Chapter 12-1 Pengakuan Alicia
Setelah melewati hari yang panjang dikantor dengan berbagai macam kegiatan seperti rapat, memanajemen tim, dan memastikan semua laporan rekonsiliasi sudah selesai, akhirnya waktu pulang pun tiba. Bahkan siang tadi setelah rapat, aku juga sempat mengajak Alicia ke kedai es krim yang awalnya kupikir itu hanya sekadar momen santai biasa, malah membuatku sedikit baper dengannya.
Saat ini, jam menunjukkan pukul 5 sore. Satu per satu karyawan berpamitan untuk pulang. Keadaan kantor yang semula ramai kini perlahan menjadi sepi. Begitu pula dengan diriku. Aku segera mematikan laptop dan merapikan meja kerjaku.
Alicia terlihat mengayunkan tas ke bahunya, berjalan ke arahku dan menatap heran.
Alicia: "Tumben, kau buru-buru pulang dan tidak lembur, Bos?"
Julian: (Sambil merapikan dokumen diatas meja), "Tidak dulu. Hari ini, aku ingin pulang lebih awal."
Alicia kemudian duduk di kursi depanku. Dia menatapku dengan tatapan yang penuh perhatian.
Alicia: "Kenapa? Apa kau sedang tak enak badan? Mau kupijitin?"
Julian: (Tersenyum tipis), "Tidak, aku baik-baik saja, kok. Terima kasih. Aku hanya ingin segera pulang dan istirahat."
Padahal didalam hati, aku ingin segera bertemu dengan Emily yang berada dirumah.
Alicia: (Mengangkat alis, tanda masih ragu), "Kau yakin? Jika kau sakit, aku bisa menemanimu ke dokter."
Julian: (Menatap mata Alicia sambil tersenyum, mencoba untuk meyakinkannya), "Serius, Aku tidak apa-apa. Terima kasih sudah khawatir terhadapku."
Alicia: (Bergumam pelan), "Hmm..."
Julian: (Masih menatap Alicia), "Ada apa?"
Alicia berdiri dari tempat duduknya dan menghampiriku.
Alicia: "Biasanya kau suka pulang larut malam, bahkan sering tidur di kantor. Aku juga ingat pernah kena flu gara-gara menemanimu begadang disini."
Julian: (Tersenyum cerah), "Tenang saja, Alicia. Mulai sekarang aku akan mengurangi waktu lemburku dan tidur dirumah setiap hari."
Alicia: (Melirik curiga), "Tidur dirumah? Setiap hari? Apa aku tak salah dengar?"
Julian: (Melirik bingung ke Alicia), "Memangnya kenapa kalau aku mau tidur dirumah? Bukankah itu bagus? Jadi, kau tak perlu menemaniku lembur lagi."
Alicia: "Sebelum ini, kau itu suka sekali mengeluh padaku. Kau sering merasa kesepian dan tak ingin pulang. Menurutku aneh saja jika sekarang kau memasang wajah ceria dan ingin cepat-cepat pulang kerumah."
Julian: (Memalingkan muka), "Err... Itu... Tiba-tiba saja, aku jadi mudah kangen rumah."
Alicia menatapku dengan curiga, seakan dia bisa merasakan sesuatu yang kurahasiakan. Tatapannya membuatku sedikit gelisah, dan aku tahu dia mulai menyadari ada kejanggalan pada diriku.
Alicia: (Menyipitkan mata, curiga), "Kangen rumah? Apa jangan-jangan kau..."
Julian: (Sedikit was-was), "A-aku... K-kenapa?"
Alicia: (Mendekat dan berbisik ke telinga Julian), "Saat ini ada seseorang yang sedang menunggumu disana?"
Jantungku berdegup lebih cepat. Inilah yang paling aku khawatirkan, Alicia memiliki intuisi dan naluri yang tajam. Dia bisa membaca perubahan sekecil apapun dalam diriku.
Julian: (Gugup), "J-jangan konyol, Alicia? M-mana mungkin ada gadis dirumahku? S-selama ini aku tinggal sendiri, kan?"
Alicia: (Tertawa), "Hahahaha... Aku hanya bercanda, Bos. Itu lelucon khas dari drama romantis yang belakangan ini aku tonton."
Julian: (Ikut tertawa, namun sedikit cemas), "Oh.. H-hanya bercanda, ya? Hahaha..."
