Chapter 7 - MALAM PENGANUGERAHAN

Setelah meninggalkan Dominic, Elan dan Maria melaju dengan mobil menuju ke rumah. Meski terganggu oleh kemunculan Dominic, Elan tidak membiarkan pertemuan singkat itu mempengaruhi suasana hatinya.

Maria masih tersenyum, "Kak, kamu melihat wajah Dominic tadi? Dia pasti sangat kesal sekarang."

Elan tertawa kecil, "Hehe..Aku tidak peduli apa yang dia pikirkan. Selama ini aku tidak pernah mencari masalah dengannya tapi dia selalu mencari masalah padaku, yah meskipun aku tahu dia cemburu karena dia sudah lama suka padamu."

"Tapi aku tidak suka padanya, dia menyebalkan dan terlalu sombong! Lagi pula untuk apa orang kaya seperti dia menyukai gadis yatim piatu dan miskin sepertiku? Itu kan tidak masuk akal!" ujar Maria ketus.

Elan tertawa, "Hahaha, justru aneh kalau dia tidak suka padamu. Kamu kan baik, pintar, dan cantik!" Elan mengucapkannya tanpa berkedip sambil terus fokus menyetir.

Maria langsung melirik Elan dengan senyum tertahan. "Menurut kakak aku cantik?"

"Sudah pasti! Apalagi waktu kamu tersenyum atau sedang tertawa bersama anak-anak!" Elan mengatakannya begitu saja seolah yang ia katakan adalah hal biasa.

"Jadi, kakak suka liatin aku kalau lagi main sama anak-anak?" Maria mulai memancing Elan.

"Tentu! Eh…maksudku bukan begitu! Erh…jadi–maksud ku..itu…kan kamu kadang kalau main sama anak-anak aku juga lihat hehe," Elan mulai sadar kalau topik pembicaraan ini semakin mengarah ke arah berbahaya.

"Hmmm…begitu…tapi kakak suka liat aku senyum atau ketawa?" tanya Maria dengan wajah polos.

"Ehm….te-tentu saja..ha-ha, a-aku suka melihatmu bahagia! Haha" Elan mendadak gugup dan salah tingkah. Solomon menutupi wajahnya dengan tangan sambil menahan tawa.

Maria tak kuasa menahan senyumnya dan beralih memandang jendela di sebelah kirinya. Entah kenapa Elan sangat menggemaskan bagi Maria apalagi saat sedang gugup.

Sepanjang perjalanan Elan berusaha fokus tapi dia tak bisa menahan matanya untuk melirik Maria yang ada di sebelahnya, meskipun dia akan langsung kembali fokus ke jalan kalau Maria berbalik menatap ke arahnya. Hal ini membuat Maria dan Elan jadi cengar-cengir sendiri karena merasa tingkah mereka berdua sangat lucu.

"Hah…jiwa muda…,"gumam Solomon sambil menggelengkan kepalanya.

"Kak, kita ga sekalian jemput Daren? Sebentar lagi dia pulang kan?" tanya Maria, Elan melihat jam dan melihat sudah pukul 11 siang.

"Oh, iya. Ya sudah kita jemput dulu deh," Elan segera membelokkan mobilnya menuju ke arah TK dimana Daren bersekolah.

Setelah memarkirkan mobilnya, mereka berdua turun dan menunggu di ruang tunggu. TK itu memang bukan TK elit tapi termasuk yang terbaik di kota itu jadi fasilitas dan kondisinya sangat bagus, yang bersekolah di sana juga bukan orang-orang dari kalangan bawah secara sosial.

"Permisi, ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang guru yang lewat.

"Ah, kami hanya menunggu siswa bu. Saya lihat sebentar lagi sudah jam pulang jadi kami sekalian jemput saja karena tadi sedang di dekat sini," ujar Elan.

"Oh, dari kelas apa?" tanya guru itu lagi.

"Daren, dari kelas Bintang bu," kali ini Maria yang menjawab karena dia lebih tahu soal informasi seputar sekolah anak-anak dari pada Elan.

