"Kamu tanya padaku bagaimana caranya menghadapi Mage?"
Usia Carleo saat itu baru dua ratus tahun. Masih termasuk kecil untuk bisa diejek embrio oleh Ezre. Dengan tatapan yang penuh kedongkolan, ia mengangguk pada Kalloyd dan seketika pria itu tertawa. "Padahal ini duel ketigamu dengan Felipe. Tapi kamu baru tanya padaku setelah kalah tiga kali? Sebenarnya, Carleo, kamu anak yang percaya diri."
Alis Carleo berkerut malu. "Bukan begitu, master...."
"Aku tau, hahahaha!"
Kalloyd bangkit terduduk dari posisinya berbaring di atas Padang rumput. Laki laki itu mengenakan kacamata hitam yang ia dapatkan dari Enoir, salah satu dari Fostered Children—mereka yang lahir di tahun pengguguran bintang dan tumbuh dibawah penjagaan Ezre. Entahlah ia meminjamnya tanpa izin karena kesal atau kalah taruhan lalu dipaksa memakai.
Waktu itu dari kejauhan, Kalloyd kelihatan seperti sedang mencabuti beberapa rumput untuk menciptakan satu area tanah merah. Kemudian, ia melambai pada Carleo sambil memerintah dengan nada rendah, "Kemarilah. Bawakan aku satu patahan ranting yang pendek saja."
Carleo menurut.
Sementara Kalloyd mulai menggambar sesuatu yang ia terka terka, mata laki laki itu berubah membelalak. Mengundang seringai di wajah Kalloyd. "Kenapa? Kamu kaget aku bisa menggambar lingkaran sihir?"
Dengan kaku Carleo mengangguk. "Iya...apa itu artinya anda juga bisa—"
"Oh, jelas tidak." Kalloyd mengangkat sebelah alis. "Sudah kubilang kita tidak punya mana. Kita tidak melakukan sihir. Blood Aether terlalu bertentangan dengannya."
Sebuah pernyataan yng makin membingungkan Carleo. "Lantas?"
Lingkaran sihir itu berangsur sempurna. Dan yang semakin membuat Carleo takjub adalah bahwa yang digambar bukanlah spell satu atau dua lingkaran, tapi sembilan lingkaran.
Tangannya bergerak lagi, menggambar satu lagi lingkaran sihir sambil berbicara. "Dengarkan, Carleo. Akan kujelaskan perbedaan cara memakai mana antara tuan tanah, mana beast, dan elementer seperti si bajingan Noir itu."
Dengan senang hati Carleo mendengarkan seksama. "Tuan tanah bergantung pada teritori mereka. Bertarung paling efisien bagi mereka adalah saat ada di teritori, tapi bukan berarti mereka lemah jika bertarung di luar zona. Mereka menggunakan alam sesuka hati mereka saat mereka ada di daerah kekuasaan. Tapi, mereka menggunakan spell—alias lingkaran sihir—untuk menggunakan mana diluar ruangan karena mereka tidak punya wadah.
"Dua, Mana beast. Mereka adalah makhluk yang tidak dispesifikasikan perkara elemennya. Mereka mengubah mana menjadi sihir dengan menggunakan spell sebagai perantara. Mereka dalah guru bagi para penyihir dan beberapa ada yang didewakan oleh kaum manusia. Terakhir,
"Para Visitor Elementer. Mereka mengubah mana menjadi elemen yang mereka kuasai, meneliti, mengembangkan, serta menyusupkan banyak sihir di elemen yang mereka ciptakan. Felipe, Transenden Enoir si Elementer kristal, sudah pasti punya stok mana dengan jumlah yang tidak bisa dibayangkan sampai sampai terasa mustahil bagimu melawannya. Tapi, Carleo, percayalah padaku. Ada banyak hal yang masih bisa dilakukan dengan ada atau tidaknya mana. Hanya karena kamu adalah tipe combatt yang tidak punya mana bukan berarti kamu akan kalah melawan para Mage."
Carleo sekali lagi memanas mengingat kekalahannya. Tapi tak satupun kalimat Kalloyd yang lolos dari ingatannya hari itu. Ia menyimak semua perkataannya seolah olah itu adalah wejangan tata cara bertahan hidup di hutan belantara yang jika ia lupa, maka ia akan meregang nyawa.
"Kamu tanya padaku bagaimana cara menghadapi Mage Tuan tanah, Elementer, dan beast? Gampang. Bahkan jawabannya sangat bisa diringkas. Yaitu—" Dalam satu goresan, Kalloyd merusak spell sembilan lingkaran yang ia buat di atas tanah begitu saja dengan senyum mengembang. "—Rusak saja spell mereka!"
