Chapter 6 - TEARS OF LIFE

Maceline Biotech, adalah salah satu perusahaan milik Dean Maceline yang bergerak di bidang penelitian herbal dan produksi obat-obatan. Keluarga Maceline sendiri secara turun-temurun selalu melakukan bisnis kuliner dan perhotelan, hotel-hotel dan restoran mewah di berbagai penjuru benua sebagian besar adalah milik mereka. Namun, Dean memiliki ide lain setelah melihat betapa buruknya kualitas obat dan efek samping yang ditimbulkannya. Dia bertekad untuk membuat perubahan di industri farmasi meski hal itu sangat sulit, terbukti sejak 10 tahun Maceline Biotech berdiri, mereka hanya mampu meningkatkan kualitas obat-obatan umum setidaknya 10% dan mengurangi dampak efek sampingnya 2%. Segala usaha dan dana terus terbuang di perusahaan itu dan membuat keluarga besar Maceline cukup skeptis pada perusahaan Dean itu.

Proyek yang dikerjakan oleh Dean kali ini adalah proyek pertaruhan, jika ia berhasil maka Maceline Biotech akan berhasil membuktikan keberhasilannya, namun jika gagal maka keluarga Maceline akan menarik semua dukungannya dari Maceline Biotech dan Dean harus berjuang sendiri.

Proyek itu bernama 'Tears of Life', sebuah obat berbentuk cair dari ekstrak berbagai tanaman herbal yang berfungsi untuk meningkatkan regenerasi pada tubuh manusia dan meremajakan sel-sel yang mati. Dean dan timnya sudah hampir menyerah, karena meskipun mereka tahu ke arah mana tapi mereka tidak tahu caranya. Obat yang mereka buat terlalu banyak mengandung racun dari berbagai herbal yang digunakan sebagai bahan baku, jangankan berkhasiat, mereka akan sangat bersyukur jika obat mereka tidak meracuni orang.

Gagasan Elan telah menyelamatkan Dean dan perusahaannya yang sudah diujung tanduk, karena itu Dean sangat bersyukur bertemu dengan Elan.

"Tanda tangan disini!" ujar pak Dean sambil menyodorkan beberapa lembar surat resmi pada Elan.

Elan memandangi kertas-kertas itu dengan kebingungan, "Maaf tuan, ini…apa?"

Dean tersenyum melihat ekspresi Elan yang kebingungan, "Kamu sudah berjasa, dan metode itu adalah milikmu, jadi kamu akan menerima royalti 5% dari total pendapatan produk ini. Juga, aku akan memberimu 10% saham dari Maceline Biotech."

Elan menganga, "Tuan! Saya rasa ini berlebihan, yang saya lakukan hanya memberi ide pada Anda dan tuan Edward. Tidak perlu sampai seperti ini, saya tahu rumah yang saya tempati juga pasti tidak murah, saya sudah menerima terlalu banyak kebaikan Anda!"

Dean tersenyum hangat melihat penolakan Elan, "Nak, apa kamu tahu berapa tahun Maceline Biotech sudah berdiri?"

Elan menggeleng dengan ragu. "Sepuluh tahun, itu usia yang cukup muda untuk sebuah perusahaan. Tapi, itu bukan waktu yang sebentar. Kami sudah melakukan penelitian sejak 20 tahun yang lalu, sebelum perusahaan ini berdiri. Kami berhasil meningkatkan kualitas obat-obatan yang ada di pasaran, dan akhirnya mulai membuka perusahaan ini. Namun itu batas kami, sepuluh tahun sejak kami berdiri, penelitian kami tidak mengalami perkembangan berarti," Dean bercerita dengan serius, bibirnya tersenyum tapi matanya terlihat sangat lelah. Elan bisa merasakan penat dan keputusasaan Dean.

"Proyek ini adalah proyek pertaruhan, jika kami gagal maka keluarga besar Maceline akan menarik semua dukungannya dan aku harus berjuang sendiri. Apa kamu paham besarnya bantuanmu pada kami? Sepuluh tahun kebuntuan dan kamu datang menguraikan masalah kami seolah itu PR anak sekolah Hahahaha," Dean tak bisa menahan tawanya saat membayangkan 10 tahun yang ia lalui bersama timnya. 