"Oh, Daren toh. Iya mungkin 30 menit lagi selesai, ditunggu saja ya. Ga nyangka lho papa mamanya Daren ternyata masih sangat muda hehe," ujar guru itu sambil tertawa sambil menutupi mulutnya dengan tangan.

"Ha ha ha…iya…," Elan dan Maria tertawa canggung sambil saling melempar pandang.

"Ya sudah, saya ke kelas dulu ya. Mari," ujar guru itu kemudian meninggalkan mereka, sementara Elan menjadi gugup karena perkataan guru itu.

"Papa…mama…?" batin Elan sambil melirik ke arah Maria.

Setelah menunggu cukup lama akhirnya Daren keluar dan langsung berlari memeluk Maria dan Elan, memang kalau orang tidak tahu pasti mengira mereka orang tua dan anak karena perawakan mereka yang sudah terlihat cukup dewasa.

Setelah mampir ke beberapa toko untuk membeli makanan dan pakaian anak-anak, mereka pun pulang dan tiba di rumah pukul 2 siang. Rupanya Nina, Arden, dan Ayla sudah pulang dan menunggu mereka di ruang tamu, mereka satu sekolah jadi memang biasa pulang bersama dan bisa masuk ke rumah sendiri karena semua orang sudah punya kunci cadangan.

"Wah, bawa apaan tuh kak?" tanya Arden antusias.

"Camilan sama baju baru buat kalian. Sini, dicoba dulu!" ujar Elan.

"Wah! Mana kak lihat?!" Nina dan Ayla segera berlari dengan semangat ke arah mereka.

"Ini buat Daren, yang ini buat…Ayla, terus ini buat Nina, kalau Arden yang ini ya," Maria membagikan pakaian yang mereka beli pada setiap anak. 

"Wah! Bagus!" Ayla terlihat sangat senang dengan dress selutut yang dipilihkan oleh Maria, begitu juga dengan Nina.

"Arden, Ayla, Nina, dan Daren, dua hari lagi kakak ada acara di luar kota dengan pak Dean. Acaranya sore sampai malam sih jadi pagi sampai siang kakak masih ada di rumah, tapi selama kakak ga di rumah tolong kalian jaga rumah baik-baik ya soalnya kakak ga tau bisa pulang jam berapa," ujar Elan.

"Memangnya acara apa kak?" tanya Nina.

"Kak Elan dapat penghargaan karena obat yang dia buat ternyata sangat hebat khasiatnya! Keren kan?!" kata Maria dengan semangat.

"Wah! Beneran kak?!" Arden dan yang lain juga ikut bersemangat.

"Hehe, ya begitulah," jawab Elan sambil tertawa kecil.

"Waaahh, hebat! Selamat ya kak!" anak-anak itu berdatangan dan memeluk Elan membentuk gumpalan manusia, Elan hanya tertawa dan membalas pelukan mereka sementara Maria malah memeluk Elan dari belakang. Elan terkejut tapi saat dia melirik ke arah Maria, gadis itu malah memejamkan mata dan tersenyum jadi Elan tak berkata apa-apa. Dan begitulah mereka berpelukan bersama selama beberapa saat sampaia Elan jadi gerah.

"Erhm…kurasa sudha cukup pelukannya… kakak ga bisa nafas…hehe," ujar Elan sambil menepuk punggung mereka, merekapun melepaskan pelukannya sambil tertawa tapi Maria malah tidak melepas pelukannya.

Arden yang melihat itu tertawa tanpa suara sambil menutupi mulutnya dengan tangan dan mengajak adik-adiknya untuk pergi ke kamar masing-masing meinggalkan Elan yang wajahnya sudah memerah dan terlihat sangat gugup.

"Ma–mar…ehem…," Elan bingung harus berkata apa, dia takut Maria tersinggung jika dia melepaskan tangan Maria. Bukannya dia tak suka dipeluk, tapi dia gugup setengah mati saat ini karena baru kali ini Maria terang-terangan memeluknya seperti ini.

