Tubuhnya terjun ke dalam kegelapan tanpa kendali, angin dingin terus menyapu kulitnya yang kasar. Untuk sesaat dia memejamkan matanya, berharap jatuhnya kali ini tidak akan berakhir dengan kematian. Tapi, saat dia merasa dirinya hampir menabrak dasar jurang, tubuhnya tiba-tiba mendarat di atas sesuatu yang lembut.
Bwoof!
Lalu, dia membuka matanya perlahan dan mengerjap beberapa kali. Di bawahnya, ternyata terdapat sebuah jamur raksasa yang lembut dan kenyal yang menahan jatuhnya. Jamur itu lebih besar dari apa pun yang pernah dia lihat sebelumnya, begitu tinggi hingga cabangnya membentang luas seperti payung besar yang melindungi lantai gua.
'Aku… selamat?' pikirnya.
Ada rasa syukur yang aneh mengalir di hatinya untuk beberapa saat, meskipun rasa sakit yang luar biasa masih menyelimuti tubuhnya. Kemudian dia mengusap punggungnya yang terasa nyeri, yang terdapat bekas cakar monster sebelumnya yang masih terasa menyengat, tetapi setidaknya dia masih hidup untuk saat ini.
'Mengapa aku menjadi seperti ini?' Pikirnya sambil memandang tubuhnya yang kini berupa monster mengerikan.
Tubuhnya yang dulu sangat manusiawi kini berubah menjadi sesuatu yang dia bahkan tak mengenalinya sendiri. Tangan-tangannya lebih mirip cakar tajam, dan kulitnya tak lagi halus seperti dulu.
Kemudian dia berdiri perlahan dengan tubuhnya yang terasa berat dan lelah. Matanya melirik sekelilingnya sebentar, untuk mencoba memahami di mana dia berada sekarang ini.
Suasana gua yang dalam ini terasa aneh baginya, penuh dengan cahaya redup yang berasal dari kristal-kristal kuning yang tertanam di dinding gua. Mereka bersinar lembut, tapi cukup terang untuk menuntunnya keluar dari kegelapan ini.
'Apakah aku ini adalah seekor monster sekarang? Atau mungkin ini semua hanya mimpi buruk panjang yang ku alami?' Pikirnya sambil menundukkan kepalanya. 'Atau... apakah aku hanya subjek dari eksperimen yang kejam?'
Pikirannya saat ini penuh dengan keraguan dan rasa bingung yang tak terjawab. Namun, dia tahu akan satu hal, yaitu dia tidak bisa diam di sini terlalu lama. Dengan tubuh yang penuh luka dan rasa sakit yang menjalar, dia mulai berjalan meskipun langkahnya masih terhuyung-huyung. Setiap gerakan yang dilakukannya terasa begitu berat, tapi dia tak punya pilihan lain selain terus maju.
Langkah-langkahnya membawanya lebih jauh ke dalam kegelapan gua. Cahaya dari kristal-kristal kuning terus menjadi penuntunnya, tapi tak ada suara selain desah napasnya yang terengah-engah dan gemerisik langkah kakinya di atas tanah kasar.
Tap... tap... tap...
Sementara dia terus berjalan, pikirannya kembali berkecamuk. Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Apakah dirinya hanya sedang bermimpi? Semua ini terasa begitu nyata baginya, tapi juga seperti mimpi buruk yang tak pernah berakhir.
Setelah beberapa saat berjalan, tubuhnya semakin terasa sangat lelah. Kakinya mulai gemetar, dan kepalanya sekarang mulai terasa berat. Rasa sakit di punggungnya semakin menyiksanya, seolah-olah luka-lukanya tidak mau sembuh dengan sendirinya. Matanya mulai berkunang-kunang, hingga membuat pandangannya semakin kabur.
Akhirnya, dia menemukan sebuah dinding di lorong gua yang diterangi oleh cahaya terang dari kristal kuning. Cahaya itu terlihat lebih menyilaukan dari sebelumnya, membuatnya merasa sedikit lebih hangat di tengah-tengah dinginnya gua.
