Chereads / RASI BINTANG JATUH : JEVIAN / Chapter 6 - Serpihan Kedua (1)

Chapter 6 - Serpihan Kedua (1)

Ada dua jenis alias 'Profesi' Bintang di dunia ini. Satu, para Nomaden. Mereka adalah orang orang yang hidup setelah matinya diisi dari mengembara satu dimensi ke dimensi lain. Belajar dari yang pangkatnya lebih tinggi, berlatih, serta melawan Bhala. Kalau beruntung, bisa juga bertemu para Imperator—pangkat tertinggi dalam kedudukan Bintang, sebutan bagi para ruh yanRasi Bintang—dan belajar dari mereka. Umumnya, mereka akan mencari guru yang punya kekuatan mirip dengan mereka. Jevian—atau Kalloyd—sendiri punya dua guru hasil dari ribuan tahun mengembara.

Yang kedua ada Tuan Tanah, para Landlord yang berkuasa secara absolut pada daerah dengan luas yang ditentukan. Kalau Nomaden meningkatkan pangkatnya sedikit demi sedikit lewat pertarungan kehormatan, maka Tuan Tanah biasanya punya pangkat yang tetap sejak awal mereka diciptakan. Pangkat itu dinilai lewat potensi bertarung baik secara combat maupun sihir, dan yang paling penting adalah luas wilayah. Mereka bertanggung jawab atas dimensi yang mereka tinggali kapanpun dimensi itu mendapat serangan dari Bhala. Dan secara kebetulan, di dimensi ini ada beberapa Tuan Tanah dan kebetulan semuanya termasuk kuat. Salah satu dari mereka adalah orang yang duduk di depan Jevian sekarang. Wanita cantik dengan pakaian khasnya serta selendang hijau yang tersampir di pangkal lengannya.

Namanya Kantarine. Dan meskipun manusia tidak pernah melihatnya secara nyata, masyarakat sekitar teritorinya punya satu cerita rakyat yang membuatnya dijadikan sebagai legenda dan kadang kadang disembah. Sebutan lainnya adalah, [Ratu Pantai Selatan]. Tuan Tanah yang daerah teritorinya ada di selatan pulau Jawa dimensi ini. Pengikutnya banyak, hampir setara koloni serigala yang dibentuk oleh salah satu gugusan bintang.

Dan kali pertamanya bertemu dengan orang itu adalah ribuan tahun lalu saat dunia ini ada di siklus sebelum masa sekarang.

Atas penilaian potensi dan luas wilayah itu, Kantarine pun mendapat pangkat Jenderal, yang sebutan lainnya adalah pangkat menengah ke atas. Padahal daerah kekuasaannya tidak luas. Yang jadi rahasia umum adalah ada poin tambahan jika wilayahnya ada di perairan.

Kantarine selalu menilai dirinya sendiri sebagai makhluk yang bisa dibilang kuat. Apa lagi dengan teritorinya. Dia bisa menurunkan hujan, membuat petir, menurunkan salju, mengeringkan pantai, dan segala hal lainnya hanya dengan syarat semudah dia menginginkan semua itu.

Dan wanita itu belum pernah terpatahkan cara berpikirnya kecuali setelah melawan orang itu.

Namanya Kalloyd, waktu itu pangkatnya masih Elite. Ketika pertarungan kehormatan itu berlangsung diantara mereka, itu adalah catatan sejarah pertama dimana ada Tuan Tanah yang kalah di teritori sendiri oleh pangkat yang lebih rendah. Dan walaupun kalah dengan mengenaskan, Kantarine bahkan tidak ingat kalau dia merasa malu. Sebab satu satunya pikiran yang terlintas di kepala Kantarine saat ia terduduk dengan menyedihkan dihadapan Kalloyd waktu itu hanya satu. Bahwa dalam hukum rimba, Bintang satu ini pastilah Predator Tunggal yang menduduki puncak rantai makanan.

Pertanyaannya adalah, bagaimana bisa orang yang mengalahkannya ribuan tahun lalu itu sekarang jadi terlihat akan mati hanya dalam satu tusukan?