Carleo mulanya tercengang, dan fakta itu jelas sekali sulit dipercaya. "Tanpa mana? Bukankah melawan sihir itu hanya bisa dilakukan dengan sihir?"
Kalloyd menggeleng. "Pemikiran mu simpel sekali, ya. Menurutmu, bagaimana bisa aku naik sampai ke tingkat jendral kalau menghadapi Mage saja tidak bisa?"
Carleo semakin tercengang karena itu semua masuk akal.
"Merusak spell itu banyak caranya. Kalau kamu sudah terbiasa bertarung dengan mereka, kamu akan bisa melihat ketidak simetrisan, keretakan ruang yang tidak kuat menahan mana, celah antar lingkaran atau atom paling tipis yang bisa dikoyak, sampai titik tertentu yang rentan disisipi oleh Aether."
Itu kedengaran hebat. Saking takjubnya, hanya dengan membayangkan melakukannya saja Carleo tanpa sadar sudah berdiri dan hendak menghampiri Felipe sekali lagi untuk mengajak berduel.
Duel keempat, kalah.
Duel ketujuh, kalah.
Duel kedua belas, kalah.
Duel ke tiga puluh, kalah.
Duel ke lima puluh, kalah.
Dan setelah sekian kali mendongak ke atas dengan geram, duel ke tujuh puluh lima berakhir dengan sebelah tangan Felipe yang terpisah dari tubuhnya. Hari itu Carleo tertawa kegirangan, seperti seorang sosiopat yang lupa kalau sebelum ini kepalanya berkali kali terpisah dari tubuhnya. Apalagi saat Kalloyd memujinya sambil mengatakan kalau dia semakin hebat saja tiap harinya. Ia senang. Hari itu sekali lagi tanpa diminta, Carleo bersumpah dalam hatinya sendiri bahwa ia akan selalu bertarung mendampingi masternya dan jadi pedangnya di segala pertempuran.
Itulah yang ia harapkan. Bertarung bersamanya, menebas pedang mengikuti langkahnya, mempersembahkan kepala para musuh dihadapannya. Carleo ingin mengoyak semua sihir dalam pertarungan bersama masternya, bukannya sibuk membobol spell penghalang enam lingkaran dengan kepala sepanas tungku karena murka.
Seperti saat ini.
Matanya melotot penuh amarah sembari ia menggores spell itu berulang kali di tempat yang sama dengan salah satu belatinya. Dibalik perasaannya yang panas membara, kelebat kelebat memori menghujani bayangannya sampai sampai ia jadi semakin panik.
"Kamu Albino? Aku baru pertama kali melihat yang seperti kamu di dimensi ini."
"Mau ikut denganku? Jadilah Transendenku."
"Siapa namamu?"
"Kerja bagus."
"Memegang senjatanya seperti ini akan jauh lebih efisien."
"Kamu belum punya nama?"
"Kalau begitu mulai hari ini, namamu Carleo."
Sayatannya menguat tiba tiba. Siapapun yang melihatnya pasti akan menyadari kalau laki laki itu nyaris merasa frustasi. Seluruh fokus Carleo benar benar terpusat pada Lingkaran sihir di depannya sampai ia tidak menyadari kedatangan Garan.
"Bagaimana?" Tanya Garan seraya salah fokus menatap spell yang semakin retak. Dalam ketakjubannya ia berpikir, Padahal kukira dia membual waktu bilang bisa merusak spell tanpa mana. Tapi apa apaan ini?
Sementara itu, Carleo menyahuti pertanyaan itu dengan tanpa menoleh. "Dimana Nyonya Kantarine?"
"Master sedang mengurus semuanya." Garan menggulung lengan baju setelah melepas jas. "Aku baru selesai membuat semua orang pergi dari sini."
Laki laki itu mulai konsentrasi, ia berniat melapisi lingkaran sihir yang diretakkan oleh Carleo dengan cara melapisinya dengan lingkaran sihir lain. Tapi kemudian, aksi itu dicegah Carleo. "Tidak usah."
Garan terkejut. "Huh? Kupikir ini untuk mempersingkat waktu."
"Peringkat waktu apanya?"
PYARR. Lingkaran pertama pecah.
