Pria tua itu tampak terkejut, "Ah, tentu saja nak. Apakah kamu tahu tentang rempah-rempah?"
Pria tua itu terlihat penasaran dengan Elan, namun pedagang di depannya menatap Elan dengan tatapan kesal.
"Hanya sedikit, tapi saya suka meneliti berbagai hal," jawab Elan sambil tersenyum ramah dan memperhatikan akar itu dari dekat.
"Akar angelica yang berkualitas memiliki aroma khas," ujar Elan dengan tenang sambil memotong sedikit akar itu lalu mendekatkannya ke hidungnya, tiba-tiba ia mengernyit.
Kemudian tiba-tiba Elan memotong sedikit akar itu dan menggigitnya lalu dengan segera membuangnya dengan ekspresi jijik.
Pria tua itu melihatnya dengan wajah khawatir. "Sebenarnya apa yang dilakukan anak ini?" batinnya penasaran.
"Hei nak! Apa maksudnya ini?!," pedagang itu tampak tersinggung.
Elan menatap pedagang itu dengan tegas. "Tuan, Anda mencoba menipu pria tua ini dengan menjual rempah-rempah yang sudah rusak. Ini bisa sangat berbahaya bagi kesehatan!"
Pedagang itu terkejut, tetapi sebelum ia bisa membela diri, beberapa orang di sekitar mereka mulai memperhatikan situasi tersebut.
"Hei! Jangan sembarangan bicara ya!," pedagang itu terlihat sangat marah karena ucapan Elan.
"Benar nak, apa ada buktinya? Kalau tidak ini bisa dianggap fitnah lho," ujar salah seorang pedagang lain.
"Benar, aku mau lihat buktinya!," sahut salah seorang pengunjung. Elan menghela nafas lalu mengambil sebuah akar lagi.
"Akar Angelica yang segar memiliki warna krem atau kuning pucat. Menurut kalian akar ini berwarna apa?," ujar Elan mengangkat akar berwarna coklat itu dan menunjukkannya pada orang-orang.
"Aku sudah bilang, itu akar berkualitas tinggi jadi warnanya berbeda!," pedagang itu masih membela diri.
"Akar ini seharusnya beraroma seperti kombinasi aroma tanah dengan sedikit nuansa kayu atau jeruk," Elan mematahkan akar di tangannya lalu menyerahkannya pada pria tua tadi. "Silahkan Anda cium aromanya."
Pria tua itu mendekatkan akar itu ke hidungnya lalu mengerutkan dahinya karena aromanya sangat apek dan tidak enak.
"Dan satu lagi, akar Angelica yang baik memiliki rasa yang kuat, sedikit pahit dengan sentuhan manis. Saya sudah mencobanya dan rasa dari akar ini sangat hambar dan menjijikkan. Jika ada yang mau coba saya persilahkan, meski saya tidak menyarankan karena mungkin kalian akan muntah," ujar Elan sambil melemparkan potongan akar di tangannya kembali ke tumpukkan akar di depan pedagang itu.
Suara-suara kerumunan mulai bergemuruh, dan pedagang itu segera menyadari bahwa ia tidak akan bisa lolos dari kesalahannya. "Yang dikatakan pemuda ini benar! Aku pernah melihat akar Angelica dan warnanya tidak seperti itu!," ujar salah satu pengunjung.
"Hei Toni! Jangan bilang kamu benar-benar mau menipu? Kamu membuat nama pedagang lain disini menjadi buruk kalau begini!," tegur pedagang yang membuka lapak di sampingnya.
Pria tua itu memandang Toni si pedagang itu dengan tajam. "Ada yang ingin Anda katakan pak?"
Pedagang itu tak berkutik dan dengan enggan, ia mengganti rempah-rempah yang rusak dengan yang segar, mencoba menghindari keributan lebih lanjut. Namun karena takut mendapat masalah akhirnya dia membereskan dagangannya dan pergi dari tempat itu.
Pria tua itu sangat berterima kasih kepada Elan. "Terima kasih, Nak. Kalau bukan karena kau, aku mungkin sudah tertipu. Namaku Dean Maceline. Siapa namamu?"
