Seseorang yang mendapat lesensi gladiator dengan level E atau F dipercaya hanya akan jadi hambatan selama berlangsungnya Raid dungeon. Akan tetapi, lain ceritanya kalau mereka memegang senjata seharga mereka mempertaruhkan nyawa. Senjata yang digunakan dengan skill yang cocok dan tepat dipercaya akan menaikkan kualitas seorang Gladiator dan membuat persentase kemenangannya meningkat drastis.
Tentu saja syaratnya sesimpel bahwa pemegangnya haruslah seorang Gladiator. Karena saat senjata senjata pemakan sihir itu digenggam oleh orang biasa yang tak punya apa apa untuk dipersembahkan, benda benda yang bisa membuat para gladiator menangis darah itu nantinya hanya akan jadi mainan rongsokan kalau tidak segera dijual.
Begitulah seharusnya.
Akan tetapi, sebagaimana kesaktian Ezre yang selalu berhasil membuat Jevian menelan ludah karena takjub sekaligus takut,laki laki itu tetaplah punya sisi pemikiran 'agak lain' saat ia menyuruh Jevian datang ke sebuah museum untuk mengambil senjatanya.
Jevian jelas langsung mengerti senjata macam apa yang dimaksud Ezre hanya dari mendengar nama museumnya saja. Senjata itu disebut 'Sang Terkutuk' yang terkenal itu, sebagaimana setiap orang yang nekat menggantung belati itu di pinggangnya akan langsung ditukan tewas kurus kering kehabisan darah tanpa ada luka sayat barang sesenti pun.
"Orang gila." Komentar Jevian begitu mengerti senjata yang Ezre maksud. "Yang Gladiator aja mati dalam waktu dua puluh empat jam, kamu malah nyuruh saya yang orang biasa buat ambil senjata itu?"
"Kata siapa kau orang biasa?" Sahut Ezre tanpa ambil pusing atas pertanyaan itu dan hanya menatapnya. "Mereka memang mati karena mengambil itu, sudah pasti." Kata Ezre santai. "Tapi kalau kamu, maka itu tidak mungkin."
Mulanya Jevian betul betul tidak paham. Sehingga ia mengartikan kalimat itu dengan terlalu positif. "Maksudnya, kamu mau bantu aku?"
"Bukan, astaga. Kau makin lugu saja, bocah sadis." Kata Ezre. "Aku juga tau kalau aku tidak akan mati karena pedang itu. Tapi tetap saja aku tidak bisa. Walaupun begitu, Kau tau kenapa?"
Jevian reflek menggeleng. Mengundang seringai di wajah Ezre. "Karena pemilik pedang itu adalah kau."
Jevian terperangah. "Aku?" Beonya bingung. Ia tentu saja berniat tidak percaya begitu saja, Tapi setelah kurang lebih seminggu mengenal Ezre, laki laki itu cukup mampu menangkap bahwa yang perlu ia lakukan hanyalah menutup mulut karena si Tuan Tanah ini akan segera menjelaskan.
Ezre pun menyadari kepahamannya itu. Ia tersenyum dalam hati. Bocah ini sekarang jadi cepat beradaptasi, ya. "Akan kujelaskan secara singkat. Aku tidak akan menjelaskan apa apa karena pada dasarnya kaulah yang memintaku seperti itu. Intinya, memori yang kau miliki sejak kau lahir itu sekarang tidak lengkap. Supaya lebih mudah untuk dipahami, aku akan menjelaskan kalau ada satu fragmen jiwamu yang menyusup ke dalam dirimu."
Ezre berdiri, mengangkat tangan sampai sebatas depan dada dengan telapak tangan menengadah ke atas. Jevian betul betul menatap ke arahnya dengan kagum saat dari permukaan telapak tangan itu mulai menggumpal asap hitam yang lama kelamaan berkumpul di satu titik sampai jadi berbentuk bola. "Ibaratkan lah bola ini adalah jiwa suatu makhluk yang diciptakan oleh Almighter. Jiwa ini kemudian dibagi menjadi sebelas serpihan—" Bola asap itu kemudian membelah diri menjadi sebelas bola kecil. "—yang menempati sebelas tubuh berbeda dan menjalani kehidupan berbeda dengan dimensi yang juga berbeda beda. Mumpung begini sekalian juga akan kuberitahu cara kerjanya."
