Chereads / Kacamata Untuk Emily / Chapter 11 - AKU, ALICIA, DAN PERASAAN DILEMA

Chapter 11 - AKU, ALICIA, DAN PERASAAN DILEMA

Chapter 11-1 Monica, Selena, dan Cindy

Siang itu setelah selesai meeting, aku berjalan sendirian menuju kantin perusahaan. Seperti biasa, suasana tempat ini sungguh ramai, dipenuhi dengan hiruk-pikuk suara pegawai yang sedang menikmati waktu istirahatnya. Ada yang asyik berdiskusi soal proyek, ada yang mengobrol ringan, bahkan ada juga yang hanya bermain ponsel saja.

Aku segera menuju ke kasir, memesan seporsi nasi uduk dan segelas teh hijau. Setelah itu, aku berjalan menuju meja kosong yang berada di sudut ruangan. Disini sebenarnya banyak teman-teman karyawan, terutama pria yang menawarkan kursi untuk duduk bersama mereka. Akan tetapi aku menolaknya dan lebih memilih untuk menikmati waktu istirahatku sendiri.

Beberapa menit setelah aku selesai menyantap makananku, ada sekelompok pegawai remaja wanita yang aku kenal tiba dikantin. Mereka melirik ke arahku saat memesan makanan. Tatapannya menunjukan keinginan untuk mendekatiku.

Mereka adalah Monica, Selena, dan Cindy. Trio cewek genit yang selama ini 'ngefans' denganku. Tanpa ragu, satu per satu dari mereka datang menghampiri ku dengan berbagai macam alasan. Kehadiran mereka disini menandakan bahwa sepertinya aku tak akan bisa bersantai lagi.

Monica: (Sambil tersenyum manis), "Pak Julian, tumben sendirian saja? Boleh ya, saya temani duduk di sini?"

Cindy: (Mengikuti Monica sambil membawa nampan), "Iya, Pak, boleh ya? Kebetulan saya nggak kebagian tempat duduk."

Selena: (Memiringkan kepala dan tersenyum menggoda), "Pak Julian... Pakai parfum apa sih? Wangi banget... Jadi pengen duduk deket sama bapak…"

Meskipun di dalam hatiku enggan untuk diganggu, aku mencoba bersikap ramah dengan mengangguk pelan, memberi isyarat bahwa mereka bisa bergabung. Para gadis itu pun segera duduk di depanku dan mengajak ku mengobrol dengan menyelipkan sedikit rayuannya.

Cindy: (Dengan senyum manis), "Wah... saya baru tahu kalau bapak suka teh hijau. Seleranya sehat banget."

Julian: (Mengangkat bibir tersenyum), "Saya memang suka sekali teh hijau karena banyak manfaatnya."

Monica: "Gimana dengan makanan yang manis-manis, Pak? Mau saya pesenin kue atau puding?"

Julian: "Terima kasih tawarannya, tapi saat ini saya sudah kenyang."

Selena: (Dengan suara lebih pelan dan mata berbinar), "Pak Julian tadi habis rapat, kan? Pasti capek. Saya pijitin mau!?"

Julian: (Tersenyum canggung), "T-terima kasih... T-tapi saya baik-baik saja."

Aku mencoba tetap tenang menghadapi rayuan mereka, meskipun candaan dari Selena jelas lebih agresif daripada yang lain. Sesekali kualihkan pandangku dengan meneguk teh hijauku perlahan.

Beberapa saat kemudian, Selena pindah bergeser duduk disampingku.

Selena: (Sambil memiringkan badan dan mengedipkan mata), "Pak Julian, kalau sore ini nggak ada kerjaan, kita jalan-jalan yuk, Pak. Siapa tahu lagi butuh hiburan?"

Monica: (Dengan nada bercanda tapi menggoda), "Benar, Pak. Nanti kita bisa belanja bareng. Gimana kalau saya yang pilihin kemeja buat bapak? Dijamin bapak pasti kelihatan lebih keren, deh."

Cindy: (Menyambung), "Sehabis itu, kita bisa karaoke bareng. Nanti kita duet nyanyi bersama ya, Pak?"

