"Eh, iya! Bo-boleh haha!" jawab Elan salah tingkah, ia mundur dan mempersilakan Maria masuk.
"Wah, kamar kakak bagus sekali!," ujar Maria sambil menelisik seluruh ruangan itu. Kamar Elan adalah kamar yang dulu digunakan Dean saat masih tinggal disini jadi memang paling luas dan bagus meskipun kamar lain juga tidak buruk.
"Ya kan? Aku juga merasa ini bagus sekali, pak Dean benar-benar baik pada kita," ujar Elan.
"Bukan pada kita, tapi padamu! Tanpa kakak mana mungkin pak Dean mau memberikan rumah sebesar ini dengan harga 5 juta setahun?" tanya Maria.
"Yah, anggap saja begitu. Tapi tetap saja dia yang memilih rumah ini untuk kita tinggali padahal ada rumah yang lebih sederhana, jadi cia orang yang baik kan?" tanya Elan kembali.
"Ya, aku setuju dia memang baik. Apakah kakak nyaman dikamar ini?," tanya Maria sambil melihat-lihat rak buku.
"Hehe, sebenarnya ini terlalu luas kalau digunakan sendiri," ujar Elan menanggapi.
"Benarkah?" Maria berbalik menatapnya lalu berjalan mendekat dengan cepat, Elan menatapnya tanpa berkedip. Maria mendekatkan wajahnya pada Elan sementara Elan malah memundurkan wajahnya sambil menahan nafasnya.
"Apa benar ini terlalu luas?" tanya Maria dengan pelan seolah sedang dalam mode slow motion. Elan menelan ludah ya dan mengangguk, wajah Maria benar-benar terlalu dekat. Ini berbahaya untuk jantungnya, sementara Solomon malah terkikik dari dalam cincin.
"Jadi….pasti…muat…untuk…dua…orang..kan?" tanya Maria, dia sengaja memanjangkan setiap kata dengan nada menggoda. Elan reflek mengangguk tapi kemudian dia menggeleng dengan panik.
Maria tersenyum begitu manis di jarak yang begitu dekat, jantung Elan sudah seperti mau meledak rasanya.
"Tahan! Tahan! Sadar Elan!" Elan terus berteriak dalam hatinya.
"Hihihi aku tidur dulu, dadah ka–kak!" tiba-tiba Maria tertawa kecil dan pergi meninggalkan Elan yang langsung membuang nafas yang sejak tadi ia tahan dan kemudian merosot terduduk di kasur sambil mengusap-usap dadanya.
"Huft.. I-itu tadi…. Ber-berbaha-ya…," gumam Elan, tapi tiba-tiba pintu kamarnya terbuka kembali dan Maria melongokkan kepalanya membuat Elan spontan melompat berdiri dengan wajah panik.
"Hihihi…ehem… selamat malam kak Elan!" setelah mengucapkan itu Maria langsung kabur meninggalkan Elan yang hanya termenung menatap pintu kamarnya yang tertutup.
"Ada apa dengan anak itu?" gumam Elan.
"Kamu benar-benar bodoh ya? Dia menyukaimu!" ujar Solomon tak habis pikir dengan sikap Elan.
"Hah? Mana mungkin?! Kami kan sudah seperti kakak beradik selama ini," sangkal Elan, tapi wajahnya terlihat memerah.
"Aish, bagaimanapun kalian hanya saudara angkat kan? Kamu masih terlalu naif Elan…huft," ujar Solomon.
Elan tak menjawabnya, dia sedang berkutat dengan pikirannya sendiri. Maria memang cantik dan baik, Elan juga menyukainya, tapi mereka sudah hidup seperti saudara selama bertahun-tahun jadi Elan merasa sungkan untuk menambahkan romansa dalam hubungan mereka. Malam itu Elan lebih memilih tidur daripada memusingkan hal itu.
Namun Elan tak menyadari kalau Solomon keluar dari cincinnya dan meminjam tubuh Elan.
"Ah, enaknya bisa bergerak bebas lagi. Maaf Elan, aku akan meminjam tubuhmu sebentar," gumam Solomon sambil beranjak menuju rak buku. Disana ada banyak sekali buku mulai dari ensiklopedia, kamus, hingga jurnal tentang dunia medis. Solomon mengambil beberapa buku lalu meletakkannya di meja kerja dan mulai membaca satu persatu hingga subuh.