Pada akhirnya, dia memutuskan untuk berhenti sejenak di sana, menyandarkan tubuhnya yang lemah ke arah dinding yang terdapat kristal kuning. Kristal kuning itu terasa hangat di punggungnya yang terluka, memberikan sedikit kelegaan dari rasa sakit yang terus menghantuinya.
"Hhhh..."
Napasnya terengah-engah, tapi dia tahu dia tak bisa berhenti terlalu lama di sini. Dia harus mencari jalan keluar secepatnya, dan harus terus bergerak, kalau tidak monster-monster seperti tadi akan menyerangnya lagi. Meski begitu, untuk saat ini, dia membiarkan dirinya beristirahat.
Sementara tubuhnya sedang beristirahat, kesadarannya perlahan mulai memudar, dan terseret ke dalam mimpi aneh yang penuh dengan pemandangan tak asing.
Dia, sang monster hitam, merasa dirinya seperti terseret ke dalam alur kehidupan yang pernah dia kenal. Sebuah jalan beraspal yang retak-retak, malam yang pekat, dan di tengahnya, ada seorang pria yang mengayuh sepeda dengan kecepatan tinggi.
Suara deru rantai sepeda yang berputar cepat terdengar di udara malam yang sunyi.
Krrr... krrr... krrr...
Pria itu bernama Kevin Putra, dan dia terlihat seperti sedang tergesa-gesa. Wajahnya penuh kecemasan, sementara kakinya terus mengayuh sepedanya tanpa henti, seolah-olah waktu tak berpihak padanya kali ini.
Cahaya kecil dari lampu di sepedanya menjadi satu-satunya penuntun di tengah jalan yang gelap, yang memantulkan sinar suram pada bangunan-bangunan yang telah lama ditinggalkan di sekelilingnya. Beberapa bangunan itu sudah hancur, dan ditumbuhi lumut tebal yang seakan mencengkeram masa lalu yang terlupakan.
'Bagaimana aku bisa mengalahkan virus ini?' gumam Kevin dalam hatinya, pikirannya tenggelam dalam kekhawatiran yang mendalam.
"Semua vaksin yang kubuat gagal... semuanya sia-sia. Aku sudah mencoba segalanya, tapi virus ini terus berevolusi dan tak pernah menyerah. Kalau begini terus aku akan kehabisan waktu."
Sepedanya terus melaju, memotong keheningan malam yang mencekam. Bayang-bayang dari gedung-gedung yang runtuh terasa seperti sosok-sosok yang mengintai dari kegelapan.
Kemudian Kevin mengerutkan keningnya, dengan rasa putus asa yang mulai merambat di dalam dirinya. Di dalam pikirannya, dia terus berpikir tentang dunia yang hampir hancur ini, populasi manusia yang menyusut drastis karena virus mematikan itu yang tak kunjung terselesaikan.
Namun, tiba-tiba, terdengar suara sebuah tembakan yang menggelegar.
Dor!
Suara peluru yang mengenai lengan kanannya membuatnya kehilangan keseimbangan. Sepedanya oleng, dan tubuhnya Kevin terjatuh keras ke atas aspal yang retak.
Brak!
Kevin mengerang kesakitan karenanya, dan tangannya gemetar sambil memegang bahunya yang terluka. Darah merah mulai mengalir dari lukanya, membuat napasnya semakin berat. Matanya mengerjap untuk berusaha tetap sadar di tengah rasa sakit yang semakin menusuk.
"Kenapa…? Apa yang terjadi?" gumam Kevin dengan pandangannya yang mulai kabur.
Tidak berselang lama, dari arah sampingnya muncullah enam sosok orang yang berpakaian serba hitam, wajah mereka tertutup oleh masker yang hanya menyisakan mata dengan tatapan dingin dan tak berperasaan.
Beberapa saat kemudian, ada salah satu dari mereka yang melangkah maju, yaitu orang yang tadi menembak Kevin, suaranya penuh kebencian saat dia berbicara.
"Sekarang adalah akhir bagimu, Kevin. Semua ini karena kau. Gara-gara kau, impianku jadi hancur!"
