Chereads / RASI BINTANG JATUH : JEVIAN / Chapter 7 - Serpihan Kedua (2)

Chapter 7 - Serpihan Kedua (2)

Area dalam gua itu gelap. Tak peduli meski matahari sudah menyingsing, ular putih itu tidak pernah suka cahaya sehingga ia memilih tempat ini sebagai sarangnya. Dan semasa hidupnya, ia tak pernah membayangkan bahwa kelak tempat ini pula yang akan jadi kuburannya.

Sementara diatas bangkainya, duduklah seorang perempuan yang bersenandung bangga dengan batu merah yang mengambang lima senti dari telapaknya. Nama perempuan itu adalah Gremory, seorang Bhala tingkat Tertiary—alias tingkat paling tinggi dalam Piramida kasta— yang Parasnya sangat menawan dengan kulit berkilau seperti porselen dan pakaian mewah yang berkelap kelip.

Ia menatap batu merah berkilau itu dengan senyum kasihan serta mata yang penuh kemenangan. Seringaian di wajah itu berangsur berubah menjadi tawa kecil yang memesona semua pria. "Ah, kalau bukan karena perintah dari beliau, batu ini pasti sudah kumakan. Lihat—"ia menghirup aroma baru itu dalam dalam seolah benda itu adalah zat adiktif yang akan membuatnya merasa seperti di surga, lalu matanya terbuka lagi. "Baunya enak sekali. Aku tidak bisa membayangkan kekuatan besar macam apa yang kudapat kalau memakan ini!"

Sementara itu ada juga Eldrig,laki laki yang berpakaian serasi dengan Gremory, rupawan dengan rambut pirangnya yang disisir rapi ke belakang. Ia bersandar di dinding goa dan menatap wanita itu dengan tatapan lelah. "Kan sudah ada wadah yang sedang disiapkan. Jangan berpikir aneh aneh."

"Aku cuman tergoda sedikit saja kok. Jangan cemburu, Eldrig."

Sebuah jawaban yang membuat Eldrig nyaris gila karena jijik

Wanita gila, Desis pria itu dalam hati. "Jangan lama lama, ayo cepat. Sebentar lagi itu muncul." Katanya seraya melompat turun keluar. Sekali lihat pun semua orang tau kalau dia kepalang tidak tahan berlma lama di satu ruangan bersama Gremory.

Meninggalkan wanita itu yang seketika cemberut manja dengan ekspresi sedih yang kentara dibuat buat. "Aku ditinggal lagi." Gumamnya penuh drama. "Dasar laki laki jahat."

Ia melompat turun dari bangkai ular itu sambil bersenandung. Tangannya yang dihiasi kuku sewarna darah itu mecolek cairan merah pekat yang keluar dari luka menganga ular putih itu dan memasukkannya ke mulutnya sendiri. "...Yah, bukan halusinogen." Katanya kecewa pada diri sendir. Selanjutnya, ia mendekatkan kepalanya ke kulit ular raksasa itu lalu menciumnya dengan sayang. "Terimakasih, sudah menampung benda ini sementara. Sebentar lagi pasti kamu kedatangan tamu."

Tawa membahana keluar dari lisan wanita itu kemudian, seraya ia melompat keluar dari sana, dengan meninggalkan gema yang berangsur mendingin menjadi sebuah keheningan.

Tepat sepuluh menit kemudian, masuklah seorang laki laki berjubah usang yang nampak pucat menggigil.

Ia jelas kelelahan, terengah engah setelah lari sekuat tenaga entah dari mana. Matanya yang berkabut memindai seluruh bagian dalam goa dan tidak menemukan apa apa selain bangkai ular yang tercabik sana sini padahal hidungnya masih dapat mengenali sedikit bau yang familiar. Dengan bibir membiru yang gemetaran, laki laki itu bergumam dengan volume super pelan sampai dirinya sendiri tak mampu mendengar apa yang ia katakan.

"...Master?"

