"Apa? Kamu tanya kemampuan bertarung siapa yang lebih baik antara aku dan Kal?"
Pohon dunia membisu sejenak. Tapi kemudian kesiur angin terdengar. Dia mengangguk.
Ezre sendiri menanggapi pertanyaan itu dengan dahi yang mengernyit dalam dan gumaman pelan. "Hmm, sebenarnya ini seperti penghinaan. Karena bagaimanapun juga, aku memperkenalkan padanya sebuah teknik bertarung baru..."
Laki laki berambut perak yang saat ini sedang berbaring malas malasan itu berpikir sejenak. Ia memejamkan mata, dan kalau bukan karena suara gumaman lirih yang keluar dari mulutnya yang tertutup rapat, sulit membedakan apakah saat ini dia tengah terbangun atau memang terlelap.
Untunglah, waktu yang terlalu lama membuat pohon dunia mampu membedakan keduanya. Itu ekspresi berpikir. Ia yakin itu.
Dan benar saja. Setelah hampir semenit bungkam dan hanya menggeram, Ezre tiba tiba menjentikkan jari dengan yakin. "Awalnya aku ragu. Tapi kan kamu cuman bertanya soal teknik bertarung? Maka sudah jelas itu Kal yang lebih hebat dari aku." Ia memuji tanpa ragu, tapi kemudian juga tak lupa memuji diri sendiri. "Beda ceritanya kalau soal kehebatan, bukankah itu aku?"
Pohon dunia menggeram heran. Ia bertanya tanya bagimana bisa seorang panglima lebih baik teknik bertarungnya daripada seseorang setingkat Ezre.
Sebuah pertanyaan yang seharusnya mencoreng harga diri laki laki itu atau paling tidak, membuatnya sekadar tersinggung. Akan tetapi, ia bahkan tidak memberi raut wajah seolah olah ia sangat terpesona tapi juga bukan tidak peduli.
"Itu normal, kok?" Kata Ezre sambil mengusap rambut peraknya yang menawan. "Dia itu kan memang spesial dari awal, sejak sebelum dia jadi Bintang. Di kehidupannya dulu dia juga panglima pasukan di kerajaan yang memenangkan perang, lho. Apalagi saat sudah jadi bintang' dengan skill yang walaupun cacat tapi curang sekali. Kalau kamu bisa bertarung seperti aku, kamu pasti juga bisa menilai hanya dengan sekali lihat."
Ia bangkit duduk, merubah posisi dengan tetap bersandar. "Akurasinya, gerakan refleks, keseimbangan, indra, insting, counter, semuanya sempurna." Puji Ezre tanpa ragu, sebagaimana ia adalah orang yang bukan hanya sekali melihatnya bertarung. "Dan yang paling penting, sebagaimana dia yang nggak punya mana, dia menutupi kekurangan itu dengan cara jadi petarung yang menggunakan otak. Ia menilai peluang dengan cermat, mengatur strategi seolah olah Medan pertarungan di matanya adalah papan catur. Dia adalah orang yang bahkan bisa membuat botol plastik jadi senjata membunuh."
Deskripsi itu demikian panjangnya dan hampir seratus persen diisi pujian sampai sampai pohon dunia menduga apakah orang ini sudah membuat teks sebelumnya atau kalimat itu hanya keluar dari kepalanya. Pohon itu berdecak pada Ezre sampai membuatnya tersinggung. "Apa?" Sahut laki laki itu penuh dendam. "Apa maksudnya decakan itu, hah?"
Dengan nada mengejek Pohon dunia menjawab, menyuarakan pikirannya. "..."
Helaan napas panjang mengudara dari lisan Ezre. "Aku bukannya berniat memuji, kok. Itu namanya realistis, makanya aku nggak tersinggung karena kamu merendahkan aku. Oke? Aku bicara fakta."
Pohon dunia masih mencemooh Ezre dengan tak kunjung bosan. Membuat laki laki itu jadi betul betul merasa kesal tapi tiba tiba pohon itu malah terdiam. Sebuah jalan lain untuk menyita perhatian Ezre, dan sudah sepenuhnya berhasil.
"Kali ini kenapa lagi?"
Pohon dunia menatap Ezre. "...?"
Kalimat itu merupakan sebuah pertanyaan yang membuat Ezre berdecak tidak percaya sambil menggeleng gelengkan kepalanya. "Kamu berpikir keras cuma karena mempertanyakan hal itu? Ckckck.., menyedihkan."