Julian: (Sedikit kikuk), "T-terima kasih atas ajakannya. Tapi maaf... Sepertinya tidak bisa."

Selena: (Sambil cemberut manja), "Aduh, Pak Julian... Kok selalu nolak sih? Masih malu ya, Pak?"

Monica: (Menambahkan dengan nada bercanda), "Iya, nih... Atau jangan-jangan sudah ada yang ditungguin di rumah? Makanya nolak terus."

Cindy: "Jadi, Pak Julian sudah punya kekasih, ya?"

Julian: (Tersenyum sambil menggelengkan kepala), "Bukan seperti itu... Tapi, memang masih banyak pekerjaan yang belum selesai."

Selena: (Dengan nada yang lebih menggoda), "Wah, kalau sibuk terus... Kapan dong punya waktu buat kita-kita, Pak? Masa sih bos ganteng nggak butuh refreshing juga?"

Aku berusaha untuk tetap memasang senyumku meski sedikit tersipu karena rayuan mereka yang semakin intens.

Dalam hati aku berfikir, mendingan tadi aku menerima ajakan karyawan pria lain untuk duduk bersama daripada sekarang harus menghadapi rayuan para cewek ini.

Selena: (Sambil tersenyum lebar), "Pak Julian, serius deh... Kok malah melamun? Mikirin apa sih?"

Monica: (Sambil tertawa), "Pasti lagi mikirin seseorang, ya?"

Cindy: "Yang bener? Siapa nih, Pak? Kasih tahu dong..."

Julian: (Tersenyum paksa), "Haha... T-tidak, kok..."

Ku akui mereka tidak salah. Sekarang ini aku memang sedang memikirkan seorang wanita. Ya, wanita yang sedang berada di rumah ku, Emily.

Kira-kira dia sedang apa ya? Apa dia baik-baik saja? Atau dia merasa kesepian dirumah? Ahhh... Aku tak sabar ingin pulang dan segera menemuinya.

Tanpa sadar, tanganku meraih Handphone di saku, berniat ingin menghubungi dia. Tapi, aku segera ingat bahwa Emily tidak punya ponsel saat ini. Jadi kupikir, sepulang nanti aku akan membelikan Handphone untuknya. Dengan begitu, aku bisa lebih mudah menghubunginya kapan saja. Selain itu, kuharap Emily juga akan senang menerima hadiah dariku.

-----

Chapter 11-2 Posesif

Ketika lamunan Emily mengisi benakku, tiba-tiba ada seseorang yang menggebrak mejaku dengan keras, membuat Monica, Cindy, Selena, termasuk diriku terhentak kaget. Aku segera menoleh, dan melihat wajah Alicia dengan kerutan di dahi disertai tatapannya yang tajam, sedang berdiri di belakang ku.

Alicia: "Time out! Waktu merayu sudah habis! Sekarang semua kembali bekerja! Sebelum aku benar benar kesal melihat tingkah genit kalian!"

Selena: (Menghela nafas pelan), "Yah... Si nenek lampir sudah datang. Saatnya pergi teman-teman..."

Alicia menggebrak meja itu sekali lagi setelah mendengar celotehan itu.

Alicia: (Memasang ekspresi geram), "Siapa yang kau panggil 'Nenek lampir'?! Dasar nenek genit!"

Para gadis itu pun segera berdiri dengan tawa mengejek disertai langkah cepat meninggalkan meja. Alicia menatap mereka dari belakang dengan kesal dan seolah ingin melemparkan sepatu hak tingginya. Tapi akhirnya dia hanya menghela nafas panjang sambil duduk di kursi kosong di depanku.

Alicia: (Mengomel pelan), "Nenek lampir? Yang benar saja…"

Aku menahan tawa, mencoba menjaga ekspresi wajahku.

Julian: (Sambil menahan senyum), "Pfftt... N-nenek lampir?"

Alicia: (Melirik Julian dengan tatapan jengkel), "Apanya yang lucu? Apa kau juga mau ikut-ikutan memanggilku nenek lampir?"

Julian: (Kelepasan dan tertawa), "Hahaha... Kurasa sebutan itu cocok dengan karaktermu, kok."