Kejadian itu dilihat langsung oleh mata kepala Garan sehingga ia kesulitan berasumsi kalau hal ini merupakan dusta. Ia menelan ludah, merinding sekonyong konyong saat Carleo memutar tubuh menghadapanya, "lingkarannya sudah selesai kurusak."
Sekadar berkomentar pun Garan jadi tidak sanggup. Pada akhirnya, sambil menunggu masternya datang, ia membuat lingkaran sihir dan mulai merusak lingkaran lain tanpa lupa curi curi pandang pada Carleo yang melakukan hal serupa.
_____________________
Lorong yang ini juga gelap. Udaranya lembab dan kotor oleh debu debu dari pijakan kaki Jevian yang sekarang sedang berdiri di depan pintu sebesar nyaris dua kali lipat ukuran monster raksasa tadi. Kedua tangannya sudah menggenggam belati yang terbuat dari bijih timah terbaik seharga hampir empat miliar milik Kantarine yang ia pinjam. Kualitasnya tidak sebagus senjata lamanya, tapi semua itu bukan masalah.
Ia menarik napas panjang, menghembuskannya dengan tenang, lantas mulai mendorong pintu itu.
Aura gelap menusuk kulitnya.
Pada awalnya, netra manusia umumnya tak mampu menangkap apa apa selain gelap yang tidak berujung. Apalagi saat pintu tertutup begitu saja setelah sepuluh langkah semakin ke tengah. Tapi berkat pengalaman bertarungnya dalam kurun waktu yang tidak bisa dibayangkan, Jevian masih bisa merasakan hawa keberadaan makhluk itu.
Yang pertama kali menyala sebelum dua obor di sisi singgasana adalah sepasang mata merah itu. Empat tanduknya kembar berpasangan. Dua melengkung ke bawah dan sisanya mencuat ke atas. Struktur kepalanya hampir menjelaskan kalau dia adalah manusia kepala banteng jika saja taring taring berbau amis itu tidak mencuat keluar. Badannya nyaris dua kali lipat tinggi Jevian dengan sepasang kapak yang sudah jelas merupakan senjatanya.
Makhluk itu sekilas serupa dengan apa yang ada di ingatan Jevian. Kendati demikian, Jevian bahkan tidak perlu merasa ragu hanya untuk menyadari kalau mereka adalah makhluk yang berbeda.
Keduanya saling tatap. Dan Jevian memberi salam paling pertama. "...Kamu mirip juga. Aku hampir bilang lama tidak jumpa."
Monster itu masih menatapnya lekat lekat dengan mata merahnya yang harus darah. [Jadi...itu...Kamu...]
Jevian menyeringai. "Gimana? Mau duel sekarang atau kita basa basi dul—"
Tiba tiba saja, kapak itu sudah di depan matanya.
Sejak kapan?!
Kapak itu meluncur deras sampai menghantam pintu di belakang Jevian dan demikian saja untuk mengundang perasaan tertarik bagi si monster.
[Luar biasa.] Kata Monster itu sambil tertawa. [Rasa kaget bahkan gagal menghancurkan ketenangan mu. Dari jarak sedekat itu, kamu bisa mengukur dengan lebih cepat apa hal paling minimalis yang bisa kamu lakukan dan kamu pun menolehkan kepala untuk menghindari kapakku.]
Sudut mata Jevian melirik si kepala banteng yang mulai bangkit berdiri. Dalam kepalanya, saat ia menyadari bahwa kapak barusan itu benar benar hampir membelah kepalanya jadi dua, ia berpikir, Memang benar dia itu Secondary Bhala. Tapi—
Belatinya terangkat dengan senyumnya merekah.—Sampai di situ saja.
Karena Jevian adalah sang Living Blood.
Dalam sekejap mata, mereka saling beradu senjata menerjang satu sama lain. Dan sekali lagi, Jevian rasanya mau muntah karena memutar kepala terlalu cepat saat tiba tiba kapak yang tadinya menancap di pintu masuk kembali melayang di dekat kepalanya. Sejenak telinganya berdenging, dan lagi lagi, sebuah gerakan refleks berhasil menyelamatkan nyawanya saat sebuah kapak dihantam tepat di depan wajahnya.
CTANG. Dua senjata mereka saling beradu dan menghadapi tenaga monster itu, tangan Jevian gemetaran. Monster itu jelas sadar akan hal itu dan menyita celah dengan menendang perut Jevian.
[Ratu Kami benar.] Kata Monster itu sambil tertawa kegirangan. [Kamu melemah. Tidak kusangka aku akan mendominasi pertarungan dengan sang 'living blood', wahai panglima.]