Ezre melompat, lantas lenyap dari tempatnya begitu saja dan muncul lagi di belakang Jevian. Dan yang membuat laki laki itu merasa gila adalah karena ia betul betul tidak tau apakah jantungnya ini berdebar debar karena antusiasme atau rasa takut. "Pada dasarnya, semua jiwa diciptakan dengan persentase semua jenis keberuntungan seratus persen—keberuntungan dalam keselamatan, kesehatan, kekayaan, kekuatan, persaudaraan, pertemanan, politik, taruhan, ketenangan hidup, bahkan sampai percintaan. Persentase seratus persen ini kemudian dibagi menjadi sebelas. Itu artinya, Jevian, semisal ada yang dapat keberuntungan politik sebesar lima puluh persen, maka kesepuluh sisa jiwanya boleh jadi hanya dapat keberuntungan sejenis kurang lebih lima persen. Kalau diibaratkan, bisa saja jiwa pertama menjadi seorang raja dan kesebelas jiwa lainnya jadi budak."
Ezre menjelaskan topik itu dengan eksistensi yang hilang-timbul sampai Jevian lelah berbalik dan terkejut. Pada titik itu, Ezre tiba tiba muncul tepat di depan matanya setelah sejak tadi bisa muncul dimana saja. Jevian tersentak dan reflek mundur satu langkah.
"Jadi, Jevian, apa kamu bisa menebak apa yang hendak aku katakan padamu?"
Jantung Jevian berdegup semakin kencang. "Sa-saya harus jujur?" Tanyanya terbata bata. "Eh—apa ternyata masing masing persentase keberuntungan saya cuma kurang dari sepuluh persen?"
Ezre terdiam, sedikit menganga karena betul betul tidak membayangkan pertanyaan seperti ini keluar dari mulut Jevian. Tapi kemudian ia tertawa kencang. "Hahahahaha! Betul, betul," Ezre mengusap air mata yang keluar karena lelah tertawa. "Sejak dulu kamu memang anak yang seperti itu. Sampai sampai sering sekali gampang dibodohi. Tapi, Jevian," Ezre menatapnya lurus dan entah kenapa,pandangan yang ini jauh lebih bersahabat dari sebelumnya. "Mencoba menerka persentase keberuntungan itu bukan sesuatu yang disukai oleh Almighter. Dan sebetulnya, jawabannya itu sebaliknya.
"Fragmen jiwamu yang lain, yang saat ini menyusup dalam tubuhmu, memilihmu karena kamu memiliki satu jenis keberuntungan yang jauh lebih tinggi dari apa yang ia punya. Dan dia punya satu jenis keberuntungan yang jauh lebih tinggi juga dari apa yang kamu punya. Kau tau? Ini seperti kombinasi, saling melengkapi. Fragmen jiwamu ini jauh lebih kuat darimu dan dari semua Gladiator yang ada di dimensi ini sampai sampai kamu tidak akan bisa membayangkannya. Akan tetapi, dia ingin memiliki memori dan kehidupanmu. Baginya, kehidupan yang kamu jalani saat ini adalah kemewahan yang tak pernah sekalipun ia genggam semasa hidupnya."
Jevian mengerjap. Ia menelan Saliva sejenak. "Saya bisa menebak, sih, kalau kemewahan itu bukan harta. Rumah saya saja kontrakan dan bulan ini belum dibayar. Jadi kemewahan macam apa yang si roh ini mau?"
Ezre mengernyit sejenak. Roh? Tidak salah, sih. "Coba pikirkan baik baik. Hal apa yang paling kamu miliki di dunia ini dan apa yang tidak. Hal yang paling ingin kamu jaga dan hal yang paling ingin kamu buang."
Dengan mata berbinar Jevian mendongak. "Harapan juga masuk dong?"
