CHAPTER 5-1 KENANGAN MASA LALU
Setelah makan malam yang tenang, kami menuju mobil dan bersiap untuk pulang. Di dalam mobil, suasana terasa begitu hening, hanya suara mesin dan hembusan angin malam yang terdengar. Emily hanya duduk terdiam di sampingku, meski pun kami baru saja menghabiskan waktu bersama untuk berbelanja dan makan malam.
Keheningan di dalam mobil membuat pikiranku melayang kembali ke masa lalu, masa SMA. Terlebih, setiap kali aku mencuri pandang ke arah Emily, ingatanku kembali di saat-saat dimana dia pergi meninggalkan ku dan memberi luka dihati. Aku tahu, mungkin dia merasakan kejanggalan yang sama. Karena saat ini masih ada begitu banyak hal yang belum terucap di antara kami.
Walaupun aku sudah move on dari masa laluku, tapi kebenaran harus tetap terungkap. Dan sekarang adalah saat yang tepat untuk mulai membicarakannya.
Aku menarik napas dalam-dalam, bersiap untuk membuka percakapan dengan hati-hati.
Julian: (Dengan nada pelan), "Emily, boleh aku bertanya sesuatu?"
Emily yang saat itu sedang menatap kosong keluar jendela, tampak sedikit kaget mendengar suaraku. Perlahan, dia beralih memandangku, wajahnya menunjukkan sedikit keraguan, tapi akhirnya dia mengangguk pelan.
Emily: "T-tentu... Apa itu?"
Julian: "Ini soal... Masa lalu kita."
Mendengar itu, matanya langsung terbelalak. Raut wajahnya berubah, seakan dia sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini. Tapi, bukannya menjawab, dia malah mengalihkan pandangannya dan semakin terdiam meninggalkan keheningan yang terasa lebih berat di dalam mobil.
Julian: "Aku ingin tahu alasanmu... Kenapa kau meninggalkanku saat SMA."
Aku menghela nafas sejenak sebelum melanjutkan.
Julian: "Kita berteman dari kecil dan sudah sangat dekat... Tapi, tiba-tiba kau menjauhi ku tanpa alasan yang jelas. Aku tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi padamu waktu itu."
Ada jeda panjang setelah aku mengajukan pertanyaan itu. Emily menundukkan kepalanya, matanya tampak terpaku pada tangannya yang terlipat di pangkuan. Aku bisa melihat dia bergulat dengan jawabannya, mungkin antara merasa bersalah dan bingung.
Emily: (Dengan suara rendah), "A-aku tahu, Julian. Cepat atau lambat, pertanyaan itu pasti akan muncul."
Julian: "Jadi... Bisakah kau jelaskan sekarang?"
Emily: "Dulu... Aku pernah pergi meninggalkanmu tanpa alasan yang jelas. Bahkan aku sering mencaci maki dirimu, menyakiti perasaanmu yang kala itu tidak tahu apa-apa. Apa kau membenciku saat itu?"
Julian: "Jujur saja, waktu itu aku memang merasa hancur saat mendapat perlakuan seperti itu. Aku juga sempat bertanya pada diriku, apa salahku sehingga membuat dirimu berubah kepadaku. Tapi, untuk membencimu? Aku tak pernah benar-benar bisa melakukannya, meskipun hatiku terluka."
Emily: "Waktu itu... Kau hanya menjadi pelampiasan kemarahanku karena diriku yang lemah ini tak mampu melawan desakan orang tua. Aku menyesal soal itu... Dan sebenarnya, bukan karena aku ingin pergi, tapi orang tuaku yang memaksa."
Julian: (Melirik ke Emily dengan alis terangkat. Merasa heran), "Memaksa?"
Emily menatap ke arah jalanan gelap di depan, seolah mencari kekuatan untuk mengungkapkan rahasia yang sudah lama dia pendam.
Emily: "Orang tuaku... Mereka menunangkan aku dengan seseorang saat kita masih di SMA. Apa kau masih ingat orang yang bernama Albert?"
Aku terdiam, mencoba mencerna informasi itu. Nama Albert tidak asing bagiku, dia salah satu murid yang cukup populer di SMA kami dulu, dikarenakan keluarganya yang kaya raya.