Pohon dunia tersinggung. "...!!!"
"Memangnya apa lagi? Semua itu kan tergantung. Kalau Bhala yang dia lawan cuma primary Bhala sih mustahil dia bisa kalah."
"....?"
"Iya, meskipun dia menutup mata. Kan aku bilang tadi dia itu petarung yang pakai otak." Ezre kembali diam menerka nerka. "Kalau yang dia lawan itu secondary, hasilnya hanya bisa diperhitungkan. Tergantung medan, tergantung senjata, tergantung Bhala seperti apa, tergantung bagaimana kondisi keduanya. Masalahnya adalah Tertiary. Entah dia bisa menang atau tidak melawannya."
Ia diam kemudian. Menerawang jauh ke langit yang ditutup sempurna oleh dedaunan pohon dunia. Ezre jelas sekali sedang melamun, atau boleh jadi semacam berfirasat buruk atau berpikir keras. Pemandangan langka yang membuat Pohon dunia lagi lagi bertanya, ".....?"
Mendengar itu Ezre tercengang. "Apa? Mati? Bocah sadis itu? Mana mungkin." Kata Ezre sambil menggeleng gelengkan kepalanya. "Kamu tau, ada sedikit kesalahan saat dia memahami konsep dirinya sendiri dan batu iblis yang menusuk matanya tempo hari."
"...?"
Sekali lagi, Jevian mendongak. "Batu iblis itu bukannya membangunkan kutukan yng tersimpan di dalam batu itu. Dia kan resisten kutukan. Bukannya membuat kutukan itu jadi punya kesadaran di tubuhnya, malahan dia membangunkan sesuatu yang lain, sesuatu yang merupakan bagian dari dirinya sendiri. Sesuatu yang kusegel dengan tanganku sendiri beribu tahun lalu...."
Ingatan Ezre melayang ke masa masa lampau yang benar benar tidak bisa dihapus dari ingatannya. Bagimana seorang anak yang setiap harinya ia latih dengan tangannya sendiri bisa bermandikan darah monster di bawah rembulan merah dan mulai menyerangnya juga. "Batu iblis itu melemahkan segel yang kupasang. Tapi sebenarnya 'itu' sangat bisa digunakan kalau ia menghadapi sesuatu yang diluar perkiraan."
Sesuatu yang diluar perkiraan.
Sejenak keheningan menguasai seluruh tempat ini. Laki laki berambut perak itu mendadak terdiam dengan mata yang menerawang seolah yang dilihatnya sekarang bukanlah pemandangan di depan matanya. Pohon dunia memperhatikan hal itu tapi tidak berkomentar banyak. Ini bukanlah hal yang pertama kalinya.
Kemudian secara tiba tiba, Ezre bangkit berdiri. Mengundang tanya bagi pohon dunia. ".....?"
Laki laki itu sejenak nampak berniat menjawab. Tapi karena rasa tidak yakin yang menggerogoti pikirannya, ia memutuskan tersenyum menatap kawannya dan menjawab, "bukan apa apa." Sambil melompat turun dari dahan pohon itu. "Aku cuma berfirasat buruk. Seolah olah akan ada sesuatu yang terjadi. Sesuatu yang diluar perkiraan."
__________________________
Lantainya dingin. Dengan debu debu reruntuhan serta puing puing bertebaran.
Diatasnya, ada dua orang manusia yang terbaring secara berurutan telentang dan telungkup. Yang telungkup itu adalah Risa, perempuan Healer yang pingsan setelah terseret secara paksa ke dungeon ini entah karena kaget atau benturan.
Sementara itu Jevian, yang sekarang sedang dongkol setengah mati karena mendapati dirinya sendiri telah bertindak gegabah sampai masuk jebakan lawan, mendesis penuh umpatan sambil bertanya tanya pada dirinya sendiri apakah akal sehatnya ikut terpecah bersamaan dengan kekuatannya yang tersebar dimana mana.
"Sialan kau, Gremory xxxxx...." Keluhnya sambil menjambak rambut sendiri. Jevian sadar, bahwa mengeluhkan hal yang sudah terlanjur adalah sebuah kesia siaan yang hanya akan dilakukan oleh orang lemah yang berputus asa. Tapi biarlah dia melakukannya kali ini sebelum benar benar menenangkan diri. Dan nampaknya kondisi itu berhasil terobati oleh pengalaman hidup selam ribuan tahun. Laki laki itu bangkit duduk, meraba bagian belakang kepalanya dan menemukan bercak darah disana.