Ezre menarik napas, menghembuskan ya dengan lelah. "Aku bilang yang kamu miliki, Jevian."
"Yang saya miliki? Kalau saya mengingat apa yang nggak saya miliki, sih, uang, kekuasaan, politik dan—" mendadak sekelebat ekspresi dendam melintas di wajah Jevian. "Kekuatan. Kalau yang saya punya...—eh? Adik adik saya mungkin?—"
Ezre menjentikkan jari. "Tepat!" Ia berdiri, lagi lagi kembali hilang muncul di mana mana. "Yang dia mau cuma itu, keluarga. Dan yang akan dia berikan padamu, adalah kekuatan, harta—itu sangat gampang didapat kalau kamu kuat, kekuasaan, dan bahkan politik kalau kamu mau. Jadi—"
Ezre muncul lagi dengan wajah yang tepat satu jengkal dari wajah Jevian. Laki laki itu berseru dan—sekali lagi—reflek mundur selangkah. "—apa kamu mau berbagi tubuh dengannya?"
Jevian diam. Seumur hidupnya, ia cuma tau cara bekerja bekerja dan bekerja supaya adik adiknya bisa makan dengan baik. Demi gaji yang dinaikkan lima puluh persen, Jevian rela jadi samsak amukan bosnya tiap kali jenglot tua itu ketahuan selingkuh oleh istrinya. Demi membuat Dewangga tetap bersekolah setelah mematahkan leher anak sekelasnya, ia bersujud selama setengah jam di hadapan kepala sekolah dan berakhir tidak pulang satu bulan untuk membayar uang sogokan yang setara harga kontrak rumah pertahun. Demi Diana saat ia radang paru paru, Jevian bersedia merelakan semua waktu tidurnya. Demi Januar yang mengaku ingin sekolah di luar negri, Jevian merelakan hari minggunya. Dan demi ketiga adiknya, Jevian bahkan tidak pernah membayangkan duduk di bangku sekolah menengah atas.
Semua itu ia lakukan karena mereka adalah ketiga adiknya. Rumahnya, Tempatnya pulang, dan hadiah yang ditinggalkan orang tuanya. Sampai mati, ia tak akan pernah membiarkan siapapun menyentuh hadiahnya dan membuat mereka tergores. Tidak apa apa punggungnya jadi penuh luka. Asalkan mereka tetap tersenyum pada Jevian, bahkan jika gempa mengubur dunia pun ia akan tetap bilang kalau hari itu adalah hari yang indah.
Akan tetapi, yang namanya makhluk memang selalu mendamba.
Jevian ingat betul hari itu. Saat ia baru kembali dari mengantar pesanan ikan bakar yang berakhir melayang ke wajahnya karena rasanya tidak pedas. Dengan perasaan campur aduk, Jevian berjalan di satu sisi trotoar dan menatap seberang jalan, ke arah baliho seukuran satu gedung besar. Jevian melihatnya. Seorang teman sekelas di bangku SD yang sekarang jadi idola dengan pendapatan lima milyar sebulan. Dalam diamnya menatap baliho itu dengan berbinar, ada satu perasaan yang diam diam menyusup dalam benaknya.
Sebenarnya perasaan itu bukanlah sebuah perasaan yang spesial. Jevian sendiri pun sudah terlampau sering merasakan perasaan itu pada banyak objek berbeda sepanjang hidupnya.
Saat jadi juru potret bagi para mahasiswa yang lulus; Suatu saat nanti, aku pasti juga akan pakai baju itu dan foto dengan Teman temanku.
Juga saat melihat sekelompok anak SMA yang saling bercanda dengan kata kata kotor di dalam bus; Aku juga mau bercanda dengan temanku saat berangkat sekolah.
Saat seorang ayah datang ke toko roti selepas kerja untuk beli kue tart untuk putrinya; Aku juga mau merayakan ulang tahun dengan ayah dan ibu.
Begitupula saat ia sedang mengepel lantai sementara sekelompok manusia dibalik punggungnya merayakan teman mereka yang diterima kerja di perusahaan besar ; Aku juga pasti bisa pakai baju seperti itu.