Menyesakkan, batin Kantarine sambil menekuk alis. Aku yang jadi lawan bertarungnya watu itu saja sakit hati sekali, apalagi yang punya kekuatan?

Kantarine tak berani berkata apa apa. Baik sekadar menyuarakan rasa penasaran apalagi sampai mengungkap kasihan. Hanya satu kalimat yang Kantarine putar berulang ulang dikepalanya, bahwa dia akan membantu orang ini. Lebih dari perintah beliau.

TAK. Sepasang kaki berlapis sepatu naik dengan kurang ajar ke atas meja kaca. "Lama nggak ketemu. Apa kalian sudah diberi tau kalau aku akan jatuh ke sini?"

Bocah sadis ini masih saja nggak sopan, pikir sang ratu sambil mengernyit dan meletakkan cangkir tehnya. "Bukan informasi pasti, tapi banyak dugaan yang mengarah ke sini. Tuan Ezre sepertinya tau sesuatu tapi seperti biasa, beliau bungkam."

"Dugaan?"

"Iya, dugaan." Kantarine mengangguk. "Serpihan batu iblis yang menabrak kalian watu itu—eh, apa itu benar?"

Jevian mengangguk. "Lanjutkan."

"Oke. Jadi...serpihan paling besar jatuh ke tempat ini dan...yah, beginilah hasilnya. Dimensi ini jadi kacau balau. Para Bhala tentu saja dicurigai, tapi anehnya malah mayoritas ras Gein yang jadi monster.

"Batu itu terkoyak lagi saat sampai di atmosfer jadi beberapa pecahan. Yang paling besar, kira kira yang seperlima ukuran asli—jatuh ke laut Pasifik. Pulau itu pun terbentuk berkat itu."

"Hoo..." Jevian melambai menolak saat salah satu pelayan datang membawa cangkir teh. "Pantas saja tempat ini jadi kacau balau...eh, pecahan yang lain? Apa itu yang membentuk dungeon?"

"Betul. Pecahan yang lain itu juga sekarang sedang sedikit demi sedikit membuat pulau mereka sendiri atau jika jatuh ke daratan, maka tempat itu akan jadi teritori dalam radius tertentu."

"Apa ada sisa pecahan yang jatuh ke dimensi lain?"

"Ada, tapi sudah dibereskan." Kata Kantarine. "Rapat seribu tahun sekali dibatalkan tepat saat kalian jatuh. Para gugusan langsung menuju pecahan pecahan kecil yang menyebar di banyak dimensi lalu membereskannya. Yang tersisa...adalah tempat ini."

Jevian diam. Tidak merespon cukup lama sementara Kantarine menontonnya sembunyi sembunyi. Dengan lisannya yang membisu dan alisnya yang menekuk tajam, Jevian berpikir, Batu Iblis itu besarnya kira kira sekepalan tanganku. Kalau perhitunganku tidak salah, tiga perlima pecahan jatuh ke bumi ini dan memecah jadi banyak serpihan, seperlima lainnya menyebar ke banyak dimensi, dan seperlima sisanya—rasa nyeri menerpa matanya seiring ia mengingat kenangan lama—menusuk mataku.

BRAK. Jevian memukul lengan sofa tiba tiba. "Sialan." Umpatnya kesal.

Itu situasi darurat. Aku nggak punya pilihan lain selain memecah kekuatanku untuk merampas kesadaranku. Dan karena karakteristik kekuatanku itu juga, semua pencapaianku yang kukumpulkan ribuan tahun hilang. Rasanya seperti terlahir kembali jadi prajurit. Belum lagi kalau aku menggunakan kekuatanku sementara 'resistensi kutukan' nggak ada—kepala Jevian reflek membayangkan dirinya sendiri yang membunuh banyak orang dari dimensi ini termasuk adik adiknya dan merinding seketika—bisa bisa aku, rasi bintang pangkat panglima, hilang kendali dan membunuh semua manusia di dimensi ini.