Elan terdiam lalu menatap tuan Dean dengan tenang, "Tuan, saya memahami niat baik Anda. Tapi, bukankah royalti saja sudah cukup? Kenapa Anda menawarkan saham perusahaan Anda pada saya yang bahkan hanya lulusan SMA ini?"

"Itu adalah investasi Elan, kamu adalah aset berharga yang aku percaya kedepannya akan menjadi orang yang luar biasa dengan kecakapanmu. Anggap saja ini keegoisanku yang ingin membangun relasi dengan tokoh masa depan hehe," ujar Dean sambil mengedipkan satu matanya.

"Hahaha, aku suka pak tua ini! Dia pintar! Pantas saja dia kaya raya!" Solomon tertawa dari dalam cincin mendengar alasan Dean.

Elan tersenyum, "Anda menilai saya terlalu tinggi tuan Dean, tapi saya menghargai itu dan saya berharap bisa memenuhi harapan Anda!"

"Hahaha, jangan meremehkan dirimu Elan. Aku menantikan hal-hal besar darimu!" Dean akhirnya berhasil membujuk Elan untuk menandatangani surat perjanjian royalti dan saham itu.

Kata-kata Dean menjadi sebuah pemantik yang selama ini ditunggu oleh sumbu di hati Elan, api itu kini menyala kembali meski masih kecil.

—-----------------

Waktu berlalu begitu saja dan produk 'Tears of Life' dari Maceline Biotech telah berhasil diselesaikan berkat metode dari Elan.

Satu minggu setelah diluncurkan, produk 'Tears of Life' kini menjadi fenomena besar di pasar obat herbal. Dengan kemampuan mempercepat pemulihan luka dan meremajakan sel tubuh manusia, produk tersebut segera menjadi andalan perusahaan Dean Maceline. Media sosial hingga berita internasional membicarakan tentang perusahaan mana yang membuat obat itu dan bagaimana mereka bisa mencapai hasil yang menakjubkan itu.

Keberhasilan ini tak hanya mengangkat reputasi Dean dan Maceline Biotech, tetapi juga memberikan dampak besar pada kehidupan Elan. Sebagai pencetus metode revolusioner yang memungkinkan produk ini menjadi sangat efektif dan aman, Elan berhak atas royalti dari setiap penjualan. Setiap bulan, jumlah yang diterimanya bertambah secara signifikan mengikuti kenaikan jumlah pendapatan dari produk 'Tears of Life'.

Sesuai perjanjian dia menerima 5% dari total pendapatan produk 'Tears of Life', obat ini dijual dengan harga yang cukup terjangkau meski kualitasnya premium dan hal itu memungkinkan berkat metode dari Solomon.

Bahan-bahan obat yang biasa saja dan murah, dimurnikan dan menjadi obat berkualitas tinggi. Pada bulan pertama produk ini laku 10.000 botol dengan harga 150.000 per-botol yang berisi 100 ml, dari total pendapatan 1.500.000.000, maka Elan mendapatkan royalti sebesar 75.000.000.

Pada bulan kedua, produk ini laku hingga 23.600 botol, Maceline Biotech berhasil mendapatkan 3.540.000.000, meski ini belum menutup biaya penelitian selama 10 tahun tapi ini sudah cukup bagus agar perusahaan itu terus bertahan karena pendapatan itu baru dari satu produk saja. Elan mendapatkan royalti sebesar 177.000.000 di bulan kedua itu.

Suatu pagi di bulan ketiga, Elan duduk di meja makan bersama Maria dan anak-anak panti asuhan. Dia membuka amplop berisi surat tanda bukti penerimaan royalti untuk bulan ini, mata Elan tiba-tiba membelalak.

"Berapa banyak sampai kakak terkejut seperti itu?" goda Maria. "Sudah sebulan penuh kita menerima cek ini, dan reaksimu selalu sama."

"I–ini….," Elan tergagap dengan tangan gemetar memegangi surat itu, Maria dan anak-anak yang penasaran segera berkumpul di belakang Elan dan mengintip. Begitu melihat apa yang tertera di surat itu mereka semua langsung membelalak.

Di bulan ketiga, produk 'Tears of Life' terjual hingga 100.000 botol! Ini adalah batas maksimal untuk produksi bulanan yang artinya Maceline Biotech benar-benar menghabiskan semua stok produk itu di bulan yang sama, dan dengan total pendapatan sebesar 15.000.000.000 maka Elan mendapatkan royalti 5% sebesar 750.000.000!

