Chapter 3 - AKU SUDAH BERHENTI

"Lebih tepatnya Ars Goetia dan cincin Solomon," imbuh wanita itu.

Seketika wajah pria itu merah padam,"Siapa orang bodoh yang mengambilnya?!"

"Aku punya firasat kalau Purson yang mengambilnya, tapi buku dan cincin itu tidak bisa kita sentuh, jadi pasti dia meminta seseorang membantunya," ujar wanita itu.

"Maksudmu yang membunuhnya adalah orang yang membantunya?," tanya pria itu, kini wajahnya tak lagi tenang seperti sebelumnya.

Wanita itu mengangkat bahunya,"Itu salah satu kemungkinannya, atau si bodoh itu tanpa sengaja mengaktifkan jebakan yang ditinggalkan Solomon dan berakhir binasa."

"Sial! Aku membiarkan Ars Goetia dan cincin itu di sana karena belum menemukan cara untuk menggunakannya, tapi dia malah dengan gegabah mencurinya? Dimana benda itu sekarang?," pria itu terlihat sangat gusar.

"Mana mungkin aku tahu, anak buahku masih berusaha menemukannya," wanita itu berjalan meninggalkan pria itu, cara berjalannya sungguh anggun.

"Asmoday, apa kau sudah menemukan kitab yang lain?," tanya pria itu, wanita bernama Asmoday itu berhenti dan menoleh.

"Tenang saja, Paimon. Aku sudah menemukan lokasi kitab ke tiga yang asli, tapi kita masih harus mencari dua lainnya. Sementara biarkan kitab-kitab itu tetap pada tempatnya, apalagi Ars Goetia hilang. Tanpa Ars Goetia kitab-kitab itu tak ada artinya," jawab Asmoday kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan Paimon yang masih berdiri menatap pemandangan dari jendela besar itu.

—--------------------------

Elan berjalan cepat menuju bangunan tua yang pernah menjadi panti asuhan tempat ia dan adik-adik sepantinya tinggal. Ketika ia mendekati panti, ia melihat sesuatu yang membuat hatinya mencelos—sekelompok preman berdiri di luar gerbang, mengintimidasi anak-anak yang ketakutan di balik gerbang besi yang reyot dan berkarat itu.

Wajah mereka pucat pasi. Beberapa dari mereka mencoba menahan tangis, sementara yang lain memeluk satu sama lain dengan gemetar. Seorang pria paruh baya dengan wajah arogan, tampaknya ahli waris tanah itu, berdiri di tengah preman-premannya, menatap anak-anak itu dengan tatapan meremehkan.

Elan mempercepat langkahnya. Para preman menoleh, dan pria paruh baya itu menyeringai saat melihat Elan.

"Ah, akhirnya pemimpin mereka datang," katanya dengan nada mengejek. "Kalian tidak punya hak tinggal di sini lagi. Tanah ini milik ku sekarang, kalian harus pergi!"

Anak-anak itu berdiri di belakang gerbang sambil membawa beberapa alat dapur sebagai senjata. Seorang gadis yang terlihat paling dewasa dari mereka berdiri paling depan membawa sebatang kayu, mereka memegang erat pakaiannya, mencari perlindungan. Elan mengalihkan matanya menatap pria itu dengan tajam, tetapi ia tahu bahwa melawan mereka secara fisik bukanlah pilihan. Solomon, yang diam-diam memperhatikan dari dalam cincin yang kini ada di jari tangannya, berbicara tenang dalam benaknya.

"Elan, jangan gegabah. Kekerasan hanya akan menimbulkan lebih banyak masalah."

Elan menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri meski hatinya dipenuhi rasa takut dan cemas. Ia melangkah maju, memposisikan dirinya di antara para preman dan anak-anak itu.

"Anda blang Anda pemilik tanah ini?" Elan bertanya, suaranya tegas namun sopan. Selama ini dia belum pernah bertemu dengannya karena selama beberapa bulan ini orang itu hanya mengirim preman tanpa menunjukkan batang hidungnya. "Bukankah tanah ini seharusnya milih tuan Arcend Goldfin?," tanya Elan masih dengan sopan..

Pria itu mengangguk dengan angkuh. "Benar. Aku adalah Edward Goldfin, putra tertua Arcend Goldfin, ayahku sudah meninggal dan aku adalah pewaris sah tanah ini! Kalian tidak punya hak untuk tinggal di sini lagi. Pergilah sekarang juga, atau aku akan memastikan kalian diusir dengan kekerasan."