"Lloyd?"

Jevian membuka mata dan menarik tangannya menjauh dari sana. "Kenapa?"

Kantarine menatapnya lama. Dan walaupun ia tidak tau separah apa situasi sebenarnya karena ia bukan 'korban' dan tidak berani bertanya secara langsung, Kantarine bisa langsung tau bahwa melawan Bhala yang bahkan bisa menyelundup ke aula di malam pertemuan adalah Bhala dengan tingkat yang tidak bisa diremehkan. Apalagi karena ia berhasil mengusik empat rasi bintang, Kantarine merasa kalau sepertinya ia akan langsung mati kalau coba coba ikut campur melawan.

"Ada lagi yang mau kamu tanyakan?"

Jevian bungkam sejenak. Menutup matanya sambil berpikir lalu berkata, "Ada banyak pertanyaan, sebenarnya. Tentang teman temanku, apa ada yang bisa kamu jelaskan?"

"Ah, maksudmu mereka?" Kantarine menegakkan punggung. Melirik wajah Jevian sebelum menjawab hati hati. "Mage Reflector dan Divine Beast, ya. Setahuku mereka berdua kondisinya mirip denganmu. Tapi mereka nggak...kehilangan. " Kantarine berdehem. "Jatuh di dimensi yang mana dan macam apa jelas nggak mungkin di ketahui oleh Tuan Tanah biasa sepertiku. Tapi lain cerita kalau itu Tuan Ezre. Coba nanti kamu tanya beliau."

Kepala Jevian mengangguk angguk. "Lalu?"

Kantarine mengeluh dalam hati, bertanya tanya apa dia benar benar harus menyuarakan bagian yang paling menyakitkan disini. Tapi pada akhirnya dia menjawab pertanyaan itu setelah bungkam sebentar. "...Dream Weaver hilang." Katanya susah payah. "Berita soal itu juga belakangan tidak ada merpati yang menyampaikan. Jadi...coba tanya saja pada Tuan Ezre..." Matanya melirik hati hati untuk memeriksa keadaan Jevian tanpa membuatnya tersinggung dan—

—DEG. Kantarine menggigit bibir. Merasakan tangannya perlahan lahan basah oleh rasa bersalah dan tidak enak saat menyadari ekspresi macam apa yang Jevian buat. Apa harusnya memang aku nggak bilang apa apa?

Tidak ada respon. Jevian sepenuhnya diam. Memenuhi atmosfer dengan hawa dingin yang Kantarine tidak tau apakah itu bentuk keputusasaan atau justru dendam yang mendarah daging. Tapi apapun itu—Kantarine menarik napas.

"...akan kubantu."

Jevian tersentak. Baru sadar kalau ia melamun karena Kantarine tiba tiba bergumam. "...apa?"

"Kubilang aku dapat perintah untuk membantumu."

Alis Jevian kontan bertaut. Perintah? Beonya dalam hati sebelum akhirnya menyeringai. "Hoo...Apakah Onyx?"

Kantarine tidak menjawab. Tapi—siapa yang butuh jawaban itu? Sudah jelas. Onyx, yang sebutan lainnya adalah Ruler of the Dimensional Gap. Salah satu dari sedikit Noblesse, Rasi bintang primordial.

"Apakah dia juga yang meminta kalian untuk tidak bertindak sampai aku bangun?"

Nada mengancam itu betul betul memperingatkan Kantarine bahwa pertanyaan yang ini harus dijawab. Jadi wanita itu tak punya pilihan lain selain membuka mulut. "Benar." Jawab Kantarine. "Kalau kami asal asalan membereskan semuanya, bisa bisa kami tidak sengaja memusnahkan kekuatanmu juga."

Kalimat singkat itu pada akhirnya membuat Jevian mengerti segalanya. Ia menyandarkan kepala pada sofa, mendongak menatap langit langit dan berbisik pada diri sendiri.

Pada akhirnya itu semua salahku.