"Elan Aldridge, Tuan. Saya hanya melakukan apa yang seharusnya," jawab Elan dengan rendah hati. Dean sedikit tertegun mendengar nama Elan, "Aldridge? Seperti Robert Aldridge? Dia tidak mungkin keturunan mereka kan?" batinnya, dia menatap Elan dari ujung kepala sampai kaki. Elan terlihat sangat biasa dengan pakaian lusuh dan sepatu yang mungkin akan segera jebol.
Dean tersenyum lebar. "Elan, kau adalah pemuda yang baik hati. Apa yang kau lakukan di pasar pagi-pagi begini?"
Elan menjelaskan tentang situasinya, bagaimana ia dan anak-anak panti asuhan yang ia lindungi kehilangan tempat tinggal mereka dan sedang mencari rumah kontrakan yang terjangkau. Dean mendengarkan dengan seksama, tampak terpikir oleh sesuatu.
"Bagaimana kalau kita sarapan bersama? Ada sebuah kedai di dekat sini yang cukup bagus," ajak Dean.
Mereka pun berjalan bersama ke sebuah kedai yang tenang, di mana mereka melanjutkan obrolan mereka sambil menikmati hidangan sederhana. Dean mengamati Elan dengan seksama, mengagumi kesungguhannya dalam menjaga adik-adik sepantinya. Setelah mendengar cerita Elan tentang kondisi mereka, Dean pun menawarkan sesuatu yang mengejutkan.
"Elan, aku punya rumah yang tidak ditempati. Kau dan adik-adikmu bisa tinggal di sana tanpa biaya jika kamu mau," kata Dean dengan tulus.
Elan terkejut dan terlihat bersemangat, tapi segera ingatan tentang panti asuhan yang dahulu menjadi tempat tinggalnya terlintas di pikirannya. Panti asuhan itu awalnya adalah pinjaman dari seseorang, dan pada akhirnya mereka harus pergi ketika pemiliknya membutuhkannya kembali. Elan tahu bahwa menerima tawaran gratis seperti itu bisa membuat mereka rentan di masa depan, seketika senyum itu pudar.
"Tuan Dean, saya sangat menghargai tawaran Anda. Tapi, saya tidak bisa menerimanya secara cuma-cuma," kata Elan dengan tegas. "Saya akan membayar seperti yang seharusnya."
Dean hampir tersedak mendengarnya, yang Elan tidak ketahui adalah kenyataan bahwa rumah yang ditawarkan Dean padanya adalah rumah besar dengan harga sewa 100 juta pertahun di pasaran jadi tidak mungkin Dean membiarkan Elan membayar dengan harga aslinya. Tapi Dean terkesan dengan sikap Elan. "Kau benar-benar pemuda yang bertanggung jawab, Elan. Baiklah, kalau begitu, bagaimana jika lima juta per tahun? Aku memberimu diskon karena telah menolongku," ucap Dean sambil tersenyum.
Elan langsung tersenyum cerah, matanya terlihat berbinar,"Benarkah?! Wah, itu jauh lebih murah dari harga sewa di pasaran! Terima kasih tuan Maceline!"
"Hahaha pemuda yang baik, andai saja kau tahu harga asli rumah itu," Dean hanya tersenyum dan berbicara sendiri dalam hatinya. Ia bisa melihat bahwa Elan adalah pemuda yang baik.
Dean berjanji untuk membantunya pindah dengan mobil, jadi Elan memberikan alamatnya pada Dean dan pulang lebih dulu untuk menyiapkan barang-barang mereka. Ia berlari tanpa menoleh kebelakang sementara Dean memandang punggungnya dan tersenyum sambil menggeleng. Sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti di depan Dean, pintu terbuka dengan sendirinya dan dia pun masuk.
"Apakah kita akan pulang tuan?" tanya seorang pria tua di kursi kemudi, dia adalah Thomas. Kepala pelayan sekaligus pengawal Dean.
"Tidak, aku perlu melihat kondisi rumah yang kutinggalkan disini. Kita perlu meminta mereka membersihkannya segera, akan ada yang menempatinya mulai hari ini. Oh, bisakah kau kirimkan orang kita dan satu truk ke alamat ini? Cari seseorang bernama Elan Aldridge dan bantu dia mengangkut barang-barangnya ke rumah itu," ujar Dean sambil memberikan kertas bertuliskan alamat panti asuhan tempat Elan tinggal pada Thomas.
Thomas memicingkan mata membaca alamat itu. "Panti asuhan St. Joseph?" gumamnya.