"Hmm…sebentar saja…," gumam Maria, Elan pun pasrah dan tetap diam di posisinya. Tangannya menggenggam dan membelai tangan Maria yang bersilang di perutnya dengan sedikit gemetar karena gugup.

"Makasih ya kak," ujar Maria, kemudian dia melepaskan pelukannya dan Elan berbalik menatapnya.

"Kamu kenapa?" tanya Elan, dia merasa Maria bersikap aneh belakangan ini dan itu membuatnya sedikit kuatir.

Maria menggelengkan kepalanya dan tersenyum, "Gapapa kok, aku siapin makan dulu. Panggilin anak-anak ya." Ujar Maria sambil berlalu meninggalkan Elan.

Solomon memperhatikan dengan tatapan curiga, "Elan…"

"Aku tahu, ada yang aneh dengan Maria. Dia seperti…terburu-buru dan kuatir," kata Elan dengan wjaah serius.

"Oh? Kamu cukup peka ternyata," Solomon cukup terkejut, karena ELan selalu tampak seperti orang yang canggung tapi ternyata cukup tajam.

"Kami tumbuh bersama, aku sangat tahu karakternya," Elan menoleh dan memperhatikan Maria yang tengah menyiapkan makanan di dapur.

"Solomon, apa ada yang bisa kita lakukan untuk mencari tahu?" tanya Elan.

"Hmm….aku tidak yakin itu ide yang bagus," jawab Solomon.

"Kenapa?" tanya Elan bingung.

"Jika Maria menyembunyikannya, bukankah dia punya alasan untuk itu?" tanya Solomon.

Elan berpikir sejenak, "Kamu benar…ini seperti saat dia menyembunyikan fakta bahwa aku pencuri dari anak-anak. Tapi aku tidak bisa berhenti kuatir, perasaanku tidak enak," ujar Elan.

"Bersabar tidak akan merugikanmu Elan, tunggu sebentar lagi dan kita lihat perkembangan Maria," kata Solomon dengan tenang.

Elan mengangguk dan segera memanggil anak-anak untuk makan bersama.

—-------------------------

Hari berganti dan hari penghargaan pun tiba. Dean menjemput Elan dengan mobil mewah dan seperti biasa Thomas menjadi sopirnya.

Dean tersenyum cerah saat melihat Elan mengenakan setelan formal barunya, "Hahaha, luar biasa! Kamu sangat cocok mengenakan setelan itu!"

"Terima kasih, Maria yang memilihkannya," ujar Elan sambil tersenyum dan menoleh ke arah Maria.

Dean tersenyum hangat. "Mari akita berangkat! Kami pinjam Elan dulu ya!" kata Dean sambil mengedipkan mata pada Maria. Gadis itu hanya mengangguk dan tersenyum dengan pipi memerah.

"Aku berangkat dulu. Titip rumah ya," ujar Elan pamit.

"Hati-hati di jalan! Semoga lancar ya!" ujar Maria dan anak-anak itu sambil melambaikan tangan.

Elan pun mengikuti Dean dan memasuki mobil, mereka melaju perlahan melewati jalan-jalan kita yang padat di sore itu dan baru menambah kecepatan setelah memasuki jalan tol.

Perjalanan menuju tempat acara penghargaan terasa cepat meski sebenarnya mereka menghabiskan 3 jam di perjalanan.

Begitu tiba di lokasi acara, Elan melihat kemegahan ballroom yang dipenuhi tokoh-tokoh penting dari industri farmasi dan medis di dunia. Suasana begitu elegan dan mewah, membuat Elan sedikit gugup. Dean dan Thomas turun lebih dulu lalu diikuti Elan yang duduk di kursi belakang. 

"Kau sudah siap untuk malam besarmu, Elan?" tanya Dean sambil tersenyum. Elan hanya mengangguk dan tersenyum, dia benar-benar gugup.

Saat memasuki ruangan pertemuan, tempat itu sudah sangat ramai dan dipenuhi tamu undangan. Beberapa ada yang duduk, berdiri, makan, dan berbincang, sementara peara musisi terus mengiringi dengan alunan musik yang tenang, membuat suasanya terasa begitu mewah.