"Tu-tujuh ratus….," Elan masih tergagap.

"Tujuh ratus lima puluh juta?!," Maria dan anak-anak lain berteriak dengan spontan. Elan menoleh ke arah mereka dan tersenyum lebar.

"Anak-anak…kita akan makan daging malam ini!"

"Yeay!! Hahaha," semua terlihat sangat bersemangat melihat uang sebanyak itu. Meski Elan sudah menghasilkan ratusan juta sebelumnya tapi dia masih sangat berhemat dan hanya menggunakan uang yang ia dapatkan dari Purson hingga saat ini. karena dia kuatir jika nanti obat itu sudah tak laku maka dia tidak akan mendapat uang lagi, tapi melihat uang sebanyak ini tidak ada salahnya menyenangkan anak-anak itu bukan?

Elan menggeleng tak percaya. "Aku masih tidak percaya bisa mendapat uang sebanyak ini hanya dari satu metode. Rasanya tidak nyata." Jika ditambah dengan pendapatan dari 2 bulan sebelumnya maka Elan sudah mengantongi lebih dari 1 miliar saat ini. Maria berdiri di belakang Elan ikut memperhatikan anak-anak yang melompat kegirangan lalu mencondongkan tubuhnya dan menumpukan dagunya di bahu Elan, membuat pemuda itu tiba-tiba gugup.

"Ini lebih dari cukup untuk mengubah kehidupan kita semua," kata Maria, memandang ke arah anak-anak yang sudah berlarian ke halaman dengan girang. "Anak-anak akhirnya bisa bersekolah dengan layak dan kita tidak perlu terlalu berhemat lagi, setidaknya mereka harus mendapat gizi yang cukup kan?"

"A–ah, ya…kamu benar hehe," jawab Elan gugup.

"Hehe…mungkin seperti ini ya rasanya kalau sudah menikah dan punya anak?" gumam Maria yang sontak membuat Elan menelan ludah dan melirik ke arah wajah Maria yang masih tertopang di bahunya.

Nafas Maria terdengar jelas di telinga Elan, bahkan aroma samponya tercium begitu harum di hidung Elan sampai membuatnya tak tenang.

"Me–menikah?" gumam Elan tanpa sadar. Maria meliriknya sambil menahan senyum jahil.

"Ah, aku lupa harus mematikan kompor!" kata Maria tiba-tiba berlari meninggalkan Elan sendiri di ruang makan. Elan menghela nafas lega, Maria benar-benar sulit ditebak.

Elan tersenyum melihat kebahagiaan di sekitarnya. Dalam beberapa minggu terakhir, anak-anak panti asuhan mulai menjalani kehidupan yang lebih baik. Mereka kini bisa bersekolah di sekolah yang lebih bagus, mengikuti berbagai kegiatan, dan memiliki masa depan yang lebih cerah. Kehidupan Elan sendiri berubah drastis, dari seseorang yang selalu khawatir tentang kebutuhan sehari-hari, kini dia menjadi pemegang saham dari Maceline Biotech.

Di rumah ini, suasana menjadi lebih ceria. Anak-anak memiliki akses ke buku-buku baru, peralatan belajar, dan bahkan mainan yang sebelumnya hanya bisa mereka impikan. 

"Terima kasih Solomon," gumamnya.

"Jangan berlebihan, berterima kasihlah pada Tuhan bukan kepadaku. Aku hanya sedikit membantu," ujar Solomon dengan santai.

"Hehe, yah meski begitu tanpamu mungkin aku masih menjadi pencuri hingga sekarang," ujar Elan.

"Bukankah kamu sudah memutuskan untuk berhenti sebelum kita bertemu?" tanya Solomon.

"Itu benar, tapi siapa yang tahu? Mungkin aku akan terbunuh oleh Purson atau jika selamat, dengan uang yang minim apa yang lagi yang bisa aku lakukan?" ujar Elan dengan senyum kecut.

Solomon berdecak, "Ck! Kamu terlalu rendah diri nak! Kamu punya potensi besar, kamu pikir setiap orang yang aku beritahu metodeku akan bisa langsung mengerti dalam semalam? Aku beritahu kamu, bahkan para penasehat kerajaanku tidak pernah bisa memahami kata-kataku dalam sekali dengar!" ujar Solomon sedikit kesal.

Elan tertegun lalu tersenyum, "Begitukah? Kurasa ucapan seorang raja sepertimu pasti bisa dipercaya jadi terima kasih, aku akan lebih percaya diri sekarang."

