Sepuluh tahun yang lalu, dunia masih normal.
Persaingan ekonomi masih berpatok pada teknologi, fashion, kuliner, serta berbagai macam hal yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Sampai 'itu' muncul.
Hari dimana datangnya gempa berskala magnitudo diatas angka enam di seluruh dunia, rupanya diakhiri dengan kemunculan sebuah pulau di perairan samudra Pasifik. Dan selain karena kemunculannya yang menghebohkan satu planet, pulau ini sama sekali tak tersentuh. Lebih tepatnya, tidak ada yang bisa menyentuh.
Konon katanya, pulau itu dihuni oleh berbagai macam makhluk mengerikan yang tidak mempan serangan dari benda biasa seperti pistol dan meriam. Bahkan sampai nuklir dan rudal yang ditembakkan hanya berakhir seperti hembusan angin begitu memasuki wilayah itu.
Dan pulau itu adalah awal dari kehancuran yang sebenarnya. Karena sejak kemunculan pulau itu, muncul juga ribuan portal yang menyebar dari ujung timur ke ujung barat. Portal portal itu mengeluarkan berbagai monster, menyebarkan Teror mencekam bagi para manusia dan membunuh harapan manusia.
Akan tetapi sebagaimana perannya, lagi lagi alam selalu punya cara untuk menjaga keseimbangan. Makhluk makhluk aneh yang muncul itu diimbangi dengan mereka mereka yang tiba tiba mendapat kuasa untuk membunuh para makhluk itu. Orang orang yang telah mengalami kebangkitan itu, pada akhirnya disebut sebagai 'Gladiator'.
Setelah semakin lama semakin terbiasa, manusia akhirnya beradaptasi dengan kondisi bumi yang baru sehingga menetapkan sistem peringkat pada para monster dan Gladiator. Sistem kasta itu kemudian kami sebut kelas, dari yang terlemah adalah F, dengan rata rata banyak sihir >10 dan <20, sampai yang terkuat adalah S, yang rata rata mencapai skor >1000.
Jadi bagaimana bisa hal ini terjadi?
"Eh, kok, n—? Se-sebentar, kak." Perempuan itu bergumam bingung. Ia mengernyit pada layar monitor lalu mengetikkan sesuatu dari keyboard hologram di depannya. "Ah, anu, kak, kayaknya ada kesalahan teknis sebentar tadi. Maafkan saya, kak. Silakan mengukur ulang."
"Oh, oke."
Ruangan ini serba putih. Dengan banyak peralatan canggih yang rasanya ingin membuatku selfie dan pamer ke adik adikku. Tempat ini adalah Pusat ManajemenGladiator Nasional, divisi pengukuran. Jevian segera membuat janji dengan Rangga begitu ia keluar dari rumah sakit dan datang ke sini setelah seminggu.
Jevian meletakkan tangannya di tempat semula. Beberapa detik kemudian, petugas perempuan itu kembali meliriknya dengan bingung. "Permisi, ya, kak." Kata perempuan itu sebelum meletakkan tangannya sendiri di area sensor. Layar monitor berkedip sesaat sebelum menampilkan serentetan angka.
Jevian terdiam. Melirik perempuan itu lantas bertanya. "Sebenarnya...ada apa?"
Perempuan itu sepintas terlihat ragu untuk menjawab. Ia berdehem sebentar, lantas membuka mulut. "Sebetulnya saya juga kurang yakin, kak. Kan, orang yang awaken itu kalo naruh tangan disini harusnya keluar angka. Paling dikit sekitar sepuluh, paling banyak bisa lima digit. Tapi daritadi saya coba punya kakak hasilnya...nol..." Suara perempuan itu mengecil.
Jevian mengernyit. Apa katanya tadi? "...nol?" Tanya Jevian memastikan. "Artinya saya nggak awaken dan cuma orang biasa?"