Anak-anak semakin gemetar. Arcend Goldfin adalah satu-satunya orang yang mau membantu mempertahankan panti asuhan itu, namun usianya yang sudah sangat tua membuatnya tak bisa banyak membantu kecuali mengizinkan mereka tetap tinggal disana.

Kini setelah ia meninggal, tak ada lagi yang akan mengizinkan mereka tetap tinggal disini. Salah satu dari mereka, seorang gadis kecil dengan rambut ikal, menatap Elan dengan mata berkaca-kaca. "Kak Elan, tolong jangan biarkan mereka mengusir kita."

Elan menunduk sedikit, menenangkan gadis itu dengan mengusap kepalanya. "Jangan khawatir Nina, serahkan pada kakak."

Kemudian, ia menatap langsung ke mata pria itu, dan memantapkan hatinya. "Tuan Goldfin, saya mengerti bahwa Anda memiliki hak atas tanah ini. Tapi bisakah saya mohon, beri kami sedikit waktu. Anak-anak ini tidak punya tempat lain untuk pergi. Setidaknya izinkan kami tinggal disini selama sebulan agar kami bisa mencari tempat lain untuk tinggal."

Edward tampak ragu, matanya memicing saat menilai Elan. "Sebulan? Apa jaminan bahwa kalian akan pergi dalam sebulan?"

Dengan yakin ia berbicara dengan tegas, "Saya berjanji dalam sebulan kami akan pergi. Saya memiliki sedikit uang, mohon diterima sebagai tanda ketulusan kami."

Untungnya Purson yang menyamar menjadi manusia bernama Vincent itu sudah memberikan uang muka senilai 50 juta sebelum misi pencurian itu dimulai, meskipun memang jauh lebih kecil dari total upahnya yang seharusnya 1 milyar tapi ini tetap uang yang cukup untuk bertahan hidup sementara mereka mencari rumah baru. 

Elan mengeluarkan uang kertas senilai satu juta dan menyerahkannya pada pria itu. Edward berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Baiklah, sebulan. Tidak lebih. Jangan harap aku akan berbaik hati lain kali."

Elan menghela nafas lega saat pria itu memberi isyarat kepada preman-premannya untuk mundur. Setelah mereka pergi, anak-anak itu segera membuka gerbang dan mengelilingi Elan, beberapa dari mereka menangis lega, sementara yang lain memeluknya erat.

"Kak Elan, apa kita benar-benar harus pergi?" tanya seorang anak laki-laki dengan suara kecil.

Elan mengangguk sambil tersenyum tipis. "Ya, kita harus pergi Arden. Tapi jangan khawatir, kita akan menemukan tempat yang lebih baik."

"Tapi kakak sudah memberikan uang kakak kepada paman jahat itu, bagaimana kita kan mencari tempat tinggal nantinya?," tanya seorang anak laki-laki berambut ikal.

"Kalian tenang saja, kakak mendapatkan bonus dari pekerjaan yang cukup untuk kita. Besok kakak akan memasakkan kalian makanan enak, lalu kakak akan mulai mencari rumah baru untuk kita tinggal," ujar Elan sambil tersenyum cerah, sebisa mungkin ia ingin anak-anak ini tidak khawatir.

"Benarkah? Yey!! Terima kasih kakak! Kalau aku sudah besar akau akan bekerja juga dan mencari banyak uang untuk kita! Aku akan membeli makanan yang banyak jadi kita takkan kelaparan lagi!," ujar Arden dengan semangat.

"Hey Arden, lebih baik kau belajar membaca dulu dengan benar baru memikirkan untuk bekerja hahaha," kata Nina. Anak-anak yang lain ikut tertawa sementara Arden mengerucutkan bibirnya.

Elan juga ikut tertawa sambil mengusap-usap kepala Arden. Solomon merasakan kehangatan di tempat ini, tapi perhatiannya tercuri oleh seorang anak gadis yang sejak tadi hanya diam saja menatap mereka, dia adalah gadis yang tadi berdiri paling depan melindungi anak-anak..

"Elan, ada apa dengan gadis itu?," tanya Solomon dengan penasaran.

Elan menengok ke arah yang di maksud oleh Solomon lalu tersenyum,"Dia Maria. Dia satu-satunya yang tahu aku menjadi pencuri, dia tak begitu senang setiap kali aku pulang membawa uang. Tapi dia sengaja tak memberitahukannya pada anak-anak yang lain karena keadaan kita memang membutuhkan uang."

Solomon tertegun,"Gadis yang kuat. Sorot matanya terlihat sangat dewasa untuk anak seusianya, sekitar 15 tahun?"