Alicia: (Tersenyum menyindir), "Benar... Tadinya, aku hanya ingin bercanda... Sampai kau mengakuinya sendiri... Julian."
Julian: (Sedikit panik), "Eh? Apa maksudmu?"
Sejenak Alicia terlihat menyeringai sambil menyilangkan tangan di dada. Dia tahu aku sedikit panik dan menatap serius padaku.
Alicia: "Hmm... Kau tahu, Bos. Aku pernah mendengar edukasi tentang psikologis manusia. Kalau seseorang bereaksi berlebihan seperti itu, pasti ada sesuatu yang sedang disembunyikan. Terlebih... Aku tadi hanya bilang 'seseorang', bukan 'gadis'."
Julian: (Terkejut dan panik) "Eh?! T-tunggu dulu! M-maksudku bukan begitu, Alicia! Itu cuma... Ya, aku cuma salah bicara!"
Alicia: (Menyipitkan mata, tersenyum mengejek), "Salah bicara, ya? Kau benar-benar payah soal ini, Julian. Jadi... Siapa cewek yang kau sembunyikan?"
Aku berusaha untuk tetap tenang menghadapi 'blunder' ku. Tapi kecurigaan Alicia membuatku semakin cemas dan takut jika tidak bisa menyembunyikan Emily dengan baik.
Julian: (Mencoba untuk bersikap tenang), "J-jadi kau curiga padaku? Alicia, dengarkan aku... Aku benar-benar cuma ingin istirahat dan kujamin tak ada siapa pun di rumah, oke?"
Tapi aku tahu, Alicia tidak mungkin percaya begitu saja.
Alicia: (Melangkah mendekat, dengan tatapan menggoda), "Istirahat di rumah? Hmm... Atau lebih tepatnya istirahat bersama seorang gadis dirumah. Tampaknya aku perlu melakukan inspeksi ke rumahmu. Aku mencium sesuatu yang tidak beres."
Julian: "Berhenti mencurigaiku, Alicia. Hanya karena aku salah bicara, bukan berarti ada orang dirumahku. Disamping itu, hari ini aku lelah sekali dan ingin tidur lebih awal."
Alicia: (Berlagak berpikir), "Ya, ya... Tapi tetap saja kau patut untuk dicurigai. Bayangkan, seorang pria dewasa berusia 26 tahun, mapan dan juga tampan. Bahkan kau jadi idola bagi banyak cewek-cewek selama ini. Tak mungkin kan, kalau kau sama sekali tak tertarik pada lawan jenis? Lalu menurutku, menyembunyikan satu atau dua cewek adalah hal yang lumrah untuk orang sepertimu."
Julian: (Mengalihkan pandangan), "K-kau pikir, aku orang seperti itu?"
Alicia: (Menyipitkan mata, menatap tajam ke Julian), "Alasan berikutnya, kau yang biasanya tak suka pulang ke rumah karena alasan kesepian, sekarang tiba-tiba mau pulang lebih awal. Selain itu, terlihat dari lamunanmu tadi siang saat kita di Frozen Delight. Aku yakin sekali kau pasti sedang memikirkan seorang wanita. Jadi, jangan salahkan aku kalau berpikir macam-macam."
Kemampuan deduksi Alicia memang hebat, dia dapat menganalisa diriku dengan baik. Hal itu membuatku sedikit kesulitan menutupi Emily darinya. Aku mencoba mencari alasan lain untuk bisa mengelabuhi Alicia.
Julian: "A-aku malu mengatakannya padamu. Se-sebenarnya di-dirumahku saat ini aku punya konsol game baru, m-membuatku ingin cepat memainkannya. J-jadi, tidak ada yang perlu kau risaukan. Mengerti?"
Alicia: "Konsol game? Ayolah... Julian. Aku sudah cukup lama mengenalmu dan paham akan sifatmu. Kau payah dalam hal menyembunyikan sesuatu. Sebelumnya kau bilang ingin tidur lebih awal karena lelah. Lalu, kenapa sekarang kau ingin bermain game? Apa kau tak tahu cara berbohong yang benar, Julian?"
Sejenak aku menelan ludah, tahu bahwa saat ini Alicia sedang serius dalam menginterogasiku. Dia tahu kesalahan dalam setiap kata-kata yang kuucapkan. Aku harus semakin berhati-hati dalam memilih kalimat.