'Siapa mereka? Mengapa mereka ingin membunuhku?' Pikirannya saat ini masih di penuhi dengan kebingungan, tapi rasa sakit di bahunya membuatnya sulit untuk berpikir jernih.
Kemudian, orang itu mengangkat pistolnya lagi, lalu mengarahkannya tepat ke arah kepalanya Kevin. "Kau sudah sangat menganggu ku, dan sekarang aku akan mengakhiri hidup mu," ujarnya dengan nada dingin.
Namun, sebelum peluru itu sempat dilepaskan, Kevin dengan sisa-sisa tenaganya mencoba bangkit dan berusaha kabur dari sana. Tapi saat dia hendak melangkah, sebuah pukulan keras mendarat tepat di punggungnya.
Duk!
Tubuh Kevin tersungkur lagi ke tanah dengan rasa sakit di punggungnya yang semakin menyiksa. Dia terkapar di atas aspal yang dingin dan retak, dengan napasnya yang tersengal-sengal. Kepalanya pun mulai berputar-putar, tak mampu melawan tubuhnya yang sudah melemah.
'Apakah ini… akhir dari hidupku?' pikir Kevin, perlahan-lahan kesadarannya memudar, dan tenggelam ke dalam kegelapan.
Di atasnya, seseorang bersenjata itu menatapnya dengan dingin, lalu hendak menarik pelatuk pistolnya dengan perlahan, seolah waktu sengaja dilambatkan untuk membuat Kevin merasa putus asa.
Namun, tiba-tiba...
Kraakk! Boom!
Terdengar suara petir yang menggelegar, menyambar tak jauh dari tempat mereka berada. Getaran yang kuat membuat seseorang itu tersentak dan membuat pelurunya meleset jauh dari sasaran, dan peluru itu malah menghantam tanah dan memecahkan beberapa potongan aspal di sana.
Kevin, yang menyadari kesempatan itu, dengan cepat meraih segenggam tanah basah dari retakan di sampingnya. Meski tangannya gemetar, dia melemparkannya dengan penuh semangat ke arah mata seseorang bersenjata tersebut dan teman-temannya.
Sshh!
Beberapa dari mereka tersentak mundur setelahnya, terkejut oleh tanah yang masuk ke mata mereka. Kemudian, mereka langsung menggosok-gosok mata mereka dengan kasar, dan terperangkap dalam kebutaan sementara.
"Ini saatnya!" Kevin menggeram dalam hati, sambil memaksakan kakinya untuk bergerak meskipun tubuhnya seolah menolak.
Setelah itu, dia berlari secepat yang dia bisa, napasnya terdengar putus-putus, namun langkah kakinya terus bergerak untuk melangkah maju. Walaupun keadaan tubuhnya semakin berat, tapi dia tidak bisa berhenti sekarang. Di belakangnya, sudah terdengar suara langkah-langkah kaki yang tergesa-gesa mulai terdengar, yang semakin cepat dan semakin dekat dengannya.
Tap... tap... tap...
Dia tidak menghiraukan apa ya b ada di belakangnya dan hanya bisa terus lari, lalu dia masuk ke dalam jalan-jalan yang semakin sempit dan gelap.
Di sekelilingnya, hanya terdapat bangunan-bangunan tua yang berdiri diam, seperti saksi bisu dari pengejaran ini. Lampu jalan yang redup berkedip-kedip, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di dinding. Setiap sudut dan setiap belokan yang dia lalui, Kevin berharap bisa menemukan jalan keluar dari situasi yang mengancamnya ini. Tapi orang-orang yang mengajarnya terlalu cepat, dan melebihi kecepatannya.
Ketika Kevin memasuki sebuah gang yang lebih sempit lagi, dia melihat berbagai benda berserakan. Tong sampah berkarat, kardus-kardus basah, dan beberapa peti kayu yang sudah rusak. Tanpa berpikir panjang, dia mulai menjatuhkan semuanya, untuk membuat penghalang di belakangnya.
Brakk! Kratak! Clang!