Kemudian tubuhnya ambruk. Dengan kesadaran yang makin lama makin menipis, iasempat menjawab pertanyaan di kepalanya tentang bau lain yang ia cium di goa itu.

....Ah, Gre..Mo..ry..

Ia pernah bertemu wanita itu.

________________________

2 Hari Kemudian.

Jawa Barat.

Jika menambah usianya saat masih menjadi Kalloyd, maka usia asli Jevian pastilah tak kurang dari dua ribu—ia bahkan tidak ingat berapa tepatnya karena, hei, buat apa menghitung usia kalau kamu abadi? Kebetulan Jevian masih punya banyak hal untuk dilakukan daripada dengan bodoh menghitung usia seperti seseorang.

Tapi ternyata, umur sepanjang itu tetap bisa membuatnya merasa senang saat melangkah masuk ke jet pribadi milik Kntarine berikut duduk di dalamnya dan melangkah keluar dari sana. Di langkah pertamanya menapaki area luar bandara, ia menatap masuk ke dalam lagi sambil bergumam pad Kantarine, "Nanti pulang naik itu lagi, ya?"

Kantarine mendesah lelah. Curiga apakah yang duraga itu masihlah jiwa Jevian atau sudah tergantikan oleh Kalloyd.

Yang ditatap jelas mengerti maksud mata itu dan dengan penuh dendam mengernyit. "Hei, itu salah satu impianku dan adik adikku saat kami masih kecil. Jangan menghinanya seperti itu."

Patah patah Kantarine meliriknya sambil menyalakan ponsel. "Apa kamu sungguh sungguh menganggap dirimu sendiri sebagai Jevian?"

"Kebetulan kami punya semacam janji rahasia." Laki laki itu bersiul, melirik ke sana kemari mencari seseorang. "Mana dia? Transenden yang kamu bangga banggakan itu—"

Kalimat itu masih menggantung di udara saat sebuah suara menginterupsi. "Master!"

Keduanya menoleh bersamaan. Mendapati sosok laki laki berkulit Tan dengan rambut dikuncir dan perawakan tinggi besar. Jevian mencoba mengukurnya dalam hati dan menemukan bahwa laki laki itu hampir dua meter. Pakaiannya berupa jas hitam formal yang sangat tidak cocok karena dia nampak terengah engah. "Maaf kan saya, jalanan belakangan macet sekali di perbatasan Zona kuning."

Kantarine yang melihat hal itu segera dengan respek mendekat. "Oh, bukan masalah. Aku baru mau menghubungi kamu." Katanya sambil mengangkat telepon. Laki laki itu mengangguk sekali dan seketika atensinya berpindah pada Jevian. Kantarine yang menyadari itu langsung saja menepuk punggungnya dan mulai memperkenalkan keduanya.

"Nah, Lloyd, kenalkan. Seperti yang kau tau, dia transendenku, namanya Garan. Dan Garan, ini Kalloyd. Kamu tau dia siapa, kan?"

Garan menatapnya hati hati. Di tau reputasi laki laki yang akan dikenalkan padanya ini. Masternya pernah bercerita padanya beberapa kali sebagai bintang pembantai nomor satu yang tiap langkhnya menguarkan aroma darah. Tapi ada yang aneh. Seingatnya, bukankah matanya berwarna merah? Laki laki di depannya nampak lebih pendek dari yang dia bayangkan dan lebih biasa saja. Matanya juga hitam dan nampak lebih kurus dari seharusnya. Benarkah dia adalah Living Blood, si panglima yang digadang gadang mampu menandingi para Imperator?

Namun demikian, ia tetap bersikap hormat. "Senang bertemu dengan anda." Kata Garan. "Nama saya Garan."

Dengan datar Jevian menandingi. "Oh, oke. Aku Jevian."

Jevian? Garan meliriknya pennuh tanya dan dengan malas Jevian menjawab. "Pokoknya sama saja. Terserah mau panggil apa." Ia mengusap tengkuk dan segera teringat sesuatu. "Oh, ya. Kamu sudah cari tempat yang aku beri tahu kemarin?"

Tempat yang diberi tahu kemarin?