Alicia: (Berdiri sambil memukul-mukul pundak Julian pelan), "Iihh... Jahat banget, sih... Masa aku yang cantik ini dibilang seperti nenek lampir."

Julian: "Aduh... Maaf-maaf... Tapi... Hahahaha..."

Aku tak bisa menahan tawa ku.

Alicia: (Mengeryitkan dahi), "Julian! Aku benar-benar marah nanti!"

Julian: "M-maaf Alicia... T-tapi itu lucu sekali. Aku tak bisa menahan ketawa ku. Lalu, kenapa kau kemari?"

Alicia merengut, memalingkan wajah dariku.

Julian: (Sambil mencoba menenangkan diri dari tawa), "Oke, oke, maaf. Aku serius kali ini. Jadi, ada apa kau mencariku?"

Alicia tetap memalingkan mukanya, cemberutnya semakin dalam, menyiratkan dia sedang ngambek. Aku mencoba meraih tangannya, tapi dia segera menariknya.

Alicia: (Bernada kesal dan sedikit cemburu), "Kenapa, sih? Kau selalu saja menganggapku remeh dan tak pernah serius? Padahal, ada urusan penting yang harus kusampaikan padamu... Tapi kau malah enak-enakan dikelilingi cewek-cewek itu."

Aku tersenyum tipis, tahu bahwa Alicia sebenarnya cemburu terhadapku ketimbang kesal karena "urusan penting."

Julian: "Alicia, kau tahu aku hanya bercanda tadi. Dan soal gadis-gadis itu, aku bahkan tidak menanggapinya secara serius. Terlebih mereka yang awalnya datang kepadaku."

Alicia: (Melipat tangan di dada), "Lalu, kenapa kau sering tersenyum kepada mereka?"

Julian: (Menghela napas), "Aku hanya berusaha ramah pada siapa pun, tak lebih."

Alicia: (Memelototi Julian), "Itu bukan alasan! Mungkin kau perlu menyegel 'senyum pemikatmu' sebelum ada korban lagi."

Julian: (Tertawa ringan), "Senyum pemikat? Pikiranmu terlalu berlebihan, Alicia."

Sekali lagi, Alicia membuang mukanya. Tapi aku bisa melihat lipatan bibirnya yang sedikit tersenyum, meski mencoba menahan cemberutnya. Akan kucoba sedikit merayunya.

Julian: "Ayolah... Jangan ngambek gitu. Bagaimana kalau nanti kutraktir es krim. Kau mau, kan?"

Alicia: (Dengan nada setengah menggerutu), "Ugh... Kau benar-benar menyebalkan. Tahu saja kelemahanku."

Julian: "Jadi... Bisa kau beritahu aku urusan pentingmu itu kepadaku?"

Alicia: "Aku hanya ingin memberitahumu kalau rapat rekonsiliasi soal data pemasaran dan branding akan diajukan besok. Pak Jonathan yang memintanya..."

Julian: (Bernada lembut), "Oh, begitu... Terima kasih atas infonya."

Alicia menggembungkan pipinya dan menoleh ke samping, berpura-pura masih marah.

Alicia: "Sudahlah... Lupakan saja."

Aku menahan senyum, tahu bahwa Alicia tidak akan bisa ngambek terlalu lama. Ekspresinya saat ini hanya akan membuatku semakin ingin tertawa lebih keras. Dia selalu begitu, berusaha terlihat serius, tapi sebenarnya manja.

Julian: (Menunduk menahan tawa), "Pfft... Alicia... Sudahlah...  Jangan memasang wajah seperti itu. Kau... Menggelikan... Pffft...."

Alicia: (Kembali cemberut), "Tuh kan... Kau selalu saja begitu..."

Julian: (Tersenyum lepas), "Baik, baik... Aku nggak akan ketawa lagi, deh. Tapi, kau mengerti, kan? Aku tak pernah bermaksud membuatmu jengkel..."

Alicia: (Menoleh sekilas), "Tapi aku tetap kesal melihatmu dikerumuni gadis-gadis itu."

Meskipun Alicia selalu posesif kepadaku, aku tak merasa keberatan. Karena menurutku itu hanya cara dia menunjukkan kepeduliannya terhadapku, walaupun terkadang sedikit berlebihan.

