Chereads / Kacamata Untuk Emily / Chapter 3 - SEBUAH TAWARAN DAN AWAL YANG BARU

Chapter 3 - SEBUAH TAWARAN DAN AWAL YANG BARU

CHAPTER 3-1 TAWARAN YANG TAK TERDUGA.

Hari sudah menjelang siang. Emily pun akhirnya mulai sedikit tenang, meski wajahnya masih terlihat muram. Sambil  mencoba memikirkan langkah berikutnya untuk masalah ini, tak sengaja pandanganku teralih ke sekeliling rumah.

Aku mengamati ruangan yang biasanya selalu rapi kini tampak sedikit berantakan. Tentu saja hal itu menjadi beban tambahan bagiku. Wajar saja kesibukanku sebagai manajer sekaligus mengelola bisnis sampingan membuatku sering kali meninggalkan rumah tanpa sempat merapikannya.

Dari sini, aku menyadari sebuah ide yang bisa membantu Emily sekaligus menyelesaikan masalah di rumahku. Ide itu muncul begitu saja. Aku merasa ini mungkin solusi terbaik untuk kami berdua.

Setelah mempertimbangkannya sejenak, aku memutuskan untuk mengutarakannya kepada Emily, berharap tawaranku bisa diterima dan menjadi jalan keluar baik bagiku maupun untuknya.

Julian: (Sambil menatap mata Emily), "Emily... Dengarkan aku..."

Dia kemudian mengangkat kepalanya, menatapku dengan tatapan bingung.

Julian: "Aku berpikir mungkin ada cara yang bisa aku lakukan untuk membantumu, sekaligus kamu bisa membantuku."

Emily: (Menatap Julian serius), "Apa maksudmu?"

Julian: "Aku ingin menawarkan pekerjaan kepadamu, Emily."

Emily: "Pekerjaan? Kau ingin memberiku pekerjaan?"

Julian: "Benar, tapi bukan sebuah pekerjaan besar sih. Bagaimana?"

Emily: "Tidak apa, selama itu bisa membuatku tetap hidup."

Julian: "Bagaimana kalau kau menjadi asisten ku."

Emily: (Tampak kebingungan), "Asisten?"

Julian: "Kau tahu, jadwal pekerjaan di kantorku kadang membuatku sangat sibuk. Belum lagi, aku juga harus mengelola bisnis sampinganku. Pastinya aku sangat kerepotan jika harus ditambah mengurus rumah sendiri. Maklum, aku tinggal sendirian. Karena nya, aku ingin kau membantu ku mengurus pekerjaan rumah dan membantu menjaga rumah ini tetap dalam kondisi yang baik."

Emily terlihat terkejut, mulutnya sedikit terbuka tapi tak ada kata yang keluar. Aku bisa melihat keraguan di wajahnya. Mungkin harga dirinya terluka karena tawaran ini yang hanya terdengar seperti "pembantu", bukan pekerjaan lain. Atau mungkin rasa malu karena keadaannya saat ini. Namun, yang jelas dia membutuhkan ini dan jujur saja, aku juga butuh bantuannya.

Emily: "Asisten... Rumah tangga?"

Julian: (Dengan nada lembut),  "Ya begitulah... Tapi aku lebih suka menyebutnya sebagai asisten pribadi. Jikalau kamu masih ragu, kau tidak perlu menjawabnya sekarang, kok."

Emily: "Tidak, Julian. Aku hanya..."

Julian: "Kupikir ini bisa menjadi jalan keluar bagi kita berdua. Kamu dapat tinggal di sini, mendapatkan pekerjaan dan penghasilan. Sedangkan aku bisa lebih fokus pada pekerjaanku tanpa khawatir memikirkan tentang rumah atau urusan kecil lainnya. Bagaimana? Bukan tawaran yang buruk, kan?"

Emily terdiam, terlihat berpikir keras. Aku tahu ini bukan tawaran yang mudah diterima, terutama dari seseorang yang dulu pernah dia sakiti. Tapi di saat yang sama, aku bisa merasakan bahwa dia tidak punya banyak pilihan.

Emily: "Kau yakin mempercayakan rumahmu ini kepada ku?"

Julian: "Tentu saja, jika kau mau menerima tawaranku."

Setelah hening beberapa detik, dia bertanya lagi.

Emily: "Kenapa? Kenapa kau mempercayaiku semudah itu? Setelah sekian lama kita tidak bertemu, kau dengan mudahnya membiarkan diriku tinggal di tempatmu."

Julian: "Jadi...  Kau malah waspada terhadapku sekarang?"

Emily: "Bukan itu maksudku. Aku memang membutuhkan bantuan seperti ini. Tapi, aku juga perlu tahu alasanmu membantuku. Terlebih saat ini, dimana aku hanya mencari mu setelah kondisiku sudah seperti ini."

Julian: "Memangnya, perlu alasan untuk membantu seorang teman yang sedang kesulitan? Bukankah dulu waktu kita kecil, kau juga sering membantu ku?"

Emily tertunduk lagi, suaranya sedikit gemetar ketika melanjutkan.

Emily: "Kau... Masih menganggap ku sebagai temanmu? Setelah semua hal yang pernah kulakukan padamu?"