Senyum kecil terbentuk di wajah Garan.

Ternyata kamu orang yang seperti itu, ya.

Maka iapun menunduk sekali lagi sambil menjawab, "Sesuai permintaan anda, Tuan Lloyd."

Dan inilah tempat itu. Di dalam mobil Jeep yang disupiri sendiri oleh Garan dengan Jevian sebagai navigasi utama, mereka bisa melihat pemandangan di luar. Sebuah gunung berbatu yang tidak akan mungkin ditemukan oleh manusia dalam situasi normal.

Padahal area gunung itu luas. Tapi tidak ada satupun makhluk hidup yang mendekati puncak lebih dari batas lereng. Bukan, bukan karena jalurnya curam tu sejenisnya. Tapi karena satu celah diujung sana yang Jevian yakini menyimpan antara dua hal: Ras Gein, atau Kryptid.

Harusnya.

Tapi semakin lama mendekat ke tempat itu, Jevian bisa mencium aroma aroma asing lain bercampur aduk menjadi satu dengan anyir darah dan seketika perasaan Jevian memburuk. Ia menatap lekat ekat mulut goa yang terlihat di salah satu sisi gunung berbatu lalu menyeru nama perempuan di bangku belakang.

"...Kantarine?"

Dengan penuh pengertian wanita itu menyahut. "Iya. Terasa." Katanya sambil menurunkan kacamata hitamnya. "Darah, Bhala, dan sisa sisa kekuatanmu."

Itu benar. Tapi ada yang aneh.

Kekuatan ini bukanlah pecahan jiwanya. Kekuatan ini adalah sesuatu yang lain, yang Jevian tau dengan baik seolah itu dirinya sendiri.

Apa, ya...pikirnya dengan seksama. Ini bau apa, ya...seperti bauku sendiri saja—

Jevian tersentak. Jantungnya berdegup kencang saat isi kepalanya mengarah pad satu sosok.

"...anak itu juga jatuh ke sini, menyusulmu."

Tanpa pikir panjang Jevian melompat dari jendela. Membuat Garan yang mulanga menyetir dengan tenang langsung menganga dan tak tau harus bicara apa. Sementara itu,Kantarine bahkan tidak sempat beraksi selain menatapnya yang langsung melompat dengan kecepatan penuh.

"HEI! B*jingan itu—Lloyd! Kemana kmu pergi?!"

Jevian tidak menggubris. Isi kepalanya terasa sesak dan penuh dengan pikiran negatif dan harapan bahwa penciumannya salah. Ia memanjat dengan sedikit kesulitan dan mengumpat secara refleks tiap ia hampir jatuh ke bawah.

Aku salah kan? Aku salah kan? Aku pasti salah kan?

Jevian melakukan lompatan terakhir untuk sampai di mulut goa dan menyadari bahwa tempat ini terlalu gelap sampai ia merasa jarak pandangnya hanya sekitar lima meter. Sinar matahari nyaris tidak memberkati tempat ini seolah olah goa berbatu ini adalah bagian dari dunia yang berbeda.

Namun demikian, penciuman Jevian terlalu tajam untuk dibuat buta hanya karena tidak ada cahaya. Apalagi ketika bau yang ia cium itu jadi semakin jelas.

Dengan jantung yang tak kunjung berdetak normal, Kevin melangkahkan kaki dengan hati hati menatap terpaku ke satu titik yang nyaris ditelan gelap. Dari jubah yang ia kenakan saja Jevian sudah tau siapa orang itu. Orang yang sudah menemaninya selama lebih dari seribu tahun, bertarung bersamanya, mendengarkan semua kata katanya, serta memanggilnya master.

Orang itu adalah Carleo. Transenden, alias bawahan langsung dari Jevian semasa ia menjadi Kalloyd.

"...Carl?" Dengan hati hati ia mendekat, menelentangkan tubuh Cage demi menemukan bibirnya yang membiru dan kulitnya pucat tanpa rona sedikitpun. Tubuhnya dingin, bagai menyentuh balok es yang tak kunjung mencair.