Melihat Jevian yang kebingungan, petugas itu dengan buruk buru menjawab. "Saya juga kurang ngerti, kak. Soalnya kakak'kan yang janjian langsung sama pak Rangga dan dapat rekomendasi langsung dari beliau." Katanya dengan panik. Kentara sekali kalau perempuan ini mengira Jevian punya koneksi dengan atasannya dan takut akan dilaporkan macam macam. "Kita bisa coba lagi—"
"Nggak." Kata Jevian. "Nggak perlu, kok."
Buat apa? Udah dicoba tiga kali dan hasilnya sama itu berarti emang akunya yang bermasalah, bukan mesinnya. Mau dicoba sejuta kali juga cuman buang buang waktu. Mending aku pulang dan pikir dulu dengan kepala dingin, sebenarnya apa yang terjadi sama diriku sendiri belakangan ini? Awaken pun juga bukan jawaban...
"Ah, anu, kak. Nggak apa apa, saya nggak keberatan—"
"Saya nggak akan bilang yang buruk buruk ke pak Rangga, kok. Tolong sampaikan saja permintaan maaf saya karena ternyata ini cuma salah paham." Jevian berbalik sambil tersenyum sopan. "Makasih, ya. Saya pulang dulu." Katanya pamit.
Meninggalkan petugas perempuan yang diam termagu dengan tangan yang terjulur hendak mencegah kepergiannya. "Ah..." Tangan perempuan itu turun, berpindah menutupi wajahnya yang pipinya memerah. "Ganteng banget...."
________________________________________
"Terimakasih sudah belanja disini, selamat siang."
"Iya."
CKLAK. Jevian mendorong pintu kaca mini market sambil membuka kaleng soda di tangan kanannya. Pada tangan kirinya menggantung kantong kresek putih berisi sosis siap makan dan yoghurt kemasan.
Kakinya melangkah menjauh dari mini market itu. Ia berdiri lama di pinggir jalan, sebelum berbalik dan duduk di salah satu bangku kosong di teras mini market. Pikiran laki laki itu sedang kacau. Ia memilih berdiam diri sebentar sebelum membuka aplikasi catatan di ponselnya.
______________
8 SEPTEMBER
Harusnya aku udah mati. Dibunuh sama monster kelelawar (?) tapi mereka abilang aku halu.
9 SEPETEMBER
Aku bangun di rumah sakit. Kata Dokter itu serangan jantung awaken. Kakiku yang hilang utuh, tanganku yang hancur normal.
Kesimpulan : Mati yang itu cuma halusinasi (harusnya)
11 SEPTEMBER
Keluar rumah sakit. Buat janji sama divisi penetapan kelas lewat pak Rangga.
18 SEPTEMBER
ZONK. Banget.
Kesimpulan : Mati yang itu berarti bukan halusinasi (kayaknya?)
____________
Jevian selesai menambahkan catatan. Ia menyimpan catatan itu, menenggak soda di tangannya lantas bergumam. "Aneh banget."
Dan di sahuti oleh seseorang di belakangnya. "Betul. Aneh banget."
"Hah?!"
Jevian reflek terlonjak. Melempar pnselnya pada laki laki yang ternyata sedari tadi ikut membaca tulisan di catatan digitalnya dan laki laki berambut perak—menakjubkan—itu menangkapnya.
TAK.
Ia lanjut melihat layar ponsel itu, mengabaikan Jevian yang memegangi dadanya sendiri karena jantungnya yang berdegup terlalu kencang. "Wah, pasti bingung sekali ya, sampai buat catatan begini."
Jevian tidak berkedip. Terlebih karena selain rambut perak yang menjuntai menutup jidat sampai sebagian matanya, laki laki itu juga membawa sabit setinggi dua meter dan lentera yang cahaya warna warninya masih bisa menyilaukan mata di siang bolong begini.
Jevian tau dia laki laki. Tapi—Gila, bisa bisanya ada orang yang tampangnya seperfect ini?!
"Ngomong ngomong, jadi ponsel itu seperti ini, ya?"
Namun demikian, menyadari bahwa yang laki laki itu genggam dan bolak balikkan adalah ponselnya, Jevian merebut benda pipih itu dengan segera dan menatap curiga laki laki itu. "Anda siapa? Kenapa mengintip ponsel orang lain?"