Jevian sendiri masih terlampau kaget dan sibuk menjaga keseimbangan. Karena kalau ingatannya tidak salah, salah satu yang paling merepotkan saat melawan makhluk ini bukan hanya tenaganya saja tapi juga jebakan di ruangan ini.
Sayangnya semua itu terlambat.
Saat ia sedang mengedarkan pandangannya dan membagi fokus, kaki laki laki itu tiba tiba saja sudah bertumpu pada satu titik di lantai dan seketika, ekspresinya berubah saat merasakan permukaannya bergerak.
Shit. Jevian refleks mengumpat. Dan belum selesai rasa waspadanya, lima lusin anak panah sudah terlepas dari satu bagian dinding dan bergerak bebarengan menuju ke arahnya. Pikirannya dibatasi waktu, dan dalam jeda yang singkat, Jevian bersalto sambil melambaikan tangannya meraih sesuatu, lantas mendarat sempurna dengan tangan kiri tersembunyi di balik jubah.
Si kepala banteng menatapnya. Ia membisu dengan mata merahnya yang menatap keji sambil berpikir dalam hati, Gerakan yang luar biasa. Living blood tetaplah living blood, bahkan saat dikatakan melemah sekalipun.
Jevian sendiri mulanya terengah engah. Ia cukup takjub pada dirinya sendiri dan bertanya tanya kapan terakhir kali ia merasa lelah saat bertarung. Dan karena tatapan itu tertangkap oleh netranya, laki laki itu menyeringai. "Kenapa? Aku kelihatan seperti sedang akrobat, ya? Jangan kaget, memang kadang kadang aku berencana jadi badut sirkus."
Laki laki sekali lagi mengangkat kedua senjatanya. "Siapa namamu, Secondary?"
Monster itu menyeret kapak dengan ukuran lebih besar ke arahnya dan mulai menjawab. [Aku...Balrog, wahai panglima yang melemah.] Langkah kakinya mendekat dengan ritme normal. [Siapa namamu yang baru?]
Seringaian kembali muncul di wajah Jevian. Benar. Ia harus mengulur waktu—
—sampai tulang rusuknya yang retak sembuh. "Aku Jevian." Katanya dengan tatapan meyakinkan. "Dan sepertinya kamu sudah tau dari Gremory kalau kekuatanku terpecah belah. Pertanyaannya, kamu letakkan dimana serpihan yang kamu bawa?"
Balrog bungkam. Tapi tidak apa apa. Setidaknya, makhluk itu tidak menyerang dengan agresif.
"Yah, dimanapun itu, sudah jelas di ruangan ini, kan? Baunya benar benar pekat sampai sampai dari tadi aku merasa seperti habis minum ekstasi." Jevian merogoh jubahnya. "Toh, aku akan segera tau kalau kamu mati."
Sepersekian detik kemudian, dua anak panah ia lontarkan ke arah Balrog, membuat Secondary itu terkejut dan menepisnya dengan kapak secara reflek. Dalam hati ia bertanya tanya darimana laki laki itu dapat anak panah dan segera teringat jebakan yang ia pasang.
Dalam waktu sesingkat itu, ia berhasil menghindar dengan sempurna dan bahkan memanfaatkan anak panahnya?
"Lihat kemana kamu, hah?!"
Balrog menoleh, dan lagi lagi pandangannya tertutup oleh dua pasang anak panah yang hampir mencapai matanya. Waktunya terlalu singkat untuk sekadar menepis keduanya sekaligus Karena mereka berlawanan arah. Alhasil, Balrog menepis sepasang di antara mereka dan membiarkan yang lain lolos tanpa menyadari kalau itu adalah kesalahan besar.
Karena sejak awal, yang diincar Jevian adalah jebakan yang terpasang di dinding ruangan itu. Dan tanpa Barog sadari, selagi ia sibuk menepis sana sini, Jevian sudah melayangkan panah pada lima jebakan lain dan sekarang, ada tujuh jebakan yang aktif sedang secara otomatis mengincar Balrog.
Ketika ia menyadari itu, tiba tiba saja ia sudah dihujani batu raksasa serta pisau dan anak panah dari segala arah. Jevian menonton semua itu sambil sibuk meloncati tiap tiap batu dan menendangnya ke arah Balrog dengan tenaga lebih kuat. Kemudian laki laki itu menyingkir, menonton dari sudut yang bersih dari jebakan dan menyipitkan mata seraya berpikir, Perkiraan total damage kira kira lima puluh persen—tidak. Karena dia secondary, boleh jadi maksimal empat puluh lima persen.