Dan Kantarine tau ini akan terjadi. Dia sudah memperkirakan reaksi ini dan karena itulah tadi ia berniat bungkam. Pada awalnya, ia berniat asyik saja memandangi ekspresi Jevian sambil mencemooh bilang kalau dialah yang memaksanya untuk menjawab. Tapi kemudian, ia sadar sesuatu. Sebuah alasan kenapa Onyx,sang Ratu paling mulia meminta para tuan tanah dimensi ini untuk bungkam dan bersikap tidak sesuai dengan mereka yang biasanya. Dan begitulah ia tersenyum sambil berbisik pada dirinya sendiri, Jadi begitu.

Karena pada dasarnya, laki laki ini tidak akan menghargai dirinya sendiri.

Maka Kantarine pun berkata menyela rasa bersalah itu. "Itu bukan salahmu."

Membuat Jevian refleks mendongak. "Hah—"

"Itu yang Onyx bilang pada kami." Seulas senyum terbit di wajahnya sembari ia melanjutkan. "Dia bilang, keputusan membelah jiwa itu keputusan paling luar biasa yang pernah ada."

Jevian tercengang. "Dia bilang begitu?"

Kantarine mengangguk kecil. Membuat Jevian yang mulanya terlihat buruk jadi mulai tertawa kecil. "Nenek tua itu ada ada saja."

Tawa itu mengudara di ruangan yang sama dengan keberadaan Kantarine. Jadi, meskipun ia nyaris merasa muak karena peristiwa masa lalu, ia membiarkan hal itu berlangsung cukup lama.

Lagipula, boleh jadi ini adalah tawa terakhir yang bisa terdengar dari dimensi yang akan segera jadi Medan perang ini.

Kantarine menggunakan sebuah jeda untuk menegakkan bahu dan bertanya, "Jadi apa rencanamu?"

"Apa lagi?" Jevian justru menyahut santai dengan jawaban lugas karena baginya, satu satunya cara yang ada hanyalah ini. "Bhala yang akan kita perangi ini, kita bahkan tidak tau ada berapa Tertiary Bhala yang sampai ke tempat ini,kan? Mana mungkin aku menang melawan Tertiary tanpa kekuatan penuh."

Dengan wajah serius Kantarine menatap tajam. "Kamu punya gambaran lokasinya?"

Senyum Jevian mengembang. "Tentu saja. Itu bukan masalah. Daripada itu..."

Ekspresi meremehkan itu berubah drastis kemudian. Senyum yang ia kembangkan karena merasa direndahkan itu berubah jadi senyum permintaan maaf yang membuat perasaan Kantarine memburuk. "Apa?" Sentaknya dingin dan galak. "Jangan repotkan aku. Katakan."

Kalimat itu membuat Jevian jadi makin merasa bersalahkarena sadar dengan jelas kalau dia akan merepotkan. "Hmm, kamu tau. Pembelahan jiwa itu betul betul terjadi di situasi mendesak. Kalau aku terlambat satu detik, mungkin separuh populasi dimensi ini akan tamat..."

Kalimat pembuka ini bahkan seolah sudah mewakili segalanya di telinga Kantarine. Perasaannya semakin memburuk dengan cepat dan ia sadar bahwa yang akan keluar dari mulut Jevian selanjutnya adalah kabar yang tidak menyenangkan.

Dan betul saja.

"Jadi, aku melakukan kesalahan. Yang seharusnya kulakukan adalah menyatukan kemampuan Imitating dengan Aether tapi aku malah menyatukannya dengan... absorption."

Alis Kantarine berkerut. "Apa hubungannya itu?"

Jevian bungkam agak lama. Membuat Kantarine tak punya pilihan lain selain melempar tatapan mengancam sambil menerka nerka rencana macam apa yang sebenarnya terlintas di kepala orang ini. "Hei, jawab yang benar." Desis wanita itu.

Demikianlah Jevian sadar bahwa tidak ada gunanya berdusta dan mengulur ulur kecuali dia mau semakin kerepotan. Begitulah pad akhirnya ia mengungkap rencananya yang sebenarnya dan membuat Kantarine kebingungan. "Aku harus menutup mataku."