"Apa yang terjadi?" Sebuah suara menginterupsi terburu buru dan langsung berubah kaget. "Bukannya itu Carleo?"

Jevian sedang mengiris pergelangan tangannya sendiri saat Kantarine tiba bersama Garan yang terbelalak karena pemandangan aneh di depannya.

Kenapa Jevian menteskn darahnya di mulut orang itu?

Apalagi saat Kantarine malah ikut ikutan bergabung dengan Jevian tanpa menelentangkan tindakan itu lebih lanjut dan segera mengecek napas Carleo. "Napasnya berhenti." Katanya memberi tahu.

Jevian mengangguk, membiarkan darahnya mengucur di mulut Carleo. "Aku tau." Katanya dengan nada resah. "Aku menempatkannya di Realmku dan dia dapat energi dari sana. Itu artinya, kalau dia keluar tanpa izinku, regenerasinya pasti tersendat. Bajingan Bermuda itu pastilah menyiksa Transendenku!"

Apakah dengan meminumkn darah pada orang mati maka dia akan hidup lagi?

Garan tidak tau harus melakukan apa. Ia dim mematung di tempatnya berdiri, bermenit menit, sampai entah bagaiman tiba tiba Carleo yang tadi Kantarine bilang tidak bernapas tiba tiba mulai membuka mata.

Iya. Dia hidup lagi.

Jevian menarik tangannya dan menghambat pendarahan dengan tangnny yng lain. "Kamu sudah sadar? Kamu baik baik saja?" Tanyanya pada Carleo yang mengerjap ngerjap.

Anak itu nampak batuk dua kali sementara rona kulitnya berangsur kembali. Matanya melek seketika melihat Jevian. "Master!" Serunya sambil berusaha duduk. Ia meringis kemudian, nyaris jatuh seandainya Jevian tidak sigap menahannya.

"Kamu baik baik saja?" Terselip nada khawatir dalam pertanyaan Jevian. "Kenapa kamu ada disini? Tindakanmu benar benar gegabah. Bagaimana kalau kamu bertemu Tertiary Bhala sementara aku belum punya kesadaran di tubuh ini?"

Kantarine yang mendengar Omelan itu, meskipun tau kalau itu bukan ditujukan padanya, secara reflek menendang sisi tubuh Jevian dan membuat laki laki itu berseru. "Kenapa kamu menendangku?!"

"Jangan memarahinya begitu. Harusnya kamu membiarkannya beristirahat."

"Aku ini sedang khawatir, jangan ikut campur, Kantarine. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya?"

"Tapi dia kan kuat?" Kantarine menaikkan sebelah alis. Ia menggambar lingkaran sihir di udara dan membuatnya melayang diudara dengan berputar mengeluarkan cahaya, sehingga ruangan yang tadinya membutuhkan mereka nyaris tidak saling melihat satu sama lain jadi bisa saling menatap. "Lagi lagi kamu terlalu mengkhawatirkan dia. Jangan jangan kamu jarang memberinya tugas? Kalau dia kalah kuat dibanding transenden seusianya, dia bisa jadi 'bulan bulanan'."

Jevian mendecih. Siap mengomel kemudian. "Ja—"

"Saya baik baik saja."

Tapi Carleo memutuskan menginterupsi sesaat setelah pikirannya mulai jernih. Kemampuan regenerasinya berangsur pulih setelah Jevian memberikan darah padanya, dan ia memilih bangkit.

Jevian menatapnya. "Apa yang terjadi? Kamu baik baik saja?"

Carleo mengangguk dengan yakin. "Berkat Master."

"Fyuh," Jevian terdengar lega, sedikit berlebihan dripada seharusnya. Tapi sedetik kemudian tatapannya berubah. "Hei, katakan padaku. Apa yang melakukan ini padamu adalah kakek kakek rambut panjang sialan itu?! Akan kuberi dia pelajaran saat kekuatanku sudah pulih nanti."