Tapi perasaan hari itu itu rupanya agak sedikit berbeda.
Sambil menatap wajah teman sekelasnya yang terpampang di baliho, Jevian yang saat itu bahkan melupakan keramaian disekitarnya pun tiba tiba disusupi perasaan putus asa dengan kadar yang tak bisa diukur; Aku...nggak akan pernah dapat kesempatan seperti itu.
Hari hari berlanjut. Malam siang bertukar peran. Musim kelulusan para mahasiswa sudah selesai. Hari libur anak anak sekolah tiba. Dan putri dari ayah itu tidak ulang tahun setiap hari. Begitupula dengan baliho yang fotonya sudah diganti berulang kali. Akan tetapi, yang tetap sama adalah harapan Jevian yang meredup sejak hari itu. Rasa putus asa itu, walaupun gagal membuat Jevian minimal bersedih dan mengurung diri apalagi sampai bunuh diri, laki laki itu tetap menyadari bahwa ada sesuatu yang berubah dari langkah langkah yang ia tapaki.
Kendati demikian, Jevian selalu yakin kalau dia baik baik saja. Tepatnya, dia harus selalu baik baik saja.
Demi tiga adikku yang harus punya masa depan lebih terang dari aku. Demi janjiku sama ayah ibu. Demi hidup dan mimpiku yang udah kubuang sejak bertahun tahun lalu. Aku sama sekali gak boleh menyerah.
Tapi tawaran yang satu ini...bukankah agak berbeda?
Yang laki laki itu tawarkan saat ini bukanlah menyerah. Melainkan sesuatu yang menurut Jevian akan mengurangi beban pemberat di kakinya. Sesuatu yang entah kenapa membuat Jevian merasa kalau pundaknya yang penuh itu jadi sedikit lebih rileks. Sesuatu yang mungkin...akan memudahkan segala yang sulit. Mungkin.
Dan yang membuat Ezre sangat terkejut adalah setelah diam selama lebih dari semenit, Jevian tiba tiba mulai menangis. Tangannya yang pucat terulur pada lelaki itu. "Kau—"
"Aku lelah." Kata Jevian dengan suara parau. "Harusnya aku tidak boleh berharap sebesar ini karena aku mengurus adik adikku dengan benar. Aku harus merelakan segalanya, mimpiku, sekolahku, teman temanku, masa remajaku. Tapi ternyata aku benar benar lelah.
Meskipun begitu seulas senyum tetap terbit di wajah Jevian. "Aku...apa nggak apa apa kalau aku mau belok sedikit ke jalan pintas? Nggak akan ada yang berubah, kan? Adik adikku bakal baik baik aja, kan?"
Ezre terperangah. Ia menatap mata Jevian dalam sampai muncul seulas senyum di wajah yang berbingkai rambut perak itu. Seiring isi kepalanya yang membawanya kembali ke masa lalu, Ezre menyeringai sedikit. "Jadi begitu, ya. "
___________________________________
Dari lubuk hati yang paling dalam, setelah hari dimana ia terbawa suasana dan malah menangis sembarangan di depan orang seperti Ezre yang entah betulan orang atau bukan, Jevian sebetulnya merasa malu sekali sampai hendak tenggelam di kubangan lumpur.
Akan tetapi orang gila memang akan selalu jadi orang gila. Mana ada orang yang mengajak bertemu di kuburan, malam malam, pukul dua belas pula?!
Ada. Dan Ezre adalah buktinya. Dan setelah orang gila itu, masih ada juga seorang Jevian yang saat itu entah mengapa asala iya-iya saja.
Tepat setelah mengatakan kalimat alay yang membuatnya mau muntah saat sadar apa yang ia katakan, Ezre lebih dulu berhasil kabur begitu saja setelah mengatakan satu kalimat kurang ajar.
"Pukul dua belas malam. Kuburan tempat pertama kita bertemu. Telat semenit saja maka kupastikan kau akan menyesal."