Julian: (Berkeringat dingin), "Y-ya... M-mungkin aku memang payah dalam berbohong. Tapi kali ini, aku benar-benar lelah, Alicia. Aku butuh istirahat. Soal konsol game... A-aku ingin sedikit relaksasi pikiran sebelum tidur, haha..."
Alicia: (Bersuara lirih, sedikit menyindir), "Bagaimana kalau sekarang aku ikut ke rumahmu? Kita bisa bermain game bersama. Sekalian aku ingin lihat 'konsol game' barumu itu secantik aku atau tidak."
Julian: (Tersenyum kaku), "K-kau pikir konsol gameku itu perempuan? I-itu benar-benar hanya sebuah konsol game biasa, Alicia. Oh ya... Bukankah drama favoritmu akan tayang malam ini?"
Alicia: (Menyeringai tipis, dengan nada menggoda tapi diselipi rasa cemburu), "Tak masalah, aku bisa menontonnya lain kali di internet. Saat ini aku hanya khawatir, jika ada seseorang yang tiba-tiba datang kedalam hidupmu dan mencuri perhatianmu dariku... Atau mungkin bisa lebih dari itu..."
Namun, lama-lama aku jenuh dengan obrolan ini, dan ingin segera mengakhirinya.
Julian: (Menghela napas pelan), "Alicia, aku serius... Hari ini aku cuma mau pulang lebih awal dan istirahat. Itu saja."
Alicia: (Ngotot), "Tapi, kenapa aku merasa ada yang kau tutupi dariku!?"
Julian: (Sambil merapikan dokumen-dokumen terakhir di meja), "Aku tak menyembunyikan apapun. Aku hanya... Tidak mau memperpanjang hal-hal yang tak penting."
Alicia: (Menghela napas kesal, tatapannya masih menempel pada Julian), "Kau tahu, Julian, semakin kau menghindar, semakin aku merasa curiga."
Aku hanya terdiam, sengaja mengabaikan perkataan Alicia. Dengan cepat, aku mengambi tas kerjaku dan berjalan menuju pintu keluar, berharap bisa segera menghindar sebelum Alicia semakin menyulitkan diriku. Namun, ketika aku hendak keluar, Alicia berdiri di depan pintu menghalangi jalanku.
Alicia: "Julian... kau tidak bisa lari seperti ini."
Julian: (Sedikit jengkel), "Alicia, mau sampai kapan kau terus-terusan bersikeras seperti ini? Aku ingin pulang."
Alicia: (Dengan nada tegas), "Julian, jangan coba-coba berbohong padaku! Jika memang ada wanita dirumahmu, lebih baik kau bilang sekarang!"
Julian: (Merasa tertekan dan sedikit marah), "Hentikan sifat posesifmu, Alicia! Aku sudah capek!"
Alicia: (Menatap Julian dengan serius), "Posesif? Kau anggap aku posesif?! Ya! Aku memang posesif! Itu karena aku peduli padamu, Julian! Dan kalau memang tidak ada yang disembunyikan, kenapa kau terlihat resah?!"
Julian: (Sedikit emosi), "Karena dari tadi kau terus-terusan mendesakku dengan pertanyaan konyolmu itu!"
Alicia: (Berbicara sedikit keras), "Dengar Julian! Aku tidak ingin membesarkan masalah ini. Aku hanya minta kau terbuka padaku!"
Julian: (Bernada sedikit tinggi berusaha meyakinkan), "Dirumahku tidak ada siapa-siapa! Jika kau kesana pun, juga percuma! Kenapa kau susah sekali untuk dibilangin, sih?!"
Alicia: (Marah), "Aku hanya tidak ingin kau dekat dengan cewek siapa pun, Julian!"
Julian: (Membentak Alicia), "Lalu, apa hakmu mengatur kehidupanku! Lagipula hubungan kita itu hanya sebatas teman, Alicia! Kau juga harus bisa menghargai batasan yang ada diantara kita! Tidak semua hal bisa kau campuri! Paham!"
Alicia terdiam sejenak, tampak syok oleh ucapanku. Wajahnya menunduk, sorot matanya tampak kosong dipenuhi kesedihan yang tak bisa disembunyikan. Aku tahu, mungkin aku sudah terlalu keras padanya, tapi aku merasa tidak punya pilihan lain.
