CHAPTER 7-1 PERTEMUAN AWAL
Malam itu, saat aku mulai terlelap tiba-tiba aku terbawa ke masa lalu melalui mimpi yang sangat nyata. Dalam mimpi itu, aku merasa seperti anak kecil lagi, kembali ke masa saat kami masih di sekolah dasar.
----------
FLASHBACK
----------
[Pemandangan sekolah terlihat begitu akrab. Kelas dengan dinding berwarna pudar, lapangan luas dengan bendera berkibar di tengahnya, dan deretan meja kayu yang pernah menjadi saksi bisu hari-hari kami di sana.
Aku melihat diriku yang lebih muda, berusia sekitar 8 tahun, duduk di bangku kayu di pojok kelas. Waktu itu, aku tidak punya teman dan lebih suka menyendiri, menghabiskan waktu dengan bermain sendiri atau membaca buku.
Hari itu, ada seorang murid baru di kelas ku. Namanya Emily. Dia baru saja pindah ke sekolah dasar tempat aku bersekolah. Emily berdiri di depan kelas, mengenakan seragam sekolah yang rapi dengan rambut pendeknya yang dipotong lurus di atas bahu.
Dia terlihat begitu pemalu, suaranya pelan saat memperkenalkan diri. Namun, ada beberapa anak yang mulai berbisik dan menyoraki "tampang culun" karena Emily memakai kacamata besar yang menutupi sebagian wajahnya. Saat itu, Emily hanya tertunduk berusaha untuk mengabaikan ejekan itu. Bagiku, dia terlihat seperti gadis yang canggung, dan pemalu.
Saat waktu istirahat tiba, aku memperhatikan Emily lagi. Seperti yang kuduga, dia duduk sendirian di sudut taman sekolah, menundukkan kepala sambil memegang bekalnya. Anak-anak lain sibuk bermain, berlari-lari, atau bercanda dengan teman-teman mereka, tapi Emily tampak terpisah, merasa asing di tempat baru.
Aku tahu bagaimana rasanya sendirian. Selama ini, aku juga dijauhi karena keluargaku yang miskin, membuatku merasa berbeda dari teman-teman yang lain. Mungkin itulah yang membuatku merasa ada sesuatu yang sama di antara kami.
Dengan sedikit keraguan, aku memberanikan diri mendekati Emily. Saat aku menghampirinya, dia langsung terkejut melihatku. Matanya terlihat waspada di balik kacamatanya yang besar, menunjukkan bahwa dia takut atau mungkin cemas kalau aku akan memperlakukannya seperti anak-anak lainnya.
Julian: (Sambil menunjuk tempat di sebelahnya), "Hei, boleh aku duduk di sini?"
Dia tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia hanya mengangguk pelan, masih tidak mengucapkan sepatah kata pun, meski aku bisa merasakan ketegangannya.
Aku duduk di sebelahnya, mencoba membuat suasana jadi lebih ringan.
Julian: "Nama kamu Emily, kan? Aku Julian. Salam kenal."
Namun, Emily hanya menatap bekalnya, tidak memberikan respon apa pun. Aku merasa sedikit kecewa atas sikap dinginnya, tapi aku juga tahu bahwa mungkin dia butuh waktu.
Julian: (Tersenyum kecil), "Tak apa kalau kamu belum mau bicara. Aku cuma mau berteman, itu saja."
Dia terlihat seperti anak yang tertutup, dan mungkin takut diejek lagi setelah apa yang terjadi tadi pagi. Aku mencoba mencari cara untuk membuatnya merasa lebih tenang kepadaku.
Dengan sedikit percaya diri, aku berkata.
Julian: "Anu... Rambut pendek dan kacamatamu itu terlihat bagus, lho. Aku suka."
Emily tampak terkejut mendengar pujianku. Matanya yang besar melebar, dan untuk sesaat, aku melihat senyum kecil muncul di bibirnya. Namun, dia masih terdiam, seolah kata-kataku itu membuatnya bingung atau bahkan tidak percaya.
Julian: "Serius... Kamu terlihat unik, dan itu membuatmu berbeda dari yang lain. Aku rasa itu keren."
