Kegelapan menyelimuti segalanya. Tidak ada suara, tidak ada warna, hanya kehampaan tanpa batas yang memenuhi ruang tak bernama. Suasana itu seperti mimpi buruk yang abadi, tanpa awal dan tanpa akhir. Di tengah kehampaan itu, tubuh Vin Crimson melayang tak berdaya, terombang-ambing di arus waktu yang tidak nyata. Ia tidak tahu sudah berapa lama terjebak dalam kekosongan ini; hitungan waktu kehilangan maknanya. Tubuhnya terasa seperti hanyut di laut tanpa dasar, kehilangan orientasi, kehilangan pegangan pada realitas.
Di tengah kehampaan itu, kilasan demi kilasan kehidupannya mulai muncul. Seperti pecahan kaca, potongan kenangan masa lalunya melayang di sekelilingnya, setiap potongan memantulkan cahaya redup yang sekejap kemudian lenyap. Ia terpaksa menyaksikan semua itu, seperti seorang penonton dalam film usang yang penuh dengan cacat dan kesedihan. Wajah-wajah yang dulu memberikan kehangatan kini tampak menjauh, seperti bayangan buram di balik kabut pekat.
Senyum ibunya, yang pernah menjadi tempat berlindungnya, kini terasa jauh, hampir seperti mimpi yang tak pernah benar-benar terjadi. Dukungan Ryan, tawa ceria Lisa, dan pelukan hangat Diana, semua itu mulai kehilangan bentuknya, perlahan larut dalam kehampaan. Keberadaan mereka, yang pernah menjadi alasan Vin untuk bertahan hidup, kini seolah hanyalah ilusi yang diciptakan pikirannya sendiri untuk mengusir rasa sepi.
Di tengah kesunyian itu, suara dingin seorang wanita asing tiba-tiba bergema. Suaranya tidak bernyawa, tanpa emosi, namun setiap katanya seperti belati yang menusuk hati Vin. Suara itu tidak memiliki sumber, tetapi kehadirannya begitu nyata. Kata-katanya berbicara tentang kehampaan, tentang takdir, dan tentang bagaimana dirinya hanyalah serpihan kecil dari roda besar yang berputar tanpa arah.
Suara wanita tidak diketahui:
"Vin Crimson, segala yang kamu miliki hanya sementara. Apa itu momen? Kenangan? Takdir? Itu hanyalah bayangan. Sekilas ilusi yang akan lenyap bersama waktu."
Vin mencoba menjawab, tetapi suaranya hilang dalam kekosongan. Mulutnya terbuka, tetapi tidak ada suara yang keluar. Tidak ada yang mendengar. Tidak ada yang peduli. Hatinya terasa kosong, seperti lubang besar yang tidak akan pernah bisa terisi. Ia ingin melawan, tetapi tubuhnya tidak merespons.
Kilasan kenangan masa kecilnya tiba-tiba muncul, seperti pancaran cahaya yang terlalu terang di tengah kegelapan. Ia melihat dirinya berlatih dengan Kyle di bawah sinar matahari yang menyengat. Ingatannya berpindah ke saat Diana memeluknya erat setelah ia terjatuh, lalu ke saat Ryan memujinya karena berhasil mengayunkan pedang dengan sempurna. Namun, semua itu kini terasa seperti cerita dongeng yang terlalu indah untuk menjadi kenyataan.
Suara wanita tidak diketahui:
"Dyron? Itu hanya sebuah mimpi. Sebuah dongeng tanpa warna. Vin, kamu tidak lebih dari anak kecil dengan mimpi besar. Tetapi apa arti mimpi jika jalannya hanya penuh duri dan kehancuran?"
Bayangan tentang Kyle Crimson, ayahnya, muncul di kejauhan. Wajah tegas Kyle, yang selalu menjadi sumber kekuatan bagi Vin, kini terlihat memudar. Ia berdiri di tengah kabut, perlahan menyatu dengan kehampaan di sekitarnya. Ayahnya, yang selama ini ia idolakan, kini tidak lebih dari ilusi. Dan di tempat sosok ayahnya menghilang, muncul bayangan seorang pria kuat dengan pedang hitam pekat di tangannya, Astral Demon Darius.
Pedang itu, dengan kilauan obsidiannya yang menyeramkan, terasa seperti simbol dari kehampaan itu sendiri. Keras namun kosong. Mengkilap namun tidak memiliki isi. Pedang itu seolah mencerminkan perasaan Vin, mengingatkannya pada takdir yang terus menghantuinya.
Suara wanita tidak diketahui:
"Kekuatan? Sihir? Kamu tidak punya itu, Vin. Kamu hanya punya tekad yang membara seperti api neraka. Tetapi apa artinya api di tengah kehampaan yang abadi?"