"Saya baik baik saja, Master. Dari pada itu—" Tangan Carleo terangkat, jemarinya menunjuk ke satu titik bagian goa, tempat bau darah tercium paling pekat juga aroma kekuatan Jevian sendiri. Kantarine dengan respek memperbesar lingkaran sihir itu, hanya untuk membuat semua orang melihat bangkai ular putih raksasa yang seluruh tubuhnya penuh sayatan dan kepala yang terbelah dua. Darah kering bertebaran dimana mana dan tanpa dijelaskan, semua orang sudah tau ini ulah makhluk apa. "—Saya terlambat. Maafkan saya."

Jevian menatap pemandangan itu dengan dingin sementara Kantarine meliriknya dan mencoba menerka nerka isi pikirannya. Begitu pula dengan Carleo yang teralihkan fokusnya Karena melihat orang asing—Garan—di rombongan mereka.

"Ah, sial." Jevian mengusap rambutnya sendiri, seraya mengundang atensi semua orang dengan melangkah maju ke arah bangkai itu. Semua mulut membisu, satu satunya suara adalah dari genangan darah yang diinjak oleh Jevian serta daging ular yang dirobek dengan belati. Ketiganya melihat tangan Jevian masuk ke tubuh ular itu lewat celah yang ia buat, lantas mencabut sesuatu dari sana.

Itu adalah Jantung ular.

Besarnya sekepalan orang dewasa dan Jevian mencengkeramnya dengan tangan yang berlumuran darah. Ia menatap Carleo, memberinya isyarat untuk mendekat dan lki laki itu menurut. Dalam sebuah skenario yang tak dibayangkn oleh Kantarine dan Transendennya, Jevian menyerahkan jantung ular itu pada Carleo sambil memerintah dengan terlalu yakin, "Makan." Katanya.

Dan yang lebih tidak terduga lagi adalah Carleo yang langsung menerimanya tanpa pikir panjang.

"Hahaha..." Kantarine menhn rasa tidak percaya sambil menyikut Garan. "Bersyukurlah karena aku tidak memberimu makan hal hal seperti itu."

Garan sendiri jauh lebih syok daripada Kantarine. Tadi, saat pertama kali melihat Carleo terbangun dari pingsannya, ia langsung bisa menilai bahwa makhluk itu adalah sesuatu yang tidak boleh diremehkan. Sebutannya memang Transenden, tapi dalam kepalanya, Garan yakin sekali kalau laki laki itu sudah beberapa kali memenangkan pertarungan melawan Tertiary Bhala. Dia kuat, tanpa perlu bertarung dengannya, Garan sudah bis menilai itu. Apalagi saat Mastermu adalah Living Blood, Panglima yang digadang gadang mampu menyaingi Imperator. Yang jadi pertanyaannya adalah, apakah semua orang kuat memang bertingkah seperti ini?

"Hei." Kantarine ikut mendekati Jevian dan membuatnya menoleh padanya. "Jadi apa rencanamu setelah ini?"

"Rencanaku? Hmm..." Jevian merogoh sakunya. Mengeluarkan seuntai kain yang kelihatan seperti ikat kepala dari sana. "Ta-da!" Jevian berseru riang.

Mengundang rasa dongkol di hari Kantarine. "Jangan main main, bocah sad—"

"Aku nggak main main, kok." Jevian duduk bersila. Mulai mengikat matanya sendiri dan menegakkan punggung. "Ini namanya juga rencana. Plan B, oke? Plan b."

Kantarine semula mengernyit. Tapi Jevian malah kelihatan fokus sekali setelah menarik napas.

Laki laki itu mulai berkonsentrasi. Ia mengumpulkan semua arthernya di telapak tangan, lalu menempelkannya ke tanah dan mengirim getaran frekuensi kecil ke radius tiga puluh kilometer. Ia memecah pikrnnya sendiri sebanyak cabang getaran yang dia buat sambil menyeleksi satu persatu.

Utara, Bukan.

Tenggara, Bukan.

Barat daya, Bukan.

Timur, Bukan.

