CHAPTER 2 LUKA YANG TAK TERLIHAT
Julian: "Emily? Apa itu kau, Emily?!"
Emily: "Benar, ini aku. Syukurlah kau masih ingat aku."
Ternyata dia memang benar-benar Emily yang pernah mengisi kehidupan masa lalu ku.
Emily: "Apa kedatanganku saat ini mengganggu mu?"
Julian: "Tentu saja tidak. Tapi... Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau terlihat sedikit... Kotor?"
Emily: "Maaf jika aku datang dengan penampilan yang kurang menarik seperti ini."
Emily mencoba untuk tetap tersenyum meskipun terlihat jelas ada kesedihan yang dia sembunyikan.
Julian : "Kalau begitu, ayo masuklah..."
Aku mengajak Emily untuk masuk ke dalam rumah dan mempersilahkan duduk di sofa ruang tamu. Dia terlihat lelah dengan wajah yang sangat lesu.
Emily: (Dengan nada lemah), "Jadi... ini rumah mu, sekarang?"
Emily terlihat memperhatikan ruangan sekitar di dalam rumah.
Julian: "Iya. Aku mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk membangunnya. Sebenarnya masih banyak yang perlu diperbaiki sih. Tapi aku bersyukur bisa tinggal disini sekarang, dibandingkan dengan ku yang dulu."
Emily: "Aku turut senang melihat kondisi mu saat ini."
Julian: "Terima kasih, Emily. Terkadang, aku merasa bahwa takdir punya caranya sendiri untuk menguji kehidupan kita."
Emily: (Mengangguk lemah), "Kau benar... Aku juga... Sedang merasakannya..."
Seketika wajah Emily perlahan menunduk, menatap lantai di depannya dengan pandangan kosong. Sorot mata yang tadinya penuh dengan usaha untuk tersenyum kini memudar, digantikan oleh kesedihan yang tak mampu lagi dia sembunyikan. Bibirnya sedikit bergetar, seolah mencoba menahan sesuatu yang berat di dalam hatinya. Bahunya tampak lemah, menambah kesan bahwa dia sedang menanggung beban yang besar. Keheningan yang terjadi membuat suasana terasa semakin berat, seolah-olah menciptakan jarak yang tak kasat mata di antara kami. Aku bisa melihat betapa rapuhnya dia di saat ini.
Tidak ingin membiarkannya berlarut dalam kesedihan, aku perlu mencairkan suasana saat ini. Aku berdiri dan tersenyum padanya.
Julian: "Emily, bagaimana kalau ku buatkan teh hangat untukmu? Mungkin itu bisa sedikit membantu menenangkan pikiran."
Emily: "T-tidak perlu repot-repot, Julian."
Julian: "Tidak apa, Emily. Kita juga sudah lama tidak bertemu, bukan?"
Aku segera beranjak ke dapur untuk membuatkan teh.
Selama di dapur, aku terus membayangkan kejadian apa yang telah menimpa Emily sehingga membuat dia menjadi seperti itu.
Tak lama kemudian, aku kembali ke ruang tamu sambil membawa secangkir teh dan menyuguhkannya kepada Emily.
Julian: "Ini... Silahkan dinikmati."
Emily: "Terima kasih, Julian."
Tangannya tampak gemetar saat dia memegang cangkir teh yang baru saja ku sajikan.
Aku duduk di seberangnya, berusaha menahan rasa penasaran yang terus muncul dalam benakku. Aku memilih untuk diam sebentar dan memberi waktu ke Emily untuk menikmati teh yang ku buat.
Dulu, aku pernah memimpikan momen ini, dimana aku bisa melihatnya kembali di dalam hidupku. Tapi tidak seperti ini. Tidak dengan wajah penuh keputusasaan dan luka yang tak terlihat ini.
Setelah meminum beberapa teguk, Emily meletakkan cangkir teh yang kosong di meja dengan gerakan lembut dan hati-hati. Ia menyeka bibirnya dengan tissue yang ku sediakan. Dia sempat menatap cangkir kosong sejenak sebelum akhirnya mengangkat kepala dan menatapku. Mungkin ini saatnya aku menanyakan permasalahan yang dia hadapi.
Julian: "Jadi, apa yang sebenarnya telah terjadi padamu hingga membuat kondisi mu seperti ini?"
Emily: "Aku malu mengatakannya padamu... Tapi..."
Julian: "Katakan saja, Emily. Aku disini untuk mendengarkan dan membantu mu jika kau perlu."
Dia menghela napas panjang sebelum mulai berbicara.
Emily : "Sebenarnya… Aku kena PHK tiga bulan lalu. Perusahaan tempat ku bekerja bangkrut, dan aku salah satu dari sekian banyak orang yang harus pergi."
