Chereads / RASI BINTANG JATUH : JEVIAN / Chapter 4 - Serpihan Pertama (2)

Chapter 4 - Serpihan Pertama (2)

Tempat itu damai. Sejauh mata memandang, yang akan ditemukan adalah Padang rumput hijau setinggi mata kaki dengan bunga bunga liar yang kembali tumbuh tiap di petik. Langit biru yang megah bak lukisan membingkai tiap sudut mata, dibumbui dengan awan awan putih yang menyebar tertarik ke satu arah. Nun jauh disana, ada juga sebuah pohon raksasa yang tiap helai daunnya mengkilat berwarna warni dan memanjakan setiap mata yang memandang. Pohon itu ukurannya besar, demikian besarnya sampai sampai jika kamu berdiri di bawahnya, langit akan tertutup sempurna dari pandanganmu.

Itu jugalah yang dirasakan oleh Ezre yang saat ini sedang berbaring malas, bersandar pada batang pohon itu dan mendongak ke atas. Mulanya matanya terpejam. Tapi tiba tiba, ia membuka mata dan menoleh ke arah kanan demi menemukan seorang gadis kecil yang berdiri di tengah Padang rumput dengan wajah gembira.

"Hm?"

Ia bangkit duduk. Menatap lekat lekat anak itu sebelum tersenyum dan bangkit sambil mengelus tengkuk. Ah, rupanya kamu tersesat, ya? Pikirnya sambil meletakkan sabit dan lenteranya. Ia berjalan mendekati gadis kecil yang berlari lari bahagia di tempat itu. Anak itu dengan riang berulang kali bak Dewi kesepian yang mencabuti bunga liar di sekitarnya karena senang tiap kali bunga itu tumbuh seketika.

Tubuh Ezre lenyap di tempatnya, Dan muncul begitu saja jauh dari tempatnya sedetik lalu.

Dari jarak lima meter, Ezre berhenti melangkah, tersenyum melihat anak itu sampai ia menoleh menatap Ezre. Keheningan menerpa keduanya, yang saling berkomunikasi hanyalah ekspresi bingung anak itu dan senyum lembut yang diberikan Ezre padanya. Senyum itu adalah senyum yang tak pernah ia berikan pada siapa saja selain mereka yang ia temui di tempat ini.

"Kakak siapa?" Tanya anak itu pelan. "Kakak disuruh ibu jemput aku, ya?"

Ezre terkekeh kecil. Ia mengikis jarak lima meter dari anak itu dan mengelus rambutnya setelah berjongkok tepat di sampingnya. "Haloo...selamat pagi! Namaku Ezre, dan, betul! Ibu kamu bilang beliau rindu sekali dan mau bertemu kamu." Tangan Ezre terangkat, beralih menggendong anak itu. "Nama kamu siapa?"

"Buttercup!" Kata anak itu dengan senang. "Namaku Buttercup!"

"Buttercup? Bunga? Hmm ....." Ezre menatap tanah kosong di samping nya dan hanya butuh satu lambaian tangan sampai tumbuh buttercup subur dari sana. Mata Buttercup berbinar, menatap jemari Ezre yang terulur memetik sekuntum bunga itu, lantas memberikannya padanya.

Buttercup tersenyum riang, menerima buttercup itu dengan senyum lebar. "Terimakasih!"

"Sama sama." Ezre menjawab sambil menurunkan Buttercup dari gendongannya. Sebelah tangannya ia letakkan di atas kepala anak itu, merapikan sejenak rambut berwarna cokelat terang yang panjangnya melewati punggung, lalu mulai berlutut dan berbisik. "Nah, sekarang, kembalilah pada ibumu..."

Mata Buttercup yang besar menatap Ezre dengan binar. Tidak lama ia tertawa, lantas mengangguk, seiring dirinya sendiri yang lama lama memudar menjadi debu debu emas. Sepoi angin bertiup lembut sekali, menerbangkan debu debu itu dengan begitu lembut seolah debu debu itu adalah sekumpulan harapan. Pohon di tengah sana adalah pemberhentian terakhir serbuk emas itu, meninggalkan jejak sampai sudut yang ia singgahi jadi tak kalah berkilau dari sudut lain.

