dengan lebih keras. Elan akhirnya memberanikan diri menjawab.

"El-elan Aldridge," jawab Elan sedikit tergagap.

"Elan Aldridge? Nama yang unik, tahun berapa sekarang?," tanya Solomon tanpa peduli kebingungan di wajah Elan.

"2024, Masehi…," jawab Elan sedikit ragu.

"Masehi? Apa itu?," tanya Solomon sedikit bingung.

"I-itu…satuan tahun yang kami gunakan sekarang," Elan mulai berpikir mungkinkah yang bicara dengannya adalah roh dari zaman kuno?

"Hmm…aku tak mengerti. Dengarkan baik-baik Elan, Purson hanya salah satu dari tujuh puluh dua iblis yang berkeliaran di bumi saat ini. Semalam aku bisa menolongmu, tapi kekuatanku sebagai roh takkan selamanya bertahan. Apa kau mengerti maksudku?" Elan merespon pertanyaan Solomon denga wajah bingung.

"Hah… ini akan jadi jalan yang panjang," Solomon menghela nafas dengan kasar.

"Em…anu…Anda ini siapa?" Elan memberanikan diri bertanya, dari kata-kata Solomon bisa disimpulkan bahwa dia adalah penolongnya jadi seharusnya bukan roh jahat.

"Ah, maaf aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Solomon, Raja Kebijaksanaan dan Penghakiman," Elan terperangah mendengarnya. 

Solomon sang Raja Kebijaksanaan dan Penghakiman adalah figur bersejarah yang tak mungkin ia lupakan. Tiga ribu tahun yang lalu ia memerintah di sebuah kerajaan kuno, dibawah pemerintahannya kerajaan itu menjadi kerajaan terkaya dan termakmur di dunia. Namun suatu ketika setelah kematiannya, tak ada lagi raja yang seperti dia dan kerajaan itu runtuh. Hingga saat ini banyak orang masih mencoba menemukan sisa-sisa kerajaan itu namun tak banyak yang bisa di temukan.

"A-anda Raja Solomon?! Ma-mafkan ketidaksopanan saya tuan!," mendadak Elan bersujud entah kepada siapa. Solomon tak menanggapinya.

"Apa pekerjaanmu nak?," tanyanya kemudian.

Elan merasa gugup, bagaimana dia akan mengaku sebagai pencuri di depan seorang raja? Di zaman Salomo seorang pencuri akan langsung dipotong tangannya, Elan menelan ludah ngeri membayangkan jika tangannya tiba-tiba dipotong oleh Solomon.

"Sa-sa—ya…," Elan benar-benar kesulitan kali ini, jika itu manusia maka dia bisa dengan mudah berbohong. Tapi, dia bahkan tak tahu Solomon dapat melakukan apa saja. 

"Kamu seorang pencuri kan?" 

"Degh!" jantung Elan seakan berhenti saat mendengar pertanyaan Solomon, punggungnya terasa dingin, dan tangannya mulai gemetar.

"I–itu….," Elan tak bisa menyangkal, tapi mengakuinya juga terasa salah.

"Kau membantu Purson mencuri Ars Goetia. Benar?," suara Solomon penuh dengan tuduhan.

Elan tak bisa menjawab dan hanya menggangguk dengan kepala tertunduk, sejak awal ia tak pernah bangga menjadi seorang pencuri.

"Apa kamu sadar bahwa kamu hampir membawa kiamat ke dunia? Ars Goetia bisa membuka gerbang neraka dan melepaskan kekuatan penuh para iblis sialan itu, apa kamu mengerti?!," suara Solomon menghantam hati Elan lebih keras dari yang diduga.

Dia mencuri demi memberikan kehidupan yang lebih baik untuk anak-anak dari panti asuhan yang kini terlantar, tapi dia malah hampir membuat kiamat datang lebih awal karena perbuatannya. Elan termenung dengan tatapan kosong, jika Solomon tak menolongnya mungkin dia sudah mati, dan tidak hanya itu tapi mungkin semua orang akan mati karena Purson mendapatkan buku itu.

"Ck, aku benar-benar tak mengerti. Di setiap zaman selalu saja ada orang seperti kalian. Melakukan apapun demi uang, tidakkah kalian punya kehormatan?," Solomon berbicara dengan nada menghina seolah jijik pada Elan.