Aku terpaksa membentaknya bukan hanya karena sifat keras kepala Alicia yang membuatku kehilangan kesabaran, tapi juga karena aku terdesak. Aku tak tahu lagi bagaimana cara menghentikan pertanyaan-pertanyaannya yang semakin menekanku. Aku hanya ingin menjaga rahasia Emily dari Alicia. Karena hal itu bisa membuatnya salah paham dan menjadikan situasi semakin rumit.
Alicia: (Dengan suara pelan dan bergetar), "Kau... benar-benar tega, Julian. Apa salahku, sampai kau memarahiku seperti ini. Aku tak berniat mengatur hidupmu. Aku hanya ingin kau terbuka padaku, itu saja."
Julian: (Dengan nada yang lembut), "Aku tak bermaksud marah padamu, Alicia. Namun, aku juga tak bisa kau atur seperti itu. Kelak dengan siapa aku akan menyukai seseorang, itu akan jadi urusan hatiku nanti."
Alicia: (Menatapku dengan mata yang mulai berkaca-kaca), "Jadi, selama ini kau hanya menganggapku sekedar teman saja?"
Julian: "Alicia, aku tak bermaksud menyakitimu. Aku hanya..."
Alicia: "Apa sekarang dihatimu ada perempuan lain? Jawab jujur, Julian."
Julian: "Bukan, Alicia. Tapi, saat ini aku sedang fokus pada hal-hal lain. Kumohon mengertilah..."
Alicia: "Aku... Aku kira kita lebih dari itu, Julian. Selama ini, aku berpikir... Mungkin ada sesuatu di antara kita, sesuatu yang lebih dari sekadar 'teman.' Aku selalu ada di sini untukmu, mendukungmu, menemanimu... Dan aku melakukan semua itu karena aku menyukaimu!"
Suaranya sedikit naik di akhir kalimatnya, mengungkapkan perasaan yang selama ini terpendam. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu melanjutkan dengan lebih pelan dan lembut, seolah takut aku tak mengerti.
Alicia: "Aku ingin menjadi seseorang yang benar-benar ingin berada di sampingmu, melewati semua hal bersamamu. Dan kau... Kau melihatku hanya sebagai teman?"
Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa. Kata-katanya menusuk langsung ke dalam hatiku, membuatku merasa seperti orang yang egois. Aku bisa melihat air mata yang mulai menggenang di sudut matanya, tapi dia menahannya, berusaha tetap tegar di depanku.
Alicia: (Mencoba tersenyum, meski sulit), "Kau benar, mungkin aku memang terlalu berharap. Tapi, Julian... Kau harus tahu... Perasaanku ini nyata kepadamu. A-aku... Aku mencintaimu..."
Aku tak mampu merespon, hanya bisa menatapnya. Aku merasa bingung dan bersalah, karena saat ini didalam hatiku telah tercampur perasaan kepada Emily yang mulai tumbuh kembali.
Aku menimbang situasi ini didalam pikiranku. "Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku menerimanya sekarang? Tapi, aku tidak ingin memberinya harapan palsu. Atau aku harus menolaknya? Jika kulakukan itu, aku hanya akan menambah rasa sakit hatinya."
Julian: (Merasa ragu untuk menjawab), "Alicia... Aku..."
Alicia: (Menghela napas), "Kau tak perlu menjawabnya, Julian. Aku hanya ingin kau tahu isi hatiku sebenarnya. Tapi sepertinya, aku memang tak cukup berarti untukmu. Maaf... Kalau aku mengganggumu selama ini..."
Setelah mengutarakan perasaanya, Alicia seketika keluar dari ruangan dengan tangis di wajahnya. Langkahnya cepat, seakan ingin segera menghindar dariku. Aku memanggilnya, mencoba menghentikannya.
Julian: "Alicia! Tunggu!"
Tapi dia tidak berbalik dan terus berjalan meninggalkan ruang kerja kami, tanpa menoleh kebelakang.
Di dalam hati, aku meminta maaf. "Maafkan aku, Alicia. Aku tak bisa mengatakan yang sebenarnya. Untuk saat ini, Emily masih menjadi prioritas ku dan belum saatnya kau tahu."