"...apa aku terbentur sekeras itu?" Tanyanya pada diri sendiri. Ia menggerak gerakkan lehernya untuk memastikan kemampuan regenerasinya dan menemukan bahwa luka itu masih mengucurkan darah. Hal itu membuatnya tersentak. "Sebenarnya aku yang sekarang ini sepayah apa? Luka seperti ini saja sudah sepuluh menit tapi belum selesai regenerasi? Ckckck..." Jevian bermonolog mengasihani dirinya sendiri. Disaat seperti itu, ia malah teringat dengan seseorang yang sudah pasti akan menginjak injaknya saat tau ia jadi selemah ini. Memikirkan itu membuat perasaanya seketika memburuk dan moodnya benar benar rusak. "Untunglah si brengsek itu nggak melihatku yang seperti ini..."
Mau ditaruh dimana wajahku nanti kalau dia—Jevian berdecak, ogah ogahan melanjutkan kalimatnya.—ah, sudahlah.
Karena daripada itu, ada hal yang jauh lebih penting.
Ia menoleh ke satu titik, tempat dimana Risa terbaring telungkup tak sadarkan diri. Jevian mendekat pada wanita itu lalu berlutut menelentangkannya.
Tidak ada bau mayat, batin Jevian sambil mengecek nadinya. Matanya yang tajam melirik pergelangan tangan Risa yang lain. Denyut nadinya sudah berangsur normal dan tidak ada bau anyir. Cuman pergelangan tangan kanan yang terkilir.
Ia berinisiatif meraih tangan itu dan mulai memperbaiki nya. Begitu suara 'tak' terdengar, mata wanita itu mulai mengerjap.
"...uh.." Risa bergumam sambil mengernyit, memproses pemandangan di depannya berupa wajah tampan Jevian yang cukup dekat.
"Sudah bangun?"
Risa blank seketika. Isi kepalanya mendadak kosong dan dia butuh tiga detik untuk mencerna sebelum terlonjak kaget. "Aaaa!"
Jevian tidak merespon dan hanya bangkit sambil mengernyit karena telinganya jadi agak pengang. Ia menepuk nepuk jaket hitamnya dan menatap Risa dengan sedikit memicing. Apa sekarang aku terjebak sambil harus menjaga perempuan berisik?
"A-apa yang terjadi?" Tanya Risa gelagapan. "Saya ada di mana?!"
Gampang panik. Satu poin kembali dikurangi. Jevian tetap tersenyum setelahnya. "Mohon kendalikan diri anda, Risa. Tenanglah." Katanya sambil mengingatkan diri kalau yang di depannya saat ini adalah manusia biasa. "Anda tidak ingat? Saya berusaha menolong anda yang terseret ke dalam dungeon dan saya malah ikut terseret."
—Walapun sebenarnya kalau aku nggak mendekat, dungeonnya nggak akan jadi pusaran.
Tapi kan itu salah Gremory?
Intinya Jevian berusaha untuk tidak merasa bersalah. Dan sementara laki laki itu menghadapi perang batin dengan dirinya sendiri, Risa malah sudah berkaca kaca dan kelihatan siap menangis kalau Jevian mengucapkan satu kalimat kasar.
"Maafkan saya, Jevian!" Kata Risa dengan penuh rasa bersalah sampai membuat Jevian gelagapan. Apa aku harus mengatakan hal yang sebenarnya?
"Anda berusaha menyelamatkan saya tapi anda malah ikut terseret. Semuanya salah saya..." Kalimat selanjutnya kedengaran ragu ia ucapkan. "...Tapi saya bersyukur saya tidak sendirian disini..."
Runtuh seketika perasaan bersalah Jevian saat menyadari wanita ini adalah tipe yang tak suka menderita sendirian. Meskipun ia sadar bahwa tidak banyak yang bisa dilakukan oleh healer selain mengobati, Jevian tetap saja merasa sedikit tertipu.
Tapi ngomong ngomong tentang itu, Jevian jadi sedikit berharap. Ia menoleh ke arah Risa yang sedang mengaktifkan artefak cahaya dan bertanya dengan nada penasaran, "Ngomong ngomong, apa kelas anda?"
Risa menoleh. "Oh? Saya kelas C!"
Begitu pulalah Jevian jadi semakin patah hati.
