JEVIAN'S POV
Sejak aku masih kecil dan sampai sekarang sudah sebesar ini, aku tidak pernah lupa terhadap hal penting yang diajarkan ayahku yang merupakan seorang tentara.
Ayahku memperkenalkan hal itu padaku sebagai 'Courage's luck'. Keberuntungan bagi siapapun yang berani.
Dan ternyata, di usia yang ke sembilan belas ini, aku belajar hal baru bahwa keberuntungan itu juga punya sisi bayang bayang yang berjudul ketidak beruntungan atau apalah namanya itu. Yang jelas menurutku, ketidak beruntungan itu akhirnya datang saat ini.
Apakah yang satu ini namanya 'Courage's unluck'?
Saat ini, aku sedang terbaring sekarat di atas—aku sungguh menyesal, tapi aku betul betul tidak sengaja—sebuah makam entah siapa dengan kondisi badan yang buruk sekali—baju compang camping penuh darah, kedua kakiku yang hilang entah dimana, dan tangan kananku yang hancur setelah dengan nekat melawan monster tanpa mengalami kebangkitan Gladiator. Saking sakitnya aku sampai mati rasa. Tinggal rasa pusing yang kuyakini penyebabnya adalah kehilangan banyak darah.
Sementara itu, makhluk sial itu—yang menurutku bentuknya seperti kalong raksasa sebesar manusia— masih belum mati juga dan justru sedang merintih sambil menyeret tubuhnya sendiri sementara kedua sayapnya sudah robek.
"Kiiiikk.." Makhluk jadi jadian itu merangkak ke arahku yang bernapas saja sudah susah payah. "Kiiikk.."
Aku mendengus melihat itu. "Sudahlah, dasar ngotot." Cercaku pedas. "Aku mengerti, kok, kalau kau dendam padaku setelah aku merobek paksa sayapmu. Maaf, ya, kalau gak kulakukan, nanti kau malah pergi ke keramaian dan membunuh lebih banyak orang termasuk..." Aku melirik ke kiri. Menatap punggung anak kecil yang sedang terbaring menyamping tak sadarkan diri. "..Anak itu. Lagipula kita sudah impas. Kakiku kau lempar ke mana, hah?"
Tapi monster ini bebal sekali. Antara kepalang dendam atau berhasrat kuat untuk membunuh atau memang nggak mengerti ucapanku. Yang jelas dia semakin mendekat padaku tak peduli dirinya sendiri semakin kehabisan darah.
Ya sudahlah. Siapa tau jantungmu tiba tiba berhenti setengah jalan. Kalaupun tidak, makhluk itu pasti akan mati cepat atau lambat karena kehabisan darah, sama sepertiku. Lagipula lebih baik kau bunuh aku yang sudah sekarat ini lalu kita mati sama sama daripada anak yang hidupnya masih panjang itu. Rasanya seperti game dengan hasil seri lose:lose.
Tapi kalau di pikir pikir lagi...padahal aku mau pulang ke rumah sambil bawa kotak roti yang sekarang entah di mana. Kenapa aku malah tiba tiba menolong anak yang bukan siapa siapaku, ya?
Aku melirik lagi punggung anak itu tak peduli monster sial itu tambah dekat denganku. Kondisiku yang demikian menyedihkan sementara anak itu malah tertidur pulas di sebelah sana membuatku bertanya tanya pada diriku sendiri tentang kenapa aku menolong dia. Isi kepalaku me-rekaulang adegan saat anak yang usianya mungkin baru sembilan tahun ini tiba tiba lari ke arahku yang lewat kuburan ini sambil bilang kalau dia melihat monster. Dua detik setelahnya, monster terbang ini mengucap salam super sopan padaku dengan membenturkan kepalaku ke gapura pemakaman.
"Monster anj*ng." Umpatku mendadak kesal. "Pas banget ya, tempat matiku di kuburan. Gakk mau sekalian galikan tanah, hah?"
Aku menarik napas susah payah. Memejamkan mata dan menikmati rasa pusing yang membuat pikiranku jadi kacau.
Sebenarnya kenapa?
Padahal selama ini aku bukan orang yang ringan tangan menolong. Aku ini cuma anak tertua dari empat bersaudara yatim piatu yang akan melakukan segalanya supaya adik adikku hidup dengan benar.
Ah, itu dia.
Karena aku yang percaya hukum karma ini takut, jika aku tidak menolong anak itu, maka tak ada yang menolong adik adikku saat mereka dalam bahaya.
Gara gara aku menyadari fakta itu, aku jadi teringat pada kata kata manusia b*j*ngan itu tanpa bisa kekendalikan.