"Apa kamu tahu tempat itu?" tanya Dean saat menyadari ekspresi Thomas.
Thomas menggeleng, "Saya hanya pernah mendengarnya, saya kira tempat itu sudah tutup."
"Memang sudah, anak-anak itu bertahan sendiri disana selama beberapa tahun belakangan ini. Karena itu aku ingin membantu mereka, lagi pula ada seseorang yang menarik diantara mereka," kata Dean sambil tersenyum.
Thomas mengangguk dan tersenyum. "Baik tuan, mari kita berangkat," mobil itu melaju perlahan di jalan itu.
Elan sangat bersyukur atas kebaikan Dean. Namun, yang tidak diketahui oleh Elan adalah bahwa Dean Maceline bukanlah orang biasa. Ia sebenarnya adalah seorang bangsawan yang memiliki banyak bisnis di benua Ero. Dean datang ke Gandolfo untuk melakukan riset tentang rempah-rempah lokal dan kebetulan bertemu dengan Elan, yang keberaniannya telah membuatnya terkesan. Elan tidak menyadari bahwa pertemuan ini mungkin akan membuka jalan baru dalam kehidupannya dan kehidupan anak-anak panti asuhan.
Elan berlari masuk ke dalam panti asuhan dengan tergesa dan membuka pintu dengan kasar.
"Brak!" anak-anak yang ada di dalam sampai nyaris melompat karena kaget, apalagi melihat Elan masuk terengah-engah bersimbah keringat.
"Kakak! Kamu membuat kami semua kaget!," tegur Maria sambil berkacak pinggang.
Tapi Elan malah tertawa lalu memeluk Maria, membuat gadis itu langsung membeku, wajahnya memerah layaknya kepiting rebus. "Aku mendapatkannya! Maria! Aku mendapatkannya! Hahahaha!" seru Elan sambil memeluk Maria, mereka berputar-putar seperti berdansa sampai Maria merasa pusing. Sementara Nina menutupi mata Arden dengan tangannya sehingga membuat bocah itu kesal.
"Kenapa kamu menutupi mataku?!" omel Arden sambil menyingkirkan tangan Nina.
"Kamu belum cukup umur!" ujar Nina dengan wajah sok bijak, Arden tak bisa berkata-kata mendengar alasan Nina. Dalam hati dia menggerutu, "Bukanlah Ayla dan Daren jelas lebih muda darinya? Kenapa dia yang ditutup matanya? Tidak masuk akal!"
"Kakak aku pusing!" Maria yang dulunya tersipu malu kini mulai kesal karena pusing dan malah memukuli Elan.
"Aw! Iya-iya maaf! Aku berhenti! Aku berhenti!," Elan berteriak kesakitan karena Maria memukul dan mencekiknya tanpa ampun. Anak-anak yang melihat itu hanya bisa tertawa terbahak-bahak sehingga suasana menjadi ramai.
Setelah semua tenang, Elan mengajak mereka duduk melingkar di ruang tamu. Mereka menatap Elan dengan penasaran menunggu berita bahagia apa yang ingin disampaikan.
"Semuanya! Kita akan pindah hari ini!"
Enam orang anak yatim piatu itu berdiri terpaku di depan sebuah mansion besar dan indah yang sebentar lagi akan menjadi tempat tinggal mereka. Mereka berenam menatap bangunan itu dengan mata membola dan berkali-kali menelan ludah.
Elan menyadarkan dirinya dan berjalan mendekat ke arah Dean dan Thomas yang sedari tadi berdiri di samping pintu menunggu mereka.
"Ehm.. Pak, ini bukan rumah yang Anda maksud kan?" tanya Elan ragu-ragu, dia takut berekspektasi terlalu tinggi karena rumah yang didepannya ini jelas tidak mungkin hanya bernilai 5 juta per tahun.
Dean malah tersenyum, "Kenapa? Apakah ini terlalu kecil untuk kalian berenam?"
Elan langsung menggeleng dengan panik, "Bukan pak! I–ini…terlalu besar…ha–ha"
"Tidak, ini sudah tepat. Kalian akan semakin dewasa nantinya, tidak mungkin kan kalian tidur di kamar yang sama selamanya?" ucap Dean dengan hangat.