Sudahlah dia Healer. Level C, pula. Jelas sekali kalau dia tidak bisa bertarung. Skill Heal tidak berguna bagi Jevian yang punya kemampuan regenerasi, apalagi buff karena dia resisten pada sihir sebagaimana ia yang tercipta tanpa mana.
Situasi ini pastilah sebuah Jackpot bagi Gremory yang Jevian yakin saat ini sedang tertawa terbahak bahak entah dimana.
"Jevian sendiri petarung kelas apa?" Tanya Risa tiba tiba saat Jevian tengah menahan gregetan dan dongkol luar biasa. Laki laki itu menoleh dengan wajah datar sesaat sebelum kembali melihat ke depan. Jarak pandangnya cukup terbatas karena sumber cahaya lorong yang ujungnya tidak terlihat ini adalah artefak milik Risa.
Kelasku? "Mungkin sekitar A." Jawab Jevian asal asalan. Malas sekali rasanya berbicara dengan calon beban yang saat ini sedang ia pertimbangkan apakah akan ia bunuh atau jadikan umpan. Kalau saja aku bukan Bintang, sudah kutikam dia saat tadi masih pingsan.
Jawaban itu membuat rona diwajah Risa dan ekspresinya berubah sumringah. "Kalau begitu, Dungeon level D pasti bukan masalah bagi anda! Saya akan memberi anda Buff sehingga walaupun saya tidak bisa banyak membantu, saya punya banyak stok artefak buff di kantong subspace saya!"
Celotehan itu terdengar polos, sedikit mengusir perasaan kesal Jevian karena wanita itu masih punya niat membantu dan tidak termakan panik apalagi pikiran buruk. Akan tetapi, ada kalanya prasangka baik yang berlebihan itu menjebak. Jevian yakin, seandainya wanita ini terjebak dengan berapapun Gladiator lain dan bukan dengannya, mereka semua pasti langsung mati tanpa sempat berkutik karena faktanya, tempat ini bukan dungeon melainkan sebuah Realm.
Meskipun ada kemiripan, Jevian meyakini itu dengan sangat jelas karena ia pernah melihat yang mirip dengan tempat ini sebelumnya. Walaupun itu sudah terjadi sekitar ratusan tahun lalu, ia tau bahwa realm ini adalah milik Gremia, seorang Tertiary Bhala yang ia bunuh sekaligus saudari kembar dari Gremory yang menurut Carleo adalah dalang dibalik semua ini.
Niatnya sudah jelas. Tanpa perlu ditanya, Jevian juga tau kalau menggunakan reruntuhan realm ini sebagai sarana menjebaknya berarti menyuarakan dendam wanita itu atas kematian Gremia secara tanpa suara. Jevian mengerti. Beruntungnya, karena tempat ini adalah realm yang ia hancurkan dengan membunuh pemiliknya sendiri, artinya Jevian jelas ingat bagaimana struktur keseluruhan tempat ini.
Gremia dan Gremory adalah Bhala bersaudari yang cenderung suka hidup bermewah mewahan. Gremia membangun realmnya berupa istana megah yang dibagi menjadi 6 area berupa lapisan lapisan benteng dengan medan yang dibuat berbeda beda serta kastil utama. Dan dari strukturnya, Jevian masih bisa mengenali kalau tempat ini adalah benteng lapisan ketiga, yang secara keseluruhan merupakan tempat paling luas setelah kastil utama. Masalahnya adalah, makhluk macam apa yang menghuni tempat ini.
Di depan sana, selarik cahaya mulai terlihat. Mengundang reaksi yang berbeda bagi dua orang berdampingan yang sama sama melihatnya. Risa jelas tersenyum karena psikologis manusia secara alamiah mencari cahaya. Tapi bagi Jevian yang ekspresinya seketika berubah janggal, ia tau betul makhluk apa yang menunggu di dalam sana.
"Jevian, ayo—"
"Indra saya lumayan tajam, sebagai informasi." Kata laki laki itu memotong tepat saat Risa mengajaknya bergegas. "Dan menurut saya, yang di dalam sana itu bukan hal baik."
Senyum di wajah Risa lenyap seketika. Dan Jevian tidak suka perasaan yang membuatnya merasa jadi orang jahat. Wanita itu kelihatan kecewa berat dan tidak mau melepas harapan begitu saja. Dan karena Jevian tau kalau cekcok semacam ini nantinya hanya akan membuatnya makin repot, ia pun berinisiatif memberi tawaran.