-----
Chapter 12-2 Sebuah ciuman
Diluar sifatnya yang keras kepala, konyol dan kekanak-kanakan, sebenarnya Alicia adalah gadis yang baik. Selama ini dia selalu ada untukku, baik sebagai asisten manajer yang membantu pekerjaanku, maupun sebagai teman yang selalu menghibur saat aku kesepian maupun sedang sedih. Aku tak pantas membuatnya menangis. Apalagi, aku sering bergantung padanya dalam banyak hal.
Aku segera bergegas mengejarnya. Langkah kakiku membawaku tiba ke basement, dimana Alicia sudah hampir sampai di mobilnya. Dia sempat menoleh saat tahu aku mengikutinya. Dari kejauhan terlihat jelas kesedihan di wajahnya.
Aku mendekati Alicia dan mencoba meraih tangannya. Namun dia langsung menampik, seolah tak ingin disentuh. Padahal niatku hanya ingin berbicara dan meminta maaf.
Alicia: (Menangkis tangan Julian), "Lepaskan aku... Untuk apa kau mengejarku kemari?"
Suaranya terdengar lebih lemah dari sebelumnya. Dia tidak lagi 'ngambek lucu' seperti biasanya. Kini, dia benar-benar larut dalam perasaan sedihnya.
Julian: (Menatap Alicia dengan wajah menyesal), "A-aku ingin meminta maaf, Alicia..."
Alicia tak menghiraukanku dan segera membuka pintu mobilnya, seolah ingin menghindar dariku sejauh mungkin. Namun, sebelum dia sempat masuk, aku secara refleks memeluknya. Dengan rasa bersalah yang mendalam, aku meminta maaf padanya.
Julian: (Memeluk sambil berbisik ditelinga Alicia), "Maafkan aku, Alicia... Aku sudah membentak dan mengatakan hal yang membuatmu sedih. Pikiranku sedang lelah saat ini, jadi kumohon maafkan aku."
Untuk sesaat, Alicia tampak kaget saat kupeluk. Matanya melebar, tubuhnya sedikit tegang. Dia sempat memberontak, tapi aku tetap tak melepaskan pelukanku.
Tak lama kemudian, Alicia menyerah pada dekapanku. Tubuhnya menyender di bahuku dan membalas memelukku dengan erat, seakan dia tidak ingin melepaskan diriku.
Aku bisa merasakan Alicia mulai menangis di dadaku. Tangisannya terdengar samar. Akan tetapi aku tahu, bahwa air matanya ini berasal dari perasaan yang telah lama dia pendam.
Dalam pelukan itu, mulutku terkunci tidak mengatakan apa-apa. Yang kulakukan hanya mengelus rambut panjangnya ditengah Isak tangisnya, berharap dapat menenangkan hatinya.
Setelah menangis yang cukup lama, suara napas Alicia mulai kembali tenang. Aku melepaskan pelukanku perlahan, melihat wajahnya yang sembap dengan mata yang sedikit bengkak. Alicia mengusap air matanya, lalu menatapku dengan wajah cemberut. Dengan sedikit sikap manja, dia mulai memukul-mukul dadaku dengan pelan.
Alicia: (Dengan nada manja, namun sedikit serak), "Kamu jahat, Julian! Kamu nggak mengerti perasaanku. Sudah lama aku suka sama kamu, tapi kamu malah begini!"
Aku bersyukur, dia sudah kembali lagi menjadi Alicia yang 'kolokan' seperti biasanya.
Julian: (Dengan nada bercanda), "Dasar cengeng..."
Alicia: (Menekuk muka cemberut, pukulan Alicia semakin keras), "Iihh... Aku benar-benar benci sama kamu..."
Julian: (Tersenyum tipis sambil menahan pukulan Alicia), "Haha... Maaf, Alicia... Aku tak bermaksud bikin kau sedih."
Alicia: (Masih cemberut, memukul pelan), "Iya, tapi tetap aja kamu nggak peka. Masa aku harus bilang terang-terangan baru kau mengerti? Kau memang nggak peduli sama aku."
Julian: (Menahan tangan Alicia, lalu menatapnya dengan lembut), "Aku tahu... Tapi aku janji, akan mencoba mengerti perasaanmu lebih baik. Jadi jangan ngambek ya, cantik."
Alicia: (Berhenti memukul, sedikit menunduk sambil bergumam), "Kamu tetap aja jahat..."
Julian: (Mencoba menghibur sambil mengelus kepalanya), "Aku peduli padamu, Alicia. Cuma... Butuh waktu saja."