"Ah!" Laki laki itu mengangkat tangan, melepaskan sabit besarnya dan benda itu melawan hukum fisika dengan tidak terjatuh. Jevian menganga melihat itu.
"Maaf, ya. Apa disini perbuatan begitu kurang sopan?"
Jevian menelan ludah. Turis, ya? Bahasa Indonesianya lancar tapi tata bahasa dan aksennya agak aneh. "Iya. Kamu Gladiator?"
"Gladiator? Ah, penerima sumbangan itu, ya? Bukan. Aku tuan tanah."
Jevian mengernyit. "Sumbangan? Tuan tanah?"
"Kujelaskan sekarang pun kamu tak mungkin paham. Intinya begitu. Ngomong ngomong, namaku Ezre." Kata laki laki itu sambil duduk di kursi di hadapan Jevian. Sabit raksasa itu mengekor tanpa disentuh. Lagi, Jevian menelan ludah. Ia ikut duduk sambil mengantungi ponselnya.
"Nama saya Jevian."
"Iya tahu. Ini apa?" Tangan Ezre dengan kurang ajar meraih kantong plastik milik Jevian dan mengambil makanan di dalamnya.
Tapi atensi Jevian sudah direbut oleh kalimat pertama Ezre. "Tahu? Kamu tau darimana?"
Gerakan tangan Ezre yang membolak balik sosis itu berhenti. "Kamu lupa? Akulah yang menolongmu waktu itu."
Waktu itu?
Memori Jevian melayang pada hari dimana ia 'mati'. BRAK. Ia menggebrak meja. "Itu, dia! Aku tau aku nggak halu!"
"Ini makanan, kan? Cara makannya disobek begini?"
"Kamu Gladiator, kan? Penyembuh?"
"Uwah, enyak—abwa? Hyaytyor? Hukhan." Ezre menelan kunyahannya. "Aku tuan tanah." Katanya sambil menyeruput youghurt. Hanya butuh sedetik sampai atensi Ezre beralih pada yoghurt itu dengan tatapan memuja.
"Kamu bisa ikut saya ke pak Rangga? Saya harus jelasin kalo waktu itu saya nggak halusinasi. Kamu bisa jadi saksi, kan?"
Sekejap tatapan Ezre berubah mencekam. "Wah, jangan kelewat batas, dong." Kata Ezre dingin. "Maaf, tapi yang seperti itu tidak boleh dan aku tidak mau."
Tatapan itu membuat bulu kuduk Jevian meremang. Rasa horor menggentayangi akal sehatnya tapi ia susah payah menepis. "Saya betul betul minta tolong." Kata Jevian sambil berlutut. "Saya akan melakukan apa saja, tolong bantu saya."
"Gak, makasih. Duduk sini, makan sama sama."
Jevian sadar betul kalau saat ini ia tengah diacuhkan oleh orang yang sedang asik membuka bungkus sosis ke dua yang dia beli. Tapi memangnya dia bisa apa? Walau bukan Gladiator sekalipun, Jevian bisa merasakan dengan jelas Aira mencekam macam apa yang menggentayangi atmosfer macam ini. Kalau aku salah bicara, bisa bisa sabit yang seperti peliharaan itu bakal menggorok leherku sebelum tuannya sempat bicara!
Tapi walaubegitu, Jevian masih punya sesuatu yang lain untuk ditanyakan daripada pulang dengan tangan kosong.
Ia menggigit bibir. Susah payahberkata lirih sambil setengah berharap ucapannya tidak terdengar. "Lantas...kenapaamda menyelamatkan saya?"
Gerakan Ezre terhenti. Setengah harapan itu tidak dikabulkan. "Satu lagi manusia gangguan jiwa l." Gumamnya tanpa didengar Jevian yang berkeringat dingin.