Terlepas dari sifat Alicia yang sedikit kekanak-kanakan, dia memiliki intuisi yang tajam dalam menyelesaikan pekerjaannya. Terlebih dalam peran administratif. Dia tahu setiap detil yang harus dilakukan, seperti halnya dalam pencatatan dan pengelolaan dokumen, koordinasi jadwal, serta memastikan semua aspek operasional berjalan dengan baik.

Aku menghargai kerja kerasnya. Tanpa bantuannya, sudah pasti aku akan kerepotan. Dia benar-benar aset berharga yang dapat diandalkan. Jadi, aku tak boleh membuatnya marah, apalagi untuk urusan sepele seperti ini.

Julian: "Dengar, Alicia. Aku minta maaf... Kau tahu selama ini aku selalu mengandalkanmu, kan? Tanpamu, aku tak mungkin bisa mengelola semua pekerjaan ini sendirian."

Alicia: (Masih dengan nada jengkel, tapi mulai tenang), "Yah... Setidaknya kau paham soal itu."

Aku tersenyum lega melihatnya mulai melunak.

Alicia: "Kalau begitu, sekarang janjimu... Belikan aku es krim. Aku tadi juga sudah membantumu saat rapat, kan?"

Alicia menatapku dengan bibir yang masih ditekuk.

Sejenak aku menghela napas, menyadari bahwa aku harus menepati janjiku agar tidak membuat moodnya kembali buruk. Setelah beberapa detik hening, aku pun mengangguk.

Julian: "Baiklah, ayo kita pergi ke toko es krim."

Begitu mendengar ajakanku, wajah Alicia langsung sumringah, seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah. Dengan semangat, dia mengangkat tangannya ke udara.

Alicia: "Yay! Aku mau gelato yang dijual di Frozen Delight."

Melihat dia sekarang begitu antusias, aku sedikit terkejut akan perubahan sikapnya yang begitu cepat, dari muram menjadi ceria, seakan rasa kesalnya tadi sudah terlupakan.

-----

Chapter 11-3 Aku, Alicia dan bayang Emily

Dengan mobilku, aku dan Alicia berangkat menuju ke Frozen Delight yang terletak di pusat kota. Selama perjalanan berlangsung, Alicia terus bercerita tentang berbagai hal yang dia sukai, mulai dari film baru yang dia tonton, acara musik, bahkan sesekali menggodaku dengan candaannya dan membuatku tertawa.

Alicia: "Jadi, kau tahu film yang baru saja kutonton kemarin? Judulnya Love on the Edge. Romantis banget, tapi ada plot twist di akhir yang bikin aku sebal."

Julian: (Tersenyum), "Plot twist gimana? Kasih tahu, dong. Tapi jangan spoiler..."

Alicia: "Tenang saja! Cuma... Bayangkan, selama ini cowoknya ternyata diam-diam punya pacar teman masa kecil yang nggak pernah dia utarakan! Bisa-bisanya seperti itu. Aku hampir saja melempar remote ke TV."

Julian: "Hahaha, kau memang gampang sekali terbawa suasana."

Alicia: (Mengangkat bahu), "Aku cuma terlalu menghayati ceritanya, tahu! Dan habis nonton film itu, aku langsung nonton konser virtual. Grup band favoritku baru saja rilis single baru, Dancing in the Rain. Serius, liriknya bikin aku melting banget."

Julian: "Oh iya? Apa tema liriknya romantis juga, kayak film yang tadi?"

Alicia: (Menyeringai), "Lebih ke seru sih! Liriknya tentang cowok flamboyan. Persis kayak kamu yang suka tebar pesona saat dikerumuni cewek-cewek tadi di kantor."

Julian: (Tertawa), "Aduh, mulai lagi! Kau memang suka nyindir, ya?"

Alicia: "Yah... Cuma mengingatkan, siapa tahu kedepannya aku perlu buat daftar tunggu buat mengatur para penggemarmu yang genit itu."

Julian: (Tertawa terbahak-bahak), "Hahahaha... Pikiranmu memang unik sekali, Alicia."