Alicia: (Melirik sekilas, sedikit tersenyum cemberut), "Hmph... Kalau kau memang peduli, kenapa tak mau jujur padaku?"
Aku menghela napas, bersiap untuk argumen panjang lagi, tetapi yang dia katakan berikutnya benar-benar mengejutkanku.
Julian: (Menghela nafas), "Mulai ngeyel lagi, deh? Ya sudah... Sekarang kau mau aku melakukan apa supaya kau percaya?"
Alicia: (Berbisik pelan, wajahnya sedikit merona), "Cium aku..."
Julian: (Terkejut, hampir tidak percaya), "Hah?!"
Alicia: "Kalau kau memang tak memikirkan wanita lain, seharusnya kau bisa menciumku tanpa ragu."
Julian: (Masih bingung), "T-tunggu sebentar, kau serius?!"
Alicia membuang tatapan matanya ke samping, pipinya semakin memerah. Dia menggigit bibir bawahnya sebelum mengangguk pelan.
Alicia: "A-aku serius..."
Jantungku mulai berdegup kencang di tengah situasi ini. Lalu, aku mundur sedikit menjaga jarak.
Julian: (Menggaruk kepala), "J-jangan bercanda, Alicia... Ini bukan persoalan wanita lain, tapi lebih mengarah ke hati. Apalagi... Ciuman?"
Alicia: (Mengangkat bahu sedikit, nadanya santai), "Aku tak peduli kau menganggap hubungan kita seperti apa, tapi aku hanya ingin kau menciumku sekarang. Apa itu aneh?"
Julian: "Dilihat darimana pun, jelas itu aneh. Kau kira ciuman itu hal yang biasa, ya?"
Alicia: (Cemberut), "Jadi, kau tak mau menciumku?"
Julian: (Tersipu), "B-bukannya aku tak mau, tapi... Kau tahu kan hal seperti itu harus didasari dengan perasaan dan..."
Sebelum aku sempat menyelesaikan ucapanku, tiba-tiba Alicia mendekat dengan cepat. Bibir lembutnya menyentuh pipiku. Ciuman singkat itu terasa hangat dan lembut, membuatku terdiam sejenak, seakan waktu berhenti. Jantungku berdetak lebih cepat, dan aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa.
Alicia: (Tersenyum lembut, dengan wajah yang masih merona), "Dasar cowok lelet."
Julian: (Tersentak, wajahku memerah sambil memegang pipi), "Eh! A-apa yang kau lakukan?!"
Alicia: (Berwajah teduh sambil tersenyum manis), "Kau bilang kalau ciuman mewakili perasaan, kan? Itu perasaanku padamu."
Aku menatapnya dengan terkejut. Alicia, yang biasanya bertingkah seperti anak kecil, kini bisa seagresif ini. Bahkan, ini baru pertama kalinya aku melihat sisi feminimnya yang tak pernah dia perlihatkan.
"Sialan... Kalau terus-terusan seperti ini, aku benar-benar bisa dibuat jatuh cinta padanya." Gumamku dalam hati.
Aku menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri dari gejolak yang baru saja muncul.
Julian: (Dengan suara pelan), "Alicia... A-aku tak tahu harus bagaimana menanggapi situasi ini? A-aku bingung... Ini... Diluar perkiraan..."
Alicia: (Menatap lembut Julian), "Apa yang kau khawatirkan?"
Aku termenung sejenak ditengah dilema romansa ini. Selain Emily, pikiranku juga dipenuhi oleh impian besar yang ingin kucapai. Aku hanya tidak ingin fokusku terpecah oleh hal-hal lain sebelum itu.
Julian: "Aku belum mau berkomitmen pada sebuah hubungan yang serius, Alicia. Tapi, itu bukan berarti aku tak peduli denganmu."
Alicia: (Menatap heran), "Kenapa?"
Julian: "Sekarang ini, aku hanya ingin berkonsentrasi mengembangkan karir dan bisnisku demi mengejar cita-citaku. Aku takut, hubungan semacam ini nantinya justru akan menghambat semuanya."