Pemandangan itu disaksikan oleh Ezre yang menonton dengan tenang. Ia mengeringkan kepalanya dengan ekspresi berpikir, sebelum tubuhnya lenyap dan muncul begitu saja di sawah pohon itu. "Dilihat dari jauh aku baru sadar kalau ternyata kau sudah sebesar ini." Kata Ezre pada pohon itu. "Padahal pertama kali bertemu daunmu paling cuma sebesar kepalaku. Tapi sekarang aku sudah bisa berbaring diatasnya, ya,—" Ezre mendongak, menatap ke atas sambil meletakkan sabit besarnya di pundak. "—pohon dunia."

Pohon itu—pohon dunia—menatapnya tidak suka. "....." Katanya datar.

Mendengar itu Ezre tertawa. "Jahatnya temanku~" keluh lelaki itu seraya berteleportasi, muncul begitu saja di atas dahan yang cabangnya paling banyak. "Bagaimanapun juga, kita ini kan tumbuh bersama..."

Pohon dunia diam, tidak membalas. Ia membiarkan Ezre bersandar pada batangnya dan mulai memejamkan mata dan ia mengajukan pertanyaan lain. "....?"

Alis Ezre berkerut. "Kalloyd? Memangnya aku mengatakan apa padanya?"

"...."

"Oh, itu..." Ezre diam sejenak. Memilih kata yang tepat untuk menjawab. "Dia memang tak pernah memintaku untuk mengatakan itu. Bagaimanapun juga dia tidak ingat kehidupan lampunya, kan? Kau tau sendiri, kan? Anak itu betul betul membingungkan. Kami bahkan tidak tau harus menyebutnya beruntung atau tidak waktu itu. Intinya, dengan aku mengatakan apa yang tidak ia minta aku untuk katakan bukan berarti dia benar benar tidak mau."

Pohon dunia bungkam. Ezre menepuk batang pohon itu dan menyeringai. "Intinya, ya, teman. Selagi dia dapat kesempatan itu maka harus digunakan dengan maksimal. Entah kenapa menurutku itulah hadiah yang ingin diberikan Almighter padanya. Bukan kah begitu? Bagaimana menurutmu?"

Pohon dunia diam sejenak. ".....?"

"Dengannya? Dia siapa maksudmu?"

"....."

"Oh, hahaha, merak jantan itu...." Ezre menutup matanya. Seiring sejumlah memori yang menyulut kembali rasa kesalnya tapi ia tahan setengah mati.

"Dia bukannya jahat, memang gila saja, jangan khawatir. Kal pasti baik baik saja.

".....?!"

"....semua akan baik baik saja, kok...." Ezre tertawa kecil dan matanya terbuka sedikit. "Harusnya..."

Pohon dunia menghela napas. Dalam diam mengasihani orang yang dimaksud dan berharap samua sungguh akan baik baik saja.

_________________________________

"....Living Blood. Panglima."

Si penjaga dan pemegang nampan di sampingnya terdiam. Bahkan jika Jevian mencermati dengan lebih baik lagi, ia tidak mendengar suara napas dari mereka saking terkejutnya. Keterdiaman itu berlangsung cukup lama dan ia jadi canggung sendiri. Tanpa sadar ia berdehem, membuat dua orang di depannya saling berpandangan.

Apa aku salah ngomong?

Si penjaga beralih menatapnya dalam. "Saya tidak mendapati suatu apapun yang merupakan ikon dari beliau dan pengikutnya dari anda. Tapi saya tidak akan menilai dengan terburu buru. Berkenankah anda menunjukkan sesuatu yang merupakan bukti bahwa anda adalah utusan dari beliau?"

Beliau? Pengikut? Utusan? Sebenarnya siapa sih Panglima Living Blood ini? Ezre? Tapi dia bilang dia tuan tanah....

Jevian bungkam. Ia memutar otak sekuat tenaga dan menemukan fakta bahwa dirinya sendiri pun tidak punya apapun untuk ditunjukkan. Dengan canggung ia berdehem lagi. Bisa gak ya, ngomong sesuai EYD pake KBBi? "...saya khawatir saya tak punya apa apa untuk diperlihatkan..."

Gila mau muntah!

Penjaga itu terdiam. Sekali lagi saling tatap dengan kawannya lalu beralih lagi pada Jevian. "Silakan ikuti saya." Kata Penjaga itu dan mulai berjalan memimpin. Jevian, yang walaupun terkejut karena ternyata ia dibiarkan masuk begitu saja, segera bergegas menyusul laki laki itu setelah berseru dengan patuh.

