Hari yang cerah di desa Virella, hari dengan perasaan yang sama dan suasana yang biasa.
Tidak ada yang spesial dari dunia ini, hanya ada seorang anak berusia 11 tahun yang berusaha mencari arti dari kehidupan yang kejam dan penuh penderitaan.
Vin: "Hari yang biasa terjadi, dengan segala mimpi buruk yang muncul."
Vin membuka matanya perlahan dan menatap jendela yang sudah terbuka lebar.
Vin: "Apakah ibuku yang membuka jendela itu?"
Saat dia menoleh, Vin melihat Lisa duduk di samping tempat tidurnya dengan senyuman hangat.
Lisa: "Akhirnya kamu terbangun, kak."
Vin: "Apa yang kamu lakukan di sini, Lisa?"
Lisa: "Aku mau membangunkan kakak, jadi aku buka jendela dulu biar ada udara masuk."
Lisa tertawa kecil.
Lisa: "Tapi ternyata kakak sudah bangun sebelum aku sempat membangunkan!"
Vin menggaruk ramburnya yang berantakan.
Vin: "Lalu, bagaimana dengan ibu? Bukankah biasanya ibu yang membangunkanku?"
Lisa: "Ibu sedang memasak di dapur, jadi aku yang disuruh membangunkan kakak."
Vin: "Oh, ya sudah. Kalau begitu, kamu bantu ibu saja. Aku akan membersihkan kamarku dulu."
Setelah Lisa keluar dari kamar, Vin berdiri dan mulai membereskan kamarnya. Ia merapikan kasurnya dengan gerakan lambat, pikirannya melayang ke sahabat lamanya, Renz Xinolen.
Setelah selesai, Vin berjalan ke dapur, di mana Diana dan Lisa sedang sibuk memasak. Aroma daging ayam panggang bercampur dengan wangi sayur segar memenuhi ruangan.
Vin: "Hai, apa yang kalian masak?"
Diana menoleh sambil tersenyum.
Diana: "Pagi, Vin. Seperti biasa, kita makan bersama dengan sayur dan daging ayam."
Lisa menatap Vin dengan senyuman bercanda.
Lisa: "Tapi sebelum makan, cuci muka dulu, Kak!"
Vin tertawa kecil.
Vin: "Ya, aku akan kembali sebentar lagi."
Setelah mencuci muka, mereka bertiga menikmati hidangan yang telah disiapkan Diana dan Lisa. Kehangatan dan kebahagiaan terlihat di wajah mereka, tetapi tidak di wajah Vin. Dia makan dalam diam, ekspresinya datar, pikirannya terjebak dalam kehampaan yang tak dapat dijelaskan.
Setelah selesai makan, Vin mencuci piringnya sendiri.
Vin: "Aku akan ke kamar sebentar, lalu aku akan berlatih di halaman belakang."
Diana tersenyum lembut.
Diana: "Baiklah, nak. Tapi jangan terlalu keras saat berlatih, ya."
Vin mengambil perlengkapannya: pedang, sarung pedang, dan pelindung dada. Saat dia melangkah keluar rumah, angin pagi menyapa wajahnya. Ladang hijau membentang di kejauhan, dihiasi gemericik air dari sungai kecil.
Namun, ada rasa sunyi yang tak hilang dari hatinya. Hanya dia dan pedangnya, Astral Demon Darius, yang setia menemaninya.
Vin berhenti di depan pohon Oak yang hangus terbakar, batangnya hitam legam seperti arang. Pohon itu seolah menjadi saksi bisu perjuangannya. Ia memandangnya dengan tatapan tajam.
Vin: "Latihan ini harus berbeda. Aku harus lebih kuat."
Menggenggam pedang dengan erat, Vin bersiap mengambil kuda-kuda. Tetapi sebelum dia sempat mengayunkan pedang, sebuah suara akrab memecah keheningan.
Ryan: "Hai Vin, pagi-pagi sudah semangat, ya? Haha."
Vin terkejut, cengkeraman pada pedangnya terlepas. Pedang itu jatuh ke tanah dengan bunyi berdebum pelan.
Vin: "Hai, Paman. Kau membuatku kaget."
Ryan menghampiri Vin, tawa kecil terdengar dari bibirnya.
Ryan: "Haha, maaf sudah mengagetkanmu."
Dia mengeluarkan pedangnya, pedang baja dengan ornamen perak di gagangnya.
Ryan: "Apa kamu mau berlatih sendirian, Vin?"
Vin menatap Ryan, matanya mengeras.
Vin: "Apa Paman ingat saat kita bertemu di Bukit Skull itu?"
Ryan tersenyum tipis, mengangkat pedangnya.
Ryan: "Mana mungkin aku lupa. Sepertinya ini saat yang tepat untuk memberimu pelajaran."
Vin mengangkat pedangnya, senyum tipis terukir di wajahnya.
Vin: "Aku rasa perjalananku untuk menjadi kuat akan dimulai sekarang."
Angin bertiup perlahan, membawa debu kecil yang melayang di antara mereka. Mata Ryan mengingatkan Vin pada Renz, sedangkan tatapan Vin mengingatkan Ryan pada Kyle.
Mereka saling menatap, dua generasi dengan tekad yang sama. Latihan ini adalah awal dari perjuangan Vin, awal dari ambisi yang akan membawanya menuju takdirnya.
Titik yang penuh arti dan perjuangan tanpa henti. Memberikan arti kalau setiap individu memiliki ambisi dan tujuan yang harus mereka perjuangankan.
Chapter 6