Laki laki itu berdiri seorang diri di pojokan sana. Seorang temannya, yang sering ia injak injak harga dirinya tapi tak pernah peduli, melenggang masuk santai dengan jalan yang berlenggak lenggok padahal ia jantan. Kali ini wujudnya adalah rubah.
"Lihat, lihat kawanku yang menyedihkan ini." Kata rubah jantan itu sambil mendekat padanya. "Hei, Kalloyd, sudahlah. Jangan terlalu diambil hati dan rilekskan pikiranmu sedikit. Setelah ini kita temui Ezre."
"Berisik, Cain." Kalloyd menyahut dengan sebal. Tak tahan lagi diremehkan. "Kamu kan tau mataku itu hasil merampas siapa. Dan sejak tadi—" Tatapannya kembali pada sosok berambut terang nun jauh di tengah sana, yang sekarang sedang menjauh dari sosok satu lagi berambut hitam. "—aku bisa lihat aura terkutuk menguar dari orang itu sampai kemana mana. Pantas saja selama ini aku merasa entah kenapa dia menghindari ku dan menempel terus terusan pada anak itu setelah mengadu domba kami." Giginya bergemeletuk. "Tapi nggak mungkin kalau dia berkhianat, kita tau persis anak itu bagaimana. Itu artinya pasti ada Bhala yang menyusup. Kalau begitu, Zenox yang asli ada dimana? Apa yang dia rencanakan? Noir berengs*k itu juga entah kenapa indranya tumpul sekali. Apa gunanya Reflection eye yang dia bangga banggakan itu?"
"Jangan marah marah, Kal. Aku pusing, nih." Cain loncat ke atas meja. "Kita kan juga tau kalau anak itu nggak pernah pakai Reflection eye saat bersama kita. Jangan disalahkan mentang mentang kamu kesal. Karena kalau sampai semua yang ada disini nggak sadar selain kamu yang bisa 'melihat', artinya pangkatnya lumayan tinggi..."
Kalloyd mendecih mendengar itu. Sialan. Dia benar.
Laki laki itu kemudian berjalan menjauhi kerumunan dengan suasana hati yang hancur. Dengan sigap Cain loncat ke pundaknya. "Mau kemana~? Ikut, dong."
Kalloyd tidak menjawab, tapi juga tidak bergerak menyingkirkan rubah itu dari pundaknya.
"Jangan jauh jauh, Kal. Sebentar lagi rapatnya dimulai." Cain memperingatkan. "Aku tau kamu kesal. Iblis itu benar benar pintar mempermainkan situasi. Dia menggunakan informasi yang dia curi untuk memanfaatkan mu dan merusak pertemanan kita. Tapi justru karena itu lah kamu nggak boleh jauh jauh dari aula. Cuma kita yang—"
Keduanya berhenti. Seiring dengan lingkaran sihir sebesar nampan yang muncul di depan mereka. Tak ada satupun yang bicara dari keduanya. Dan yang membuat mereka kaget bukanlah karena mereka tidak tau sihir macam apa itu, akan tetapi karena sadar bahwa sihir macam itu tidak seharusnya muncul di hadapan mereka.
"Sihir...pemanggilan?" Beo Cain. "Bagaimana bisa...ada makhluk yang mengundang Rasi bintang?"
Aneh. Nggak beres, pikir Kalloyd dengan keras. Sambil memastikan bahwa lingkaran sihir di depannya betul betul sihir pemanggilan untuk dua orang, ia bermonolog dalam hati. Sebenarnya apa yar terjadi? Apakah ini semua hanya kebetulan? Dari mulai makhluk sial itu yang dengan lancang mengadu domba diriku dengan Noir lewat Zenox, sampai kami, para gugusan bintang yang baru saja mencapai tingkat Konstelasi, bisa dipanggil oleh makhluk lain?
"Hei, ini boleh kusentuh? Kamu lagi mikir apa? Siapa tau ini panggilan pertama kepada ras Rasi bintang sekaligus penutup masa kita sebagai gugusan bintang. Kalloyd, kamu dengar aku?"