"Menarik…dunia sudah sangat maju sekarang, aku baru membaca beberapa buku dan aku merasa tercerahkan. Tapi, ada terlalu banyak efek samping hanya untuk sebutir obat pereda nyeri? Ini tidak sepadan dengan efeknya. Hmm, kurasa kita akan memiliki topik pembicaraan dengan pak tua Dean nanti. Lebih baik aku istirahat sebelum Elan terbangun," Solomon bergumam sendiri lalu kembali membaringkan tubuh di tempat tidur, memberikan sihir pemulih agar tubuh Elan tak kelelahan dan masuk kembali ke dalam cincin.
Saat Elan bangun dia merasa tubuhnya sangat segar, tapi dia tak mempertanyakan itu. Lagi pula bukankah bagus jika tubuhmu segar?
Hari-hari berikutnya Solomon mengajarkan pada Elan tentang teori dan metode pemurnian obat yang sudah ia pelajari dan kuasai, tentu saja dengan sedikit penyesuaian metode agar bisa dipraktekkan di era modern. Hari-hari damai berlalu begitu saja, tak terasa mereka sudah tinggal di rumah itu selama sebulan penuh.
"Selamat pagi!," sapa Elan pada anak-anak yang sudah berkumpul di meja makan, Maria sedang menyajikan beberapa masakan sederhana untuk sarapan.
"Selamat pagi kak Elan!," jawab anak-anak serempak.
"Kenapa kakak siang sekali bangunnya?" tanya Ayla sambil meminum susu hangatnya.
"Ah…kakak–tidak bisa tidur–semalam hehe," Elan tertawa dengan canggung sementara Maria meliriknya sambil menahan tawa.
"Ayo sarapan dulu!" ujar Maria sambil mengambilkan Elan sepiring spaghetti dan salad.
Elan tersenyum melihat Maria melayani mereka dengan sabar. "Terima kasih!"
"Oh iya, hari ini aku akan menemui pak Dean. Tapi kita perlu membuat beberapa pengaturan di rumah sebesar ini, jadi aku akan serahkan pada kalian ya. Kak Maria akan mengawasi kalian agar kalian tidak bermalas-malasan!" ujar Elan.
"Siap kak! Tenang saja hehe," sahut Arden sambil mengunyah spaghettinya.
Mereka menyelesaikan sarapannya dengan ceria, bagaimanapun ini adalah pagi perdana mereka di rumah baru yang begitu besar. Mereka sangat antusias untuk bersih-bersih dan menata ruangan besar itu.
Elan menyerahkan pekerjaan rumah pada mereka dan bergegas menuju tempat tinggal Dean yang lain, jaraknya cukup jauh jadi ia harus naik taksi kesana.
"Solomon? Solomon?" Elan bergumam memanggil Solomon berkali-kali saat masih dalam perjalanan, sampai-sampai sopir taksi meliriknya dari spion. Elan hanya tersenyum canggung melihat sopir itu.
"Dimana dia? Biasanya dia akan mengoceh sendiri," batin Elan karena sejak pagi Solomon tidak berbicara padanya, ia tidak tahu bahwa Solomon sedang tertidur karena energinya digunakan untuk memulihkan Elan.
Elan tiba di alamat yang diberikan oleh Dean, namun dia tercengang saat turun dari taksi karena ternyata rumah Dean sangat besar. Jauh lebih besar dari rumah yang digunakan Elan saat ini, gerbangnya setinggi 4 meter dan tembok pagarnya setinggi 3 meter dicat dengan warna putih dan emas, sangat mewah.
Gulp!
Elan menelan ludah dengan kasar lalu melangkah ke arah pos keamanan. "Ehm…Permisi!," Elan melongok ke arah jendela pos keamanan, seorang satpam berseragam hitam menoleh ke arahnya dan memicingkan matanya.
"Kamu siapa?" tanya satpam itu dengan nada tegas.
"Ah, saya Elan. Saya ingin bertemu tuan Dean Maceline," jawab Elan.
"Hah? Jangan mengada-ada! Tuan Dean Maceline bukan orang sembarangan yang bisa ditemui kapan saja oleh siapa saja! Pergi sana!" Satpam itu mengusir Elan dengan galaknya.
