Chereads / Kacamata Untuk Emily / Chapter 8 - WARNA MASA LALUKU (PART 2)

Chapter 8 - WARNA MASA LALUKU (PART 2)

CHAPTER 8-1 HITAM

[Chapter ini masih menceritakan lanjutan kisah Flashback masa lalu Julian dari BAB 7]

[Mimpi ku malam itu masih berlanjut, namun kali ini membawaku kepada kenangan masa kelamku saat SMA, dimana semuanya mulai berubah. Teringat jelas saat Emily, yang dulu selalu ceria dan ramah, perlahan mulai menjaga jarak dariku. Dia mulai lebih jarang mengajak bicara atau tersenyum seperti biasanya. Tatapannya juga menjadi semakin dingin.

Hari demi hari, dia terlihat semakin cuek, tak menghiraukan ku. Saat aku mencoba mengajaknya bicara, dia selalu menghindar. Bahkan terkadang, dia memaki-maki ku tanpa alasan yang jelas, melempar kata-kata kasar yang melukai perasaanku seperti menyebutku bodoh atau tidak berguna.

Suatu hari, tak sengaja aku bertemu dengannya di atas atap sekolah saat istirahat siang. Emily duduk sendirian di pojok, punggungnya membungkuk seolah menanggung beban yang berat. Wajahnya terlihat begitu sedih, bahkan ada bayangan putus asa di matanya.

Hatiku tersentuh melihatnya seperti itu, meskipun aku tahu, akhir-akhir ini dia sudah begitu menjauhiku. Namun, aku tetap ingin mendekatinya, menghiburnya, dan juga memahami apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya.

Dengan ragu, aku melangkah mendekat, mencoba untuk berbicara dengannya.

Sementara itu, di tanganku memegang sepotong roti yang baru saja ku beli dari kantin, berniat kuberikan padanya.

Julian: "Emily..."

Emily masih membisu, tak merespon kehadiranku."

Julian: "Kau terlihat seperti belum makan. Aku membawakan mu ini. Terima lah..."

Aku menyodorkan roti itu padanya, berharap bisa membuatnya tersenyum lagi.

Namun, yang kudapat justru sebaliknya. Dia menatap roti itu dengan tatapan penuh kebencian. Tanpa peringatan, dia menampar roti itu dari tanganku hingga jatuh ke lantai.

Emily: "Aku tidak butuh pemberian dari orang miskin sepertimu!"

Aku terpaku saat dia membentak ku. Tidak menyangka kata-kata itu akan keluar dari mulutnya yang membuat dada ini terasa sesak.

Sebelum aku bisa berkata apa pun, Emily bangkit dari duduknya dan mencengkeram bajuku dengan kuat, wajahnya penuh amarah.

Emily: "Semua ini salahmu, Julian! Hidupku hancur karena kau! Kau dan kemiskinanmu yang membuat semuanya jadi buruk! Jika saja nasibmu tidak seperti ini! Maka, aku..."

Aku hanya bisa terdiam dan tidak tahu maksud dari perkataannya. Aku juga tidak tahu mengapa dia begitu marah padaku saat ini. Yang kutahu, dia mengatakan hal yang membuat hatiku remuk seperti ditusuk ribuan jarum.

Aku ingin membela diri, bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, bibirku terasa seperti terkunci.

Emily akhirnya melepaskan cengkeramannya dan pergi begitu saja, meninggalkanku sendirian di atap sekolah dengan roti yang masih tergeletak di lantai. Aku hanya bisa berdiri di sana, merasakan sakit di dada yang tak bisa ku gambarkan dengan kata-kata.

Aku bingung, tak tahu apa salahku. Dulu, kami pernah berjanji untuk selalu saling mendukung, tak peduli apapun status sosial kami, tapi Emily seakan lupa akan janji itu.

-------

Chapter 8-2 GELAP

Pada suatu sore hari, aku memutuskan untuk berkunjung ke rumah Emily, dengan harapan bisa memperbaiki hubungan kami. Saat itu terlihat ada sebuah mobil mewah berwarna hitam mengkilap terparkir di depan rumah. Mobil itu tampak asing bagiku. Seketika pikiranku bertanya-tanya, siapa yang sedang berkunjung? Apakah saudara Emily? Atau ada tamu penting? Seakan tak peduli soal itu, aku tetap melangkah ke arah pintu dan berpikir mungkin ini hanya kunjungan tamu biasa.