"...kamu mau bilang kamu mengantuk?"

Jevian melotot, tidak percaya Kantarine memandangnya serendah itu. "Bukan, astaga. Maksudku, situasinya rumit."

Kantarine menunggu penjelasan dengan sabar.

Membiarkan Jevian menyandarkan punggung pada sofa dan mengambil jeda cukup lama untuk memilih kalimat paling sederhana. "Intinya, eh, seperlima pecahan batu itu hilang, kan?"

Kantarine terlonjak. "Kamu tau itu?"

"Benda itu menusuk mataku di raga yang lama."

Dalam hal ini, pikiran Kantarine tidak punya pilihan lain selain mencerna lebih lambat. "Hah?"

Dan itu memperburuk perasaan Jevian. "Maksudku, seperlima bagian batu jahat itu sekarang sedang berperang dengan aetherku dan kalau kalau aku memakai kekuatan tanpa menyegelnya,aku akan kehilangan kendali. Itulah kenapa aku memecah jiwaku sendiri saat jatuh ke dimensi ini."

Kalimat itu ditutup dengan Kantarine yang merasa rahangnya nyaris jatuh ke lantai mendengar kalimat itu. "Seperlima? Apa kamu gila? Kalau itu aku,maka laut selatan tak lagi punya tuan tanah."

Dengan kepercayaan diri maksimal Jevian mengangguk. "Itu benar. Aku memang hebat."

Membuat Kantarine muak dengan sendirinya. Kabar baiknya adalah, wanita itu masih sangat sadar bahwa menjawab hal tidak penting seperti itu hanyalah sebuah kebodohan yang diperlihatkan. Ia memilih fokus pada topik saat ini. "Jadi kamu berniat mengimitasi sesuatu?"

Jevian mengangguk puas. "Betul."

"Tapi kita harus menemukan pecahan Imitating ini dulu?"

"Benar."

"Oke. Aku kurang lebih mengerti situasinya." Ganti Kantarine yang mengangguk anggukan kepalanya sebelum ia terdiam sebentar dan lanjut bertanya. "Apakah kamu yakin sesuatu yang mau kamu Imitasi ini akan bisa membuatmu melihat sambil menutup mata?"

Pertanyaan itu sejenak terdengar menjebak. Melihat sambil menutup mata, Katanya? Yah,kurang lebih seperti itu.

Jelas sekali kalau Kantarine menegaskan bahwa mereka tidak punya waktu melakukan hal yang sia sia. Akan tetapi tanpa wanita itu sadari, masalahnya justru terletak pada dirinya sendiri dimana ia lupa dengan siapa ia sedang berbicara. "Tenang saja, tuan putri." Jevian menjawab sambil menyeringai. "Aku bahkan terlalu yakin sekarang ini."

Sebuah kepercayaan diri yang suatu saat benar benar ingin Kantarine banting ke tanah. "Oke. Sekarang cari cara temukan pecahan Imitating."

Detik itulah Jevian langsung tersentak saat menyadari ia lupa mengatakan sesuatu. "Ah, aku lupa bilang kalau itu sudah kutemukan."

Sang ratu pun tercengang. "Sudah kamu temukan?" Ia mengerutkan dahi. "Kapan?"

Helaan napas beserta tatapan datar tertuju pada Kantarine dari Jevian saat pertanyaan itu terucap. Dengan nada malas ia menjawab. "Tentu saja saat kamu membiarkanku berkeliling di kota ini selama dua hari."

Wajah Kantarine berubah pias skeetika. Canggung sekonyong konyong. "Oh. Maafkan aku." Ia menelan ludah. "Ngomong ngomong, dimana tepatnya pecahan kedua itu?"

Kedua alis Jevian terangkat, termasuk jari jemarinya yang menghadap arah selatan sambil dia menjawab, "Provinsi Jawa Barat." Katanya seraya melirik Kantarine yang terbelalak. "Kenapa ekspresimu begitu?"

"Jawa Barat? Kamu yakin?"