"Saya bersedia menemani anda mengintip ke sana kalau anda belum bisa percaya saya, saya tidak keberatan." Kata Jevian kemudian. "Syaratnya, anda tidak boleh histeris dan tidak boleh membuat suara. Bagaimana?"
Risa jelas merasa tidak enak. Tapi baginya yang ketakutan, ia harus memastikan apakah oase ini hanyalah fatamorgana di tengah gurun atau memang air yang menghilangkan dahaga. Ia pun mengangguk menyetujui.
Jevian juga demikian murah hati. Ia mengangguk sambil memberi isyarat dengan jari telunjuk, "Tolong jangan terlalu banyak membuat suara."
Mereka mulai jalan pelan pelan dan hati hati lewat area pinggir lorong. Delapan meter dari sumber cahaya, Jevian memerintahkan Risa untuk memadamkan artefak di tangannya. Wanita itu menurut dengan tenang tanpa bertanya lebih lanjut. Kemudian, Jevian mempersilakannya untuk jalan lebih dulu dengan laki laki itu yang mengawasi dengan menjaga jarak. Dengan jantung yang berdegup kencang, ia menyembunyikan sebagian besar tubuhnya di kegelapan dan membiarkan sebelah matanya melihat masuk ke dalam.
Di sanalah Risa merasa betul betul gemetar dan putus asa.
"..A..ah..."
Bagaimana bisa makhluk seperti ini menghuni Dungeon level D?
Wanita itu melihatnya dengan jelas. Di dalam sana, ada sekitar empat sampai enam manusia banteng setinggi rumah dua tingkat yang masing masing berdiri bak patung membawa kapak raksasa yang ujungnya menapak tanah. Hanya dari melihatnya, Risa sudah bisa menebak kalau monster yang berdiri dengan gestur bak penjaga pastilah monster dengan kecerdasan. Jelas sekali mereka bahaya. Hanya dengan melihat mereka dari kejauhan, Risa merasa lututnya lemas oleh rasa takut dan tangannya mulai gemetaran.
Jevian mengambil langkah seribu dengan menariknya agak jauh saat wanita itu terlihat seperti akan segera terisak.
"..Hik..Hik.." Ia merintih dengan berderai air mata. "Aku...apa aku akan mati disini?" Beonya dengan putus asa. Jevian menatapnya tanpa berkata apa apa dan malah menjawab dalam hati, iya, kalau kamu datang kesini bukan denganku.
Tapi ia adalah Jevian. Living Blood, Panglima dengan kemampuan setara Imperator bahkan tanpa mana sekalipun.
Laki laki itu membiarkan Risa menghabiskan sedikit waktunya untuk menangis tapi ia tak berniat menenangkan. Jevian tak suka berbohong karena situasi di sini memang lumayan rumit. Yang di dalam sana itu bukanlah monster biasa, melainkan para Primary Bhala yang lumayan merepotkan karena jumlahnya banyak dan ia yang tidak bisa memakai kekuatan.
Lambat Laun Risa beransung tenang. Ia masih sesenggukan sedikit sedikit dan Jevian berinisiatif memberinya sapu tangan.
"Maafkan saya." Kata Risa tiba tiba. "Padahal saya sudah janji tidak akan histeris tapi malah menangis."
Jevian sendiri malah merasa cukup takjub karena Risa masih bisa mengendalikan akal sehat di situasi seperti ini. Manusia biasa, terjebak hanya berdua dengan 'gladiator baru', di tempat yang entah seperti apa pula. Menurut laki laki itu, lima menit menangis adalah reaksi yang cukup sederhana. Dia sama sekali tidak keberatan. Wanita itu ternyata tidak seberisik kesan pertamanya. Jevian sudah cukup puas akan hal itu. "Bukan masalah." Katanya sambil menggeleng. "Itu reaksi normal. Daripada itu, saya harap anda akan mulai mendengarkan rencana saya."
Mata Risa yang masih memerah melirik Jevian. "Anda menyiapkan rencana?"
Senyum Jevian merekah mencurigakan. "Tentu saja."
Dengan perasaan buruk Risa bertanya hati hati. "A-apa rencana anda?"
Rencanaku? Jevian menyeringai. Simpel sekali. "Kita akan langsung masuk menyergap ke ruangan boss."
Demikianlah Risa menangis sekali lagi.