Ketika aku mengetuk pintu, aku disambut oleh bibi pembantu rumah itu, seorang wanita paruh baya yang sudah lama bekerja di rumah keluarga Emily.

Seperti biasa, dia menyambut ku dengan senyuman ramah. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda dari sikapnya. Dia tampak sedikit tegang, seolah-olah ada sesuatu yang sedang disembunyikannya dariku.

Julian: "Bibi, apakah Emily ada di rumah?"

Bibi itu menggeleng dengan halus, tatapannya beralih sebentar ke arah mobil mewah yang terparkir di halaman.

Bibi Pelayan: "Maaf, Nak Julian, tapi nona Emily sedang tidak bisa dikunjungi hari ini."

Julian: "Apakah sedang ada tamu sekarang? Atau ada saudara yang datang?"

Bibi itu tampak ragu sejenak sebelum menjawab.

Bibi Pelayan: "Ada... Tamu penting yang sedang menemui keluarga Emily. Maaf, Nak, mungkin lain kali saja kau bisa bertemu."

Aku merasakan ada yang janggal, tapi tak berani menanyakannya lebih jauh. Dengan berat hati, aku menatap mobil itu sekali lagi sebelum mengangguk dan berbalik pergi. Di dalam hatiku, berbagai pertanyaan berputar. Siapa tamu itu? Mengapa tiba-tiba aku merasa semakin jauh dari Emily?

Aku tak bisa menyingkirkan perasaan bahwa kehadiran mobil mewah itu menandakan sesuatu yang lebih dari sekadar kunjungan tamu biasa. Mungkin ada sesuatu yang tidak aku ketahui, sebuah alasan di balik sikap dingin Emily selama ini.

Sambil berjalan pulang, bayangan tentang masa-masa kebersamaan kami yang dulu menyenangkan, sekarang semakin terasa pudar. Setiap langkah yang ku tempuh terasa semakin berat. Aku merasa mulai kehilangan seseorang yang sangat penting dalam hidupku.

Tapi aku tak menyerah begitu saja. Aku masih akan mencari cara untuk bisa berbicara dengannya. Ada kalanya, di sela-sela waktu sekolah, aku berhasil mencuri momen untuk bertemu dengannya, meski singkat.

Namun, setiap kali aku mendekatinya, Emily hanya mendiamkan ku. Dia bahkan tak lagi mengucapkan sepatah kata pun. Tatapan dinginnya semakin menembus jiwaku, seakan aku tak pernah ada lagi di hidupnya. Saat aku menatapnya, yang kulihat bukan lagi teman kecil yang ceria dan pemalu, melainkan seseorang yang telah berubah menjadi asing. Hubungan kami, yang dulu begitu dekat, perlahan menghilang.

---------

Chapter 8-3 SELAMAT TINGGAL

Masa kelulusan SMA akhirnya tiba, hari yang penuh dengan perayaan dan kegembiraan. Para siswa berseragam rapi, beberapa tertawa, saling berfoto, dan berbagi kenangan indah. Namun, di tengah keramaian itu, mataku tertuju pada Emily. Dia berdiri sendiri di sudut halaman sekolah, wajahnya muram dan tak memancarkan sedikit pun kebahagiaan seperti yang dirasakan teman-teman lainnya.

Aku berusaha mengumpulkan keberanian untuk mendekatinya, meski sikap dinginnya selama ini terus menghantuiku. Namun, kelulusan ini mungkin adalah kesempatan terakhirku, berharap setidaknya bisa sedikit memperbaiki keadaan di antara kami.

Julian: "Emily..."

Aku mendekat, menyapa Emily pelan.

Julian: "Aku tahu… Selama ini kau selalu menjauhi ku dan tak ingin lagi bicara denganku. Aku... Aku hanya ingin minta maaf kalau aku pernah melakukan sesuatu yang membuatmu marah atau kecewa. Aku benar-benar tidak tahu apa yang salah, tapi sungguh aku minta maaf."

Emily hanya diam tidak merespon.

Julian: (Dengan suara lebih tenang, tapi penuh perasaan), "Aku tahu... Mungkin sekarang aku bukan siapa-siapa mu, tapi aku hanya ingin kau bahagia. Jangan bersedih, Emily. Apa pun yang terjadi, aku selalu berharap kau selalu tetap tersenyum seperti dulu. Itu sudah cukup buatku."