Apa, ya. Kira kira apa, ya.
"Ah, kamu nggak mendengar ku, ya? Kusentuh, lho. Pokoknya apapun yang terjadi jangan salahkan aku kalau sudah kusentuh. Salahmu yang nggak menggubris."
Mulai dari Ezre yang mulanya sering kelayapan tiba tiba jarang muncul. Memangnya dia sibuk ngapain? Ngobrol dengan pohon? Sampai kejadian itu. Lalu sekarang ini. Benang merahnya akan jelas kalau jangan jangan ini...
Secepat kilat Kalloyd menoleh ke arah Noir, yang ternyata sekarang juga sedang menatap lingkaran sihir di depannya. Mata Kalloyd terbelalak seutuhnya. JEBAKAN?!
Kedua teman Kalloyd, baik yang sekarang sedang bertengger dengan kurang ajar di atas pundaknya ataupun yang saat ini belasan meter jaraknya dari lelaki itu, sama sama sudah mengarahkan tangannya ke lingkaran itu dan sisa jarak mereka tinggal sesenti. Jantung Kalloyd serasa hampir keluar saat itu juga. Secara reflek, dia mengambil semua napas yang ada di paru parunya dan berseru dengan nada paling tinggi, "JANGAN!"
Sayangnya seruan itu malah mengagetkan semua orang di ruangan berikut dua temannya sampai tangan mereka tergelincir begitu saja dan tidak sengaja menyentuhnya.
"Ah," kata Cain begitu lingkarannya berputar. "Sudah kesentuh—"
Lingkaran itu mulanya berputar dengan kecepatan normal. Tapi kemudian makin cepat, cepat dan cepat, sampai keduanya terhisap ke dalamnya. Kalloyd merasakan dirinya sendiri jatuh ke dalam kegelapan yang pekat tidak berujung, membuatnya bersusah payah mengumpulkan semua akal sehat sampai tiba tiba ia tersentak, terengah engah dan bangun terduduk di tempat tidur. Jantungnya berdebar kencang sekali, hal yang sungguh asing baginya setelah bertahun tahun tidak pernah ia rasakan. Spontan saja tangan kanannya terangkat menyentuh dadanya, sebagaimana dalam kepalanya ia merasa jantungnya akan segera lepas. Tangan satunya lagi menyentuh ujung mata kirinya dan sesaat kemudian ia menoleh ke cermin. Menemukan wajah lama yang baru disaat bersamaan.
Ah, benar, pikirnya. Aku membuat kontrak dengan fragmen jiwaku yang lain.
Perlahan lahan ia mengatur napas. Mensugesti kepalanya sendiri supaya kembali tenang. Ia mengambil udara dalam dalam, lantas menghembuskannya dalam satu tarikan napas.
Sudah berapa lama waktu berlalu sejak hari itu? Batinnya bertanya seraya ia menyentuh ponselnya. Lihat kalender pun percuma karena garis waktu itu rumit sekali. Haruskah aku segera menemui Ezre?
Jevian berdiri, bangkit dari tempat tidurnya dan membuka jendela kamar. Aku diturunkan di dimensi ini. Pas sekali saat ada fragmen lain jiwaku yang waktunya tinggal sedikit. Selain itu...dunia ini kacau. Kelewat kacau dan lagi lagi gara gara...Bhala.
Jevian mencengkeram kusen jendela erat erat. "Makhluk sialan itu beraninya..." Desis laki laki itu. Apa ini deklarasi perang?—
KRAK.
Jevian terentak. Refleks menoleh ke bawah dan menemukan kusen yang ia cengkeram retak. "Ah..." Keringat dingin menetes dari jidatnya. Aku lupa kalau ini dunia manusia!
Pas sekali kemudian pintu diketuk. Dengan kikuk dia menoleh ke arah pintu yang ia yakini dibaliknya sekarang adalah Diana, adiknya yang nomor dua.