"Harus! Kamu bersama seorang raja paling bijaksana dan jenius dalam sejarah, setidaknya percayalah pada reputasiku kalau percaya dirimu sendiri begitu sulit," ujar Solomon.

"Hahaha benar, aku akan merubah cara berpikirku sekarang!" ujar Elan sambil bangkit dan menuju ke tempat anak-anak bermain.

Maria melihat Elan dari balik jendela dapur dan tersenyum penuh arti. Ia memegang sebuah surat di tangannya.

"Aku selalu percaya kamu akan jadi orang yang hebat. Entah apa yang tiba-tiba mengubahmu tapi aku bersyukur masih bisa bersamamu kak…," Maria bergumam sendiri dengan mata berkaca-kaca, entah kenapa ada duka di dalam setiap katanya.

Solomon memperhatikan Maria dari kejauhan, meski tak terlalu jelas tapi Solomon tahu ada yang tidak beres dengan Maria tapi ia tidak mengatakannya pada Elan karena belum yakin apa masalahnya.

—-------------------

Suatu pagi, ketika Elan sedang beristirahat di ruang tamu setelah mengantar Daren ke TK, dia mendengar ketukan di pintu. Nina, Ayla, dan Arden juga sedang di sekolah jadi hanya Elan dan Maria yang ada di rumah. Maria membuka pintu, dan terkejut saat melihat siapa yang berdiri di sana.

"Kak! Pak Dean dan Pak Thomas ada datang!," kata Maria memanggil Elan.

Elan segera bangkit dan menyambut kedatangan Dean dan Thomas. "Pak Dean! Pak Thomas! Silakan masuk!" Elan menyalami Dean dan Thomas lalu mempersilakan mereka masuk dan duduk di ruang tamu. Maria segera ke dapur membuatkan mereka teh.

"Maaf pak, apakah ada hal penting sampai bapak menyempatkan kesini sendiri? Padahal kan bisa minta saya ke tempat bapak," tanya Elan penasaran.

Dean tersenyum, sambil menyerahkan sebuah amplop bersegel resmi. "Aku ingin mengantarkan ini langsung. Surat ini sangat penting, dan mereka tidak tahu alamat pasti rumahmu, jadi kupikir lebih baik kami sendiri yang menyerahkannya."

Elan mengambil amplop itu dengan rasa ingin tahu. Ketika dia membukanya, dia menemukan undangan resmi untuk menghadiri malam penganugerahan internasional, di mana 'Tears of Life' akan menerima penghargaan sebagai obat herbal paling revolusioner abad ini.

"I–ini…" Elan menatap undangan itu seakan tak percaya.

Dean mengangguk. "Tears of Life, obat yang kita ciptakan telah dinobatkan sebagai produk obat herbal paling revolusioner abad ini oleh GHO: Global Health Oversight, dan kamu, Elan, akan menerima penghargaan bersamaku. Tanpa metode yang kau kembangkan, produk ini tidak akan pernah mencapai kesuksesan sebesar ini."

Elan terdiam sejenak, masih berusaha mencerna semua yang baru saja terjadi. "Sa-saya… apa saya pantas mendapatkan penghargaan itu padahal saya hanya menyumbang ide saja?"

Thomas tersenyum dan menepuk bahu Elan. "Kau pantas mendapatkannya. Ini adalah hasil kerja kerasmu dan Maceline Biotech."

"Terima kasih pak!" jawab Elan dengan antusias.

"Hahaha, bagus! Kalau begitu kami akan menjemputmu tiga hari lagi, lokasinya agak jauh jadi mungkin kita perlu sekitar 3 jam perjalanan. Kami akan langsung pamit hari ini, masih ada yang harus aku urus di kantor," Dane bangkit berdiri diikuti Thomas.

"Lho? Pak Dean dan pak Thomas tidak minum dulu?" tanya Maria saat melihat mereka berjalan menuju pintu. Saat itu dia masih memanaskan air untuk membuat teh.

"Lain kali saja nona Maria, terima kasih. Kami titip Elan ya, rawat dia dengan baik hahaha," ujar Dean sambil melambaikan tangan dan berjalan menuju mobilnya diikuti Thomas.

Setelah mereka pergi, Maria membaca surat yang ditinggalkan Elan di meja dan terkejut.