Alicia: (Menatap Julian penuh pengertian, lalu tersenyum kecil), "Aku mengerti. Tapi... Bukankah lebih menyenangkan jika seandainya kau punya pacar yang selalu berada di sisimu? Yang akan mendukungmu disaat apapun yang terjadi. Baik suka maupun duka. Aku hanya ingin ada di posisi itu untukmu, bukan menjadi penghalang mimpi-mimpimu. Di samping itu, ambisimu pun tak akan hilang hanya karena kau punya seseorang yang sayang sama kamu."
Aku terdiam sejenak, memahami setiap perkataannya. Dia benar, memiliki seseorang yang mendukung bisa membantuku melewati setiap tantangan, meskipun hanya sebatas dukungan moral. Tapi pertanyaannya, siapa? Alicia atau Emily?
Lagipula aku tidak bisa sembarangan dalam memilih pasangan. Aku perlu menilai dari beberapa aspek sebelum memutuskan, karena aku tak mau salah dalam membuat pilihan yang akan mempengaruhi masa depanku kelak.
Julian: (Menatap Alicia, merasa sedikit tenang), "Tapi aku butuh waktu, Alicia. Aku tak mau terburu-buru mengambil keputusan."
Alicia: (Bernada lembut), "Tidak masalah jika kau belum bisa menerima ku saat ini, Julian. Aku juga tak akan memaksamu. Yang penting, kau sudah tahu isi hatiku."
Entah kenapa, untuk saat ini dia sama sekali terlihat berbeda. Tak seperti Alicia yang selama ini kukenal, si tukang ngotot dan kekanak-kanakan. Dia terlihat lebih anggun dan menawan saat menunjukan sisi 'wanitanya'.
Alicia: (Tersenyum), "Tapi, perlu kau tahu, Julian. Aku tak akan pernah menyerah. Akan kubuat kau jatuh cinta padaku. Tunggu saja..."
Julian: (Menatap mata Alicia), "Alicia..."
Aku merasakan getaran di hatiku terhadap Alicia semakin kuat setelah mendengar keyakinan hatinya. Apalagi saat menatap mata indahnya, muncul gejolak perasaan dari dalam diriku yang tak bisa lagi kutolak. Untuk pertama kalinya, aku melihat Alicia sebagai seseorang yang lebih dari sekadar teman dan aku ingin memilikinya.
Disaat mata kami berdua saling bertemu, secara perlahan Alicia mendekatkan dirinya kepadaku. Aku merasakan jarak di antara kami semakin mengecil. Dia memejamkan mata, sementara bibir manisnya perlahan mendekati wajahku. Dalam momen itu, aku hanya terdiam, pasrah terhadap perasaan yang mengalir di dalam hatiku.
Aku juga memejamkan mata saat bibirnya semakin dekat ke mulutku. Semua pikiran tentang karir dan ambisi tiba-tiba menghilang begitu saja. Bahkan, bayang Emily pun juga ikut hilang dari pikiranku. Rasanya, hatiku benar-benar telah dia curi.
Namun, sebelum bibir kami benar-benar bersentuhan, terdengar suara langkah kaki dari arah belakang memecah keheningan. Sontak, aku dan Alicia saling menjauh dengan cepat. Detik itu, aku langsung tersadar dari situasi yang hampir melampaui batas hubungan kami.
Aku menoleh dan melihat Bu Rina, salah satu staff eksekutif tampak sedang menuju mobilnya. Bu Rina merupakan karyawan yang terkenal sebagai tukang gosip dan sialnya, dia melihat kami.
Rina: (Dengan nada humor dan tawa kecil), "Wah, Bos! Kalau mau bermesraan, jangan di basement. Pindah ke tempat yang lebih romantis, lah?"
Aku terkejut mendengar ucapannya, dan tanpa sadar langsung mundur satu langkah dari Alicia. Wajahku memerah, dan Alicia terlihat panik.
Julian: (Tergagap, mencoba menjelaskan), "B-bukan begitu, Bu Rina... Kami hanya... Sedikit berbincang-bincang."
Rina: (Tertawa lagi), "Iya, iya, saya paham. Tapi saran saya tetap sama. Pindah ke tempat yang lebih privasi. Mungkin kayak di hotel lebih cocok, biar enak kalau mau buat pelukan sama ciumannya. Saya permisi dulu ya, Bos, Mbak Alicia."
Dia masuk ke mobilnya sambil terkekeh, meninggalkan kami berdua dalam keheningan yang canggung.
Julian: (Menggaruk kepala), "Besok pasti akan ada gosip aneh yang menyebar soal kita..."