Demikianlah Jevian gagal murka tiap membayangkan jenis penyesalan macam apa yang akan ia tuai jika menanam benih yang buruk. Maka demi menuntaskan perasaan merinding—karena sebetulnya ia menyimpan rasa takut tersendiri pada sosok bernama Ezre—yang tak kunjung hilang sekalipun ia memaksa dirinya sendiri, ia datang setengah jam lebih awal dan kemudian menyesal saat menyadari bahwa dengan datangnya dia setengah jam lebih cepat, artinya dia juga harus menunggu di gapura kuburan ini selama setengah jam.
Kabar baiknya adalah, Ezre betul betul datang tepat di pukul dua belas. Ia duduk dengan santai diatas sabitnya yang melayang dua meter diatas tanah, membuat Jevian hampir mati karena jantungan.
Dan walaupun laki laki itu menatapnya dengan emosi memuncak, ia tetap sadar diri bahwa berbuat macam macam dengan sosok seperti Ezre hanyalah upaya dari mempersingkat hidup.
"Kamu datang tepat waktu, ya." Kata Jevian sambil bangkit dengan—berusaha—elegan.
Ezre menaikkan sebelah alis dan melompat turun dengan mulus bak kucing terlatih. "Aku sendiri tidak menyangka kamu akan datang setengah jam lebih awal."
Jevian mengangguk pasrah. Itu artinya, si orang aneh ini udah tau dari awal dan kayaknya, malah cekikan lihat aku berdiri merinding kayak orang orangan sawah. Perilaku kurang ajar yang sama sekali nggak bisa kubalas. "Jadi sekarang kita mau kemana?"
Ezre mengambil jeda waktu bermenit menit untuk sekadar menatapnya dengan sengit. Dan menurut yang ditatap, mata itu tidak lain adalah mata tidak sopan yang menilai orang terang terangan. Kalau saja orang ini bukan Ezre 'yang itu', Jevian pasti sudah emosi luar biasa dan menarik kerah baju orang yang terang terangan merendahkan itu sambil berseru dan menonjok wajahnya. Tapi karena ini adalah Ezre 'yang itu', ia cuma diam, balas mengerutkan alis dan menggerutu. "Apa? Mau bilang gak jadi? Hah?!"
Tawa kecil mengalun dari lisan Ezre. "Galaknya bocah ini." Keluhnya dengan keceriaan yang sukses membuat Jevian merinding sampai ke tulang tulang. "Jangan waspada begitu, aku cuma mau menjelaskan secara singkat kalau kita akan menuju ke sebuah museum milik seorang tuan tanah. Tapi—" Ezre berbalik dan menatap Jevian. "Kau akan ke sana sendirian."
Jevian mulanya diam. Berpikir kalau semua ini adalah candaan dan Ezre akan segera tertawa melengking beberapa detik lagi. Tapi sejauh ini, yang terdengar cuma sepoi sepoi angin kuburan yang meniup ranting pohon Kamboja. Ia pun menghela napas. "Rupanya betul."
Dahi Ezre berkerut. "Apanya yang betul, bocah?"
"Saya udah curiga kalau dari awal ini semua cuma penipuan. Gak papa, saya—"
"Tunggu, tunggu—" mendadak Ezre sakit kepala. "Siapa yang kau bilang penipu dan siapa yang habis ditipu?"
Jevian kembali diam. Ia menatap Ezre dengan tatapan sengit penuh curiga. "Bukan, ya?"
"Hah!" Ezre termagu tak percaya. Alisnya bertaut kesal dan ia melotot Bocah sadis ini beraninya... "Tidak ada yang menipu dan ditipu. Aku ini cuma tidak akur saja dengan pemilik museumnya. Kau juga tidak boleh mengucap nama Ezre sedikitpun kalau tidak mau didepak paksa. Yang perlu kau katakan itu cuma satu."
Kening Jevian masih mengerut. Tapi ia tetap mendekat saat Ezre memberinya isyarat demikian. "Nanti kalau sudah sampai sana, bilang saja dengan yang jaga kalau kau adalah..."
"...apa?"