"Kak, kak Jev udah bangun?"
Jevian menelan ludah, berbisik dalam hati bahwa dia bukanlah Jevian. "Iya, udah." Katanya. "Kenapa? Masuk aja."
Mulanya tidak ada jawaban. Tapi kemudian, pintu itu terbuka pelan pelan. Disitulah Jevian melihat kalau dibalik pintu itu ternyata bukan hanya Diana, melainkan juga ada dua adiknya yang lain. Mereka saling pandang sejenak, sebelum Januar si bungsu, membuka mulut paling pertama. "Kita ngiranya kakak sakit."
"Sakit?"
"Iya. Sebenernya kakak jadi agak aneh sejak awaken. Kemarin juga kakak tiba tiba keluar malem malem jam setengah dua belas dan nggak kayak biasanya aja gitu kakak nggak pamit." Dewangga berdehem. "Atau kakak ada masalah?"
Jevian bungkam. Membisu cukup lama sampai rasa geli menggelitik perutnya dan bahunya mulai berguncang kecil. "Pft—masalah apaan, nggak, kok." Katanya sambil melangkah keluar kamar dan merangkul ketiga adiknya sekaligus. "Ayo, siap siap sekolah. Mau makan apa?"
"Ah—" ketiganya lagi lagi bungkam. Bahkan saat Jevian dengan iseng mengacak acak rambut adik pertamanya—yang biasanya direspon dengan murka—ia tetap diam saja dan kelihatan ragu untuk bicara.
Helaan napas Jevian berembus. "Kenapa lagi?"
"Eh—maaf, kak, tapi—" Diana masih ragu ragu. Ia mengikuti Januar dan menyuruhnya melanjutkan sampai dibalas dengan pelototan.
"Kenapa, sih? Risih, tau nggak."
"I..itu lho, kak. Sebenernya... Anu.."
"Duh, lama." Keluh Jevian sambil melepas rangkulannya. Ia menatap Dewangga. "Ada apa sih, Ngga?"
Dewangga menjeda sejenak sebelum akhirnya betul betul membuka mulut. "Kita penasaran sama hasilnya kakak yang kemarin." Katanya. "Kakak katanya awaken? Tapi dari kemarin nggak ada ngomong apa apa ke kita kita."
Jevian terdiam, dengan mata melebar dan mulut tertutup rapat. Ia mengamati wajah masing masing ketiga adiknya yang semuanya kikuk dengan Dewangga sebagai pusatnya. Diana lah yang paling murka tapi juga lega. Dengan penuh rasa heran dia berceletuk. "Memang, deh, Dewa. Kak Jev ngomong apa aja langsung iya. Jangan jangan disuruh nyebur kali juga hayuk, gitu?!"
Januar mengangguk menyetujui. Membuat wajah Dewangga yang sudah bete jadi semakin merah. "Kak Jev yang sengaja. Dia tau aku bakal langsung jawab makanya nanya ke aku."
"Makanya kenapa mulutmu tuh licin banget?"
"Nggak tau, reflek." Dewangga makin risih dan menyalahkan diri sendiri. "Aku juga maunya jawab agak sungkan. Tapi terlanjur kebiasaan."
Pemandangan itu sekali lagi mengundang tawa untuk Jevian. Ia terbahak bahak sampai meneteskan air mata lalu susah payah berhenti. "Udah,udah. Tadi katanya mau tau, kan?"
Ketiga mata penuh binar itu teralih padanya. Ia menyunggingkan senyum. "Jawabannya...rahasia." Jevian menjeda sesaat sambil melirik ke kiri lalu menatap lurus lagi. "Kukasih tau sebulan lagi."
"Udah ganti musim, anjay." Dewangga reflek protes paling pertama. "Gila, ya? Kita nggak repot repot nanya cuma buat dengar kalo jawabannya rahasia."
