PROLOG
Namaku Julian. Sepeninggal orang tua ku, aku hanyalah seorang anak laki-laki miskin yang tinggal bersama neneknya di desa. Kehidupanku serba sederhana. Rumahku hanya sebuah bangunan kecil yang terletak dipinggir kampung, berdinding kayu yang mulai lapuk dan beratap seng yang kadang bocor saat hujan. Lantainya pun hanya berupa tanah keras yang terkadang terendam air saat cuaca buruk datang. Kasurku hanya berupa papan kayu yang tersusun dengan tikar diatasnya. Perabotan ku pun sederhana, hanya beberapa meja dan kursi yang terbuat dari kerajinan bambu.
Aku terpaksa berjuang untuk membiayai kehidupan dan sekolahku sendiri dengan bekerja sambilan. Mulai menjadi pelayan warung, penjaga toko, hingga tukang sapu, semua kulakukan hanya demi untuk bisa makan dan bersekolah.
Dimalam hari, bermodalkan meja reyot dan cahaya dari lampu minyak serta ditemani suara serangga, aku belajar. Mempelajari semua hal yang ku bisa. Aku bermimpi bahwa suatu saat aku bisa merubah kehidupanku menjadi lebih baik.
Saat bersekolah, aku kerap dipandang sebelah mata oleh siswa lain hanya karena memakai seragam dan sepatu yang sudah lusuh dan usang. Mereka yang hidupnya terlihat sempurna selalu menertawakan ku.
Tak hanya dilingkungan sekolah, orang-orang disekitar ku pun kerap menjadikan diri ku bahan olokan mereka. Setiap hari aku harus menanggung semua perlakuan atas cacian, makian, dan hinaan. Bahkan mereka memanggilku si pecundang yang tak punya masa depan.
Meskipun hidupku penuh dengan kesulitan, ada satu sosok yang sering menemaniku dan membuatku tersenyum. Emily, seorang gadis cantik berambut pendek dan memakai kacamata. Berbeda denganku, dia berasal dari keluarga yang mampu. Rumahnya megah dan dipenuhi fasilitas yang biasanya diinginkan oleh anak seusianya. Walaupun begitu, Emily tidak memandang status sosialku dan mau berteman denganku apa adanya. Bahkan terkadang dia tak segan membantu ku jika aku sedang mengalami kesulitan.
Meskipun dunia luar sering mempermalukan diriku, Emily tetap menganggap ku sebagai temannya yang berharga. Dialah satu-satunya yang membuatku merasakan adanya harapan di kehidupan ini. Aku diam-diam menyukainya, tapi aku sadar akan perbedaan besar status sosial yang kami miliki.
Persahabatanku dengan Emily berlangsung sampai kami masuk SMA. Awalnya kita masih sering bersama, menghabiskan waktu belajar atau hanya sekedar bercerita bersama. Namun, seiring berjalannya waktu, entah kenapa dia mulai terasa menjauh dari ku. Tatapannya berangsur berubah menjadi dingin, senyuman diwajahnya juga perlahan memudar. Disaat aku berusaha mendekatinya, dia berhenti bicara dan pergi begitu saja, seolah-olah aku tak pernah berarti baginya. Bahkan terkadang dia mulai mencaci maki ku. Sejak saat itu, hubungan ku dengan Emily sudah berakhir tanpa ada penjelasan.
Rasa sakit hati dan pilu mulai merundung ku. Kehilangan satu-satunya orang yang membuatku merasa hidup serta ditambah hinaan dari orang-orang di sekelilingku membuat kehidupanku menjadi semakin redup. Terkadang, aku ingin lari dari kehidupan ini, menghilang. Tapi, nenek selalu menasehati ku untuk tetap tegar menghadapi cobaan. Dia menyadarkan ku bahwa aku tidak boleh menyerah. Aku harus tetap kuat melawan takdir ku sendiri.
Bertahun-tahun telah berlalu. Aku terus berjuang, bekerja, belajar, berfikir lebih keras serta lebih cerdas dari siapa pun. Keringat dan air mata menjadi saksi setiap langkahku. Dan kini, aku berhasil berdiri di sini sebagai manajer muda di usia 26 tahun di salah satu perusahaan merek dagang (Brand Management Company) paling terkenal di negeri ini. Bukan hanya itu, aku juga berhasil membangun bisnis sampingan, sebuah kedai ramen yang kuberi nama "Zenith Ramen". Saat ini sudah memiliki beberapa anak cabang dan selalu dipenuhi oleh antrian pelanggan. Apa yang dulu ku anggap hanya sebuah mimpi kecil, kini menjadi nyata. Dan ambisiku tak hanya sampai di situ. Suatu saat aku bercita-cita memiliki perusahaan ku sendiri.