"Kak Elan, ini luar biasa! Kamu akan pergi menerima penghargaan?!" tanya Maria kegirangan begitu Elan berjalan masuk.

"Begitulah hehe," jawab Elan sambil tersenyum dan mengusap-usap belakang kepalanya.

"Hehe, siapa sangka. Padahal aku hanya iseng membuat metode itu," ujar Solomon ikut merasa senang.

Maria segera merencanakan apa yang akan mereka lakukan selanjutnya. "Kak, kita harus belanja pakaian yang bagus! Kamu tidak bisa pergi ke acara besar dengan pakaianmu yang biasa"

Elan melihat pantulan dirinya di kaca lemari hias dan menaikkan alisnya, "Kurasa kamu benar. Tapi sudah lama sejak terakhir aku beli baju di pasar, dan aku tak tahu toko pakaian di dekat sini"

Maria menggeleng, "Kak, kita harus berbelanja baju baru. Kamu tidak bisa memakai pakaian seperti ini ke acara besar nanti."

Elan tersenyum canggung, "Aku tidak pernah membeli baju mahal sebelumnya, kamu yakin ini perlu?"

Maria tertawa kecil, "Tentu saja! Ini bukan sekadar acara biasa. Kamu akan menerima penghargaan internasional, Kak. Dan kamu harus terlihat sebaik mungkin, setidaknya kakak tidak mau mempermalukan pak Dean kan?"

Setelah mendengar penjelasan Maria akhirnya Elan setuju untuk berbelanja pakaian formal bersama Maria. Elan sudah membeli sebuah mobil agar mereka semua bisa bepergian bersama, sebuah mobil SUV putih dengan 6 kursi, DFSK Glory 560. Memang bukan mobil mewah, tapi Elan sudah merasa cukup untuk mereka bepergian.

Elan mengemudi menuju salah satu toko pakaian terbaik di kota itu dipandu oleh Maria. Elan memarkirkan mobilnya dan turun bersama Maria.

Dengan langkah ringan, Maria dan Elan berjalan menuju pintu masuk toko itu. Maria sibuk memilih setelan jas sementara Elan mengikutinya, sesekali Maria akan menempelkan setelan jas yang ia pilih ke tubuh Elan lalu menggeleng. Setelah menemukan yang menurutnya pas, Maria tersenyum puas.

"Kak, ayo dicoba dulu!" Maria mendorong Elan yang hanya pasrah menuju ruang ganti.

Saat sedang menunggu Elan mencoba pakaian tiba-tiba ada seorang pria yang memanggilnya.

"Maria!," Maria terkejut dan menoleh, seorang pria muda berjalan dengan penuh peraya diri menuju ke arahnya. Maria mengerutkan keningnya, pria itu adalah Dominic Moretti. Seorang tuan muda dari keluarga Moretti yang terkenal sebagai playboy dan suka berfoya-foya.

Dia adalah salah satu teman SMA Maria dan Elan, lebih tepatnya pria itu kerap membully Elan karena dia menyukai Maria, dan dia kesal karena Maria terus menolaknya dan malah menempel pada Elan terus. 

Maria hanya tersenyum canggung, "Ah, hai Dom."

"Apa kabar? Apa kamu sedang berbelanja?" tanya Dominic dengan senyum ramah.

"Baik. Ya, begitulah," jawab Maria singkat.

"Kebetulan aku juga sedang mencari setelan untuk menghadiri acara penghargaan internasional yang diadakan oleh GHO: Global Health Oversight," ujar Dominic, jelas sekali kalau dia sedang mencari perhatian Maria.

"Oh, apa kamu mendapat penghargaan?" tanya Maria penasaran, karena sepertinya itu acara yang akan dihadiri Elan.

"Ah, aku hanya sebagai tamu undangan mewakili perusahaanku. Kamu tahu kan perusahaanku adalah salah satu perusahaan tingkat nasional di bidang farmasi, jadi kami mendapat kehormatan untuk menghadiri acara itu dan bertemu dengan para jenius yang mendapat penghargaan disana. Aku mewakili perusahaanku agar nantinya aku bisa menjalin relasi dengan orang-orang hebat itu!," ujar Dominic dengan bangga.

Maria menahan tawanya mendengar Dominic sesumbar, "Ah, apakah perusahanmu bersaing dengan Maceline Biotech?"