Begitu pula ketiga adiknya yang menatapnya dengan tatapan menyalahkan dan tidak percaya. Tapi Jevian menebalkan muka, tidak tergubris sedikitpun dan mengendikkan bahu. "Udah, sana siap siap sekolah—oh, iya. Nanti waktu kalian sekolah aku bakal pergi."
"Eh? Mau kemana?"
"Ada, lah. Paling tiga harian. Dewangga jaga rumah, ya."
Ketiga adiknya saling tatap. Tatapan sedih mengudara diantara mereka dengan Jevianyang memunggungi mereka. Setelah mengumpulkan lebih banyak keyakinan, Januar akhirnya berkata dengan nada memohon, "Jangan pergi."
Gerakan tangan Jevian terhenti. Kepalanya menoleh sedikit. "Pergi kemana?"
Januar menggigit bibirnya sendiri. "Walaupun kakak betul betul awaken, apa kakak akan tetapi pergi kalau aku bilang jangan?"
Jevian tersenyum.
Sebab tanggung jawabnya sebagai eksistensi tinggi sudah jauh lebih besar dari sekadar keluarga.
_____________________________
Dua Hari Kemudian, Yogyakarta.
Langit mulai menggelap. Jalanan tetap ramai dengan para pejalan kaki mendominasi trotoar dan pesepeda motor di jalan raya. Wanita itu, yang mulanya baru menyadari kalau putranya lepas dari pandangan matanya, tidak pernah membayangkan pemandangan bahwa yang saat ini nyaris tertabrak motor adalah putranya sendiri.
"BIMA, AWAS!"
Teriakan itu bagai alarm yang membuat sekian banyak kepala menoleh ke arah yang sama demi menemukan anak kecil yang tinggal tiga meter akan segera tertabrak motor. Dalam sekejap mata, saat orang orang sibuk memejamkan mata karena tidak mampu membayangkan apa yang terjadi selanjutnya, mereka justru membuka mata dalam keadaan anak itu sudah ada di sebrang jalan, dalam gendongan seorang laki laki yang berjaket abu abu yang sekaligus membawakan mainan anak itu.
Wanita itu, ibu dari anak yang nyaris tertabrak motor, segera mendekati dua orang itu disusul oleh kerumunan orang lain. Anak itu segera saja menangis karena kaget, tapi selebihnya tak ada yang perlu dikhawatirkan karena ia tampak baik baik saja. "Kamu nggak apa apa, sayang? Udah, nggak papa, sekarang udah baik baik aja, kok, berkat kakak ini." Sembari memeluk putranya ia berdiri menatap laki laki itu. "Makasih banyak. Saya nggak tau harus gimana kalau nggak ada kamu tadi."
Berkebalikan dengan seharusnya, laki laki itu malah kelihatan tidak fokus dan menatap ke arah dua tangannya sendiri sampai Wanita itu kebingungan. "Kenapa, kak? Ada yang luka? Mau ke rumah sakit?"
Laki laki itu tersentak. "Oh, nggak papa, Bu. Saya baik baik aja."
Wanita itu tersenyum lega. "Syukurlah. Ngomong ngomong, kamu Gladiator? Nama kamu siapa? Mau saya ajak makan sebentar?"
Seulas senyum terbit di wajah tampan laki laki itu. Ia membuka tudung jaketnya. "Nama saya Jevian. Dan, terimakasih tawarannya, Bu. Tapi saya ada urusan." Seulas senyum terbit di wajahnya. "Saya pamit dulu, permisi..."
Jevian berbalik. Tepat setelah mendengar wanita itu menjawab dengan suara lembut sekali, "Ah, iya, silakan..." Seraya menaikkan tudung jaket kelabunya.
Sembari Jevian berjalan lurus, ia masih bisa mendengar orang orang berbisik bisik di sekitarnya dengan samar mempertanyakan asal usulnya. Jelas sekali kalau diantara mereka ada yang berniat memberhentikan Jevian sejenak cuma untuk dipotret dan diviralkan. Tapi, Jevian punya hal yang lebih penting untuk diurus seraya ia memikirkan satu hal.