"Tapi, tuan Dean sendiri yang memintaku kesini. Dia yang memberikan alamat ini padaku!" Elan berusaha menjelaskan.
"Jangan bohong! Mana mungkin tuan Dean meminta gelandangan sepertimu kesini! Pergi sana!" Satpam itu tak mau mendengarkan sama sekali, Elan sampai tak bisa berkata-kata dan hanya bisa menunduk lalu berbalik pergi.
"Ada apa Rian?" seorang pria tua berjalan menuju ke pos keamanan dengan anggun, pria itu adalah Thomas.
"Tuan Thomas, anak ini mengaku-ngaku kenal dengan tuan Dean. Tapi saya yakin kalau dia hanya penipu jadi saya tidak mengizinkannya masuk," jawab Rian.
Thomas mengerutkan dahinya sambil melihat punggung Elan yang sedang berjalan menjauh. "Siapa namanya?"
"Eran..eh Elan kalau tidak salah," jawab Rian sambil mengingat-ingat.
Plak!
"Aduh! Kenapa saya dipukul tuan?!" Rian protes karena Thomas memukul kepalanya.
"Dia memang tamunya tuan Dean! Cepat panggil dia kembali! Jangan sampai kamu di pecat kalau tuan Dean sampai tahu!," ujar Thomas dengan ekspresi kesal sementara Rian melotot tak percaya.
"Kenapa malah bengong?! Ayo cepat sebelum dia terlalu jauh!" Thomas kembali memukul kepala Rian barulah satpam itu berlari menyusul Elan.
Setelah berlari dengan panik akhirnya Rian bisa menyusul Elan. "Hei! Maaf aku yang salah! Kamu boleh masuk!" seru Rian sambil berlari.
Elan menoleh, "Benarkah?" Lalu dia melihat Thomas melambaikan tangannya dari post keamanan. ""Ah! Tuan Thomas!" sapa Elan sambil melambaikan tangannya pada Thomas.
Rian bernafas lega karena Elan tan mempermasalahkan sikapnya sebelumnya, Thomas pun mengantar Elan masuk ke rumah keluarga Maceline yang megah.
Setelah melewati kebingungan di gerbang, Elan akhirnya diantarkan ke ruang utama mansion Dean Maceline. Perasaan gugup masih tersisa di benaknya, tapi ada sesuatu yang lebih besar yang harus ia sampaikan. Di ruang duduk yang luas, Dean menunggunya dengan senyum hangat.
"Selamat datang, Elan," sapa Dean, mempersilakannya duduk. "Semoga perjalananmu tidak terlalu merepotkan."
"Tidak masalah, Pak Dean," jawab Elan, berusaha tenang.
Mereka melakukan beberapa percakapan ringan, namun Dean terlihat tidak fokus. "Apakah ada masalah pak?" tanya Elan dengan wajah kuatir.
"Ah, tidak. Hanya sedikit lelah, proyekku sedikit stagnan akhir-akhir ini," ujar Dean sambil memijit pangkal hidungnya.
"Apakah itu tentang produk herbal yang Anda bicarakan sebelumnya?" tanya Elan, dia hampir lupa kalau dia kesini untuk membahas hal itu.
"Ya, itu proyek yang besar. Kami sudah mengeluarkan banyak dana untuk penelitian, tapi belum ada titik terang. Hanya saja aku belum mau menyerah sekarang, setidaknya aku harus mencoba semua yang ku bisa bukan?" ujar Dean dengan senyum kecut.
Elan mengambil napas dalam-dalam. Dia tahu ini adalah kesempatan untuk mengutarakan ide yang Solomon berikan padanya.
"Pak Dean, sebelum Anda lanjut, saya ingin menawarkan sebuah gagasan," kata Elan dengan mantap.
Dean terdiam sejenak, tampak terkejut dengan inisiatif ini, lalu mengangguk. "Tentu saja. Aku suka ide baru."
Elan mulai berbicara dengan percaya diri, "Saya telah memikirkan sebuah metode ekstraksi yang tidak hanya meningkatkan khasiat tanaman obat, tapi juga secara efektif mengurangi racun alami yang ada di dalamnya. Ini bisa memaksimalkan manfaat tanpa menambah risiko bagi konsumen."
Dean menatap Elan dengan penuh penasaran. "Metode yang kau maksud… Bagaimana cara kerjanya?"