_______________________________________
Bangunan di depan Jevian megah bak istana. Pilar pilar yang ukiran di masing masing pangkalnya berlapis emas, pintu masuk berupa balkon dengan sepasang tangga pualam raksasa berikut semua orang yang datang menggunakan pakaian mewah dan topeng menawan. Air mancur di tengah sana juga indah, dengan air sejernih permata yang memantulkan cahaya bulan sampai kelihatan bersinar.
Akan tetapi dari semua keindahan itu, tak satupun dari mereka yang berhasil menghibur Jevian yang saat ini justru sibuk gemetar di satu sudut dengan perasaan murka dan malu luar biasa. "Ezre, silver anj***..." Giginya bergemeletuk dan ia makin menunduk. Satu demi satu sumpah serapah yang disambung dengan nama nama binatang niscaya mampu mengotori telinga orang orang disekitarnya seandainya Meraka berbahasa yang sama.
Bisa bisanya semua orang pakai jas gaun terus aku pakai Hoodie kayak gembel gini?!
"Mati ajalah si anj*** itu, mati...."
Dan yang ia tinggalkan untuknya sebelum kabur tanpa dosa hanyalah sebuah topeng hitam. Sebagai satu satunya harapan yang tersisa, Jevian memutuskan untuk menyelamatkan kewarasannya sendiri dengan menarik napas dan mendoktrin dirinya sendiri. "Sabar, sabar..." Beo Jevian sambil mengelus dada. "Seenggak topengnya masih matching sama baju...sabar, huft..."
Jevian mengenakan topeng itu, meletakkan tas ransel ukuran sedangnya di pundak kanan, lantas berjalan dengan—berusaha—percaya diri. Ia berjalan di tangga sebelah kanan dan menanti gilirannya untuk masuk dengan tenang.
"Ingat. Museum itu namanya 'The Golden House'. Maksudnya, museum itu diibaratkan sebagai sebuah kotak emas yang di dalamnya menyimpan berbagai benda berharga entah artefak atau prasasti sampai senjata —karena pemiliknya memang random sekali—ada juga dia menyimpan batu dan sampah rongsokan sampai segumpal tanah tidak jelas. Bodohnya lagi ada orang orang yang mau beli barang tidak jelas itu."
Kamu bilang bodoh juga terus kenapa kamu suruh aku beli disini, dasar gak jelas. Jevian menghela napas. Ia menaiki langkah tangga satu persatu dengan hati yang komatvkamit berdoa semoga ini bukan penipuan sampai tiba di depan penjaga yang memakai topeng putih. Penjaga itu, yang mengenakan jas hitam berekor dan dasi kupu kupu, menatapnya Lamat Lamat dan ia pun melakukan hal yang sama. Tangan si penjaga yang menyobek kertas dari nampan pelayan di sampingnya, berhenti bergerak dan jadilah sepasang matanya meneliti penampilan Jevian dari atas sampai bawah.
"Intinya, kalau kau sampai sana. Akan ada sepasang tangga kembar. Naiklah ke tangga sebelah kanan, antre dengan tenang sampai penjaga memberimu sebuah tiket. Gestur nomor satu, angkat tangan kananmu dan menggelenglah, tolak tiketnya. Lalu, dia akan memberimu tiket emas. kau harus beri gestur menolak lagi. "
Mata si penjaga itu betul betul memindainya dari atas sampai bawah, membuat Jevian yang sejak awal sudah kesal jadi makin tersinggung dan emosi. Akan tetapi, perasaan itu langsung hilang tergantikan oleh bingung saat laki laki itu tiba tiba meletakkan sebelah tangan di pundak dan menunduk dengan elegan. Dengan mata yang terbelalak ia menelan ludah. Langsung...Escort?!
"Barulah saat dia meletakkan tangan dan melakukan escort, mendekatlah ke telinganya dan bisikkan kata yang tadi kuberitahu."
Ia menarik napas, menghembuskannya perlahan dan mulai berbisik ke arah penjaga itu.
"Katakan saja pada yang jaga kalau kau adalah..."
"...Living Blood. Panglima."
________________________
(Bonus)
BIODATA
Nama : Jevian
Usia : 19
Profesi : Warga Sipil, Gladiator (calon)
Julukan : -
Ikon : -
Level : -