Jevian mengangguk.

Raut sumringah membingkai pada wajah sang ratu. "Kalau begitu, Transenden ku ada disana!" Serunya puas. Mengundang rasa kaget pada Jevian dan ekspresi penuh tanya.

"Sekarang kamu punya Transenden? Aku nggak tau itu." Komentar Jevian dengan nada memuji. "Ada berapa?"

"Cuma satu. Dia laki laki, pangkatnya sekarang sudah Ksatria, kok." Kantarine menjawab. "Aku akan menghubungi dia. Nanti kita bertemu di sana saja. Dia pasti banyak membantu."

Kantarine bungkam sejenak sampai teringat sesuatu. "Ngomong ngomong soal Transenden, kudengar Anak itu juga jatuh ke sini, menyusulmu. Dia langsung terjun begitu saja saat tau kamu dijebak dan jatuh ke sini.."

Pernyataan itu menarik atensi Jevian karena ia tidak mengerti siapa yang wanita itu bicarakan. "Siapa yang kamu maksud?"

Kantarine pun berdecak. "Anak itu. Sadis nomor dua setelah kamu." Jelasnya seiring wajah Jevian yang berangsur angsur berubah pias. "Transendenmu."

Rahang Jevian mengendur. Ia bahkan tidak tau harus menjawab apa saking kagetnya dan memilih meragukan pendengarannya sendiri. Apakah ini imajinasiku atau wanita ini memang membahas anak itu? Dengan terbata bata ia memastikannya. "A...apa itu benar?"

"Nggak ada gunanya berbohong di masa masa seperti ini."

Shit. Dasar gegabah, batinnya geram. "Kalau begitu sekarang dia dimana?!"

Kantarine, dengan wajahnya yang lugu dan kelampau santai, mengangkat jari telunjuknya dan menjawab tanpa rasa khawatir, "Teritori segitiga Bermuda."

Demikianlah Jevian tertawa sumbang dan merasa mau gila seketika.

________________________________

SUATU MALAM DI SEGITIGA BERMUDA

Malam malam disana lebih berisik dari biasanya. Bukan hanya karena suara dentuman gemuruh super besar yang disusul dengan iceberg sebesar gedung pencakar langit yang sudah hancur sampai mulai mencair dan menyatu dengan airnya, ada juga hujan deras yang memporak porandakan laut dan menerbangkan ombak ombak raksasa. Iceberg itu memang tidak seharusnya berada disana. Akan tetapi, lain cerita kalau tempat itu punya tuan tanah dan ia menghendaki itu.

Sebuah pusaran air terbentuk. Dari kecil lalu makin membesar hingga tiba tiba membentuk sebuah mata berukuran raksasa seolah seorang dewa mengintip dibalik tirai air.

Kemudian, sebuah suara pun terdengar entah dari mana. Suara yang penuh kesombongan dengan nada meremehkan seperti raja yang biacara pada budaknya. Kalimat itu terselip diantara gemuruh air laut dan tertuju pada satu makhluk.

[Ah. Kabur, ya? Apa mastermu juga sudah bangun?]

Mata raksasa itu berkedip satu kali. Pupil mata raksasa itu bergerak penuh kesombongan Solah olah dihadapannya ada seseorang yang sedang ia hakimi hidup matinya. Sekali lagi sebuah suara menggema entah dari mana, terdengar sampai ke ujung lautan dan terdengar penuh dendam. [Tapi walaupun begitu, bukankah setidaknya kau harus pamit pada tuan rumah setelah menginap beberapa tahun?]

Tepat setelah kalimat itu dijeda, awan gelap mulai menggerombol menutupi area laut itu sampai jarak tertentu. Satu persatu, kilat kilat mulai menyambar dengan disusul suara nyaring yang menggelegar. Mata raksasa itu berubah melengkung. Seolah olah pemilik mata sedang tersenyum. [Sebagai penutup, silakan keluar, silakan temui mastermu kalau kamu berhasil melewati badai ini hidup hidup.]

______________________________