Selama ia mengikuti penjaga itu, Jevian mengambil kesempatan diam diam untuk menoleh ke sana kemari dan dibuat terhipnotis oleh tiap inci interior yang dipamerkan. Rasanya ia seperti melihat bangunan yang dibuat dari tumpukan emas sampai nyaris menyilaukan mata. Ini sih, memang golden house!

Bukan hanya itu, ada juga beberapa kotak kaca yang dipajang dengan isi yang berbeda beda. Mulai dari berlian seukuran genggaman tangan, dua lembar kartu, jam saku, sampai—sesuatu yang membuatnya mengetnyit—api unggun dan gelembung air. Kok bisa?

Mereka berdua berjalan melewati orang orang yang berpakaian menawan dan berwajah indah—Jevian tau itu walau semua tertutup topeng. Beberapa melempar senyum pada Jevian dan ia gagal mengartikan arti tiap senyum yang ia terima. Setelah berbelok dan melewati pintu berulang kali, sampailah mereka pada suatu ruangan yang didalamnya hanya terdapat satu kotak kaca berisi belati. Tidak ada baik jendela maupun ventilasi di ruangan itu. Pintu yang terhubung pun cuma satu—sebentar, Jevian baru sadar saat ia menoleh ke tempat ia masuk. Pintu yang tadi kemana?

"Silakan duduk." Kata Penjaga itu dan Jevian menoleh.

"Ah, duduk di lant—"

Tiba tiba ada sofa? "I-iya, Makas—eh, maksud saya, Terimakasih." Dengan penuh keraguan bahwa sofa itu akan hilang begitu ia duduk, ia mulai menyentuh sofa itu dan mendudukinya dengan terbata bata. Satu lagi yang membuatnya tercengang adalah begitu fokusnya ia alihkan dari sofa itu, sudah ada lagi satu lagi sofa yang muncul dihadapannya berikut meja pualam sebagai pembatasnya serta segala serba serbi peralatan minum teh yang sudah siap. Penjaga itu bahkan sekarang sedang menuang teh ke gelasnya.

Setelah selesai menuang teh berikut gula dan mengaduknya, penjaga itu berjalan pelan pelan ke arah tembok di hadapannya dan mulai mengetuk pelan. Ia kemudian berbicara dengan penuh sopan santun dengan bahasa yang sama sekali tidak ia mengerti, dan yang lebih mengejutkan, sesuatu di balik tembok itu menyahut. Percakapan itu berlangsung sebanyak sekitar tiga sampai lima baris sebelum si penjaga mundur. Ia kembali ke hadapan Jevian dan menuang teh ke gelas satunya.

Kesempatan itu hendak Jevian pergunakan untuk mengorek informasi lebih banyak. Ia berdehem sejenak. "Nama saya Jevian." Katanya pada penjaga itu. Di luar dugaan, ia yang sedang mangaduk teh itu terlonjak dan mulai berlutut.

"Suatu kehormatan, Tuan." Katanya yang ditanggapi Jevian dengan bingung. Tuan? "Nama saya adalah Orche, tingkat ksatria."

"Ah—anda kenal saya?"

"Saya tidak yakin bahwa ada yang tidak mengenal anda."

"Betul."

Jevian berseru. Terlonjak sedikit kebelakang dan jantungnya berdegup luar biasa keras. Sejak kapan ada orang duduk di situ?

Akan tetapi orang itu, dengan rambut pirang emas yang menyilaukan mata dan matanya yang berwarna serupa, malah dengan santai menenggak teh dari cangkirnya dengan gerakan yang begitu menawan sampai membuat Jevian ragu untuk meminum tehnya sendiri sementara baunya begitu menggoda. Laki laki itu menurunkan tehnya, melambai pada Orche sebagai isyarat supaya dia bangkit, kemudian tersenyum pada Jevian. "—mana ada orang yang gak mengenalmu, kan?"

Wajah tersenyum itu betul betul membuat Jevian merasa jijik pada dirinya sendiri karena ia berdebar begitu saja. Laki laki kok bisa secantik ini? Belum lagi pakaian ala abad pertengahan dengan kerah yang membentuk huruf V dengan berlapis lapis. Ada juga selendang—atau syal— warna pucat yang ia sampaikan begitu saja di pundaknya. Jevian merasa seperti sedang mengobrol dengan orang terhormat, dan boleh jadi memang demikian.