Dia menundukkan kepala lagi, kali ini berusaha menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah. Saat aku melihatnya, aku merasakan ada harapan kecil dalam diriku.
Akhirnya dia mengangkat kepalanya, dan untuk pertama kalinya, dia bertanya dengan suara kecilnya.
Emily: "Kamu... Beneran suka?"
Aku mengangguk, mencoba menjaga nada suaraku tetap santai.
Julian: "Iya, kenapa tidak? Kamu terlihat seperti seseorang yang punya kepribadian menarik."
Emily tersenyum lebih lebar, dan aku bisa melihat ketegangan di wajahnya sedikit berkurang. Meskipun dia masih terlihat canggung, setidaknya aku berhasil membuatnya berbicara.
Dengan senyum kecil yang masih tersisa di wajahnya, Emily akhirnya mengumpulkan keberanian untuk memperkenalkan diri. Dia mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan.
Emily: "Namaku Emily. Lengkapnya Emily Ayunda Dewi. Aku baru pindah ke sini dari kota lain."
Matanya yang cerah kini sedikit lebih berani saat dia menatapku, meskipun raut wajahnya masih menunjukkan rasa malu.
Julian: (Sambil Tersenyum), "Senang bertemu denganmu, Emily. Namaku Julian Tri Bagaskara. Panggil saja, Julian."
Aku merasa lega saat dia mulai membuka diri.
Julian: "Kalau kamu butuh teman, aku ada di sini. Kita bisa bermain bersama saat istirahat."
Emily mengangguk pelan, meski terlihat masih sedikit canggung.
Emily: "Terima kasih, Julian. Aku... Aku berharap bisa punya teman di sini."
Julian: "Bagaimana kalau kita main di taman setelah sekolah? Aku punya beberapa permainan seru yang bisa kita coba."
Emily terlihat berpikir sejenak, matanya berbinar-binar penuh harapan.
Emily: "Baiklah! Aku suka bermain!"
Dia bersemangat, suara kecilnya terdengar ceria meskipun dia masih tampak malu.
Saat bel berbunyi menandakan istirahat berakhir, kami berdua menjadi sedikit lebih mengenal.
---------
CHAPTER 7-2 UPACARA BENDERA
Berlanjut di sebuah momen senin pagi di sekolah dasar, saat semua murid mulai bersiap-siap untuk upacara bendera, aku memperhatikan ada yang aneh. Di antara keramaian para murid yang sudah berbaris rapi di lapangan, Emily masih duduk diam di mejanya dengan wajah muram. Aku mendekatinya, merasa ada yang salah.
Julian: "Kalau masih di sini nanti bisa dimarahi Pak Guru, lho."
Aku menatap Emily sambil mencoba bercanda, berharap bisa mengajaknya berdiri. Namun, Emily hanya menggeleng pelan.
Emily: (Bersuara kecil), "Aku mau di sini saja."
Aku bingung, tapi tak ingin membiarkan Emily tertinggal.
Julian: "Jangan, kau bisa dihukum kalau tak ikut upacara."
Aku kemudian mencoba menarik tangannya dengan lembut, mengajaknya segera ke lapangan, tapi Emily malah menjerit pelan dan menarik tangannya kembali. Wajahnya berubah sedih, dan tanpa peringatan, dia mulai menangis.
Julian: (Memasang ekspresi keheranan), "A-ada apa sih?"
Dengan suara tersendat-sendat di antara tangisnya, Emily akhirnya mengaku.
Emily: "A-aku… Lupa tidak membawa topi upacara ku…hiks... hiks…"
Aku tersenyum lega, menyadari bahwa masalahnya tak sebesar yang kupikirkan.
Julian: "Oh, itu masalahnya."
Aku segera melepaskan topi usang ku dan memakaikannya ke kepala Emily. Dia menatapku dengan terkejut, matanya masih basah oleh air mata.
Emily: "Tapi... Nanti kau akan dihukum."
Aku hanya tersenyum meyakinkannya.
Julian: "Tenang saja, itu bukan masalah, kok. Yang penting kau bisa ikut upacara tanpa khawatir, ayo..."