"Elan, apa kamu mau ke toilet?" tanya Dean tiba-tiba.

"Ah, kurasa tidak pak," jawba Elan.

"Baiklah, aku akan ke toilet sebentar. Nikmatilah waktumu disini, kamu bisa makan atau mencari kenalan baru di sini dan mengobrol," ujar Dean, Elan hanya mengangguk kemudian Dean berlalu diiukti Thomas.

Elan mengambil minuman dan duduk di salah satu kursi di meja paling ujung. Namun, di tengah-tengah keramaian, mata Elan menangkap sosok yang sangat dikenalinya—Dominic. Ternyata Dominic juga hadir di acara ini, dan kali ini dia menatap Elan dengan tatapan yang penuh kekesalan. 

"Kau lagi?!," gumam Dominic dengan senyum sinis sambil berjalan mendekatinya, di belakangnya ada beberapa pemuda dan pemudi yang mengikutinya. "Aku tak percaya mereka mengizinkan orang udik sepertimu masuk kesini!"

"Siapa dia Dominic? Apa dia kenalanmu?" tanya salah seorang wanita yang mengikutinya.

"Kenalan? Hahaha, dia itu seorang yatim piatu miskin yang kebetulan pernah satu SMA denganku! Bahkan dulu dia bersedia membersihkan sepatuku dengan imbalan 50.000 hahaha," ujar Dominic sambil tertawa. Mereka yang mengikutinya ikut tertawa sambil menutupi mulutnya dengan tangannya. Elan diam saja karena memang benar dulu dia membersihkan sepatu Dominic dengan imbalan 50.000, karena uang yang menurut Dominic kecil itu sebenarnya cukup besar bagi Elan untuk menyambung hidup bersama anak-anak di panti asuhan mengingat saat itu ibu panti sudah mulai sakit-sakitan.

"Apa kamu bekerja untuk salah satu orang disini? Ah, atau jangan-jangan kamu jadi sopir atau asisten salah satu tamu undangan?" tanya Dominic dengan nada mengejek kemudian tertawa lagi.

Elan sedari tadi hanya menatap mereka tanpa ekspresi, jangankan marah, dia bahkan merasa kasihan pada Dominic yang tetap berkarakter buruk meski sudah beberapa tahun tak bertemu. Ia ingat pernah punya dendam pada Dominic karena menurutnya sikap pemuda itu sangat tidak dewasa, jadi dia takkan meladeninya.

"Betul sekali, aku bekerja untuk salah satu tamu disini," jawab Elan sambil tersenyum. Dominic berhenti tertawa, sejak dulu Elan selalu seperti ini. Setiap provokasi Dominic hanya ditanggapi dengan tenang tanpa amarah sehingga malah membuat Dominic makin kesal karena dia merasa diabaikan, seolah dia tak layak untuk membuat Elan marah.

"Hah…aku pikir kamu sudah sehebat apa sekarang! Ternyata tetap saja seorang pegawai rendahan! Aku yakin kamu membual pada Maria tentang pencapaianmu, katakan uang siapa yang kamu gunakan untuk membelikan dia gaun kemarin?" Dominic jelas merasa tidak mungkin seorang pegawai biasa bisa membeli gaun berharga jutaan begitu saja.

Solomon merasa konyol dan menatap Dominic dengan wajah iba dari dalam cincin, "Apa otak anak ini sudah rusak? Kenapa isinya sampah semua?"

Elan menahan tawa dan menjawab, "Tuan muda Dominic Moretti, bukankah itu bukan urusan Anda dengan uang siapa saya membeli barang dan untuk siapa saya membelinya? Atau, apakah Anda sebegitu tertariknya dengan kehidupan pribadi saya?" jawab Elan dengan tenang.

Wajah Dominic menegang, tak pernah sebelumnya Elan berani menjawabnya seperti itu, bahkan teman-teman Dominic mulai menatap Dominic dengan aneh sekarang. Dalam hati mereka juga merasa bahwa perkataan Elan benar. Untuk apa seorang Dominic Moretti mengurusi kehidupan pribadi seorang pegawai miskin seperti Elan?