Barang-barang itu jatuh bergemuruh ke tanah, menggema di antara dinding-dinding gang yang sempit. Namun suara langkah kaki mereka tetap mengejarnya, dan tak terhenti sama sekali. Di depannya, gang itu semakin gelap dan menyempit, hingga akhirnya dia menemukan jalan buntu. Sebuah dinding tinggi menjulang di hadapannya dan menghalangi semua harapannya untuk lolos dari situasi ini.
"Tidak… tidak… ini tidak mungkin" bisiknya, dengan punggungnya yang kini menempel ke dinding.
Saat dia menoleh ke belakang, dia melihat keenam orang berpakaian hitam tersebut perlahan mulai mendekatinya, dengan mata mereka yang dipenuhi oleh niat jahat.
Di antara mereka, ada seseorang yang membawa pistol yang merupakan pemimpin dari mereka semua, seseorang itu berdiri di depannya dengan wajahnya yang tersenyum penuh kebahagiaan.
"Sudah kuduga kau akan ke sini," ujar seseorang itu dengan nada rendah yang dingin. "Kau tak punya tempat lari lagi, Kevin. Menyerahlah dan terimalah akhir dari hidup mu ini dengan tenang."
Seketika, hal itu membuat nafasnya Kevin semakin cepat. Dia tahu, dia tak punya pilihan lain selain melawan. Tak ada yang bisa dia lakukan selain bertarung dengan mereka semua, meski dia tahu kalau dirinya tidak pernah berlatih untuk bertarung sebelumnya.
Lalu matanya bergerak cepat, mencari apa saja yang bisa digunakan sebagai senjata. Tapi, tidak ada sama sekali senjata yang bisa di gunakan olehnya di sekitarnya.
Dengan satu langkah maju, seseorang itu mengarahkan pistolnya ke arah kepalanya Kevin.
"Kau hanya memperlambat sesuatu hal yang tak terelakkan," ucapnya lagi dengan penuh keyakinan.
"Aku tidak akan menyerah begitu saja… Aku akan bertahan!" gumam Kevin.
Dengan teriakan yang keluar dari keputusasaannya, Kevin menyerang seseorang yang membawa pistol tersebut. Tinju pertamanya lemah, tapi terus didorong oleh dorongan kuat untuk bertahan hidup. Lalu, dia menghantamnya ke arah perut seseorang itu dengan seluruh tenaganya.
Duk!
Seseorang itu terkejut, lalu mundur selangkah kebelakang. Saat melihat itu, Kevin menggunakan momen itu untuk terus menyerang, meskipun pukulannya tidak terlatih dan tidak mengenai sasaran dengan baik. Kemudian salah satu pria berpakaian hitam mendekat dan memukul Kevin dengan keras di sisi kepala.
Plak!
Kevin jatuh tersungkur ke tanah, namun dengan cepat dia bangkit lagi, walaupun saat ini tubuhnya saat ini penuh luka, dengan darah yang mengalir dari bibir dan keningnya. Tapi dia terus melawan, menghindari pukulan demi pukulan yang datang ke arahnya. Setiap serangan balasannya kacau dan tak beraturan, hanya berdasarkan naluri bertahan hidupnya. Meski rasa sakit menghancurkan tubuhnya, dia tidak mau menyerah dan mati di sini.
Namun, dengan tak terduga ada satu pukulan keras lagi yang menghantam punggungnya.
Duk!
Pukulan itu seketika membuat Kevin terjatuh, dan kali ini dia tidak bisa bangkit lagi seperti sebelumnya. Matanya mulai terasa gelap, dengan napasnya semakin lemah. Seseorang itu yang kini sudah marah, mengangkat pistolnya lagi. Dengan senyuman yang dingin, dia mengarahkan laras pistolnya ke arah kepalanya Kevin.
"Sudah waktunya, Kevin. Ini adalah akhir dari riwayat mu."
Karena kondisi tubuhnya yang sudah sangat lemah, Kevin tidak bisa melawan lagi. Dalam detik-detik terakhirnya, dia memejamkan matanya, dan tidak lama kemudian suara pelatuk terdengar pelan.
Klik… Doorr!
Segalanya pun menjadi hening seketika setelahnya.