Vin mencoba menggerakkan tubuhnya, berusaha melepaskan diri dari kegelapan yang membelenggunya. Namun, rasa sakit yang menyengat menjalar ke seluruh tubuhnya, seperti bara api yang membakar setiap syarafnya. Dalam pandangan kaburnya, ia melihat sosok hitam yang berlumuran darah berdiri di depannya. Sosok itu tidak memiliki mata, tidak memiliki emosi, tetapi kehadirannya memberikan tekanan luar biasa pada jiwa Vin.
Bayangan itu perlahan mendekat. Tubuhnya meranggas menjadi kabut hitam dan mulai menyatu dengan tubuh Vin. Rasa sakit yang luar biasa menusuk setiap pori-porinya saat kabut itu memasuki tubuhnya, menyelinap melalui sela-sela kuku tangan kanannya. Dalam sekejap, ukiran hitam pekat mulai terbentuk di kulitnya. Ukiran itu membentang dari pergelangan hingga siku, memancarkan aura yang menakutkan.
Vin membuka matanya perlahan. Dunia nyata mulai kembali mengisi pandangannya, tetapi semuanya terasa lambat dan berat. Tubuhnya terasa terbakar, terutama tangan kanannya yang kini sepenuhnya dihiasi ukiran hitam pekat. Ukiran itu tampak nyata, seolah menjadi bagian dari dirinya.
Diana berdiri di dekatnya, terkejut melihat perubahan yang terjadi pada Vin. Matanya dipenuhi dengan kekhawatiran, tetapi juga keterkejutan yang tidak bisa disembunyikan. Ia mengenali pola ukiran itu. Itu adalah tanda yang sama persis dengan milik Kyle Crimson, ayah Vin. Tanda itu dahulu dianggap sebagai simbol takdir besar yang penuh penderitaan.
Ryan berdiri di sisi lain, mencoba menahan emosinya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana. Bahkan Lisa, yang biasanya penuh dengan senyum dan kata-kata penghiburan, hanya bisa berdiri membisu, matanya memancarkan kesedihan yang dalam.
Namun, di balik semua itu, Vin merasa sesuatu telah berubah dalam dirinya. Ia tidak tahu apa, tetapi ukiran itu terasa seperti beban baru yang harus ia pikul. Dan meskipun rasa sakitnya perlahan memudar, kehampaan itu tetap ada, mengisi setiap sudut hatinya.
Di dalam pikirannya, suara wanita asing itu kembali bergema. Kata-katanya penuh dengan penghakiman, memaksa Vin untuk menghadapi kenyataan yang tidak bisa ia hindari.
Suara wanita tidak diketahui:
"Mimpi besar itu, Vin. Apakah kamu tahu harga yang harus dibayar? Setiap langkahmu akan meninggalkan luka, dan setiap keputusanmu hanya akan mempertebal kegelapan yang menyelimutimu. Seperti ayahmu, kamu akan kehilangan segalanya."
Pikiran Vin terlempar ke masa lalu, ke sosok Kyle Crimson. Ayahnya adalah simbol kekuatan baginya, tetapi juga pengingat akan penderitaan yang harus ia tanggung. Kyle sering bercerita tentang perjalanan hidupnya yang penuh duri, tentang bagaimana pedang obsidian miliknya bukan hanya senjata, tetapi juga kutukan yang membawa kehancuran bagi orang-orang di sekitarnya.
Suara wanita tidak diketahui:
"Vin, kamu tidak akan pernah lebih baik dari ayahmu. Kamu hanyalah bayangan dari mimpi-mimpi kosong yang tidak akan pernah menjadi kenyataan."
Namun, di tengah kehampaan itu, Vin menyadari satu hal: ia tidak bisa berhenti di sini. Kehidupannya, meskipun penuh penderitaan, adalah satu-satunya yang ia miliki. Jika ia menyerah, apa artinya semua perjuangan yang telah ia lalui.
Dalam diam, Vin menatap Diana, Ryan, dan Lisa. Ia tahu bahwa mereka mungkin tidak sepenuhnya memahami apa yang baru saja terjadi, tetapi kehadiran mereka adalah alasan baginya untuk terus bertahan. Dan meskipun dunia di sekitarnya tampak berubah, meskipun Desa Virella yang damai kini terasa seperti ilusi, Vin bersumpah dalam hatinya bahwa ia tidak akan membiarkan kehampaan itu menang.
Di tengah semua rasa sakit dan kebingungan, ia membuat keputusan: apapun yang terjadi, ia akan melawan takdirnya. Bahkan jika itu berarti melawan seluruh dunia Dyron.