Julian: "Orang tuamu menunangkan mu dengan Albert?"
Emily: (Mengangguk), "Iya. Orang tuaku sangat materialistis. Mereka hanya peduli pada status dan uang. Ketika mereka tahu bahwa Albert berasal dari keluarga kaya, mereka melihatnya sebagai kesempatan emas. Tanpa mempertimbangkan perasaanku, mereka memaksaku bertunangan dengan pria itu."
Aku bisa merasakan kesedihan yang terpendam dalam suaranya, meskipun dia berusaha menahannya.
Emily: "Sebenarnya, aku sama sekali tidak ingin bertunangan dengan Albert. Aku menentang itu sejak awal, tapi orang tuaku tidak mau mendengarkan. Dan... Aku merasa tidak punya pilihan, jadi aku terpaksa menerima pertunangan itu dan terpaksa pergi meninggalkan dirimu."
Perjalanan malam ini terasa semakin sunyi saat aku memahami apa yang dia katakan. Aku tak pernah tahu bahwa Emily pernah berada dalam situasi seperti itu. Semua kenangan pahit ku di masa SMA yang penuh tanda tanya kini mulai terjawab perlahan.
-----
CHAPTER 5-2 JAWABAN MASA LALU
Julian: (Nada pelan), "Saat itu, Aku benar-benar tidak tahu dan tidak pernah mengerti kenapa kamu pergi. Kau hanya diam menjauhi ku. Jadi, ku pikir mungkin kamu marah padaku atau... Telah menemukan seseorang yang telah memikat hatimu."
Emily menoleh padaku, memandangku dengan raut kesedihan di wajahnya.
Emily: "Bu-bukan begitu, Julian. Waktu itu, aku... Aku benar-benar... Menyukaimu. Tapi keluargaku menekan ku begitu keras. Aku juga dilarang berhubungan denganmu lagi. Terlebih pada dirimu yang saat itu masih..."
Julian: "Ya, aku tahu! Semua orang memandangku sebagai pecundang waktu itu, hanya karena aku berasal dari keluarga yang miskin. Itu membuatku muak!"
Aku merasa darahku berdesir, amarah yang telah lama ku pendam perlahan muncul kembali. Tanganku menggenggam erat setir mobil, berusaha keras untuk menahan emosiku.
Julian: "Tapi setidaknya... Kau bisa memberitahuku alasanmu, Emily! Bukan hanya diam dan menjauh begitu saja tanpa sepatah kata pun!"
Mendengar intonasi bicara ku yang agak meninggi, air mata Emily mulai menggenang di balik lensa kacamatanya. Dia menunduk, semakin larut dalam rasa bersalah.
Emily: "Aku benar-benar minta maaf, Julian. Mungkin kata maaf tak cukup menebus semua kesalahan ku."
Sebenarnya dibalik hati kecilku, aku tak sanggup melihat Emily kembali bersedih seperti ini. Namun, aku masih perlu kejelasan masa lalu kami berdua.
Emily: "Saat itu, Albert memberikan syarat kepada keluargaku. Pertunangan kami harus dirahasiakan dari siapa pun, dan aku tidak boleh menemui pria lain. Jika aku sampai melanggarnya maka pertunangannya akan dibatalkan. Keluargaku setuju, dan mereka... Mereka mengancam ku. Mereka bilang kalau aku tidak menurut, aku akan diusir dari rumah."
Emily menghela napas dalam, mencoba menahan perasaan yang bercampur antara rasa bingung dan sedih.
Emily: "Waktu itu... Aku... Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa... Aku tidak punya pilihan lagi, Julian... Aku terpaksa patuh pada mereka. Jadi... Aku..."
Julian: "Baiklah, aku mengerti. Lagipula, aku juga sudah move on dari semua itu. Kau tak perlu merasa bersalah lagi, Emily."
Aku mencoba meredam emosiku dan menenangkan diri.
Julian: "Tapi... Aku penasaran, apa yang terjadi dengan hubungan kalian?"
Aku melirik ke arahnya, ingin tahu jawabannya, tapi tidak ingin terlalu menekannya.