Julian: "Tentu saja, Emily. Bagiku, dulu atau sekarang, kau tetap menjadi teman yang selalu ku anggap penting. Dan aku sama sekali tidak keberatan kau hanya datang kepadaku disaat kau sedang tertimpa musibah seperti ini. Justru, aku senang kau masih mengingatku."

Emily: "Tapi... Bisa saja saat ini aku hanya berpura-pura, dan mungkin akan menyakitimu lagi seperti dulu. Atau bagaimana jika aku seandainya merampok rumahmu."

Aku tertawa kecil mendengar itu, dan mencoba mencairkan suasana.

Julian: "Hahaha... Tidak ada perampok yang jujur mengatakan secara terang-terangan seperti itu, Emily. Lagi pula, aku tidak merasakan kebohongan sedikit pun dibalik air mata mu."

Emily kembali menunduk terdiam, sebelum akhirnya dia mengangguk pelan.

Emily: (Dengan nada pelan), "Baik. Aku menerima tawaranmu itu dan akan mencoba semampuku untuk membantu dirimu."

Julian: "Kau yakin, Emily?"

Emily: "Tentu saja... Aku sudah tak punya pilihan lain lagi, kan? Jadi, aku akan memanfaatkan kesempatan yang kau berikan ini."

Senyumku memancar dari wajah, merasa lega dengan jawabannya. Disaat yang sama, aku juga masih tak mempercayai bagaimana takdir telah merubah Emily. Dia yang dulu terlihat menawan dalam hidupku, kini pasrah tak berdaya menerima keadaan seperti ini.

----

CHAPTER 3-2 AWAL YANG BARU

Setelah Emily menyetujui tawaranku, suasana berubah menjadi sedikit lebih santai. Aku bisa melihat secercah harapan di matanya, meskipun masih terselip kekhawatiran. Kami tahu bahwa keadaan sudah berubah tak lagi seperti dulu. Tapi setidaknya, apa yang kulakukan untuk menolong Emily saat ini adalah tindakan yang benar.

Julian: "Baiklah, karena kau sudah setuju, maka sekarang aku akan menunjukkan ruangan yang bisa kamu gunakan sebagai kamar mu. Ayo ikut aku..."

Emily mengangguk lembut dan mengikuti ku dari belakang.

Kami berjalan menyusuri lorong rumahku dan menaiki tangga menuju lantai 2. Aku membawa Emily ke ruangan yang dulunya ku gunakan sebagai tempat menyimpan barang-barang yang sudah lama tidak terpakai.

Julian: (Sambil membuka pintu sebuah gudang kecil), "Aku minta maaf kalau ruangan ini tidak terlalu bagus. Hanya ini yang ku punya. Ini dulunya ku jadikan ruang penyimpanan, tapi kalau kau mau, kita bisa ubah tempat ini menjadi kamar yang nyaman buat kamu."

Ruangan itu tampak suram, dengan beberapa kotak kardus menumpuk tak beraturan di pojokan, debu yang menempel di setiap sudut, dan sarang laba-laba dilangit-langit kamar. Lampu di atas kepala juga hanya berkelap-kelip saat aku menyalakannya, memperlihatkan betapa lama ruangan ini tidak tersentuh.

Emily melangkah masuk dengan hati-hati, mengamati suasana di sekelilingnya. Meski ruangan itu jauh dari kata sempurna, aku bisa melihat bahwa dia tidak keberatan. Di wajahnya, tersirat senyuman lega seperti menemukan sebuah kehidupan baru. Mungkin baginya, ini adalah permulaan yang lebih baik dari pada tidak sama sekali.

Julian: "Kita bisa membersihkan tempat ini dan menambahkan beberapa furniture. Nanti kita bisa membelinya.

Lagi-lagi Emily hanya mengangguk, lalu tersenyum samar.

Emily: "Ini sudah lebih dari cukup, Julian. Terima kasih."

Aku merasa lega bahwa dia setuju dengan kondisi ruangan yang ku tawarkan.

Julian: "Oke, kita bisa mulai merapikan tempat ini sore nanti. Sekarang, makan dan istirahatlah dulu. Kamu pasti lelah."

Emily: "Aku benar-benar berterima kasih untuk semuanya. Aku tidak tahu harus bagaimana jika tidak ada kamu. Meskipun aku tahu, aku tak pantas mendapatkan ini."

Dia berkata pelan, suaranya penuh rasa syukur.

Julian: "Ini mungkin bukan tempat yang terbaik. Tapi kau bisa memulai hidup baru mu dari sini, Emily."

Emily memandangku dengan tatapan penuh pengertian.

Emily: "Ya, dan kuharap kehidupanku nanti akan selalu indah."

Aku hanya tersenyum tipis memandang Emily yang berdiri ditengah ruangan yang berdebu ini.

Kuharap ini awal dari sesuatu yang baru. Bukan hanya untuk Emily, tapi juga untukku. Masa lalu mungkin tak bisa dihapus begitu saja, tapi mungkin ini adalah kesempatan kami untuk menciptakan cerita baru kedepannya.

----

[Bersambung ke BAB 4]