Orang-orang tak lagi mengenali siapa diriku dimasa lalu. Sekarang, mereka hanya melihat diriku sebagai pria sukses dengan kehidupan yang sempurna. Juga yang dulunya suka mencaci maki, menertawakan, dan menghinaku kini berbalik menghormati ku. Aku bisa tersenyum puas karena berhasil membalas dendam kepada takdir ku. Aku telah membuktikan bahwa orang yang dianggap pecundang miskin ini telah menjadi orang yang berhasil dalam hidupnya. Inilah balas dendam terbaik dan juga cara efektif untuk membungkam mulut mereka yang pernah meremehkan.
---
CHAPTER 1 KEMBALINYA MASA LALU
Minggu pagi ini terasa sempurna. Sinar matahari yang cerah menembus tirai jendela kamarku, menciptakan kehangatan di seluruh ruangan. Aku bangun dan bergegas menuju ke kamar mandi untuk mencuci muka dan mandi. Kemudian menuju dapur untuk menikmati sarapan dengan secangkir kopi yang hangat dan beberapa potong roti bakar yang ku susun di meja makan. Terlihat seperti menu sederhana tapi menurutku ini istimewa. Setiap gigitan terasa nikmat, mungkin karena aku sadar bahwa hidupku sekarang sudah jauh lebih baik dibandingkan masa lalu ku. Walaupun aku masih hidup sendirian di rumah yang kubangun dengan kerja kerasku ini, aku merasa puas.
Aku kemudian menuju ke ruang tengah untuk bersantai di hari libur ku. Di saat aku hendak menghidupkan TV untuk menonton berita pagi, terdengar suara ketukan di pintu yang menghentikan niatku untuk menyalakan TV.
"Siapa sih yang datang pagi-pagi seperti ini? Padahal aku sudah berhenti berlangganan majalah dan koran." Gumamku.
Ketukan itu terdengar seperti seseorang yang penuh dengan keraguan. Aku segera berjalan menuju pintu, penasaran siapa yang datang terutama di pagi hari seperti ini.
Ketika aku membuka pintu, waktu seakan terasa berhenti. Di hadapanku berdiri seseorang yang dulu kukenal sangat baik. Emily, teman masa kecil ku yang dulu begitu dekat denganku. Namun, dia jugalah orang yang meninggalkanku tanpa penjelasan di saat aku paling membutuhkannya.
Dia masih sama dengan rambut pendek dan kacamatanya. Tapi aku merasa yang berdiri di depanku saat ini bukanlah Emily yang ku kenal. Wajahnya terlihat tampak lelah, rambutnya kusut, pakaiannya terlihat lusuh, kucel, kotor dan berlubang. Tubuhnya sedikit kurus dan tatapan matanya yang dulu penuh semangat, kini tampak kosong dan hampa. Dia terlihat begitu berbeda, seolah-olah dunia telah menelantarkannya berkali-kali. Aku hampir tidak bisa percaya bahwa perempuan di depanku ini adalah orang yang sama yang dulu pernah membuatku tersenyum di tengah masa kelam ku.
"Hey, Julian. Apa kabar?"
Suara Emily bergetar di telingaku, terdengar begitu rapuh saat menyebut namaku. Aku kaget, bahwa dia masih mengingat diriku. Aku masih terdiam saat seluruh ingatan kenangan tentang dia tiba-tiba muncul dikepala ku. Terutama bagaimana dia dulu pergi tanpa sepatah kata, meninggalkan luka yang tak mudah sembuh.
Apakah aku harus marah? Atau gembira karena dapat melihatnya lagi? Perasaanku saat ini menjadi campur aduk tak menentu. Namun, yang jelas saat ini terlihat di wajahnya bahwa dia sedang mengalami suatu penderitaan. Waktu mungkin telah mengubah segalanya. Tapi satu hal yang pasti, takdir kehidupan telah membawanya kini ke hadapanku. Dan mungkin, ini saatnya untukku menemukan jawaban dari masa lalu ku.
-----
[Bersambung ke BAB 2]