CHAPTER 4-1 MEMBERSIHKAN DAN MEMULAI
Sore hari, setelah makan siang dan istirahat di sofa ruang tengah, Emily mulai membersihkan ruangan yang akan menjadi kamarnya. Dengan gerakan hati-hati, dia memindahkan semua kardus-kardus tua dan menyeka debu yang menumpuk. Aku memperhatikan dari luar pintu, kagum betapa cekatan nya dia, meski kondisi ruangan tersebut jauh dari kata ideal.
2 jam kemudian, ruangan yang dulunya penuh dengan barang-barang tak terpakai, kini mulai terlihat lebih rapi. Lantai dan dinding yang tadinya kotor mulai tampak lebih bersih. Emily bekerja dalam keheningan, sesekali mengusap keringat di dahinya, tanpa mengeluh sedikitpun.
Setelah dia selesai, aku mendekat kepadanya dan memberi pujian.
Julian: "Kerja yang bagus, Emily. Aku benar-benar tidak menyangka kau mampu membersihkan tempat ini dengan cepat."
Bibir Emily tersenyum tipis dan menjawab dengan nada ringan.
Emily: "Anggap saja hal ini bagian dari surat lamaranku."
Aku tertawa ringan mendengar celotehannya dan sedikit menanggapi leluconnya.
Julian: (Tertawa) "Hahaha, kalau begini, aku terima surat lamarannya dengan senang hati! Kau bahkan melewati tahap wawancara dengan sangat baik."
Emily: "Benarkah, bos. Terima kasih..."
Julian: "Sudah cukup bercandanya. Sekarang, bagaimana kalau kamu mandi dulu? Pasti kamu capek."
Emily menatapku sejenak, tampak sedikit ragu.
Emily: "Tapi… Aku tidak punya baju ganti."
Aku membersihkan sarang laba-laba dan debu yang menempel di rambut Emily.
Julian: "Tenang saja. Yang penting sekarang, mandilah dulu. Ada handuk bersih di kamar mandi. Setelah itu kita akan pergi membeli beberapa barang yang kamu perlukan."
Emily mengangguk tampak lega mendengar jawabanku, dan segera menuju kamar mandi.
Sementara dia mandi, aku kembali ke kamarku mempersiapkan diri dan mengambil jaket sambil berpikir tentang bagaimana cara aku dapat membantu Emily setelah ini. Terutama untuk memulihkan kondisi mentalnya.
Setelah beberapa saat, Emily keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah, mengenakan pakaian yang sama. Wajahnya terlihat lebih segar, meski jelas bahwa baju yang dikenakannya sudah tidak layak.
Julian: (Sambil meraih kunci mobil), "Sudah siap?"
Emily: "T-tunggu sebentar, Julian. Kau yakin mengajak gadis dengan baju seperti ku pergi berbelanja?"
Julian: "Tentu saja. Memang nya apa ada yang salah soal itu? Lagipula kita berbelanja untuk kebutuhan mu, kan? Jadi, sudah sewajarnya kau harus ikut."
Emily: "Aku hanya... merasa kurang pantas. Tapi, kalau kamu yakin tidak apa-apa, aku ikut saja."
Kami berdua keluar rumah dan menuju garasi. Mobil pribadiku yang biasa ku gunakan untuk bekerja, sudah menunggu di sana. Aku membuka pintu untuk Emily sebelum masuk ke kursi pengemudi. Begitu duduk di dalam mobil, aku segera menyalakan mesin dan mulai mengemudikan ke jalan utama menuju swalayan yang terletak di pusat kota. Di luar, matahari sudah mulai turun, tetapi cahaya senja masih menyinari jalan-jalan kota yang masih ramai.
Perjalanan ke swalayan terasa hening. Sesekali aku melirik ke arah Emily yang tampak diam memandangi jalanan, mungkin dia berpikir tentang nasib yang akan terjadi padanya selanjutnya.
Untuk memecah keheningan, aku mencoba membuka suatu topik pembicaraan ke Emily.
Julian: "Ngomong-ngomong, Emily. Apa kau sudah punya pacar?"
Emily tersentak kaget saat mendengar pertanyaan ku, dia menekuk wajahnya agak marah sambil memandangku.
Emily: "Kau serius bertanya hal seperti itu padaku?"
Julian: "M-maaf kalau aku menyinggung hal privasimu."
Emily: "Bukan itu, maksudku. Jadi, kau sungguh tak mengerti? Haruskah aku menjelaskan kepadamu?"
Aku sedikit bingung dengan ucapan Emily, sebelum akhirnya aku menyadari maksud perkataannya.
Julian: "Oh, Hahaha... Maaf, kau belum punya pacar ya?"
Emily berwajah lega saat aku mengetahui maksudnya.