"Namaku Ethrone. Kalau namamu yang sekarang?"

Yang sekarang? "Ah, Je, Jevian."

"Jevian? Lumayan juga. Walaupun banyak sekali keanehan darimu daripada kau yang biasanya." Kata Ethrone sambil tampak berpikir. "Aku sudah dengar tentang kabar hari itu. Katanya kau kehilangan semua kekuatan dan memorimu, ya? Pengkhianatnya juga katanya temanmu sendiri. Enoir yang mencarinya. Apa itu semua benar?"

Satu lagi topik yang betul betul membuatnya sakit kepala. Hari itu? Kekuatan? Pengkhianat apa? Enoir siapa? "Maaf tapi, saya benar benar tidak tau harus menjawab apa."

Keheningan menerpa ruangan itu seiring Jevian menyadari bahwa Ethrone sekarang sedang terbelalak dengan ekspresi kagum. Seringaian kecil mulai tampak di wajahnya dan ia terkekeh. Aku salah ngomong, ya?

"Hahaha...Sa-ya? Gila, harusnya tadi kurekam saja..." Ethrone menggigit bibir. Menahan suara tawanya sendiri saat menyadari kalau Jevian mempertanyakan apa yang salah dari kalimat formal. "Oke. Sepertinya aku jadi tau satu hal. Ngomong ngomong, kau nggak minum tehnya? Santai saja, aku gak keberatan, kok."

"Oh—iya!" Buru buru Jevian mengangkat cangkir teh itu dan seketika timbul pertanyaan di kepalanya, adalah teh di dunia iniebih harum dari yang ini? Rasanya pun ternyata lezat sekali, pas antara kepekatan dan manisnya. Ia menyesal sekali lagi dan membuat tuan rumah tersenyum. "Enak?"

"Betul." Sahut Jevian. "Saya baru pertama kali minum teh sewangi ini."

"Syukurlah, kalau kamu suka." Kata Ethrone sambil tersenyum. "Kamu ingat? Diantara kalian berempat, aku memang paling suka kepribadianmu daripada yang lain."

Jevian mengernyit. Ia berdehem. "Saya pikir harusnya anda mengerti kalau tidak ada gunanya membicarakan masa lalu sementara ingatan saya tidak lengkap."

Sekali lagi tuan rumah terbahak. "Hahahaha! Betul! Ini dia! Kepribadianmu yang berani ini sama persis dengan dua yang lain tapi kau betul betul sopan!—ah, maaf. Aku tanpa sadar bicara melantur lagi." Ethrone menenggak tehnya lantas meletakkannya lagi dia atas meja. "Nah, jadi kenapa kamu nggak membahas apa yang mau kamu cari?"

Pelan pelan Jevian melirik ke kotak kaca dengan belati itu. "Saya pikir anda sudah tau." Katanya.

"Betul." Sahut Ethrone. "Mau lihat lebih dekat?"

"Apakah tidak apa apa?"

"Tentu saja! Itu kan milikmu!" Seru Ethrone seraya bangkit dari sofa dan berjalan ke arah kotak kaca itu. "Kemarilah."

Jevian menurut. Ia berjalan pelan pelan ke arah belati itu dan menatapnya. Dari jauh mungkin ia tidak sadar. Tapi saat dilihat dari dekat, Jevian baru sadar kalau benda ini memang hanya seperti pisau ukuran besar—hampir sepanjang golok—yang besinya berwarna hitam agak tembus pandang, dengan serat serat merah tertanam di dalam sana. Cantik, tapi selebihnya biasa saja.

"Bagaimana menurutmu?" Tanya Ethrone. "Belati yang menawan sekali, bukan?"

Dengan ragu Jevian meliriknya. "Kelihatannya...biasa saja."

Ekspresi Ethrone berubah seketika. "Tidak kusangka akan mendengar kalimat itu dari kamu." Katanya sambil mendengus. "Walaupun begitu, belati itu sudah banyak sekali menghilangkan nyawa."

Tiba tiba Jevian merasakan sesuatu yang aneh pada jantungnya. Ia mengernyit, tapi ia abaikan. "Apa itu sebabnya benda ini disebut terkutuk?"