Suaranya dipenuhi kesedihan, seolah-olah dia sudah terlalu lama menahan beban hidup tanpa mengungkapkannya pada siapa pun.
Emily: "Aku mencoba bertahan, berusaha mencari pekerjaan lain. Tapi, di jaman yang serba persaingan ini segalanya menjadi sulit. Bahkan biaya hidup di kota pun semakin tinggi, membuat tabunganku habis lebih cepat dari yang kuduga. Akhirnya di bulan terakhir ini, aku diusir dari kontrakan ku."
Aku terdiam mendengarkan, memerhatikan setiap kata yang dia ucapkan. Tatapannya tertuju ke bawah, seakan malu mengungkapkan lebih banyak. Tapi aku tahu, permasalahan ini bukan hanya sekadar kehilangan pekerjaan.
Julian: "Kenapa kau tidak pulang kerumah dan kembali ke orang tua mu?"
Emily: "Ayahku..."
Dia berhenti sejenak, menelan ludah sebelum akhirnya melanjutkan.
Emily: "Semenjak kematian ibuku, ayahku menjadi depresi. Dia melampiaskannya dengan pergi ke bar malam untuk mabuk dan berjudi. Tanpa kusadari dia sering berhutang dan menjadi menumpuk banyak. Ayahku menjual rumah kami satu-satunya untuk menutupi hutangnya. Setelah itu, dia pergi. Aku bahkan tak tahu di mana dia sekarang."
Aku mencoba mencerna kata-katanya. Dia kehilangan kehadiran seorang ibu dan juga tempat tinggal yang dulu menjadi tempat dia tumbuh, berbagi cerita dan impian masa kecil, kini lenyap begitu saja. Sosok ayah yang seharusnya jadi panutan, malah mengambil jalan yang salah. Namun, kurasa itu belum semuanya.
Julian: "Apa kau sudah mencoba menghubungi saudara mu?"
Emily: "Aku sudah mencoba mendatangi saudara-saudaraku, bahkan teman-teman yang kukenal dulu, tapi… Mereka sekarang tak begitu peduli. Mereka hanya sibuk dengan kehidupan mereka sendiri. Tidak ada tempat untukku di sana. Mereka hanya menganggap ku seperti hama di kondisi ku saat ini."
Julian: "Aku paham akan perasaan mu, karena aku pernah berada di titik itu. Lalu, apa yang kau lakukan setelah itu?"
Emily: "Aku menjual semua barang yang ku punya hanya untuk bertahan hidup, sambil berharap ada seseorang yang bisa membantuku."
Dia berhenti berbicara lagi, menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. Emily yang dulu selalu ceria dan kuat, kini terlihat begitu rapuh di hadapanku.
Emily: "Aku... Teringat dirimu, Julian. Jadi aku memutuskan mencari mu dan datang kemari."
Emily kemudian mengangkat wajahnya untuk menatapku.
Emily: "Aku tahu, aku pernah menyakitimu dulu… Dan aku tidak pantas meminta bantuan kepadamu. Tapi... Aku sudah tidak punya siapa-siapa ataupun tempat untuk pergi lagi."
Suara Emily mulai terdengar putus asa. Air mata mulai mengalir keluar dibalik lensa kacamatanya.
Emily: "Apa yang harus kulakukan sekarang? Haruskah aku menghilang saja dari kehidupan ini?"
Aku terdiam sejenak, merasakan beban emosional yang datang dari setiap kata-katanya.
Dulu, dia pernah meninggalkanku di saat aku benar-benar membutuhkannya. Tapi sekarang, di titik terendahnya dia datang padaku. Sungguh ironis sekali pikirku.
Tapi anehnya, aku tidak merasakan kebencian sedikit pun. Hanya rasa iba dan kasihan terhadapnya.
Walau bagaimana pun, Emily tetap ku anggap sebagai sahabatku. Dia juga sering menolongku waktu kecil. Karena itu, aku harus melakukan sesuatu untuknya sekarang.
Julian: "Kita bisa membicarakan langkah solusi untuk menyelesaikan masalah mu. Jadi, kumohon berhentilah menangis."
Aku menatap Emily dengan penuh perhatian, berusaha memberikan dorongan agar dia bisa tenang dan fokus pada solusi.
Setelah berpikir dan mempertimbangkan, akhirnya aku memutuskan langkah pertama yang akan kuambil untuk membantu Emily.
Julian: "Emily, jika kau mau, kamu boleh tinggal di sini."
Dia menatapku sambil mengusap air mata yang masih mengalir membasahi pipinya, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan.
"Terima kasih." katanya pelan, hampir tak terdengar.
----
[Bersambung ke BAB 3]