Gundukan batu di kejauhan itu nampak tak bergerak semulanya. Dan Jevian nyaris saja mengutarakan harapan kosong kalau makhluk itu sudah mati padahal sudah tau kalau itu mustahil. Tapi tepat sesaat setelahnya, gundukan batu itu meledak, Menghujam ke segala arah dan satu dua kerikilnya terciprat menutupi pandangan Jevian selagi ia menghindar. Tepat saat pandangannya tertutup, lagi lagi untuk ketiga kalinya, ujung kapak yang mengkilat itu sudah sampai di depan matanya dan nyaris sekali membelah kepalanya jadi dua.
Jevian mengangkat tangannya, dengan refleks mengarahkan dua belatinya menahan kapak itu sambil bersumpah serapah karena kaget. Ia menepis kapak itu dan gantian maju menerjang dengan kesal saat menyadari tenaga Balrog sudah berkurang dari biasanya.
Pertarungan itu berlangsung sengit, dan yang paling membuat Balrog takjub adalah bagaimana mereka berdua sama sama mengendalikan pijakan kaki supaya tak menginjak jebakan seolah olah sang bintang berbagi ruangan dengannya. Bukan hanya itu, entah bagaimana, walaupun Balrog yakin informasi dari Gremory tentang Jevian yang belum boleh menggunakan kekuatannya itu sudah pasti benar, ia merasa kalau laki laki itu berangsur semakin cepat dan lama lama tubuhnya jadi penuh sayatan.
Menyadari dirinya terdesak, Balrog mundur sepuluh meter.
Jevian sendiri ternyata menaikkan kecepatannnya sekuat tenaga. Tampak dari bagaimana laki laki itu terengah engah. Sebuah pemandangan yang langka dimana living blood kelelelahan, dan sekonyong konyong ia jadi kesal karena Balrog tau. "Apa, hah?!" Jevian menyentak sambil meringis. "Kaget aku tambah cepat? Dasar banteng."
Situasinya gawat. Balrog sadar. Kekurangan stamina itu bukan masalah besar selama regenerasinya tidak terbatas. Hanya butuh satu sampai dua menit untuk membuat pernapasannya kembali normal dan masalahnya, Balrog tidak tau apakah ia bisa menang melawan makhluk yang katanya sudah melemah itu.
Saat itu Balrog pun berpikir, kalau begitu hanya ada satu cara.
Ia mengangkat kapaknya tinggi tinggi, melapisinya dengan aura kemerahan selama beberapa detik, lantas menghantamkannya ke lantai. Gemuruh hebat terasa jelas di permukaan ruangan. Jevian menaikkan sebelah alis menatap itu sementara Balrog menertawainya.
[Habislah kamu, wahai rasi bintang!] Seru Balrog padanya. Jevian, yang mulanya sedang terganggu oleh gemuruh di ruangan itu, seketika tercengang saat menyadari bahwa dentuman barusan bertujuan mengirimkan getaran sinyal untuk memanggil penjaga penjaganya.
[Kamu pasti tidak tau kalau aku bahkan bisa memanggil para penjaga bukan?]
Getaran itu mulai merambat ke luar ruangan.
______________________
Maaf aku telat up. Kyknya aku kena writers block deh.
Bonus:
Nama : Kantarine
Julukan : Ratu Pantai Selatan
Ras : Gugusan Bintang
Pangkat : Jendral
Profesi : Tuan Tanah
Usia: 1000+
Ikon : Selendang hijau
Fostered Children :
Pada tahun2 di ciptakan nya Kalloyd, banyak sekali Bintang bintang muda yang mati dibantai oleh Bhala sehingga para petinggi Bintang memutuskan menjaga bintang bintang yang baru lahir. Ada empat bintang baru yang akhirnya tumbuh dalam penjagaan Ezre, dan mereka dijuluki Fostered Children. Anggotanya : Kalloyd, Enoir, (????), dan (????).
Perbedaan Visitor dan Tuan Tanah.
Visitor adalah bintang yang tidak punya Realm di dimensi nyata.
Tuan tanah dapat level sesuai dengan potensi bertarung serta luas kekuasaan, sementara Visitor menghabiskan waktunya dengan berkeliling ke berbagai dimensi untuk menyingkirkan Bhala dan bisa naik pangkat.
Transenden
Manusia yang membuat Kontrak dengan bintang.
Ada pertanyaan lagi?
Follow my Ig : Saagreeen.luv
FB : Saage writer