Jika dia sudah memiliki pacar, tak mungkin dia akan mencari ku dan duduk bersamaku saat ini. Aku benar-benar merasa bodoh telah mengajukan pertanyaan seperti itu.
Emily: "Lalu... Kau sendiri bagaimana?"
Julian: "Huh?"
Kali ini Emily yang melemparkan pertanyaan itu kepadaku.
Emily: "Apa kau juga sudah punya pacar?"
Emily melirik ku dengan pipi yang sedikit memerah.
Emily: "Kau yang sekarang ini... Pastinya mudah untuk mendapatkan satu atau dua gadis, kan?"
Julian: "Ya, itu memang benar sih..."
Emily menunduk pelan tampak sedikit murung setelah mendengar jawabanku.
Emily: "Jadi... Siapa pacarmu? Sudah berapa lama kalian pacaran?"
Julian: "Kenapa kau menyimpulkan kalau aku sudah punya pacar? Memang benar, saat ini banyak sekali gadis yang tertarik padaku."
Emily: (Bernada ketus), "Lalu... Apa respon mu?"
Julian: "Mereka hanya melihat apa yang kumiliki sekarang, Tapi mereka tak melihat apa yang sudah ku lalui, terlebih jika mereka mengetahui masa lalu ku."
Emily: "Apa maksudmu?"
Julian: "Kebanyakan dari mereka hanya suka pada kekayaan yang kumiliki, Emily. Bukan dari hati."
Emily tampak terdiam sejenak, matanya menunduk, merenung.
Julian: "Terlebih saat ini, aku masih fokus mengejar ambisi dan cita-cita ku. Jadi aku tak sempat memikirkan hal seperti itu."
Emily: "Aku mengerti..."
Keheningan menghampiri sekali lagi, setelahnya.
Begitu sampai di swalayan, aku memarkir mobil di basement. Kami keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu masuk.
Didalam swalayan, terlihat beberapa orang memandangi kami, beberapa ada yang menertawakan dan menggunjing karena baju lusuh yang masih dipakai Emily. Akibatnya, Emily pun sempat minder.
Aku segera melepas jaketku dan memakaikan ke Emily. Dia pun kaget ketika aku meletakkan jaketku di bahunya. Emily memandangku dengan mata yang sedikit berkaca-kaca dibalik lensanya."
Emily: (Dengan suara pelan), "Terima kasih, Julian. Kau berusaha untuk melindungi ku, meski aku tampak berantakan seperti sampah saat ini."
Julian: "Jangan berkata seperti itu, Emily. Dan kau juga tidak usah menghiraukan mereka, karena kita disini untuk berbelanja, bukan menanggapi orang-orang seperti itu. Ayo, lebih baik sekarang kita mulai mencari beberapa baju dan perlengkapan untukmu."
Emily: "Tapi, Julian… Apa kau yakin soal ini? Aku tak ingin menjadi lebih merepotkan dan beban bagimu."
Aku memegang kedua pundaknya dan menatap wajah Emily dengan tenang.
Julian: "Ini bukan hal yang merepotkan, Emily. Kamu membutuhkan ini, dan aku ingin membuatmu merasa nyaman untuk bisa menjalani kehidupan baru mu dengan baik, oke."
Emily: "Aku tahu... Tapi tetap saja..."
Julian: "Dan yang paling penting, dirumah aku tak punya pakaian wanita."
Emily akhirnya tersenyum kecil, lalu mengangguk. Kami pun mulai berjalan menyusuri lorong swalayan, mencari pakaian dan barang-barang yang dia perlukan. Kulihat tatapan matanya yang semula kosong kini menjadi sedikit bersemangat, meskipun kecil. Langkah demi langkah, aku mengubah keadaan Emily menjadi lebih baik.
----
CHAPTER 4-2 BELANJA UNTUK KEHIDUPAN BARU.
Pada awalnya, Emily masih saja terlihat sungkan, namun perlahan dia mulai lebih terbuka untuk menerima bantuanku. Saat kami berjalan melewati rak-rak pakaian, aku memperhatikan Emily selalu melirik label harga di setiap baju yang dia pilih, seolah tak ingin membebani terlalu banyak kepadaku.
Julian: (Sambil tersenyum), "Kau tak perlu khawatir soal harga, ambil saja yang kamu inginkan."
Emily: (Dengan nada lembut), "Aku menghargai tawaranmu, Julian. Tapi aku rasa yang penting adalah fungsinya. Jadi, aku akan tetap memilih pakaian yang sederhana saja."
Julian: "Baiklah jika itu keputusanmu. Yang penting pakaian itu membuatmu merasa nyaman dan cocok."