Alicia (Sedikit cemberut), "Kau mau aku marah lagi?"

Julian: (Sambil mengusap air mata yang keluar saat tertawa), "Tidak... tidak... Jangan ngambek lagi, Alicia..."

Aku menahan tawaku, mencoba menenangkan diri.

Julian: "Ngomong-ngomong... Nanti kau mau beli gelato rasa apa?"

Alicia menoleh dengan senyum cerianya.

Alicia: "Tentu saja Pistachio, itu favoritku!"

Julian: "Kau tak bosan dengan rasa itu?"

Alicia: "Mana mungkin aku bosan. Tapi untuk kali ini, aku mau nyobain beberapa rasa lainnya juga."

Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil.

Julian: "Memangnya kau akan makan semuanya sendirian? Tambah gendut, baru tau rasa kau."

Alicia menjulurkan lidahnya, membuat gestur lucu.

Alicia: "Wee... Biarin..."

Saat kami hampir tiba di Frozen Delight, tawa Alicia menggema di dalam mobil.

Alicia: "Yay... Yay.. Kita sampai... Gelato, aku datang..."

Tapi di tengah momen kebersamaan ku dengan Alicia, aku mulai menyadari sesuatu yang mengusik pikiranku.

Kehadiran Alicia yang periang ini perlahan mulai menarik perhatianku. Tadinya aku berpikir ini hal yang wajar, mengajak seorang rekan kerja untuk membeli gelato bersama. Tapi... Hatiku mulai merasakan sesuatu yang lebih dari itu. Bahkan tanpa kusadari dia mampu mengalihkan pikiranku dari Emily.

Alicia: "Hei! Kenapa tiba-tiba melamun?"

Suara Alicia memecah lamunanku, menatapku dengan ekspresi heran.

Julian: "Tidak ada, hanya kepikiran sesuatu."

Alicia: "Apa itu? Apa yang kau sembunyikan dariku kali ini?"

Julian: "B-bukan hal yang penting, kok. Tenang saja."

Namun, di dalam hati, aku tahu, perasaan ini mulai membuatku tidak tenang.

Saat kami turun dari mobil, aku menatap Alicia melangkah dengan riang gembira ke arah toko gelato. Dia tampak bahagia seperti tak memiliki beban di dunia ini, berbeda dengan Emily. Entah kenapa, aku mulai merasakan ada sesuatu yang tak biasa didalam dirinya.

Aku terdiam dan tenggelam dalam pikiranku sendiri. Aku mulai bertanya-tanya, sejak kapan Alicia yang childish ini mulai menarik dimata ku? Apakah aku mulai menyukainya? Padahal, selama ini hanya Emily yang mampu membuatku merasa seperti ini. Alicia hanya kuanggap sebatas partner kerjaku saja.

Tunggu sebentar... Apa jangan-jangan aku kena pelet? Bukan-bukan... Ini bukan hal bodoh yang tak masuk akal seperti itu. Tapi, sepertinya aku memang terkena sihir "charming" milik Alicia.

Aku menggigit bibir, merasa cemas dengan perasaan tumpang tindih ini. Aku tak pernah berpikir bahwa asistenku sendiri, bisa membuatku mempertanyakan tentang hatiku. Disaat yang sama, bayang Emily juga datang didalam benakku.

Tiba-tiba aku dikagetkan dengan Alicia yang menarik lenganku.

Alicia: (Menyeret Julian masuk ke dalam toko), "Mau sampai kapan bengong disitu? Ayo kita masuk dan pesan gelato sekarang! Aku sudah tak sabar..."

Ia mendorongku dengan semangat menuju ke depan etalase.

Alicia: (Tersenyum kepada pelayan), "Aku mau pesan gelato pistachio, juga Hazelnut Heaven, lalu makanan pendamping Raspberry Cheesecake Tart."

Sementara itu, aku tak fokus menatap menu karena pikiranku yang masih melayang terjebak di antara bayang Emily yang muncul didalam kepalaku dan kebersamaanku dengan Alicia.

Lalu, Alicia menepuk punggungku, memaksaku untuk keluar dari lamunan.