"Ta-tapi uang sewanya…," Elan khawatir Dean akan menaikkan uang sewanya, apalagi dia juga mengirimkan truk dan orang untuk membantu mereka pindah.
"Hahahaha, tenang saja! Kita sepakat 5 juta setahun, jadi tidak akan ada yang berubah!" ujar Dean sambil tertawa. Air mata Elan tiba-tiba terjatuh, tak percaya rasanya. Dia bahkan sempat takut kalau Dean menipunya, tapi ternyata orang ini sebaik itu.
"Terima kasih pak!," Elan membungkukkan badannya memberi hormat pada Dean, begitu juga anak-anak yang lain.
"Sudah-sudah! Ayo aku akan ajak kalian berkeliling!," ajak Dengan semangat. Mereka mengikuti Thomas sementara Dean berjalan agak di belakang bersama Elan. Elan dan Dean merasa senang melihat anak-anak itu begitu senang melihat berbagai ruangan dan tempat di rumah itu.
"Sekali lagi terima kasih pak," ucap Elan dengan penuh rasa syukur sambil berjalan disisi Dean. Dean meliriknya dan tersenyum.
"Kamu menolongku, aku menolongmu, bukankah itu hal yang normal?" tanya Dean dengan santai.
"Tapi, saya hanya membantu anda membedakan akar pak mana bisa dibandingkan dengan ini?" tanya Elan sambil melayangkan pandang pada seluruh rumah dan taman yang megah itu.
"Hahahaha, kamu tidak tahu saja Elan! Akar Angelica itu awalnya akan aku gunakan untuk bahan uji coba produk obat herbal perusahaanku, aku menelitinya sendiri. Bisa kamu bayangkan jika aku salah memilih bahan baku dan mengujinya? Pasti akan ada orang yang keracunan karenanya! Bisa-bisa aku dituntut dan dipenjara!" ujar Dean.
Elan membelalak mendengarnya. "Seserius itu?!"
"Tentu, kamu sudah menyelamatkanku Elan. Tenang saja, disisi lain aku menyukaimu. Aku punya intuisi yang bagus untuk menilai orang meski sayangnya itu tak berlaku untuk menilai barang hahahah"
"Aku punya firasat kamu akan jadi orang yang besar nantinya. Aku rasa akan baik jika kita membangun relasi bukan?" tanya Dean sambil mengulurkan tangannya.
Elan tersenyum. "Anda benar, akan baik jika kita membangun relasi." Elan menjabat tangan Dean dengan mantap.
Hari itu mereka menyelesaikan proses kepindahan mereka dan memilih kamar masing-masing, meskipun Ayla dan Daren lebih memilih tidur bersama Arden dan Nina karena masih takut tidur sendiri.
"Kamu beruntung Elan," kata Solomon dari dalam cincin.
"Ya, sangat beruntung. Tapi, ini juga berkatmu jadi terima kasih!" ujar Elan.
"Hmm, kamu rendah hati. Aku suka itu. Santai saja, aku sudah berjanji untuk membantu kalian kan?" ujar Solomon dengan santai. "Tapi, aku cukup penasaran dengan produk yang dibicarakan si tua Dean tadi. Produk apa itu?"
"Ah, itu semacam ramuan obat. Zaman sekarang banyak obat-obatan terbuat dari bahan kimia dan memiliki efek samping yang cukup berbahaya. Perusahaan pak Dean mengembangkan produk obat dari tanaman herbal untuk meminimalisir efek samping atau bahkan meniadakannya. Tapi penelitian itu belum selesai," ujar Elan menjelaskan.
"Herbal ya? Hmm…aku tahu beberapa hal tentang itu, apa menurutmu pak tua itu akan mengizinkan kita melihatnya?" tanya Solomon.
Elan termenung. "Entah, nanti akan kutanyakan."
Tok tok!
Pintu kamar Elan diketuk dari luar, Elan mengernyit karena saat ini sudah cukup malam.
"Siapa?" tanyanya sambil berjalan menuju pintu.
"Ini aku," suara Maria terdengar di luar pintu. Elan segera membuka pintu dan mendapati Maria berdiri di depan pintunya dengan piyama model gaun berwarna biru muda, ekspresinya terlihat malu-malu dan membuatnya terlihat sangat imut.
"Boleh masuk?" tanya Maria membuyarkan lamunan Elan.
-Bersambung-