Ezre menatap laki laki yang berlutut dihadapannya dengan datar seraya menyeruput yoghurtnya. "Duduk. Jangan berlutut sembarangan." Kata Ezre yang segera dipatuhi oleh Jevian. Ia duduk dengan tegak menghadap Ezre seolah olah ia sedang wawancara. "Aku mau tanya satu hal dulu sebelum itu. Akan kupertimbangkan kalau kamu menjawabku. Sekalian pertanyaan tadi juga akan kujawab. Sepakat?"
Jevian menelan ludah. Jangan jangan kalau aku menolak sabit itu bakal melayang ke leherku? "Si-silakan."
"Bagus." Kata Ezre sambil bertopang dagu. "Sebenarnya kenapa kamu begitu mau diakui kalau itu bukan halusinasi?"
Jevian bungkam. Menanggapi pertanyaan itu hanya dengan membisu tanpa mengatakan apa apa. Membuat Ezre yang menyeruput yoghurt di tangan kanannya menyambung perkataannya. "Aku sudah menduga ada yang aneh. Kamu bukan orang yang terlalu peduli tentang pengamatan orang lain sehingga tidak peduli juga kalau dikatai penipu. Tapi—" Ezre menyipitkan matanya. "—Kamu malah sampai kehabisan akal memutar otak bagaimana caranya supaya kamu tetap dianggap mengalami kebangkitan. Hei, Jevian, jujur sajalah—"
Jevian menelan ludah. Apalagi saat tiba tiba entah bagaimana Ezre sudah sampaidi belakangnya dan berbisik di sampingnya. "—kau itu sebenarnya lelah dan mau kabur, kan?"
Jevian tersentak. Merinding dari ujung kepala sampai ujung kaki dan ketakutan setengah mati. Tangannya gemetaran. Bagaimana laki laki ini bergerak dan bersikap, semuanya betul betul tidak bisa diprediksi sampai Jevian menarik satu kesimpulan. Bahaya. Aku harus segera pergi dari sini.
Ekspresi takutnya entah terlalu kentara atau Ezre yang terlalu cermat sampai lelaki itu menyadarinya dengan sekali lirik. Ia menegakkan punggung sambil berjalan maju membelakangi Jevian. Apa aku berlebihan, ya?
Sementara itu Jevian melihat peluang. SEKARANG!
Ia bangkit dari kursinya dan lari sekuat tenaga menuju jalan raya. Menyabrang tanpa melihat ke samping dan lari maju tanpa menoleh kebelakang.
Ezre menontonnya dengan dengan terkejut sambil merasa bersalah. "Hah?! Dia betulan takut, ya? Aduh..."
Jevian berlari kencang. Sampai ia merasa sudah cukup jauh dari laki laki bersabit di minimarket itu dan ia mulai cukup tenang untuk bisa menilai kondisi. Disitulah ia menyadari sesuatu yang betul betul menakutinya sampai ia merasa putus asa.
Tidak ada seorang pun sejauh matanya memandang selain dirinya sendiri dan Ezre. "A...ah..." Gumamnya gemetar.
"Tidak ada gunanya." Kata Ezre yang tiba tiba muncul dibelakangnya. Jevian berbalik secepat kilat dan menemukan si rambut perak itu duduk dengan santai di atas sabitnya yang melayang satu meter dari tanah. "Di detik pertama aku duduk di depanmu, kau sudah ada di 'tanah'ku."
Jevian berjalan kebelakang dengan penuh waspada. Ia tersandung kakinya sendiri dan jatuh terduduk. "Se-sebenarnya ..kamu itu siapa?"
"Ck." Ezre mengeluarkan ekspresi mencemooh. "Kau itu bodoh, ya? Kubilang aku 'Tuan Tanah'. Dan saat ini, kau ada di 'tanah' ku, wilayahku. Tidak bisa keluar dan masuk tanpa izinku." Kata Ezre sambil melompat turun dari sabitnya dan berjalan mendekat. "Kalau mau pulang, kau cuma perlu menjawabku. Aku benar,kan?
Jevian tidak mengerti. "Maaf?"
"Ah, biar kuperjelas." Ezre berkacak pinggang. "Kau itu sudah lelah dengan hidupmu sendiri dan tak tahan mau kabur, kan?