Emily masih tampak ragu, tapi akhirnya dia berdiri dan kami berdua berjalan menuju lapangan. Benar saja, seperti yang kuduga, aku dihukum karena tidak memakai topi upacara.
Aku disuruh berdiri memberi hormat kepada tiang bendera selama upacara berlangsung. Suara tawa terdengar dari beberapa murid, tapi aku tak peduli. Bagiku sekarang, Emily bisa mengikuti upacara dengan tenang.
Setelah upacara selesai, Emily menghampiriku. Dia mengembalikan topiku dengan wajah yang penuh rasa bersalah.
Emily: (Bersuara pelan dan malu-malu), "Terima kasih, Julian... Dan maaf, gara-gara aku, kamu tadi dihukum..."
Aku hanya tertawa kecil dan menepuk pundaknya.
Julian: "Jangan khawatir, Emily. Aku senang bisa membantumu. Kita teman, kan?"
Emily: (mengangguk), "Uhm... Kita teman."
Emily mungkin pemalu dan canggung, tapi dia adalah temanku satu-satunya yang kumiliki.
-------
CHAPTER 7-3 KEMBALIKAN!
Momen berlanjut, di suatu hari saat bel tanda istirahat berbunyi. Suasana kelas seperti biasa, anak-anak berlarian keluar kelas untuk menuju ke kantin atau bermain di halaman sekolah. Namun, ketika aku berjalan melewati lorong menuju lapangan, ada pemandangan tak menyenangkan menarik perhatianku.
Disana, didekat tembok belakang sekolah aku melihat Emily di kelilingi oleh beberapa anak laki-laki. Salah satu dari mereka memegang buku Emily dan mengangkatnya tinggi-tinggi, sementara yang lain mengejeknya.
"Anak culun... Apa kau akan menangis seperti bayi? Ayo mengadu ke mama papamu, hahaha..." Ejek salah satu dari mereka sambil tertawa.
Emily dengan wajah ketakutan dan air mata mengalir, memohon.
Emily: "Kumohon... Kembalikan bukuku... Tolong..."
Entah kenapa, aku merasakan kemarahan didalam diriku. Tanpa berpikir panjang, aku berlari menghampirinya.
Julian: (Berteriak), "Hei!! Kembalikan bukunya!"
Anak-anak itu segera menoleh menatapku, tertawa kecil, tak terintimidasi.
"Kenapa? Mau jadi pahlawan, ya? Coba saja ambil kalau kau bisa!" Jawab salah satu dari mereka sambil menggoyangkan buku itu diatas kepala.
Tak banyak bicara lagi, aku segera maju mencoba merebut buku itu dari mereka. Tentu saja mereka tak mau mengalah begitu saja. Salah satu dari mereka mendorongku, membuatku kehilangan keseimbangan dan jatuh. Amarahku semakin memuncak dan membalas mendorong mereka.
Akibatnya, perkelahian kecil tak terelakkan. Tangan dan kaki kami saling beradu, suara teriakan dan dorongan semakin memanas. Namun, ditengah kekacauan itu, aku berhasil mengambil buku Emily, dan tiba-tiba terdengar suara keras menginterupsi.
"Apa yang kalian lakukan?!" Suara salah satu guru terdengar dari arah belakang.
Kami semua terdiam, terpaku. Guru itu berjalan ke arah kami, dengan wajah marah. Tanpa perlu mendengar penjelasan, dia langsung menyuruh kami ke ruang BK untuk mendapatkan hukuman.
Meski tahu aku akan dihukum, aku tak peduli. Aku menghampiri Emily sejenak mengembalikan bukunya sebelum berjalan ke ruang BK. Aku mencoba tersenyum meski bajuku kusut dan kotor.
Julian: "Ini bukumu."
Emily yang masih terisak mengambil bukunya dengan tangan gemetar.
Emily: "T-terima kasih, Julian..."
Aku pun segera berjalan ke ruang BK, untuk menerima konsekuensi perkelahian. Emily berjalan disamping menemaniku, menggenggam erat bukunya. Dan meskipun wajahku terasa sakit akibat beberapa pukulan, ada perasaan bangga yang sulit dijelaskan.]
------------
[Untuk cerita Flashback masih bersambung ke BAB 8]