Emily: (Sambil mengusap air mata yang akan jatuh), "Setelah lulus SMA, akhirnya aku memutuskan untuk putus dengan Albert."
Julian: "Putus? Kenapa?"
Emily: "Albert... Dia bukan orang yang baik, dia hanya seorang playboy. Dia selingkuh beberapa kali, bahkan saat masih di SMA. Setelah lulus, aku akhirnya memberanikan diri untuk memutuskan pertunangan itu. Aku tak bisa terus hidup dengan kebohongan seperti itu. Terlebih, aku sama sekali tidak mencintainya."
Aku merasa lega mendengar Emily sudah tidak lagi bersama Albert. Meskipun aku tahu, semua ini pasti menyisakan trauma dan rasa sakit karena dia harus melalui semua itu.
Julian: "Terus, bagaimana sikap orang tua mu pada saat itu?"
Emily: "Awalnya mereka marah besar. Tapi perlahan, mereka mengerti bahwa Albert hanyalah seekor buaya yang mempermainkan wanita demi keuntungannya sendiri. Bahkan pertunangan itu hanya akal-akalan agar dia dapat memiliki wanita yang menjadi targetnya. Setelah puas, maka dia akan membatalkannya dan membuang wanita itu. Untung saja, aku belum sempat terjebak dalam permainannya."
Julian: "Aku paham garis besarnya..."
Emily: "Setelah kejadian itu, aku mencoba mencari mu dirumah. Namun... Kau sudah tak ada."
Julian: "Ya, sejak lulus SMA, aku memutuskan untuk pergi merantau demi mengejar ambisiku. Lagipula, saat kau pergi meninggalkan ku, aku merasa desa itu sudah tak berarti lagi bagiku."
Aku menatap jalan di depan sambil mengingat masa-masa kelam itu.
Emily: "Aku menyesal, karena aku tidak punya kekuatan untuk menolak pertunangan itu lebih awal. Aku tidak seharusnya membiarkan keluargaku mendikte hidupku. Dan aku juga seharusnya tidak meninggalkanmu begitu saja tanpa kata."
Aku terdiam sejenak, memikirkan kata-kata yang tepat untuk diucapkan.
Julian: "Aku memaafkan mu, Emily. Aku tahu kamu berada di dalam situasi yang sulit waktu itu."
Aku melirik ke arahnya, melihat bagaimana air matanya mulai jatuh tanpa henti, seakan seluruh beban masa lalu yang selama ini dia simpan akhirnya terlepas.
Julian: (Menyodorkan tissue) "Seka air mata mu, Emily. Yang terpenting sekarang, kita berdua bisa membicarakan tentang hal ini. Dan mungkin, ini kesempatan bagi mu untuk memulai segala sesuatunya kembali."
Emily tersenyum samar sambil menyeka air matanya, lalu mengangguk pelan walaupun masih terisak.
Emily: (Bersuara lirih), "Ya, akan ku gunakan kesempatan ini sebaik mungkin. Aku selalu takut menghadapi masa lalu itu, tapi... Terima kasih telah memaafkan ku... Julian."
Aku tersenyum tipis meliriknya. Kemudian perlahan memarkirkan mobilku di pinggir jalan dan mematikan mesin. Emily pun keheranan.
Emily: "Ada apa? Kenapa kita berhenti ditempat ini?"
Aku menatap ke bawah, menarik napas panjang sebelum memandang Emily dan bergeser sedikit mendekatinya.
Julian: "Emily... Maafkan aku telah mengungkit masa lalu kita. Bahkan aku membentak dan membuatmu menangis."
Aku kemudian menundukkan kepalaku.
Emily: (Menggeleng pelan) "Tidak, Julian... Kamu tidak perlu minta maaf. Mungkin memang sudah waktunya semua ini diungkapkan, agar kita bisa benar-benar berdamai dengan masa lalu."
Julian: "Kau benar, Emily."
Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan pulang dalam keheningan yang lebih damai, seolah-olah pengakuan itu telah membuka pintu baru di antara kami berdua. Menyingkap misteri selama ini yang berada dikepala ku.
-----
[Bersambung ke BAB 6]