Elan menunduk sambil menggigit bibirnya, tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya. Solomon kembali berkata dengan merendahkan,"Apakah kamu tidak merasa malu? Demi uang kamu mencuri, bahkan kamu hampir membawa petaka pada semua orang! Apa orang tuamu tidak pernah mengajarimu?!" mendengar kalimat ini kesabaran Elan terputus.

"Diamlah!," Elan membentak Solomon dengan keras. Jika seseorang menghinanya maka Elan masih bisa bertahan karena ia sudah terbiasa, namun jika seseorang menyebutkan tentang orang tuanya entah kenapa ia tak bisa menahan amarahnya.

Solomon terdiam. "Apa yang kau tahu?," Elan berbicara dengan suara yang berat. Hatinya yang tadi dipenuhi rasa penyesalan sudah hilang entah kemana digantikan oleh kemarahan. 

"Apa yang kau tahu?! Kau adalah seorang raja, hidupmu selalu dilimpahi kekayaan dan kemewahan sejak kau lahir. Apa yang kau tahu tentangku?! Tentang kami?!," teriak Elan penuh amarah.

"Kau…!,"Solomon ingin mengatakan sesuatu tapi ia mengurungkannya setelah menyadari tatapan mata Elan. Itu adalah mata dari seseorang yang sudah lelah berjuang tapi tak punya pilihan selain melangkah maju.

Seperti seorang prajurit yang kembali dari medan perang hidup-hidup namun kehilangan pasukannya, dan harus kembali ke medan perang yang sama lagi dan lagi. Solomon sangat mengenal sorot mata itu. Rasa lelah, kecewa, dan duka bercampur dengan rasa tanggung jawab dan tekad untuk terus maju dan bertahan demi sesuatu yang ia perjuangkan.

"Orang sepertimu tidak berhak mengatakan apapun tentang kami!," kata Elan sambil meraih tasnya. Ia tak lagi bicara dan segera berjalan meninggalkan tempat itu.

Solomon hanya diam, dalam hati ia juga mengakui bahwa kata-katanya cukup tajam untuk orang yang baru saja saling kenal.

"Maafkan aku!," Elan berhenti melangkah saat mendengar suara Solomon lagi.

"Mungkin, aku sudah keterlaluan," lanjut Solomon.

"Rupanya menjadi bijaksana tak selalu membuatmu selalu benar kan?," kata Elan mencibirnya.

"Kau benar, aku yang salah disini, tak seharusnya aku mengata-ngatai mu sembarangan tanpa tahu ceritamu," jawab Solomon, ia tak menunjukkan keangkuhan atau amarah. Ini adalah murni rasa sesal.

Elan menghela nafas,"Tidak perlu minta maaf, aku sudah terbiasa mendengar cemoohan orang."

"Sebenarnya apa yang terjadi? Aku tidak merasakan keserakahan darimu, lalu untuk apa kamu mencuri?," tanya Solomon.

Elan mendengus,"Hah, tidak ada yang menarik. Hanya cerita membosankan dari seorang yatim piatu yang tak tahu apapun soal orang tuanya. Apa yang kamu harapkan?"

Elan menggelengkan kepalanya lalu duduk di rerumputan, setelah diam sebentar ia mulai bercerita,"Aku dibesarkan di panti asuhan, tanpa orang tua, tanpa keluarga. Mereka yang tinggal di sana—anak-anak lain yang sepertiku—mereka adalah keluargaku. Dulu ibu panti adalah orang yang merawat kami, tapi ketika ia meninggal panti asuhan itu ditutup, kami semua dibiarkan begitu saja karena tidak ada yang mau mengelola panti asuhan itu." 

Elan tersenyum pahit lalu melanjutkan,"Aku adalah yang tertua, aku tidak bisa membiarkan adik-adik angkatku kelaparan atau hidup di jalanan. Aku sudah mencoba mencari pekerjaan, tapi karena aku tidak pernah sekolah dan belum cukup umur, tidak ada yang mau memberiku pekerjaan yang layak. Pekerjaan seperti mencuci piring, bersih-bersih, kuli bangunan, hanya hal-hal itu yang bisa ku lakukan tapi uang yang ku dapat sangat kecil, tak cukup untuk membiayai semua anak di panti."