Alicia: (Sedikit membentak), "Hey, Julian! Kenapa kau malah bengong lagi? Cepat pesanlah!"

Julian: (Kaget dan tergagap), "Uh, ya... aku... umm, Mungkin... cokelat panas saja?"

Alicia mengerutkan dahi, seolah tidak percaya dengan apa yang kupesan.

Alicia: "Cokelat panas di toko gelato? Serius? Tidak! Kau harus pesan yang lain, Julian!"

Julian: "K-kalau begitu, Hazelnut Heaven saja..."

Alicia: "Tidak! Itu pesananku! Kau harus mencoba menu lain selain yang kupesan."

Aku menghela nafas sejenak dan menatap menu kembali.

Julian: (Menatap ke pelayan), "Kalau begitu, tolong Matcha Paradise satu."

Setelah memesan gelato, kami menunggu di area antrian. Aroma manis dan harum yang berasal dari gelato yang terpampang di etalase memenuhi ruangan. Terdengar suara gelak tawa anak-anak dan pasangan muda mudi yang sedang menikmati momen mereka menambah suasana ceria di toko Frozen Delight.

Tiba-tiba Alicia melirikku dengan tatapan curiga.

Alicia: (Mengangkat alis), "Hey, Julian, Kenapa kau tadi sering melamun? Apa yang sedang kau pikirkan?"

Julian: (Menggeleng pelan), "Ah, tidak ada apa-apa, kok."

Alicia: "Jangan bilang kau memikirkan cewek-cewek itu lagi, ya!?"

Julian: "Tidak, bukan itu. Aku hanya sedikit kepikiran soal kerjasama kita dengan Luminex."

Alicia: (Menatap mata Julian dengan serius), "Benarkah?"

Julian: (Sedikit gugup), "B-benar, kok."

Alicia: (Memicingkan mata), "Bohong! Kau pasti sedang memikirkan cara untuk menggoda cewek-cewek genit itu, kan?! Atau, saat ini kau sedang memikirkan wanita lain?"

Julian: (Mengangkat alis, sedikit terkejut), "Hah? Tidak, Alicia! Aku tidak memikirkan siapa pun."

Alicia: (Masih skeptis, menyilangkan tangan), "Oh... Jadi kenapa kau gugup? Kau ternyata memang punya wanita lain yang ada di dalam pikiranmu, ya? Coba cerita!"

Julian: (Mengalihkan pandangan, berusaha tetap tenang), "Sungguh, aku... Hanya memikirkan pekerjaan."

Alicia: (Menyipitkan mata, tidak percaya), "Pekerjaan? Alasanmu terlalu klasik, Julian! Kau ini benar-benar tidak mau jujur! Terlihat jelas bahwa kau menyembunyikan sesuatu dariku!"

Memang benar. Saat ini, bayang Emily terus muncul dalam benakku. Namun, aku paham bahwa membahasnya dengan Alicia bisa membuat situasi menjadi lebih rumit. Untuk sementara, aku memilih untuk tidak mengatakan apapun soal Emily.

Julian: (Berpura-pura serius), "Alicia, aku tidak sedang menyembunyikan siapa-siapa. Serius, saat ini aku hanya ingin menikmati gelato bersamamu."

Alicia: (Masih curiga), "Kalau begitu, berhentilah melamun dan nikmati momen ini. Jangan biarkan pikiranmu melayang-layang ke hal lain! Terutama wanita!"

Julian: (Mencoba tersenyum), "Oke, oke. Aku janji akan lebih fokus terhadapmu."

Aku tahu bahwa Emily akan selalu ada di dalam hatiku. Namun, aku juga perlu membagi perhatianku saat ini.

Alicia: "Lihat... Gelato kita sudah jadi."

Terlihat pelayan datang membawa pesanan kami. Gelato pistachio milik Alicia terlihat menggoda dengan warna hijau cerahnya, Hazelnut Heaven, yang kaya akan rasa kacang, dan sepotong Raspberry Cheesecake Tart yang dilapisi buah merah menggoda. Sementara Matcha Paradise yang kutunggu-tunggu pun juga tiba dengan tampilan yang menggugah selera.