'Aku nggak mengerti. Padahal kalau meninggalkan adik adikmu dan fokus pada dirimu sendiri, kamu pasti akan jadi manusia berkualitas lebih dari yang bisa kamu bayangkan.'
Berkualitas pantatmu. Lebih baik aku mati daripada meninggalkan mereka.
Demi ketenangan masa masa terakhirku, aku berusaha keras mengalihkan ingatanku dengan menatap ke arah monster yang sekarang tinggal tiga meter dari tubuhku yang melumpuh. Mata merahnya menatap mataku dengan nafsu membunuh yang membuat merinding dari ujung kepala sampai ujung kaki—oh iya, kakiku sudah hilang—sampai sampai aku tak tau harus berbuat apa selain menanti mati.
Ya. Seharusnya begitu. Tapi di ujung hidup ini, aku malah tetap khawatir pada hal lain.
Ah, aku lupa uang SPP Dewangga belum kubayar.
Diana bilang hari ini mau pulang terlambat, sudah makan malam belum, ya?
Astaga, akhir bulan ini Januar ulang tahun dan aku belum menyiapkan hadiah.
Sialan. Padahal banyak sekali tagihan yang belum kubayar bulan ini. Bahan makanan untuk mereka juga sudah habis. Dan aku malah tidur tiduran dengan santai menanti mati disini? Dasar nggak berguna.
Kalau saja aku lebih kuat.
Kalau saja aku ini seorang Gladiator.
Kalau saja orang tuaku masih hidup.
Kalau saja aku memutar otak dengan benar supaya dapat uang lebih banyak.
Kalau saja monster monster itu tidak mengacau di dunia ini.
Kalau saja aku sudah bayar uang SPP Dewangga.
Kalau saja aku sudah belanja bahan makanan.
Kalau saja aku mengingatkan Diana untuk makan malam.
Kalau saja aku ingat lebih cepat dan beli hadiah lebih awal untuk Januar.
Kalau saja—apa lagi, ya?
Ya sudahlah. Toh kematian sudah depan mata. Monster itu melayangkan tangan bercakar tajamnya ke arah kepalaku dan meletakkannya tepat di jidatku. Sentuhan itu lama lama semakin menguat dan berubah jadi cengkeraman yang membuatku mati rasa.
Kemudian, rasa pusing lenyap dari kepalaku bersamaan dengan matinya semua indraku.
Rupanya mati itu seperti ini, ya?
___________________________
Setidaknya itulah Jevian pikirkan.
Tapi—apa apaan ini? Kenapa sekarang ini ia malah terbangun di atas bangsal rumah sakit dengan dua adik kembarnya tertidur di sofa kamar ini? Tapi yang lebih penting dari itu—
Mata Jevian memeriksa setiap inci interior mewah ruangan ini.
—Siapa yang bayar kamar kelas VIP ini?!
Jevian tidak mungkin salah menilai. Mulai dari Ruangan privat untuk satu pasien saja di tambah fasilitas layaknya ruangan hotel.
"Sebenarnya...apa yang terjadi?"
Dan yang paling jadi pertanyaan bagi laki laki itu adalah bagaimana ia bisa masih hidup di tengah situasi itu. Laki laki itu menatap tangannya sendiri dan bergantian menatap pantulan dirinya di kaca jendela rumah sakit dengan ekspresi bingung.
Aku yakin aku sudah mati, batin Jevian. Kepalaku sudah hancur dan tulang hastaku juga sudah rusak. Tapi—
Ia menyingkap selimut dan menggerak gerakkan kakinya dengan heboh. —kakiku bahkan masih lengkap dan bisa digerakkan!
Saking tidak percayanya dengan kondisinya sendiri, ia menghantam hantamkan kakinya ke kasur dan membuat suara heboh yang membangunkan dua adiknya.
Dewangga yang pertama kali mencapai kesadaran. "Kak Jev ngapain?" Tanyanya sambil mengucek mata. "Lihat hantu, ya?"
Jevian menoleh pada adiknya. Kakinya ia turunkan saat mengingat kelakuan bodohnya barusan. "Iya kali..." Jawabnya dengan bingung.
Akan tetapi jawaban itu menarik keseluruhan kesadaran Diana sampai gadis itu bangkit berdiri. "Kak Jev?!" Ia tanpa sengaja menyikit wajah Dewangga. Membuat laki laki itu sebal. "Kakak udah sadar?!"
"Belum, Na." Kata Dewangga sambil berdiri dan mendorong pelan Diana sampai gadis itu terduduk di sofa. Ia meletakkan telapak tangannya pada mata kembarannya sambil berkata mengejek, "Kamu lagi mimpi, kok."