Barat laut—

Sebuah senyum terbit di wajahnya saat ia merasakan getaran balasan dari sana.

Ekspresi itu tidak membutuhkan mata untuk Kantarine menyadari bahwa sesuatu yang baik baru saja terjadi. "Ada apa?"

Jevian menarik penutup matanya dan tersenyum menatap Kantarine. "Ketemu. Arah Barat laut, dua puluh tujuh kilometer dari tempat ini."

Garan yng mendengar itu memproses informasi dengan cepat. Barat laut? Dua puluh tujuh kilo dari—lho?

Ia tercekat. "Bukannya itu zona Kuning?"

Sebuah gumaman yang cukup keras untuk membuat semua orang menoleh.

_________________________________

Setelah Dungeon Apocalypse terjadi di dunia ini, manusia membagi wilayah bumi menjadi 3 bagian. Satu, zona hijau. Area yang dianggap paling jarang kemunculan dungeonnya sehingga bisa dihuni oleh manusia dan menjadi pusat peradaban bagi harapan manusia. Di tempat inilah orang orang bekerja dan bertempat tinggal.

Dua, Zona kuning. Area ini adalah area rawan kemunculan dungeon sehingga hanya disinggahi oleh pangkalan militer, markas guild dan asosiasi Gladiator. Semua orang yang bisa masuk ke area ini hanyalah mereka yang sudah mengalami kebangkitan dan berprofesi sebagai Gladiator.

Dan yang terakhir, zona merah. Tak lain dan tak bukan adalah pulau Pulau baru yang bermunculan di seluruh bumi. Yang bisa melakukan Raid di area ini adalah para Gladiator yang sudah mendapat lisensi khusus dari asosiasi Gladiator.

Dan saat ini, Jevian beserta tiga orang lainnya sudah ada di pintu masuk zona Kuning wilayah Jawa Barat.

Ia berjalan maju lebih dulu bersama Carleo yang sudah berangsur pulih sementara Kantarine dan Garan meregisterasikan guild Amertha sebagai partisipan Raid. Prosesnya agak rumit karena pendaftaran seharusnya dilakukan jauh jauh hari, tapi semua itu diusahakan oleh pihak organisasi karena dua orang itu adalah Gladiator kelas S.

Tempat ini sendiri sudah ramai oleh banyak partisipan raid. Di depan sana, ada sebuah gatel berdiameter empat ratus senti dan dikategorikan level D. Sebuah hal yang cukup mencurigakan mengingat tempat ini menyimpan kekuatannya. Hanya dengan berdiri sepuluh meter darinya pun Jevian tau serpihan kekuatannya ada disana.

Carleo pun tanpa ditanya juga sudah jelas dia merasakannya. Keduanya sama sama was was, karena sudah jelas ini perbuatan Bhala. Apalagi saat Carleo bilang kalau Gremory ikut terlibat dalam kejadian ini.

Gremory. Jevian jelas kenal orang itu. Dia adalah salah satu Bhala dengan kekuatan paling merepotkan yang Jevian pernah kenal. Ia tau itu Karena dialah yang membunuh kembarannya, Gremia.

Dengan hati yang penuh kedongkolan mengingat hari hari dia bertarung melawan Gremia, Jevian memutuskan menguping sedikit percakapan orang orang disekitarnya.

"Eh, itu kan Kantarine? Kenapa master Guild Amertha ke gate level D?"

"Wah, ada Garan! Bisa bisanya orang seganteng itu ewat di depanku tapi aku nggak bisa ngapa ngapain..."

"Ngomong ngomong, dua cowok itu kesini sama Kantarine, kan? Aku nggak tau mereka siapa tapi aku sakit hati karena semua cowok ganteng maunya sama Kantarine..."

"Salahin tampangmu yang kalo dibandingin sama Kantarine kayak berlian sama kotoran."

Tanpa sengaja Jevian menahan tawa. "Pft-"

Tindakan itu mengundang tanya bagi Carleo yang sedari tadi memasang tampang datar di wajahnya sehingga berganti jadi ekspresi bertanya tanya. "Master?"