Dominic mengerutkan keningnya, "Ah, sebenarnya Moretti Pharmaceuticals kami mulai lebih dulu di bidang ini. Tapi, entah bagaimana Maceline Biotech berhasil menciptakan produk yang luar biasa dan memonopoli pasar dalam sekejap. Ku dengar seorang ahli membantu mereka dan dia akan menerima penghargaan hari ini, aku berencana untuk berkenalan dengannya dan mungkin bisa membawanya ke sisi kami, lagipula keluarga Moretti kami tidak lebih buruk dari keluarga Maceline," ujar Dominic.

Maria memalingkan wajahnya karena tidak bisa menahan tawanya dan menggigit bibir bawahnya agar tidak bersuara.

"Maria, bagaimana menurutmu?" Elan keluar dari ruang ganti dan berjalan ke arah Maria tanpa memperhatikan Dominic yang berdiri di sebelah Maria.

"Wah! Keren!" ujar Maria sambil mengelus tepi kerah jas Elan dengan lembut.

"Ehem, o-oke. Ayo kita beli yang ini saja hehe," ujar Elan gugup, Maria hanya mengangguk sambil tersenyum dan mengikuti Elan menuju kasir.

"Elan?" Dominic yang sebelumnya terabaikan akhirnya memanggilnya. Elan menoleh dan menatapnya dengan bingung.

"Siapa ya?" tanya Elan. Selama ini memang Dominic selalu membully Elan bersama teman-temannya, tapi Elan sendiri tak pernah memperhatikan mereka dan mengabaikannya. Baginya orang-orang itu tidak penting selama dia bisa menjaga Maria dan anak-anak panti.

Maria berbisik pada Elan, "Dia Dominic Morreti." Elan menaikkan alisnya.

"Dominic yang itu?" tanyanya ikut berbisik.

"Iya, yang itu," jawab Maria. Sementara Dominic terlihat agak tersinggung karena mereka berbisik-bisik di depannya.

"Serius? Kamu sudah lupa denganku?" tanya Dominic terlihat kesal.

"Ah, maaf. Aku punya kebiasaan untuk melupakan hal-hal tidak penting." jawab Elan sambil tersenyum lalu berbalik lalu menggandeng Maria pergi bersamanya dan meninggalkan Dominic yang masih bengong tak percaya bahwa Elan yang dulu sangat pendiam sekarang berani menjawabnya dengan kalimat seperti itu.

"Berapa totalnya?" tanya ELan pada kasir.

"Baik, satu setel merk ini totalnya 1.975.000. Untuk metode pambayarannya menggunakan apa tuan?" tanya kasir itu. Elan berpikir sejenak lalu menjawab.

"Debit saja, juga tambahkan gaun putih yang disana!" kata Elan, Maria langsung mendongak dan menarik lengan baju Elan. Gaun itu memang sempat ia perhatikan tadi tapi karena tujuannya adalah membeli baju untuk Elan maka Maria tidak berani memintanya apalagi harganya pasti mahal.

"Itu buat kamu, masa cuma aku yang beli?" ujar Elan dengan santai.

"Tapi kak, aku…"

"Kalau cuma gaun seperti itu aku juga bisa belikan kamu sebanyak yang kamu mau Maria," tiba-tiba Dominic muncul dan memotong kalimat Maria, hal ini langsung merubah ekspresi Maria menjadi kesal.

"Tidak terima kasih!" ujar Maria ketus.

"Silakan tuan, ditambah dengan gaun, totalnya jadi 4.750.000," Elan menyerahkan kartu debitnya dan menyelesaikan transaksi itu dengan cepat.

Dominic memperhatikan dengan ekspresi terkejut saat mendengar nominal yang Elan bayarkan. "Bukannya dia ini anak yatim-piatu dan miskin? Kok bisa santai begitu habiskan lebih dari 4 juta untuk beli baju?" batin Dominic.

Karena melamun, Dominic sampai tidak sadar Elan dan Maria sudah berjalan keluar dari toko itu.

"Bangsat! Berani-beraninya dia mengabaikanku sekarang!" gumam Dominic penuh amarah. Dia segera berjalan cepat menyusul Elan dan Maria, tapi mereka berdua sudah masuk ke mobil dan pergi. Dominic hanya berdiri dan menatap mobil Elan dengan penuh emosi.

"Huh, baru bisa beli mobil murahan saja sudah berani mengabaikanku?! Awas kamu Elan!"

-Bersambung-