"Terkutuk? Hmm...bukan juga." Kata Ethrone sambil berpikir. "Kamu pasti pernah dengar kalau siapapun yang memegang pusaka ini mati dalam keadaan kurus kering kehabisan darah. Itu bukan dusta. Banyak sekali yang mengincar pusaka ini mulai dari ras Gein sampai golongan iblis bahkan manusia. Dalam 24 jam, pemegangnya akan mati dan benda ini akan kembali ke tempat ini."

Jevian terdiam sesaat. "Seperti cerita hantu. Karena itukah benda ini dikurung di tempat tanpa pintu dan jendela seperti ini?"

"Anda pintar sekali. Itu benar. Bukan untuk menjaga benda ini, tapi untuk menjaga makhluk lain dari benda ini."

Sekali lagi Jevian terdiam. Ia dibuat terpukau oleh sebuah benda yang ternyata telah banyak mengambil nyawa makhluk lain. Ia menatap lekat lekat benda di depannya sambil memikirkan tentang ironi bahwa semua orang yang menginginkan benda ini berakhir mati di tangan benda ini juga. Yang paling membuatnya kalut adalah fakta yang disampaikan Ezre bahwa benda terkutuk ini adalah miliknya. Artinya, orang orang itu mati di tangannya yang menggenggam senjata ini.

"Jadi bagaimana saya bisa memilikinya?"

Ethrone menoleh. "Maaf?"

"Ezre bilang benda ini adalah milik saya. Kalau—" sebuah pergerakan samar tertangkap mata oleh Jevian. "—anda lihat? Ada sesuatu yang bergerak di dalam benda itu!"

Jevian tidak tau apa itu. Boleh jadi sesuatu yang asing atau serat serat merah di dalamnya. Dengan reflek ia memegang kaca pelindung belati itu dan disitulah—PRANG!—kacanya pecah.

Jevian reflek mundur dan jatuh terduduk. Ia berniat bangkit, tapi tiba tiba, area dada sampai lehernya terasa sakit sekali dan panas terbakar. Sakit. Sakit sekali! Ia menyentuh lehernya sendiri dan membekap mulutnya dengan kanan kiri lalu mulai batuk batuk.

"Uhuk! Uhuk!—"

Apa yang terjadi? Pikirnya sambil menjauhkan tangan kirinya yang gemetar. Matanya yang berlinang kunang dengan pusing menatap telapak tangan itu. Kenapa—

—Darah. Jevian tercengang. Ia menoleh ke arah Ethrone dengan tatapan penuh tanya. —Kenapa darah—

Sampai ia sadar sesuatu dari ekspresi Ethrone yang dingin. Ingatannya melayang ke teh panas beraroma wangi yang ia minum sebanyak dua teguk barusan. Kenapa...aku diracun?

"Ah, maafkan aku." Kata Ethrone dengan datar Ekspresi dingin itu bahkan benar benar tidak tergubris oleh wajah Jevian yang berlumuran darah. Ia justru berjalan ke arah pisau belati yang sekarang jadi berpendar pendar warna merahnya kemudian mendekati Jevian.

"Aku betul betul nggak ada dendam, kok."

Bahaya. Naluri Jevian memperingatkan. Lari. Aku harus kabur dari sini.

Tapi tubuhnya membeku. Sekujur badannya mati rasa dalam posisi terduduk dan ia susah payah menyangga dirinya sendiri dengan kedua tangannya. Jangankan kabur. Mempertahankan kesadaran diri saja rasanya sudah sulit sekali. Ia hanya bisa menonton Ethrone yang makin dekat dengannya berikut pisau yang ternyata semakin dilihat semakin cantik.

Jleb.

Jevian termagu, seketika jatuh telentang saat pisau itu menancap tepat di jantungnya. Ia merakasan dengan jelas bagaimana cairan anyir itu mengalir memenuhi tenggorokannya dan ia tersedak oleh darahnya sendiri sampai sesak napas. Sekali lagi ia terbatuk, memuncratkan darah dari mulutnya. Pusing.. aku nggak bisa bernapas. Sakit...sakit sekali...

Kenapa?

Kenapa aku ditusuk?

Di akhir kesadarannya, Jevian hanya mampu melihat lampu gantung raksasa di pusat langit langit ruang terisolasi ini, berikut lisan Ethrone yang mengatakan sesuatu tanpa bisa ia dengar sedikitpun.

Ah. Sekali lagi, ternyata mati itu seperti ini.