Dengan tatapan miris ia menatap telapak tangannya sendiri. Kekuatanku, kecepatanku, semuanya turun drastis, batinnya pedih. Rasanya ia ingin berteriak saat itu juga. Sialan, rasanya aku mau marah karena stat bertarung tidak bisa dimiliki saat jiwaku di transfer ke tubuh lain. Kalau mengingat usahaku mendapatkan kekuatan itu...aku sakit hati...
Dahinya mengernyit penuh emosi. Ia menghela napas panjang sekali lagi tapi kemudian berhenti di satu titik perempatan jalanan. Matanya terfokus pada seekor kucing hitam diseberang sana yang sedang mondar mandir diantara kerumunan, berlenggak lenggok diantara puluhan kaki manusia. Diselipkannya kedua tangannya ke dalam saku celana. "Yah...walaupun begitu, akhirnya muncul juga." Seulas seringai membingkai di wajah Jevian. "....antek antek sang 'Ratu'."
Sudah dua hari Jevian menunggu sejak kedatangannya ke kota ini. Dan setelah menunggu sejak malam lalu pagi dan sampai malamnya lagi, baru siang ini makhluk yang ia cari cari itu muncul. Ras Gein? Batinnya menerka. Kalau gugusan bintang pun paling paling cuma mage tingkat prajurit. Seandainya itu benar, lanjut Jevian dalam hati sambil memundurkan kaki kirinya, memusatkan tenaga pada kedua kakinya sekaligus untuk membuat ancang ancang kecepatan penuh sambil lanjut memperhitungkan, segini sih harusnya cukup.
Laki laki itu menarik napas, memejamkan mata, dan membukanya. Sembari menghitung sampai tiga ia memperhatikan kendaraan kendaraan yang lewat dan mencari celah.
Satu....
Dua....
TIGA!
Kaki Jevian maju tanpa ragu, demikian cepatnya sampai Tak satupun mata manusia menangkap gerakannya. Ia menggunakan tiga langkah untuk menyebrangi jalan raya. Berhenti sebentar dan lanjut maju sepuluh meter dalam enam langkah, menyambar kucing hitam yang walaupun kaget tapi tak diberi celah untuk memberontak sekadar mengeong, lalu maju lagi lima langkah masuk ke jalan sepi.
Jevian melempar kucing itu ke tanah dan menekan tubuhnya dengan tangan kanan.
"Meong! Grrr...." Kucing itu meronta mencakar cakar. Jevian semakin menguatkan cengkeramannya.
"Diam." Desisnya penuh ancaman. "Kuberi dua pilihan. Satu, segera berubah wujud dan jawab pertanyaan ku, aku bisa bicara baik baik. Dua, matilah ditanganku."
Kucing hitam itu berhenti meronta. Setelah sejenak kelihatan menggeram, dalam sekejap mata ia berubah jadi manusia yang rambut hitamnya memanjang sampai menutupi tengkuk dan sebagian wajah.
"Grrr..." Ia menggeram. Jevian mengangkat alisnya saat menyadari bahwa Gein itu terlihat muda. Anak anak?
"Siapa namamu? Berapa usiamu?" Tanya Jevian sambil melepas cekikannya.
Gein itu masih menampakkan wajah permusuhan. Ia memicing tajam pada Jevian dan bertanya dengan nada waspada, "Siapa kau?"
Jevian menaikkan sebelah alis. "Aku? Hm...orang orang taunya aku Kalloyd. Pernah dengar?"
Wajah permusuhan itu belum hilang dan anak itu tidak mengangguk atau menggeleng. Sudah kuduga dia baru lahir...
"Kalau begitu Living Blood. Pernah dengar?"
Hanya butuh sedetik sampai wajah gein itu berubah pias. Mana mungkin ada yang tidak tau orang itu?! Ia pernah dengar julukan itu. Living Blood, nama ejekannya saja Bedebah Sadis. Kalau namanya yang lain seingatnya adalah... Dewa Medan Perang.