Solomon tetap diam dan mendengarkan dengan sabar. Elan melanjutkan dengan nada yang semakin berat, "Aku tidak bangga dengan apa yang kulakukan. Aku tahu itu salah. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Pemilik tanah akan mengirim preman setiap minggu untuk memastikan kami segera pergi dari tempat itu, sejauh ini mereka hanya menggertak tapi entah kedepannya. Setiap hari adalah perjuangan untuk bertahan hidup, dan aku akan melakukan apa saja untuk memastikan adik-adikku tidak kelaparan atau kedinginan. Jika dengan aku menanggung dosa ini bisa membuat mereka tetap bertahan hidup, aku rasa tak masalah bagiku. Setidaknya aku tak pernah mencuri uang atau harta dari orang lain, semua yang ku curi adalah benda koleksi atau barang-barang antik. Aku menerima misi dari orang dan melakukan pekerjaan kotor itu untuk mereka dengan imbalan."

Sejenak, keheningan menyelimuti mereka berdua. Solomon, yang biasanya angkuh dan penuh percaya diri, tampak merenung. Dalam kehidupannya sebagai raja, ia selalu merasa hampa. Ia tak pernah kekurangan harta, sampai dia merasa bahwa uang hanyalah hal tak berguna. Ia adalah seorang jenius, seorang raja yang selalu memiliki segalanya—kekayaan, kekuasaan, dan penghormatan. Bahkan rakyatnya hidup sejahtera di bawah pemerintahannya, tidak ada pencuri karena tidak perlu mencuri. Namun, kini di hadapannya ada seorang pemuda yang harus berjuang setiap hari hanya untuk mempertahankan hidup, melakukan hal yang menentang hati nuraninya hanya demi sesuap nasi. Bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk orang lain yang bergantung padanya yang bahkan tidak memiliki hubungan darah dengannya.

"Kenapa raja tidak membantu kalian?" tanya Solomon, suaranya lebih lembut daripada sebelumnya.

Elan tertawa kecil mendengar pertanyaan Solomon,"Tidak ada raja disini, pemerintahan dijalankan oleh pemimpin yang dipilih rakyat. Mereka bilang pemimpin yang dipilih oleh rakyat sendiri akan mampu mewakili dan mengayomi rakyatnya. Tapi itu semua hanya politik, pada dasarnya yang berkuasalah yang akan bertahan disini. Jumlah suara dapat dimanipulasi, uang yang seharusnya digunakan untuk rakyat justru dikorupsi. Apa yang menurutmu tersisa untuk orang-orang seperti kami?"

Solomon memikirkan apa yang baru saja didengarnya. Dalam dirinya, ada konflik antara prinsip-prinsip yang dipegangnya teguh sebagai seorang raja dan kenyataan keras yang dihadapi oleh Elan. Ia selalu menganggap kehormatan dan integritas sebagai hal yang paling penting, tetapi bagaimana ia bisa menilai seseorang yang berjuang mati-matian hanya untuk menjaga keluarganya tetap hidup?

"Tanpa seorang raja yang berkemampuan takkan ada kesejahteraan di seluruh negeri," gumam Solomon. "Melakukan apa yang kau bisa untuk melindungi orang-orang yang kau cintai. Aku mungkin tidak setuju dengan caramu, tapi aku tahu satu hal, kebaikan dan pengorbanan mu untuk adik-adikmu adalah sesuatu yang patut aku hormati."

Elan menatap langit pagi itu dengan penuh harap. "Aku tidak butuh simpati atau penghormatan. Aku hanya butuh kesempatan untuk mengubah hidup kami menjadi lebih baik. Aku tak ingin adik-adikku tahu mereka makan dari uang hasil aku mencuri."

Solomon tersenyum tipis dari dalam cincin itu, "Apa kau tidak akan mencuri lagi setelah ini?"

Elan menggeleng pelan,"Tidak, sebenarnya ini adalah misi terakhirku. Aku ingin meninggalkan semua ini dan membuka sebuah toko dengan uang imbalan dari misi kali ini lalu memberikan kehidupan yang layak untuk adik-adikku tanpa harus melanggar hukum. Tapi, sekarang aku tak tahu harus bagaimana. Si brengsek itu belum membayar upah ku dan uang muka darinya hanya akan cukup untuk kami hidup beberapa waktu."

Solomon menghela napas panjang, seolah merasa bersalah atas sikapnya sebelumnya. "Aku akan membantumu."