"Nggak papa." Kata Jevian sambil melangkah maju. "Tunggu disini saja. Aku mau mengecek gatenya sebentar."

Carleo menurut.

Jevian melangkahkan kaki dengan percaya diri ke arah gate itu dan membuat orang orang disekitarnya makin berbisik.

"Eh, eh, dia mau ngapain?"

"Gladiator baru, ya? Apa dia nggak tau kalau gatenya baru bisa kebuka dua jam lagi?"

"Kayak orang fashion show aja. Tapi nggak papa sih, soalnya dia ganteng, hehe."

Jevian menikmati bisik bisik penuh hiburan itu dalam hati sambil bertanya tanya kenapa orang suka sekali berbisik bisik. Langkah kakinya berhenti tiga meter dari gate, bukan karena ia tidak berani lebih dekat lagi, tapi karena ada perempuan yang menghampirinya dengan ekspresi khawatir.

"Permisi...." Kata perempuan itu. Jevian menoleh ke arahnya. "Kamu Gladiator baru? Gatenya masih lama kebuka."

Jevian menatapnya dengan tatapan menilai sambil berbisik dalam hati, lihat siapa yang mengkhawatirkan siapa.

Tapi kemudian dia menjawab. "Jangan khawatir, saya cuman mau lihat gate karena ini pertama kalinya saya mau Raid. Ngomong ngomong, saya gladiator baru, nama saya Jevian." Laki laki itu mengulurkan tangan.

"Oh," perempuan itu buru buru menyambut. "Nama saya Risa. Saya cuma healer, hehe." Ia melirik belati kembar di pinggang Jevian. "Kamu penyerang?"

"Iya." Jevian mengangguk. "Terimakasih karena sudah memberitahu saya."

Risa tersenyum, sesaat terpana karena wajah Jevian. "Bukan apa apa. Gladiator baru itu memang kadang kadang lebih bersemangat."

Jevian menanggapinya dengan kekehan kecil. "Kalau begitu saya permisi dulu." Katanya sambil berbalik.

"Iya, iya~" Risa melambai riang. Ia membiarkan Jevian berjalan meninggalkannya sambil memuji muji wajah laki laki itu dalam hati sampai ia temannya memanggil namanya.

"Iya, sebentar! Ak—lho?"

Sampai ia menyadari sesuatu yang aneh pada gate di belakangnya. Kalau matanya tidak salah lihat, gate itu entah kenapa tiba tiba bergerak memutar dengan kecepatan yang berangsur berangsur semakin cepat.

"Eh? Apa ini?" Gumam Risa. "Gatenya kenapa?"

Pada awalnya Risa terpaku karena entah pikiran dari mana ia merasa kalau gate itu terlihat indah tiba tiba. Tapi kemudian, dia menyadari kalau gate itu berubah jadi pusaran yang dari sana menguar sebuah energi yang menariknya mendekat.

"Eh?"

Risa reflek mundur. Tapi kakinya malah terseret semakin dekat dengan gate itu dan ia mulai berseru. "Aaaaaa! Tolong!!"

Seruan itu sontak saja mengundang semua atensi manusia yang ada di tempat itu termasuk Jevian yang berdiri paling dekat dengannya. Ia terkejut atas pemandangan itu dan secara reflek malah melakukan hal bodoh dengan mendekat untuk mencoba menariknya tanpa tau kalau begitu Jevian sampai di radius dua meter dari gate, pusaran itu malah berputar semakin cepat sehingga keduanya bahkan tidak sempat melawan apalagi melepaskan diri energi tak kasat mata yang menelan mereka.

Carleo sendiri terlambat menyadari situasi dan hanya sempat melihat ujung tangan Masternya yang hampir tenggelam sepenuhnya ke dalam gate. Dengan panik ia berseru, "Master!"

Tapi ia terlambat.

Tepat setelah Risa dan Jevian tertarik sepenuhnya ke dalam gate itu, sebuah energi tak kasat mata membuat semua orang terpental ke belakang.

*****