"Yah, sekitar itu. Kami tidak pernah tahu usia kami sebenarnya karena kami tak tahu kapan kami dilahirkan. Kami hanya menggunakan perkiraan yang dulu diberitahukan oleh ibu panti pada kami. Tahun ini aku 17 tahun, Maria 16 tahun, Nina 13 tahun, Arden 8 tahun, Ayla 7 tahun, sedangkan yang paling kecil adalah Daren, dia baru 4 tahun jadi belum terlalu mengerti banyak hal," Elan memperkenalkan anak-anak panti itu pada Solomon.

"Kak Elan," seorang anak perempuan berusia sekitar tujuh tahun dengan mata besar dan rambut keriting perlahan mendekat, "Apa kita akan baik-baik saja? Ke mana kita akan pergi?"

Elan menatap gadis itu, berusaha menyembunyikan kecemasan yang membayangi pikirannya. "Kita akan baik-baik saja, Ayla," jawabnya lembut sambil membelai rambut gadis itu. "Aku berjanji kita akan menemukan tempat yang baru, tempat di mana kita semua bisa hidup bersama dengan aman."

Gadis itu mengangguk, meskipun matanya masih menyiratkan keraguan. Elan merasakan perasaan yang sama. Bagaimanapun, ia harus tetap tegar untuk mereka.

Elan mengajak mereka masuk, di meja sudah ada beberapa makanan sederhana. Rupanya mereka baru mau sarapan saat para preman itu datang.

"Terima kasih Maria," ujar Elan sambil menatap Maria dengan hangat, gadis itu hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Pipinya terlihat sedikit memerah tapi ia segera menyibukkan diri dengan menyiapkan alat-alat makan untuk anak-anak itu.

Setelah semua anak-anak sarapan dan keadaan mulai tenang, beberapa dari mereka mulai tertidur karena kelelahan, Elan bangkit perlahan. 

Tiba-tiba Maria mendekat ke arahnya,"Kak, bisa kita bicara di luar sebentar?" Elan tertegun lalu mengangguk.

"Oke, kita pelan-pelan saja jangan sampai mereka terbangun," bisik Elan pada Maria, gadis itu menjawabnya dengan anggukan.

"Apa kakak mencuri lagi?," tanya gadis itu setelah mereka tiba di teras. Elan tak langsung menjawabnya, ia duduk di tangga lalu menepuk lantai di sebelahnya.

"Duduklah Mar," katanya dengan lembut. Maria menurutinya tanpa banyak bicara, terlihat jelas bahwa meskipun ia tak suka Elan mencuri tapi ia masih menghormatinya.

"Aku sudah berhenti," kata Elan dengan senyuman yang penuh dengan rasa lega.

Maria menatapnya dengan curiga,"Benarkah? Lalu uang itu?"

Elan tersenyum, dia sebenarnya mau menceritakan yang sebenarnya tapi mana mungkin Maria percaya.

"Itu adalah uang tabunganku. Aku sudah lama ingin berhenti jadi aku mempersiapkan sedikit simpanan. Sebenarnya ada satu pekerjaan terakhir, tapi klienku tiba-tiba membatalkannya jadi aku memilih berhenti saja. Aku juga tak mau membuatmu khawatir terus," ujar Elan sambil menatap Maria dengan lembut.

Wajah Maria memerah, ia segera mengalihkan pandangannya dari Elan,"Baguslah! Aku akan sangat marah jika sampai kakak tertangkap polisi dan dipenjara. Kakak harus memberiku hadiah karena sudah menjaga rahasia kakak hingga sekarang."

Elan hanya tertawa kecil mendengar celotehan Maria,"Haha iya, kamu mau apa memangnya? Nanti setelah kita pindah akan kakak carikan."

Maria tiba-tiba terdiam, wajahnya memerah lalu ia berkata dengan malu-malu,"Kakak tidak perlu mencari kemana-mana. Kakak sudah punya apa yang aku mau kok."

Elan mengangkat satu alisnya,"Memangnya kamu mau apa?"

Maria mendekatinya lalu berbisik,"Ra-ha-si-a." Gadis itu langsung berlari ke dalam rumah meninggalkan Elan yang masih memandangnya dengan penuh tanda tanya.

"Gadis yang aneh," gumam Elan.

Solomon hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya melihat kedua anak manusia itu.

"Dia gadis yang baik, kalian yang tertua jadi kalian sudah seperti orang tua bagi anak-anak di panti ini," ujar Solomon tiba–tiba.

Elan terlihat salah tingkah,"Eh-ah..K-kau ini ngomong apa sih? Ka-kami kan ma–sih remaja, mana bisa jadi orang tua…haha." Tawa Elan terlihat sangat canggung, jelas sekali dia salah tingkah. Solomon hanya tersenyum melihat respon Elan.