Dalam hatiku merasa terpesona pada sikap kesederhanaan Emily. Dia masih tetap realistis meski terjebak dalam situasi yang sulit. Ia juga masih bisa menghargai hal-hal kecil dan tidak terjebak dalam kesan glamor.
Setelah selesai di bagian pakaian, aku mengajaknya ke area perlengkapan rumah.
Julian: "Kita juga perlu membeli kasur, bantal, dan guling untuk kamarmu,"
Matanya sedikit terbelalak.
Emily: "Julian, aku... Aku benar-benar tidak ingin kamu menghabiskan terlalu banyak uang."
Julian: (Tersenyum), "Emily, ini bukan masalah uang. Kamu juga membutuhkan tempat yang nyaman untuk tidur kan? Aku hanya ingin kamu merasa betah dirumah ku nanti. Anggap saja ini investasi dari ku untuk kehidupan barumu."
Emily: "Tapi... kurasa ini sudah berlebihan menurutku."
Julian: "Tidak sama sekali. Setiap orang berhak mendapatkan tempat yang layak untuk beristirahat, termasuk kamu. Jadi, mari kita cari perlengkapan yang nyaman untukmu."
Meski dia masih terlihat sungkan, Emily akhirnya setuju.
Kami memilih kasur lipat yang cukup nyaman, beberapa bantal empuk, guling, sprei dan selimut. Saat kami mendorong troli yang semakin penuh, aku bisa melihat sedikit senyum di wajahnya, tapi cukup berarti untuk ku.
CHAPTER 4-3 MAKAN MALAM
Setelah menyelesaikan belanja, kami menuju kasir untuk membayar semua barang. Aku bisa merasakan Emily sedikit gelisah ketika melihat jumlah total belanjaan, tapi aku tak memikirkannya. Ini adalah langkahku untuk membantunya bangkit kembali.
Ketika semua sudah selesai, kami memasukkan barang-barang yang kami beli ke dalam mobil. Saat itu perutku mulai berbunyi, dan aku baru sadar bahwa hari sudah malam.
Julian: (Melirik ke arah Emily), "Kau lapar?"
Emily: (Tersenyum sambil tersipu malu), "Sedikit."
Julian: "Bagaimana kalau kita makan malam dulu? Di dekat sini ada kafe yang punya makanan enak."
Emily tampak ragu sejenak, tapi kemudian mengangguk.
Emily: "Baiklah."
Tapi sebelum itu, aku menyuruh Emily untuk mengganti pakaian yang dia kenakan dengan baju yang baru saja kami beli terlebih dahulu.
Emily: (Melirik tajam sambil bercanda ke Julian), "Jangan coba-coba mengintip."
Aku hanya tertawa kecil dan menunggu di luar mobil sementara dia berganti pakaian di dalam.
Setelahnya, kami berkendara menuju ke sebuah kafe yang tak jauh dari swalayan. Itu adalah tempat makan yang sederhana tapi nyaman. Dengan suasana yang tenang, kami duduk di meja dekat jendela, di mana lampu-lampu kota mulai menyala di luar, menciptakan pemandangan malam yang indah.
Pelayan datang dan kami memesan makanan. Aku memesan nasi goreng spesial dan Green Tea yang merupakan salah satu favoritku, sementara Emily memesan mie goreng dan es Lemon Tea.
Saat kami menunggu pesanan, suasana di antara kami terasa lebih santai dibandingkan sebelumnya. Setelah melewati hari yang cukup melelahkan, aku bisa merasakan ketegangan di wajah Emily perlahan menghilang.
Emily: (Dengan nada lembut), "Julian... Terima kasih... Untuk semua yang kamu lakukan padaku hari ini."
Julian: (Tersenyum sambil tertawa kecil), "Emily, kau sudah bilang terima kasih berapa kali hari ini? Coba aku tebak, 10 kali? 20 kali? Ahh... Aku sampai lupa menghitung. Mungkin kita harus buat daftar biar aku bisa cek berapa kali lagi kau akan bilang itu."
Emily mengangkat bibirnya, tertawa kecil.
Emily: "Tapi, aku benar-benar merasa beruntung bisa bertemu kamu lagi... Meskipun dalam keadaan memilukan seperti ini."
Aku tersenyum lega bahwa Emily benar-benar menghargai niat baik ku.
Julian: "Sudahlah, kau tak perlu berlarut lebih dalam pada masalah mu, Emily. Yang penting sekarang, kau tak sendirian lagi. Kau dapat mengandalkan ku mulai saat ini."
Seketika raut wajah Emily berubah menjadi senyuman manis yang telah lama kurindukan selama ini.
Meskipun ini hanyalah makan malam sederhana, tapi ini seperti sebuah langkah yang penting untuk menuju hubungan baru ku bersama Emily.
-----
[Bersambung ke BAB 5]