"Kau ingin lari dari tanggung jawabmu, kan?"
Jevian tercengang. Menatap wajah si 'tuan Tanah' seraya menggerakkan gigi. "Bukan. Say bukan mau lari dari tanggung jawab."
Ezre menaikkan sebelah alis dengan kaget. "Apa?"
Nada bicara Jevian berubah menyentak dan naik satu oktaf. "Maksud saya , saya memang capek kerja seharian dan nggak bisa menikmati hidup saya di usia saya yang masih semudah ini. Tapi bukan berarti saya menyerah dan mau pergi dari adik adik saya! Saya mau jadi Gladiator karena lebih gampang cari uang lewat pekerjaan itu! Puas kamu?!"
Ezre terdiam. Menatap Jevian dengan alis terangkat dan sedikit tercengang. Memorinya membuatnya kembali ke masa lalu saat ia mendengar satu perkataan dari seseorang.
"Aku mau kekuatan yang berasal dari diriku sendiri. Sampai orang lain tak bisa memanfaatkan aku. Aku mau hidup demi diriku sendiri!"
Termasuk bertahun tahun setelah itu.
"...kau bilang mau hidup demi dirimu sendiri tapi kenapa sampai berbuat seperti ini?"
"...."
"Setidaknya jelaskan padaku. Aku janji tidak akan ikut campur dan menghakimimu."
"...kalau dia tidak dapat gelar 'raja', dia bisa dibuang karena menyalahi aturan 'itu'..."
Barulah Ezre menyeringai dan berdecak. Benar juga. Sejak dulu kan kau memang orang yang seperti itu, dasar biadab sadis.
Ezre bertumpu pada satu lutut menghadap Jevian. Tatapannya berubah jadi lebih lembut dan nada bicaranya menjadi ramah. "Sepertinya aku salah mengira. Akan kuganti jadi penawaran. Kau bilang mau jadi Gladiator, kan? Aku bisa—tidak, maksudku, kau bisa kubantu jadi Gladiator."
Jevian tersentak. "Apa? Gimana caranya mengubah manusia biasa jadi Gladiator?"
"Bisa, kok." Enoir berdiri lagi, membelakangi Jevian sambil berkacak pinggang. "Soalnya sebenarnya, yang menyelamatkan nyawamu itu juga bukan aku tapi dirimu sendiri. Bagaimana? Kau mau jadi Gladiator? Kalau aku berkata begini artinya kau betul betul punya potensi yang mustahil diukur manusia."
Jevian bimbang luar biasa. Ia menggigit bibirnya sendiri sambil berpikir dalam diam. Ia tau jelas bahwa sosok yang bernama Ezre ini adalah makhluk berbahaya yang mungkin bisa setara Gladiator kelas A. Kalau ia salah menentukan, bisa bisa ia berkahir dimanfaatkan dan menderita seumur hidup. Tapi kalau jadi Gladiator, artinya adik adiknya bisa hidup lebih makmur mulai sekarang.
"Aduh, lama." Keluh Ezre. "Kuberi waktu tiga detik. Satu, dua—"
"Saya terima!" Seru Jevian tiba tiba dengan panik. Masa bodoh, kesempatan sebagus ini mana boleh cuma lewat. "Sa-saya mau. Tolong bantu saya."
"Bagus! Sepakat. Nah, biar kuberi tau syaratnya." Kata Ezre sambil menyeringai.
Seketika Jevian merasa ditipu. "A-ada syaratnya?"
"Kau berharap gratisan? Mana mungkin." Kata Ezre tanpa mengingat sosis dan yoghurt yang ia lahap. "Dengar baik baik. Syaratnya cuma satu, tapi tidak boleh dilanggar.
"Kau. Buang penglihatanmu."
____________________________________
(bonus)
BIODATA
Nama : Ezre
Usia : (???)
Ras : Rasi Bintang
'Profesi' : Tuan Tanah, wilayah (???)
Julukan : (???)
Ikon : Sabit, lentera.
Level (manusia) : (???)
Level (Bintang) : Absolute Divine