"Elan, kau telah melindungi mereka dengan baik. Tapi ingat, berjanji untuk menemukan tempat baru bukanlah hal yang mudah. Kau harus mulai merencanakan sekarang."

Elan mengangguk samar,"Saat ini uangku sangat terbatas, tidak mungkin membeli rumah. Aku akan mencari kontrakkan saja, mungkin akan ada yang harganya murah di pinggiran kota. Rata-rata biaya kontrak pertahun di daerah pinggiran sekitar 12-20 juta, jika bisa dapat yang murah aku masih memiliki sisa kurang lebih 30 juta. Aku harus menemukan solusi untuk menghasilkan uang sebelum 3 bulan berlalu."

Solomon terdiam sejenak sebelum menjawab. "Rencanamu cukup bagus, tapi kau butuh lebih dari sekedar uang. Kau butuh dukungan, seseorang yang bisa membantu dalam situasi seperti ini. Kau harus mencari bantuan dari orang-orang yang memiliki kekuatan dan pengaruh."

Elan tertegun mendengar saran itu. "Tapi siapa yang akan membantu anak-anak yatim piatu seperti kami? Apalagi dengan masa laluku sebagai pencuri, meski tak banyak yang tahu sih."

"Tenang saja, besok bawa aku melihat sekitar. Aku akan coba membantumu menemukan cara," ujar Solomon dengan yakin.

Elan tahu bahwa Solomon benar. Bagaimanapun, ini bukan hanya tentang dirinya lagi. Ini tentang anak-anak yang tidak punya tempat lain untuk bergantung.

Esok paginya, Elan dan Solomon berjalan-jalan di sepanjang pinggiran kota Gandolfo yang mulai menggeliat dengan kehidupan. Mereka tidak hanya mencari rumah untuk tempat tinggal, tetapi juga sekaligus mengenalkan Solomon pada kehidupan masyarakat era ini.

Selama seminggu ini Elan terus mengulang rutinitasnya berkeliling dan mencari informasi, namun rumah-rumah yang disewakan di kota Gandolfo sangat mahal, rata-rata 10 hingga 20 juta per tahun. Elan tak bisa mengambil resiko dengan menghabiskan semua uang itu hanya untuk menyewa rumah karena dia belum memiliki pekerjaan tetap. Ia nyaris menyerah tapi mengingat anak-anak yang menantinya dia menolak pikiran itu. 

Hari ini adalah hari ke delapan, Elan memilih untuk beralih ke area pasar karena ia tak lagi melihat ada potensi di daerah perumahan.

Jalanan yang dipenuhi deretan toko kecil dan pedagang kaki lima membawa mereka ke pasar yang ramai, di mana aroma rempah-rempah dan makanan segar memenuhi udara.

Saat mereka berjalan melewati kerumunan, Elan melihat seorang pria tua sedang membeli rempah-rempah dari seorang pedagang. Pria tua itu tampak ragu saat memeriksa barang yang ditawarkan, sementara pedagang itu mencoba meyakinkannya dengan kata-kata manis. 

"Apa kau yakin ini adalah rempah-rempah berkualitas tinggi? Kenapa warnanya terlihat berbeda dari yang ku tahu?," tanya pria tua sambil memperhatikan rempah-rempah yang berbentuk seperti akar kering di tangannya.

"Aduh tuan, justru karena kualitasnya bagus makanya tampilannya berbeda! Akar Angelica ini adalah yang terbaik, aku mendapatkannya susah payah dari pegunungan. Meski terlihat kering tapi justru khasiatnya akan meningkat saat diolah!," jawab pedagang itu dengan penuh percaya diri. Pria tua itu terlihat ragu dan terus membolak balikkan akar Angelica di tangannya.

Solomon yang berada di dalam cincin, segera menyadari ada sesuatu yang tidak beres. "Elan, perhatikan baik-baik rempah-rempah yang dijual itu," suara Solomon bergema lembut dalam pikiran Elan. "Pedagang itu menjual rempah yang sudah membusuk sebelum dikeringkan. Ini bisa berbahaya," Elan terkejut mendengarnya, ia memperhatikan akar ditangan pak tua itu. Akar Angelica yang segar berwarna coklat cerah kekuningan seperti ginseng, tapi yang dipegang pak tua itu berwarna coklat tua dan terlihat kusam. 

Elan menajamkan pandangannya dan mendekati pria tua itu dengan langkah pasti. "Tuan, bolehkah saya melihat akar itu?"

-Bersambung-