Walaupun berat, aku tersenyum lebar ke Emily dan menyodorkan tanganku untuk berjabat tangan.

Julian: "Aku benar-benar senang melihatmu sampai di titik ini. Selamat atas kelulusan mu, Emily... Semangat, ya?"

Emily masih tetap terdiam. Tatapannya hanya tertuju ke lantai, tak sedikit pun ia melihat ke arahku. Tanganku yang terulur tetap kosong, tak ada respons. Hening di antara kami begitu mencekam, aku hanya bisa berdiri dengan harapan tipis bahwa dia akan bicara. Namun, dia malah menarik napas panjang, seolah menahan perasaan yang tak terungkap.

Tak lama kemudian, Emily mengangkat wajahnya, tapi bukan untuk bicara. Pandangannya hanya menatap lurus ke depan, menghindari mataku, lalu berbalik dan pergi tanpa sepatah kata pun.

Aku hanya bisa terpaku di tempat, melihat dirinya semakin menjauh. Tak jauh dari sana, sebuah mobil hitam yang sering kulihat terparkir di depan rumahnya, menunggu di tepi jalan. Emily melangkah ke arahnya, pintu mobil terbuka, dan dia sempat menoleh, melirik ku dengan tatapan mata sayupnya yang sedih disertai gestur gerakan bibir yang mengucapkan sesuatu sebelum masuk, seakan dia bilang "selamat tinggal".

Mesin mobil menderu pelan, dan tanpa suara bising, mobil itu meluncur pergi, meninggalkan sekolah dan... Meninggalkan diriku. Aku tetap berdiri di sana, menggenggam harapan kosong yang tadinya kuharap berisi jawaban atau setidaknya sebuah kesempatan untuk memperbaiki keadaan. Tapi yang tersisa hanyalah bayangan Emily yang perlahan menghilang dari pandanganku, seperti kabut yang tak pernah bisa kugapai.

Di antara suara tawa teman-teman sekelas yang merayakan kelulusan, hatiku justru terasa semakin berat. Tanpa sadar, air mata ini menetes terjatuh saat aku menatap langit kala itu. Aku masih tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa Emily memilih untuk pergi tanpa sepatah kata.]

[AKHIR DARI CERITA FLASHBACK MASA LALU JULIAN]

--------------------

Setelah itu, aku terbangun dengan terengah-engah, dadaku terasa sesak merasakan seolah semua mimpi itu nyata. Keringat dingin mengalir di pelipis, dan tanganku refleks menggenggam kepala, mencoba menenangkan pikiran yang bergejolak.

Seluruh ingatan dari masa lalu terasa begitu hidup dalam mimpiku barusan. Semua kejadian saat SMA, perubahan sikap Emily, saat-saat aku berdiri sendirian di atap sekolah maupun saat kelulusan, dan seluruh rasa sakit yang selama ini kupendam, ternyata masih menghantuiku.

Aku duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke lantai, dan perlahan menarik napas dalam-dalam.

"Itu... hanya mimpi." Gumamku, berusaha meyakinkan diriku sendiri.

Tapi aku tahu itu lebih dari sekadar mimpi. Itu adalah bayangan dari masa lalu yang masih terngiang di kepalaku. Meski sudah lama berlalu, luka yang dulu kurasakan ternyata belum sepenuhnya sembuh.

Tapi setelahnya aku sadar dan bersyukur, bahwa semua itu sudah terlewati dan menjadi bagian dari warna masa laluku. Kenangan rasa sakit, kemarahan, dan kesedihan memberikan pelajaran penting dalam hidupku.

Emily yang sekarang tinggal bersamaku telah banyak berubah. Pertemuan kembali ku dengannya telah menyelesaikan permasalahan kami di masa lalu. Hubungan yang sempat renggang itu kini mulai terjalin kembali secara perlahan.

Lalu, aku menarik napas panjang mencoba menenangkan pikiran. Perlahan, ku pejamkan mataku, membiarkan keheningan malam membungkus tubuhku. Aku berharap bisa kembali terlelap, berharap mimpiku kali ini akan lebih damai, tanpa ada bayangan dari masa lalu yang menyelinap masuk.

[Bersambung ke BAB 9]