Ia lantas berjalan ke arah kakaknya yang baru bangun sudah membuat gaduh. Ekspresi Jevian horor sekali menurut Dewangga, seperti orang yang sedang merasa terancam tapi kaget bersamaan. "Kenapa, sih? Sakau ya? Atau kebelet?"
Dengan wajah bodohnya Jevian malah bertanya. "Kok aku masih hidup?"
Dewangga menaikkan sebelah alis. "Emang situ habis bunuh diri, kah?"
"Nggak, gak gitu maksudku—ukh—" ia memegangi kepalanya yang mendadak terasa pusing. Dewangga tersentak dan refleks memegangi bahu sang kakak.
"Pusing, ya? Tiduran dulu aja, kak," kata Dewangga. Ia menoleh pada Diana. "Panggil dokter, dek."
"Anjir?! Cuman beda—huft..." Diana menghela napas, berusaha mengontrol emosi pada kembarannya yang saat ini terang terangan mengajaknya kesal. "Oke. Kalo bukan buat kak Jev, kamu bakal mati di tanganku." Katanya, Lalu keluar kamar rawat.
Dewangga sendiri tidak repot repot merasa ketakutan dan hanya mengangkat tangan dengan isyarat, 'ok'.
Atensinya kembali pada Jevian yang terengah engah. Ia berinisiatif meraih botol air minum di atas nakas. "Minum dulu, kak." Kata Dewangga sambil membuka tutup botol itu dan memberikannya pada Jevian. Kakaknya menerima botol itu dan mengambil tiga tegukan besar.
"Makasih." Katanya sambil mengulurkan botol itu dan dibalas anggukan. "Anak kecil yang disitu gimana?"
"Anak kecil?" Dewangga membeo menatap kakaknya. "Anaknya siapa?"
"Gak tau. Tapi harusnya dia juga dirawat, dong. Dia pasti takut banget."
Alis Dewangga berkerut. "Siapa, sih, kak? Takut kenapa? Aku nggak ngerti."
"Lho? Memangnya pihak asosiasi nggak kasih tau kamu tentang kronologinya?"
"Kasih tau. Tapi gak ada anak kecil, tuh?" Dewangga kekeuh dengan apa yang ia tau. Tapi sebenarnya ia juga penasaran. "Emang sebenarnya gimana?"
Jevian membuka mulut sukarela. Ia memulai cerita itu secara rinci dari mulai ia yang pulang kerja paruh waktu di mini market sampai kejadian tidak penting seperti beli roti. Akan tetapi, Dewangga malah menginterupsi dengan tidak sabaran begitu saja saat Jevian bilang ada Monster bersayap yang membentur kan kepalanya ke gapura TPU. "Monster Kalong?!" Dewangga menggebrak meja. "Mana ada, kak?!"
"Menurutmu aku bohong?" Kata Jevian sambil menyomot apel kupasan di atas nakas. Ia mengunyah apel itu perlahan dan mengecap rasanya dengan hati hati seolah memastikan kepala yang menempel dengan lehernya adalah kepalanya sendiri, berikut lidahnya. "Sumpah. Monster itu tingginya se-oramg dewasa. Sebenarnya aku sendiri sudah pasrah bakal seperti apa dan, gitu deh, hasilnya. Harusnya aku sudah mati tapi kok bisa masih hidup, ya?"
Detik selanjutnya, pintu ruangan dibuka. Menampilkan seorang Diana dengan membawa tiga orang lain yang jelas merupakan dokter dan seseorang yang Jevian yakini adalah petugas dari asosiasi nasional Gladiator.
Dengan wajah ramah mereka masuk ke kamar itu. "Selamat siang, Pasien Jevian. Bagaimana perasaan anda hari ini?"
Jevian yang terkejut cuma bisa menjawab sekenanya. "Ah, iya. Saya baik, pak. Gak ada yang sakit."
Kalau jawab begini dokter pasti akan curiga lalu periksa ulang, kan?
Akan tetapi, hal itu tidak terjadi. Dokter ini malah dengan santainya mengucap serentetan kalimat syukur.
"Itu aja, pak?"
"Memangnya apa lagi?"
"Terus saya dirawat disini itu bukannya karena..."
"—Kebangkitan Gladiator, kan? Itu normal kok. Rasanya memang seperti kena serangan jantung tiba tiba tapi bukan. Nyatanya kamu hidup."
"Bukan, pak. Bukan itu." Jevian bersikeras. Kepalang yakin dengan penglihatannya hari itu. "Saya yakin sekali bukan karena serangan jantung. Saya ingat jelas kepala saya sudah hancur gara gara monster Kelelawar sebesar orang dewasa. Tubuh saya juga luka luka..."
—putus dan hancur, tepatnya.