Alicia, dengan wajah yang masih memerah, melirik ke arahku.
Julian: (Menyadari lirikan dari Alicia), "A-ada apa?"
Alicia: (Tersenyum menggoda sambil merangkul lengan Julian), "Saran dari Bu Rina boleh juga. Daripada kau pulang ke rumah... Yuk, ke hotel saja. Kita bisa melanjutkan yang barusan disana... Sambil nanti... Kita bisa 'lembur' bersama."
Julian: (Wajah memerah, gugup, dan tegang), "A-apa?! N-ngapain kau tiba-tiba ngomong bodoh seperti itu?!"
Alicia: (Masih tersenyum menggoda), "Kenapa? Grogi, ya?"
Julian: (Kikuk), "D-dasar ngawur! M-mana mungkin aku... Ah, sudahlah. Kau memang suka sekali menggoda, Alicia."
Alicia tertawa terbahak-bahak melihat ekspresiku saat ini. Dia kemudian melepaskan lenganku.
Alicia: (Tertawa), "Hahaha! Julian, wajahmu kok jadi merah sekali! Santai saja, aku hanya bercanda kok. Aku cuma suka lihat ekspresi lugumu."
Julian: (Masih canggung), "Dasar, kau ini. Bercandamu kadang berlebihan."
Alicia: (Tersenyum jahil), "Ya ampun, jangan terlalu serius dong. Kau itu laki-laki dewasa, masih saja gagap menanggapi lelucon seperti itu."
Aku hanya menggeleng pelan, mencoba tersenyum meski rasa canggung belum hilang sepenuhnya. Lalu, Alicia masuk dan menutup pintu mobilnya.
Alicia: (Membuka jendela mobil), "Sampai jumpa, Bos! Dan ingat, jangan sampai kau asyik dengan cewek lain saat aku tidak ada, ya!"
Julian: "Iya... Iya... Dasar bawel."
Alicia menyalakan mesin mobilnya dan segera melaju keluar dari basement. Aku menatap kendaraannya yang semakin menjauh, diiringi dengan perasaan dilema. Rasanya semua itu terjadi begitu cepat.
Setelahnya, aku masuk dan duduk didalam mobil ku sendiri. Aku menghela napas panjang mencoba menenangkan pikiranku yang kusut. Hatiku bimbang oleh dua wanita yang kini hadir dalam jiwaku.
Di satu sisi, aku tak bisa membohongi diriku. Ungkapan cinta yang datang tiba-tiba dari Alicia, memaksa perasaanku untuk semakin menyukainya. Bahkan, hampir saja aku benar benar dibuat jatuh cinta padanya. Disisi lain, perasaan lama ku terhadap Emily kini kembali muncul membawa kenyamanan dalam diriku.
"Kalau kupilih Emily, Alicia pasti akan terluka. Jika kupilih Alicia, itu sama halnya membohongi perasaanku sendiri, karena hatiku lebih condong ke Emily. Ataukah harus kupilih keduanya? Membagi perasaan yang sama kepada Emily dan Alicia. Lalu, bagaimana aku bisa menjalani semuanya tanpa ada yang tersakiti? Apa yang harus ku lakukan sekarang? Padahal aku juga perlu menata masa depan demi mengejar impianku." Pertanyaan itu berputar di kepalaku tanpa henti.
Kini, aku terjebak di antara dua hati dan tak tahu pilihan mana yang harus kuambil. Ditambah mungkin akan ada rumor salah paham yang bakal tersebar di antara para karyawan gara-gara aku kepergok dengan Bu Rina.
Sekali lagi, aku menghela nafas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum menyalakan mesin mobil. Pikiranku masih berkecamuk dengan perasaan yang tak menentu. Entah kemana arah hatiku akan berlabuh, atau bagaimana aku akan mewujudkan mimpiku ditengah konflik romansa ini. Yang jelas, aku tak bisa lari dari kenyataan ini.
Aku pun segera mengemudikan mobilku keluar dari basement, menatap jalanan yang sudah gelap di depanku.
Aku tersadar bahwa pada akhirnya, aku harus mengambil langkah maju menghadapi masa depan yang penuh dengan misteri. Baik perihal cinta maupun ambisi yang harus kuhadapi.
Apa yang akan terjadi didalam hidupku nanti? Siapa yang tahu...
[Bersambung ke BAB 13]