Disore hari menjelang malam, Vin Crimson dalam perjalanan pulang. Vin merasakan kehadiran yang tidak terlihat. Sesekali, suara ranting yang patah terdengar dari kejauhan, membuat bulu kuduknya meremang.
Namun, Vin terus berjalan, memilih untuk tidak menoleh, sementara hatinya terus dihantui oleh perasaan bahwa seseorang atau sesuatu mengikutinya dari bayangan senja. Napas Vin terasa berat, dan pandangannya mulai gelap dan kabur.
Dikejauhan, Vin melihat adiknya, Lisa Valentine, yang menunggu kehadiran kakaknya. Lisa berdiri di depan rumah sambil membawa lentera api yang dinyalakan dengan sihir berwarna merah muda, menambah kehangatan dalam suasana yang gelap.
Saat akhirnya Vin sampai di depan rumah, Lisa segera menghampirinya.
"Vin, kamu baik-baik saja, kan?" tanya Lisa lembut sambil memegang tangan kakaknya, sorot matanya penuh kekhawatiran.
Vin mengangguk pelan, mencoba tersenyum. "Ya, hanya sedikit lelah…" jawabnya meskipun tubuhnya lunglai dan keringat mengalir di pelipisnya.
Lisa membawa kakaknya masuk ke dalam rumah, masih tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Di dalam, aroma sup hangat menyambut mereka, berasal dari dapur tempat Diana Valentine, ibu mereka, sibuk menyelesaikan masakan.
Melihat kondisi Vin, Diana segera mendekat. "Apa yang terjadi, Nak? Kamu terlihat sangat lelah," tanyanya sambil menyajikan sup di meja.
Vin duduk di kursi dan menghela napas berat. "Aku baru saja kembali dari makam Ayah. Tapi… di perjalanan pulang, rasanya ada yang mengikutiku," katanya dengan suara rendah.
Lisa menatap kakaknya dengan penasaran. "Kak, kamu nggak merasa ada energi lain? Atau sesuatu yang magis?" tanyanya, nada suaranya mencerminkan ketertarikannya pada sihir.
Vin menggeleng pelan. "Aku tidak yakin… tapi rasanya bukan sekadar kelelahan biasa."
Diana menepuk bahu Vin dengan lembut, mencoba menenangkan. "Perlahan coba tenangkan dirimu Vin, semua pasti akan baik baik saja" katanya dengan senyum hangat.
Lisa tersenyum kecil, lalu menambahkan, "Kalau memang ada sesuatu, mungkin aku harus mulai berlatih lebih banyak. Kalau ada sihir di sekitar, aku ingin memastikan kita bisa menghadapinya."
Sambil bercerita, wajah Vin yang semula tegang perlahan berubah menjadi lebih tenang. Kerut di dahinya mengendur, dan kehangatan dari tatapan Diana dan Lisa membuat rasa gelisahnya perlahan pudar.
Setelah cerita selesai, mereka bertiga makan malam bersama. Sup buatan Diana terasa lebih nikmat di tengah kehangatan keluarga. Sambil makan, mereka berbincang tentang rencana-rencana ke depan.
"Jadi, apa rencanamu, Vin?" tanya Diana lembut.
Vin tersenyum tipis, menatap ibu dan adiknya. "Aku masih mencari arah, Bu. Tapi aku tahu satu hal… aku ingin jadi lebih kuat. Aku akan terus berusaha sampai bisa melewati batas yang menahanku."
Lisa menyeringai kecil. "Dan mungkin aku bisa bantu! Aku akan terus mengasah kemampuan sihir api yang aku miliki, dan mungkin Suatu hari nanti aku pasti lebih jago sihir, dan kita bisa jadi tim hebat," ujarnya dengan antusias.
Diana tertawa pelan. "Teruslah akur dan mendukung satu sama lain, kita disini akan saling melindungi jika terjadi sesuatu."
Setelah makan malam selesai, mereka kembali pada kegiatan masing-masing. Vin pergi mandi, Lisa mulai mempelajari buku-buku sihirnya, dan Diana membersihkan rumah sebelum mereka semua beranjak tidur.
Ketika akhirnya tengah malam tiba, mereka semua beristirahat untuk keesokan harinya. Namun, malam itu tidak berjalan mulus bagi Vin. Dalam tidurnya, ia terbangun berkali-kali.
Bayangan samar, wajah-wajah tanpa suara, dan suara langkah yang jauh menghantui mimpinya. Keringat dingin membasahi dahinya, dan detak jantungnya berdegup kencang. Perasaan ditinggalkan dan ketakutan mencekam terus mengganggu, membuat tidurnya tak pernah benar-benar tenang.
Chapter 3