Alicia: (Menyeringai sambil mengangkat gelatonya), "Yay! Ini dia! Ayo kita cari tempat duduk diluar, mumpung cuaca hari ini cerah."

Julian: "Oke, ayo."

Kami beranjak menuju area duduk di luar, di mana sinar matahari sore menyinari tempat duduk yang menghadap ke jalan. Setibanya di sana, Alicia segera duduk dan mulai menyendok gelato pistachionya dengan lembut. Sesekali dia menutup mata menikmati rasa gelato yang meleleh dimulutnya.

Julian: (Melirik gelato milik Alicia), "Hmm... Tampaknya gelato milikmu itu enak."

Sebelum Alicia menjawab, tanpa ragu aku menggerakkan sendokku, mencoba menyendok pistachio dari mangkuknya dengan tujuan menggodanya. Namun, dia segera menarik mangkuk gelatonya menjauh, matanya melotot seperti anak kecil yang tidak rela mainannya diambil.

Alicia: (Dengan nada kekanak-kanakan), "Hei! Ini milikku! Kau sudah punya sendiri, kan?"

Julian: (Tertawa kecil), "Ayolah... Hanya satu suap saja..."

Alicia: (Cemberut), "Tidak boleh! Ini milikku. Kau makan saja gelato milikmu."

Aku hanya tertawa melihat ekspresinya yang lucu.

Alicia: (Sambil membuang muka), "Walaupun kau memaksa sekali pun, tak akan kuberikan."

Julian: "Dasar pelit..."

Alicia kemudian menghela nafas sebentar dan menoleh dengan wajah yang sedikit merona.

Alicia: "Baiklah... Tapi, aku yang akan menyuapimu."

Dia lalu mengambil sesendok Pistachio dari mangkuknya, kemudian mengarahkannya ke arahku.

Julian: (Mengangkat alis), "Kau serius?"

Alicia: (Menggoyang-goyangkan sendoknya), "Ayo cepat, sebelum aku berubah pikiran..."

Aku menuruti permintaannya, membuka mulut dan menerima suapan gelato dari Alicia. Rasa manis dan creamy itu terasa lezat saat menyentuh lidahku.

Julian: (Tersenyum), "Hmm... Enak sekali..."

Alicia kemudian tertawa puas disertai raut wajah senang.

Alicia: "Betulkan apa kataku... Pilihanku pasti selalu enak..."

Julian: (Melirik dengan wajah datar), "Iya... Iya..."

Sambil melanjutkan menikmati gelato, aku mencoba memahami satu hal yang pasti. Aku mengakui, kembalinya Emily ke kehidupanku membuat hatiku kembali merasakan kehangatan. Disisi lain, Alicia juga mulai menarik perhatianku.

Tapi, untuk sekarang, aku memutuskan untuk membiarkan semuanya berjalan apa adanya. Aku tidak perlu memilih di antara dua perasaan ini. Tidak ada komitmen, tidak ada keputusan yang harus aku ambil dan tidak terikat diantara keduanya. Aku hanya ingin menikmati hubungan persahabatan yang tulus tanpa embel-embel romansa yang bisa merumitkan segalanya, baik terhadap Emily maupun Alicia.

Bukankah lebih mudah begitu? Jadi, aku bisa menjalin kebersamaan dengan Emily maupun Alicia tanpa merasa bersalah. Walaupun ini terdengar tak adil, tapi bagiku inilah cara terbaik menjalani kehidupan saat ini.

Terlebih fokus ku saat ini bukan memilih antara Emily atau Alicia, melainkan pada ambisiku untuk mendirikan perusahaan milikku sendiri di kemudian hari. Aku ingin berdiri di puncak, membangun semuanya dari nol, melihat kesuksesan itu tumbuh dari kedua tangan dan ideku sendiri.

Aku harus mengejar ambisi terbesar dalam hidupku itu sebelum aku bisa memberikan hati ini sepenuhnya pada seseorang. Itulah misi ku sekarang.

Untuk itu, menjadi manajer di perusahaan besar ini hanya sebuah langkah awal bagiku, sebagai batu pijakan sementara untuk meraih sesuatu hal yang lebih besar nantinya.

[Bersambung ke BAB 12]