"Ka-kamu Living Blood?"
"Perlu dibuktikan?"
Sontak saja ia langsung menyadari kalau ia sudah salah bersikap. Dengan bahu yang mulai gemetaran dan mata yang tadinya buas kini dipenuhi rasa takut, ia segera berlutut dan menundukkan kepala tanpa pikir panjang dan berujar dengan terbata bata, "A...a...ampuni saya, Tuan!
Jevian menyeringai. "Wah...apa ini? Kamu tau julukanku tapi nggak tau namaku? Jahat."
Gein itu gemetaran, tak tau harus jawab apa.
"Angkat kepalamu." Perintah Jevian yang langsung dituruti. "Jadi siapa namamu?"
"Na-nama saya Ax, usia 40 tahun..."
"Wah! Benar benar baru lahir, ya?! " Jevian terbelalak. "Apa aku baru saja melakukan kekerasan?"
"Ti-tidak!"
"Oke, terimakasih sudah memaafkan ku." Kata Jevian sambil merangkul Ax keluar gang kecil. Membuatnya jadi terlihat seperti penculik karena wajah Ax yang kelewat tegang sementara ia malah terlalu santai. "Jadi, aku mau minta tolong sesuatu.."
"Ya?" Ax menoleh dengan bingung sambil menelan ludah. Aku nggak disuruh mati, kan? "Apa yang bisa saya lakukan untuk anda, Tuan? Akan saya laksanakan apapun perintahnya!"
Jevian tertawa kecil. "Aku jadi terharu.." Ia bergumam. "Yah...pokoknya...bukan hal yang sulit, kok..."
Keringat dingin mengucur dari jidat Ax. Hanya dengan melihat jalanan dan merasakan tekstur udara yang ia hirup setiap hari, Ax sudah hapal tempat macam apa yang akan ia jumpai jika terus menyusuri jalan ini. Sebuah tempat yang ia sebut sebagai istana ke dua.
"Aku cuma mau tanya tanya sedikit soal Ratumu..."
Oh, tidak, Batin Ax menjerit seiring langkah kaki mereka yang berhenti di depan sebuah gedung. Tepat di puncak sana, di salah satu sisi yang berlapiskan kaca magis anti peluru yang mengkilat nan mewah, terpatri susunan huruf yang bila dibaca,
[GUILD AMERTHA]
Tatapan mata Jevian mendingin seketika. Ketemu kau, Kantarine.
"Jadi, Ax..." Jevian menyeringai bengis. "Masuklah ke dalam dan katakan pada Ratumu yang sangat kau hormati itu. Katakan padanya bahwa lawan tanding masa lalunya sedang berdiri di bawah sini. Beru dia dua pilihan, mau beri aku undangan masuk atau tidak, dia pasti tau apa yang akan ia dapat tergantung pada pilihannya."
Ax menelan Saliva, terjebak dalam dilema antara dua sumber horor yaitu gedung tinggi di depannya dan laki laki psikopat di sampingnya. Sambil menangisi umurnya yang masih muda dan hidupnya yang singkat, ia berbisik dalam hati, Tamat sudah riwayatku.
______________________________
(bonus)
FOOTNOTE DICTIONARY.
APA ITU BINTANG?
Sebutan lainnya adalah Guardian. Pembagian kelas mereka sendiri ada beberapa. Dan yang udah unlock sampai saat ini : Prajurit, Jenderal sama Panglima. Ini nggak ada sistem kasta ya. Kata lainnya ini cuman level gitu.
BHALA
Musuh utama para bintang.
GEIN
Ras yang lebih kuat dari manusia tapi tidak menandingi Bintang. Pembagian levelnya ada Bawah, menengah ke bawah, menengah, menengah ke atas, atas.
(Silakan tanya di kolom komentar kalau mau tanya sesuatu. Asal nggak berhubungan dengan plot, mungkin akan kujawab.)
Sekian, terimakasih(^^)