Dominic terlihat bingung tapi dia segera menemukan alasan. "Kamu menipu Maria dan merebut dia dariku! Apa kamu pikir aku akan diam saja?!"

Ekspresi di wajah teman-teman Dominic seperti mengatakan "Oh, ternyata begitu!"

Elan tak bisa menahan tawanya, "Hahahahaha..." semua orang termasuk Dominic menatap Elan yang sedang tertawa dengan tatapan aneh.

"Apanya yang lucu?! Dasar tidak punya sopan santun!" tanya Dominic dengan wajah merah karena kesal sambil menuding wajah Elan.

Elan berhenti tertawa dan menatap Dominic dengan tatapan iba lalu menggelengkan kepalanya, "Apa kamu kurang informasi atau mata dan telingamu itu hanya pajangan? Maria dan aku tinggal di panti asuhan yang sama sejak kecil, menurutmu siapa yang lebih mengenalku? Kamu atau dia?"

Dominic tak bisa berkata-kata, karena dia juga tahu kalau mereka dari panti asuhan yang sama. Justru karena dia tahu Maria itu yatim piatu maka dia berpikir akan mudah mendapatkannya, tapi kenyataannya malah sebaliknya dan harga dirinya terluka karena justru Elan 'si pecundang' yang selalu menempel pada Maria.

Teman-teman Dominic telihat tak lagi bersemangat setelah mendengar penjelasan Elan, jika ini masalah lain mungkin mereka akan ikut memprovokasi tapi masalahnya ini masalah pribadi Dominic dan itu pun dengan seorang gadis yatim piatu yang jelas di luar kelas mereka.

"Sudahlah Dom, kita nikmati saja pestanya. Kata salah satu pemuda di belakangnya, tapi Dominic hanya berdiri dengan wajah merah padam menatap Elan yang dengan tenang menenggak minuman di gelasnya. Teman-teman Dominic mengangkat bahu dan berjalan meninggalkannya, mereka hanyatamu disini jadi tidak ingin membuat keributan.

"Lihat saja kamu El! Aku akan balas semua penghinaanmu ini!" ujar Dominic lalu dia pergi mengikuti teman-temannya.

Elan dan Solomon tanpa sadar menggelengkan kepalanya dan bergumam, "Kasihan…mana masih muda…"

Dean dan Thomas akhirnya kembali dari toilet. "Apakah ada yang terjadi selama kami pergi?" tanya Dean.

Elan hanya tersenyum dan berkata, "Tidak ada."

Dean mengangkat alisnya lalu mengajak Elan mengikutinya ke tempat duduk mereka yang sudah disiapkan di bagian terdepan sebagai tamu kehormatan.

Dominic yang memperhatikan dari jauh tercengang melihat Elan berjalan bersama Dean ke kursi depan.

"Dean Maceline?! Jadi dia bekerja untuk keluarga Maceline? Pantas saja dia semakin sombong!" gumam Dominic dengan kesal, Maceline adalah salah satu keluarga konglomerat yang lebih besar dari keluarga Moretti. Dulunya mereka tak pernah bersinggungan karena bisnis mereka di bidang berbeda, namun sejak Dean membuka Maceline Biotech hubungan keluarga Maceline dan Moretti mulai telihat menegang karena mereka menganggap Maceline berusaha merebut pasar mereka di industri obat-obatan.

Namun rasa terkejut Dominic belum berhenti disitu, "Tunggu! Bukankah dia hanya pegawai? Kenapa dia duduk dengan Dean Maceline di kursi depan?!" bahkan Thomas yang ia kenali sebagai pengawal pribadi Dean saja hanya berdiri di belakang pria itu, tapi Elan malah duduk di sampingnya.

Dominic baru akan bangkit dan menghampiri Elan namun mengurungkannya karena pembawa acara sudah naik ke panggung.

-Bersambung-