Elan tertawa tertahan, "Hei, kamu sedang meremehkanku?" tanya Solomon merasa tersinggung. "Apa kau lupa? Aku adalah raja terkaya dan paling berpengetahuan dalam sejarah, bukan hal sulit untuk mengubah hidupmu dan memastikan bahwa adik-adikmu mendapatkan kehidupan yang layak."

"Benar, terima kasih yang mulia Solomon!" ucap Elan dengan senyum mengejek. 

"Hey, apa-apaan sikap itu?," tegur Solomon, namun ia tak terdengar marah. Sejujurnya ia menyukai kondisi ini, semasa dia hidup banyak orang munafik disekitarnya. Mereka berpura-pura baik dan hormat, padahal hanya ingin mencari keuntungan pribadi sementara ia sendiri harus menjaga martabatnya sebagai raja dan tak bisa bebas melakukan apapun. Tapi Elan berbeda, ia bersikap apa adanya di depan Solomon, seperti seorang teman.

"Apa kau akan pulang sekarang?," tanya Solomon.

"Tentu saja, adik-adikku menungguku. Aku tidak mau membuat mereka khawatir," ujar Elan sambil bangkit berdiri dan berjalan menuruni bukit itu, di tengah jalan ia melihat Ars Goetia tergeletak di atas rerumputan.

"Itu…apa aku harus mengambilnya?," tanya Elan dengan ragu pada Solomon.

"Sebenarnya aku tak suka kamu membawanya, tapi itu akan lebih aman jika kamu bawa daripada ditinggalkan disini. Sembunyikan saja di dalam cincin, tidak akan ada yang tahu," ujar Solomon.

"Hah? Di dalam cincin?," Elan terlihat bingung sambil menatap cincin itu.

"Di dalam sini ada dimensi terpisah, kristal demonic yang dimakan sebelumnya masuk ke dimensi lain dan diserap. Tapi ada dimensi satu lagi seperti yang aku tempati ini, dekatkan saja ke cincin ini, aku akan membukakan pintunya," kata Solom dengan santai.

Elan mengambil Ars Goetia dan mendekatkannya pada cincin dengan hati-hati, ia takut melihat adegan saat cincin itu memakan kristal sebelumnya. Namun yang terjadi berbeda, sebuah lingkaran sihir bercahaya keluar dan buku tua itu seperti tertarik ke dalam lalu menghilang.

"Waw! Keren juga haha," ujar Elan spontan.

"Tentu saja, cincin ini adalah artefak dari Firdaus kau tau?," ujar Solomon dengan bangga.

"Err….sulit di percaya Firdaus mempunyai benda mengerikan seperti ini," wajah Elan menatap cincin itu dengan ragu.

"Hahahaha….kau memang unik Elan!," Solomon malah tertawa melihat ekspresi Elan, selama ribuan tahun ada banyak orang yang mencari artefak itu untuk dimiliki namun Elan malah memandangnya seolah benda itu adalah mainan dengan desain yang buruk. Mereka berjalan pulang sambil mengobrolkan banyak hal. 

Pagi itu, dua jiwa dari zaman yang berbeda bertemu dalam sebuah takdir yang penuh misteri. Tanpa mereka sadari, kematian Purson membuat ke 71 iblis lainnya waspada. Meski mereka tak tahu siapa pelakunya, tapi mereka menyadari bahwa kehidupan nyaman mereka akan segera terusik.

—-------------------------

Seorang pria berpakaian formal menatap pemandangan malam di kota dari dalam sebuah gedung pencakar langit. Di belakangnya seorang wanita berjalan mendekat dengan anggun lalu berdiri di sampingnya.

"Purson telah mati," kata wanita itu.

"Hum…lagipula dia memang yang paling lemah, apakah ini ulah para Priest itu?," tanya pria itu, ia terlihat tak terlalu peduli.

"Awalnya kupikir begitu, tapi Demonic Essence-nya ikut musnah. Para Priest tidak bisa melakukan itu bukan?," ujar wanita itu dengan tatapan dingin ke arah kota.

"Tidak banyak manusia yang bisa menghancurkan Demonic Essence, apa itu Saint?," tanya pria itu masih tidak berekspresi, tapi wanita itu tak menjawabnya.

"Ars Goetia dicuri dari museum Vatikan," kata wanita itu, ekspresinya terlihat sedikit menegang.

Pria itu melirik ke arah wanita itu dengan tajam dan bertanya dengan dingin,"Ars Goetia?"

-Bersambung-