Elan dengan cepat membuka sketsa dan catatan kasar yang ia buat berdasarkan pengetahuan dari Solomon. Ia menjelaskan bagaimana teknik pemurnian herbal kuno, yang diajarkan Solomon, bisa diintegrasikan dengan teknologi modern. "Metode ini menggunakan kombinasi panas rendah dan tekanan bertahap untuk mengekstrak esensi tanaman tanpa menghancurkan komponen aktifnya. Ini juga bisa mendetoksifikasi senyawa berbahaya alami yang sering kali menyebabkan efek samping pada konsumen."
Dean memperhatikan sketsa-sketsa itu dengan seksama. Metode seperti ini tidak pernah ia lihat sebelumnya. "Ini…hebat! Kami tidak pernah terpikirkan untuk menggunakan metode seperti ini! Bagaimana kamu….Ah, maaf. Aku terlalu bersemangat!"
Elan tersenyum dan melanjutkan. "Saya senang jika ide ini bisa membantu Anda, tapi saya harap jangan berharap terlalu tinggi dulu. Silakan uji dahulu dan kita akan lihat apakah ini efektif," katanya..
Dean terdiam sejenak, mempertimbangkan dan membaca setiap detail catatan dari Elan. "Metode ini... Jika ini benar-benar bekerja, ini bisa menjadi terobosan yang sangat besar. Kami sudah berjuang untuk menyeimbangkan khasiat dan keamanan produk herbal, tapi ini... bisa mengubah segalanya."
Dean tersenyum tipis, masih memandangi catatan itu. "Tunggu sebentar aku akan menelepon kepala peneliti di perusahaanku, kebetulan dia masih ada disini karena kami baru selesai berdiskusi."
Dean melakukan panggilan pada seseorang, tak lama kemudian seorang pria paruh baya datang ke ruangan itu.
"Apa yang bisa saya bantu pak?" tanya pria itu.
"Edward, lihatlah catatan ini. Apa menurutmu kita bisa mencobanya?" Dean memberikan catatan Elan kepada Edward, awanya pria itu mengernyit dengan curiga saat membaca catatan tulisan tangan itu, tapi setelah membaca paragraf demi paragraf ekspresinya berubah serius, lalu menjadi bersemangat, hingga sedikit melotot.
"I–ini…siapa yang menulis metode ini?" tanya Edward pada Dean dengan mata melotot saking semangatnya.
"Kesampingkan itu dulu, apakah kamu bisa mencoba melakukan uji coba dengan catatan ini?" tanya Dean dengan serius.
"Ya! Tentu saja! Catatan ini sangat lengkap bahkan setiap detilnya tidak ada yang terlewat! Apakah saya boleh memulai sekarang? Jika ini berhasil maka tidak akan ada masalah lagi dan kita bisa langsung mulai memproduksi!" ujar Edward penuh semangat. "Pak Maceline, apakah nanti saya boleh bertemu dengan pencipta metode ini? Beliau pasti adalah jenius di bidang ini! Anda harus mengenalkannya pada saya!"
"Tentu! Segera uji, setelah hasilnya ada secara otomatis kamu akan bertemu dengan penciptanya," ujar Dean sambil melirik Elan yang tersenyum canggung.
"Baik pak! Tunggu kabar dari saya!" Edward segera berlari keluar dari ruangan itu tanpa menoleh ke belakang.
"Jika dilihat dari reaksinya, kurasa metodemu memang benar-benar luar biasa Elan. Darimana kamu belajar tentang hal ini?" tanya Dean.
"Hehe, sebenarnya itu ide yang saya dapat setelah banyak membaca buku pak. Saya mengkombinasikan beberapa teori dan catatan metode pemurnian pil dari asia dan timur tengah," ujar Elan, itu tidak sepenuhnya bohong karena Solomon memang melakukan itu meskipun tidak hanya itu, karena ada metode dari zaman kuno yang ikut dicantumkan.
Dean menatap Elan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Hahahaha, sangat luar biasa! Jika uji coba ini berhasil, apakah kamu bersedia membantuku melanjutkan proyek ini? Kurasa kami membutuhkan orang sepertimu disini!"
Senyum Elan mengembang. "Tentu, Pak Dean. Saya siap."