__________________________
Sementara itu, di luar Realm Gremory (Sebenarnya kepunyaan Gremia)
Secara resmi, Guild guild dalam negri jarang sekali membeli Dungeon dibawah level C sehingga dungeon level D biasanya adalah milik asosiasi nasional. Akan tetapi hari ini berbeda. Sebab salah satu Big Three dalam negri, Guild Amertha, tiba tiba datang tepat 2 jam sebelum pelaksanaan Raid sambil berkata kalau mereka hendak membeli Dungeon level D.
Sekali lagi, Level D. Hebohnya lagi, yang datang adalah secara langsung adalah master dan wakil masternya sendiri yaitu Kantarine dan Garan. 2 orang level S yang biasa menangani dungeon level A.
Jadi sebenarnya ada apa?
Belum lagi saat keanehan yang menimbulkan tanda tanya besar di kepala semua orang baru saja terjadi pada gate itu di depan mata keduanya. Mereka tetap saja bersikeras untuk membeli dan bahkan, bersedia membayar dua kali lipat harga asli kalau asosiasi bisa menyingkirkan semua Gladiator lain di area itu dalam waktu tiga puluh menit.
Petugas yang bekerja saat ini adalah Vira, seorang kelas B yang sedang susah payah menghubungi atasannya sambil terus didesak oleh Kantarine.
"Bergerak cepatlah." Kantarine semakin bersikeras. Garan sudah pergi dari pandangannya entah kemana. "Aku bersumpah dungeon itu bukan level D. Kamu tidak akan bisa membayangkannya."
Senyum canggung sekali lagi dilontarkan oleh Vira. "Baik, Bu. Mohon tunggu sebentar."
Butuh empat kali nada dering yang dipenuhi keringat dingin untuk membuat atasannya mengangkat telepon itu.
"Halo?" Suara di seberang menyapa dengan tanya. "Saya lagi rapat. Kenapa?"
Vira menghembuskan napas lega sambil bersyukur berulang kali dalam hati. "Maaf, pak Rangga. Ada sedikit masalah di gate level D nya."
Suara Rangga dari seberang sana menyahut dengan nada semakin heran. "Masalah apa?"
Vira menceritakan semua kronologi kejadian dengan rinci tanpa ketinggalan berdasarkan apa yang dia lihat dan apa yang dikatakan bawahannya setelah mewawancarai saksi mata. Di seberang sana, Rangga mendengarkan sambil mengajukan satu dua pertanyaan dan fokus mencerna sambil terheran heran. "Itu kasus pertama." Komentarnya tepat setelah ceritanya selesai. "Memang ada beberapa Exitless dungeon tapi belum pernah ada yang jadi pusaran. Apa ada wartawan disana?"
"Anehnya tidak, pak. Semuanya karena Guild Amertha bersikeras membeli Dungeon ini, mereka mengerahkan anggotanya untuk mengalangi area sekitar gate, pak."
"Guild Amertha mau beli Dungeon cacat?"
"Iya. Nyonya Kantarine sendiri yang datang kesini." Nada Vira terdengar mengeluh. "Saya harus bagaimana?"
Janggal. Rangga sadar itu. Guild Amertha memang kuat, tapi seingatnya, operasi mereka tidak pernah keluar dari wilayah Jawa tengah kecuali kalau ada dungeon A tingkat tinggi. Pertanyaannya, untuk apa mereka membeli Dungeon level D yang sudahlah jelas cacat, tapi juga jauh dari teritori?
Mencurigakan. Rangga harus mencari tau sedikit lebih jauh.
"Pak?"
"Berapa yang mereka tawarkan?"
"Itu...." Vira melirik Kantarine yang mengangkat ibu jari, jari telunjuk, dan jari tengah padanya. "...Delapan puluh milyar. Beliau bilang beliau akan menambah tiga kali lipat kalau nominal itu kurang. Bagaimana, pak?"
Tiga kali lipat delapan puluh milyar untuk gate level D? Sinting. "Tidak, segitu saja sudah berlebihan." Jawab Rangga yang seketika pening membayangkan angka nol. "Sebagian gantinya, minta dia sebutkan semua calon personel Raid kali ini sekaligus yang terjebak di dalam."
Kantarine meyebutkan tiga nama selain dirinya. "....yang satu itu ikut terseret ke pusaran. Harusnya dia personelku, dia salah satu dari dua Gladiator baru yang aku sponsori. Satu lagi healer yang aku nggak tau namanya." Katanya sambil mengibas rambut.
Rangga mencermati nama nama itu dan seketika teringat satu hal beberapa Minggu lalu.
Lho? Bukannya dia itu yang awaken tapi skornya nol?
"Vira, namanya benar Jevian?"