Enam tahun telah berlalu sejak hari-hari tenang di desa Virella dimulai, membawa perubahan yang tak terlihat pada permukaan, namun terasa dalam setiap langkah mereka yang tumbuh di sana. Desa itu tetap menjadi tempat yang damai, seakan waktu sendiri enggan meninggalkan jejaknya. Di pagi hari, embun masih menyelimuti ladang hijau yang menghampar, dan suara gemericik sungai di barat desa tetap menjadi melodi abadi yang menemani penduduknya.
Vin, yang dulunya seorang anak berusia sebelas tahun, kini berdiri sebagai remaja tangguh berusia tujuh belas tahun. Tubuhnya yang dulu kecil dan rapuh kini telah berubah, tubuhnya mulai terbentuk akibat latihan keras yang ia jalani di bawah bimbingan Ryan. Meski begitu, sorot matanya yang tajam tetap menyimpan luka dari masa lalu, luka yang tak pernah benar-benar sembuh meski waktu terus berjalan.
Hari-harinya di desa berjalan dengan rutinitas yang hampir monoton. Ketika matahari mulai muncul dari balik pegunungan, Vin biasanya sudah berada di ladang bersama Lisa dan Diana, membantu memanen hasil bumi atau membawa barang ke pasar kecil di ujung desa. Meski pekerjaan itu tampak sederhana, Vin selalu melakukannya dengan penuh dedikasi. Ada rasa tanggung jawab dalam dirinya, rasa bahwa ia harus melindungi mereka yang ia sayangi dengan segala cara.
Namun, di luar pekerjaan sehari-hari, Vin menghabiskan sebagian besar waktunya dengan latihan pedang bersama Ryan. Di sebuah lapangan terbuka di tepi hutan, ia melatih setiap gerakan dengan tekun. Ayunan pedangnya kini lebih cepat, lebih kuat, dan lebih presisi dibandingkan bertahun-tahun yang lalu. Ryan sering memujinya, meski ia tahu pujian itu hanyalah bagian kecil dari pelajaran yang lebih besar.
Renz, sahabat masa kecilnya, juga tumbuh dengan cara yang tak kalah mencolok. Tubuhnya kini besar dan kuat, khas seorang tanker yang mampu menahan serangan musuh tanpa gentar. Meski gerakannya tetap lambat, seperti yang sering dijadikan bahan lelucon oleh Vin, ketangguhan Renz membuatnya menjadi teman sparring yang sempurna. Mereka sering menghabiskan waktu bersama di malam hari, duduk di tepi sungai sambil berbincang tentang mimpi-mimpi mereka, meskipun kedua pemuda itu tahu bahwa kehidupan mereka di desa mungkin tidak akan berubah banyak.
Namun, bagi Vin, pikirannya sering melayang ke tempat yang lebih jauh ke kota besar Devoria, tempat Akademi Dilveria berdiri megah. Akademi itu telah ada jauh sebelum ia lahir, dikenal sebagai tempat pelatihan bagi para petualang dan pejuang muda yang ingin mengukir nama mereka di dunia. Di bawah sinar matahari, menara-menara tinggi akademi itu tampak seperti mimpi yang tak terjangkau dari sudut pandang desa kecil seperti Virella.
Vin ingat, saat ia masih kecil, Ryan pernah berbicara tentang akademi itu.
Suara Ryan:
"Dilveria adalah tempat di mana mimpi-mimpi menjadi nyata, tapi itu bukan tempat untuk mereka yang lemah atau takut. Hanya mereka yang benar-benar memiliki tekad yang bisa bertahan di sana."
Lisa dan Diana, meski tetap tinggal di desa, juga tumbuh menjadi sosok yang menginspirasi. Lisa, dengan sifat lembutnya, selalu menjadi pengingat bagi Vin bahwa ada keindahan dalam setiap hal kecil. Ia sering membuat ramuan herbal untuk membantu penduduk desa yang sakit, dan meski ia jarang menunjukkan kekuatannya secara langsung, Vin tahu bahwa Lisa memiliki potensi besar. Diana, di sisi lain, adalah kebalikan dari Lisa. Penuh semangat dan energi, ia sering kali menjadi orang pertama yang menyemangati Vin setiap kali ia merasa ragu.
Enam tahun bukanlah waktu yang singkat, namun juga bukan waktu yang cukup lama untuk melupakan rasa kehilangan atau mimpi-mimpi yang tertunda. Vin sering merenung di malam hari, memandangi bintang-bintang yang bertaburan di langit. Ia tahu bahwa hidupnya di Virella hanyalah permulaan dari sesuatu yang lebih besar. Ada rasa gelisah dalam dirinya, rasa bahwa ia ditakdirkan untuk lebih dari sekadar menjadi petani atau penjaga desa.
Ryan, yang kini mulai menua, juga tampak semakin memperhatikan perkembangan Vin. Dia tahu bahwa waktunya di Virella semakin singkat, meski ia juga merasa enggan meninggalkan desa yang telah menjadi rumahnya selama bertahun-tahun.
Malam itu, Vin memutuskan sesuatu yang telah lama ia tunda, dia akan pergi ke Akademi Dilveria. Meski ia belum tahu apa yang akan ia temui di sana, ia tahu bahwa perjalanan itu adalah bagian dari takdirnya. Desa Virella, dengan segala ketenangannya, akan selalu menjadi rumah baginya, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa tinggal di sana selamanya.
Waktu berlalu tanpa kompromi, dan Vin kini berdiri di ambang pintu kehidupan yang baru. Dengan pedang di tangannya dan harapan di hatinya, ia tahu bahwa perjalanannya baru saja dimulai.