Jevian berakhir menceritakan kejadian yang dia alami secara runtut dari awal sampai akhir. Dan begitu ia selesai bercerita, sang dokter dan petugas asosiasi saling lirik. Tapi kemudian sang petugas menatap Jevian. "Itu agak sulit dibuktikan." Kata Petugas itu. "Tidak ada bukti pertarungan. Tidak ada darah. Tidak ada mayat monster. Tidak ada juga anak kecil disana. Yang ada cuma kotak roti."
Kalimat itu sukses membuat Jevian tercengang. Apa? Nggak ada apa apa katanya?
"Maaf?"
"Sebetulnya, tuan Jevian. Saya malah menduga kalau apa yang telah dialami oleh anda adalah bagian dari proses kebangkitan yang disebut Halusinasi. Ada juga beberapa yang mengalami hal itu walau tidak banyak." Petugas melanjutkan.
Halu? Dia bilang itu cuma delusi?
Jevian makin mengangkat mendengar itu. "Ha...lu?" Beonya pelan. "Saya berhalusinasi?"
"Kurang lebih begitu." Sahut dokter disampingnya sambil membenarkan kaca mata. "Usia saya sudah hampir enam puluh, waktu itu saat kebangkitan—kira kira delapan tahun lalu—saya juga mengalami halusinasi, walau ternyata saya cuma healer. Orang yang halusinasi biasanya dapat kelas tinggi saat pengukuran. Jangan terlalu cemas."
Oh jadi intinya, pak tua ini mau bilang kalau sensasi mati begitu cuma halusinasi?
Jevian menyeringai. Ia ingin sekali marah mendengar kata kata menyepelekan seperti itu tapi ia sadar diri. Kalau mereka sampai bilang aku cuma halusinasi, artinya memang betul betul nggak ada bangkai monsternya. Atau jangan jangan diambil Savior lain? Ah tapi, jejak pertarungan dan kakiku kan harusnya ketemu. Selain itu, luka luka ku bahkan sampai kakiku yang hilang juga sembuh semua.
Jangan jangan aku memang halu?
Jevian menutup mata rapat rapat. Untuk sementara semuanya akan ia simpan senidir
"Nama saya Rangga. Saya ditugaskan dari pusat asosiasi negara karena saya dengar dari rumah sakit anda dicurigai mengalami kebangkitan." Rangga mengeluarkan kartu nama dari balik jasnya. "Silakan telepon ke nomor ini dan buat janji begituan anda sembuh...."
Dan seterusnya.
Jevian tak mengingat begitu jelas karena pikirannya kepalang sakit untuk mengingat hal hal yang terjadi belakangan. Belum lagi anak perempuan yang dia tolong. Bagaimana kabar anak itu? Jangan jangan anak itu juga hasil halusinasinya?
Ia cuma merespon dengan mengangguk sekenanya sampai Rangga dan dokter di sebelahnya menarik kesimpulan kalau Jevian belum mampu diajak bicara. Mereka keluar kamar dan melanjutkan cakap cakap mereka di luar kamar, meninggalkan Jevian bersama Dewangga yang sedari tadi mendengarkan dari sofa. Sementara Jevian langsung berbaring sambil menjambak rambutnya sendiri di atas bangsal rumah sakit.
"Pusing banget anjir. Masa aku dikata halu?" Keluh Jevian. "Jadi gak nafsu ngapa ngapain."
"Tidur lagi aja, kak." Kata Dewangga sebelum terdiam. Matanya menatap lurus ke ponselnya sambil memasang wireless earphone milik Januar. "Anu, kak, mau tanya sebentar."
"Apa?"
"TPU yang...tempat kakak ditemuin orang itu...kakak ingat nama TPU atau nama daerahnya?" Tanya Dewangga. "Kalau nggak, nama gedung terkenal di dekat situ aja, deh."
"Tempat terkenal? Hmm..." Jevian berpikir sejenak. Kemudian ia menjentikkan jari. "Oh, ada. Itu, loh, kafe yang belakangan terkenal banget di internet, yang tempatnya estetik. Apa ya namanya, Coffee Monochrome? Iya itu kalau gak salah. Aku ingat soalnya aku janji mau bawa Janu ke sana waktu ultah."
Dewangga terdiam sejenak. "Oh..."
"Emang kenapa?"
"Nggak." Kata Dewangga sambil menatap layar ponsel dan menaikkan volume earphonenya. "Nggak ada apa apa..."
"BREAKING NEWS! ASLI ATAU EDITAN?PENAMPAKAN MONSTER TERBANG SEUKURAN ORANG DEWASA DI LANGIT MALAM TERTANGKAP KAMERA OLEH PENGUNJUNG COFFEE MONOCHROME? DENGARKAN SELENGKAP HANYA DI..."