Dean mengangguk puas lalu bangkit berdiri. "Bagus! Aku tidak salah menilaimu. Ikutlah denganku! Kita susul Edward dan lihat bagaimana hasilnya."
Elan mengangguk dan langsung mengikuti Dean meninggalkan ruang tamu itu.
Elan mengikuti Dean dengan cemas menuju laboratorium. Di dalamnya, Edward dan tim peneliti sudah bersiap melakukan uji coba terhadap metode yang Elan usulkan. Proses dimulai, dan suasana tegang menyelimuti ruangan. Beberapa jam berlalu dalam keheningan, hanya terdengar suara mesin yang berdengung.
Edward mengambil hasil awal uji coba dan segera melakukan analisis. "Ini hasilnya," katanya, menyerahkan data kepada Dean.
Dean memeriksa hasil tersebut dengan seksama. "Sempurna! Kandungan racunnya hampir nol, dan ekstraknya jauh lebih murni dari yang kita harapkan." Dia tersenyum puas dan mengangguk ke arah Elan. Namun, Edward, yang selama ini mengamati dari kejauhan, tampak ragu.
"Dean, maaf, tapi… siapa sebenarnya yang menciptakan metode ini?" Edward bertanya dengan ekspresi bingung.
Dean tersenyum kecil. "Kau akan terkejut. Elan-lah yang menciptakan metode ini."
Mendengar jawaban itu, mata Edward melebar. "Elan? Maksud Anda… anak ini?" Edward menatap Elan dengan tatapan tidak percaya. "Tidak mungkin! Ini metode yang sangat kompleks, bahkan tim kami tidak menemukan pendekatan seperti ini selama berbulan-bulan. Bagaimana mungkin seorang remaja bisa menemukan sesuatu yang sekompleks ini?"
Elan merasa gugup, tetapi ia tahu inilah saatnya untuk membuktikan dirinya. "Saya mengerti jika Anda meragukan saya, Pak Edward. Tapi saya bisa menjelaskan lebih jauh, atau bahkan memperkenalkan metode lain yang mungkin bisa lebih rumit, tetapi dengan hasil yang sama baiknya."
Edward terdiam, mencoba mencerna tantangan Elan. "Baiklah," katanya, "kalau begitu tunjukkan padaku metode lain yang sepadan. Aku ingin melihat sejauh mana pemahamanmu tentang hal ini."
Elan mengangguk, menyiapkan catatan dan memulai penjelasan tentang metode penyulingan bertahap yang dia pelajari dari Solomon. Dia dengan cepat menguraikan bagaimana teknik kuno dari Timur Tengah dan Asia digunakan untuk memisahkan komponen aktif tanaman obat secara bertahap dengan hasil yang lebih murni. Ia menjelaskan proses ini secara rinci, termasuk langkah-langkah untuk menstabilkan senyawa yang berpotensi berbahaya.
Selama Elan menjelaskan, Edward, yang awalnya skeptis, mulai mengubah ekspresinya menjadi lebih serius. Dia mengamati setiap detail dengan teliti. Setelah penjelasan selesai, Edward terdiam sejenak, menatap catatan Elan dengan penuh kekaguman.
"Ini… sangat rumit, dan… sangat masuk akal," kata Edward pelan. "Metode ini belum pernah kutemui sebelumnya, tapi dari segi teoritis, ini bisa berhasil. Tapi bagaimana kau bisa…? Dari mana kau mendapatkan pengetahuan ini?"
Elan tersenyum sedikit canggung. "Saya banyak membaca dan mempelajari berbagai teknik dari literatur kuno. Metode-metode lama sering kali diabaikan, padahal mereka memiliki potensi besar jika dikombinasikan dengan teknologi modern."
Edward menatap Elan, masih terkejut, tetapi kali ini dengan rasa hormat yang lebih besar. "Kau benar-benar luar biasa. Maaf atas keraguanku sebelumnya."
Dean, yang menyaksikan semuanya dari samping, tertawa kecil. "Kau lihat, Edward? Elan memang anak yang luar biasa. Itulah mengapa aku percaya padanya."
Edward tersenyum tipis, lalu menjulurkan tangannya ke arah Elan. "Aku berutang permintaan maaf. Kau benar-benar jenius."
Elan menjabat tangan Edward dengan senyuman dan merasa lega karena Edward bukan tipe orang yang angkuh dan berpikiran sempit.
-Bersambung-