Ketika duduk di bangku SMA, kehidupan Dewi bisa dibilang nyaris sempurna. Ia dikenal sebagai siswa teladan di sekolahnya, gadis yang rajin, cerdas, dan selalu mendapat peringkat tertinggi. Pada sekolah negeri ternama tempat ia belajar, Dewi sering dielu-elukan oleh para guru sebagai contoh yang patut ditiru oleh siswa lainnya. Selain prestasi yang gemilang, Dewi juga memiliki paras yang cantik dengan postur tubuh yang bagus, sehingga tak sedikit siswa laki-laki yang diam-diam mengaguminya. Walau bagi Dewi sendiri urusan asmara adalah sesuatu yang sama sekali tidak ia pikirkan.Gadis tersebut menganggap bahwa fokus utamanya saat itu adalah membanggakan orang tuanya. Ia tumbuh dalam lingkungan keluarga yang sangat peduli akan pencapaian dan Dewi ingin memastikan bahwa ia memenuhi harapan besar yang ditaruh di pundaknya. Segala usaha yang ia kerahkan di sekolah adalah untuk meraih cita-cita yang telah lama ia dambakan, serta memberi kebahagiaan pada kedua orang tuanya.Hingga segala berubah ketika Dewi menginjak kelas dua SMA. Untuk pertama kalinya, ia mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Ada seorang pria dari kelas lain yang menarik perhatiannya. Cowok itu, dengan rambut rapi dan senyum yang selalu menenangkan, pertama kali membuat Dewi tertarik ketika ia membantunya dalam situasi yang tak terduga—sebuah momen kecil namun berarti bagi Dewi."Aduh, buku catatanku ada dimana sih...""Kamu, cari buku ini kah?"Hari itu, Dewi tengah kebingungan mencari buku catatan penting yang hilang saat di perpustakaan, sampai pria itu muncul mendatanginya yang tengah mencari di sekitaran lorong. Dewi ingat bagaimana perasaan lega dan hangat menyelimutinya ketika pria itu dengan hangat memberikan buku catatan tersebut padanya. Bagi Dewi, kejadian sederhana itu meninggalkan kesan yang mendalam. Karena setiap orang jarang sekali peduli pada Dewi, seperti buku catatan yang tak berharga bisa dibuang begitu saja.Sejak saat itu, pria tersebut kerap muncul di momen-momen tak terduga. Setiap kali Dewi membutuhkan bantuan, pria itu tampaknya selalu ada. Mulai dari menawarkan dirinya untuk membantu membawa buku yang berat, sampai mengusir beberapa gerombolan cewek yang hendak membully dirinya. Perhatian dan kebaikan yang pria itu tunjukkan secara perlahan melemahkan hati Dewi, yang selama ini tak pernah memikirkan soal asmara.Bagi si Dewi remaja, yang naif dan belum pernah benar-benar mengenal cinta, akhirnya terlena. Baginya, kebaikan yang pria itu berikan adalah sesuatu yang istimewa, sesuatu yang belum pernah ia rasakan dari siapa pun. Hingga suatu hari, ketika pria itu mengajaknya berbicara empat mata di taman sekolah, Dewi mendapati dirinya dihadapkan dengan sebuah pengakuan."Puspa, aku suka sama kamu. Selama ini, aku gak bisa berenti mikirin kamu. Apa kamu mau, jadi pacarku?" ucap pria itu dengan suara yang begitu tulus, tatapannya penuh harap. Dewi terdiam sejenak, hatinya berdebar kencang, perasaan campur aduk berputar di dalam dirinya.Saat itu, tanpa banyak berpikir, Dewi menerima pernyataan cinta itu dengan kata-kata yang begitu singkat berupa. "Aku juga suka padamu." meski di dalam hati, ia sebenarnya belum benar-benar yakin apa arti dari perasaan itu. Dewi masihlah muda dan polos untuk memahami bahwa yang ia rasakan mungkin bukanlah cinta yang sejati, melainkan sekadar rasa terkesan dan nyaman dengan perhatian yang ia terima.Hubungan mereka pun dimulai. Awalnya, semuanya terasa manis bagi Dewi. Pria itu selalu ada di sampingnya, mengisi hari-hari dengan canda tawa dan perhatian. Ia merasakan hal-hal baru yang belum pernah ia rasakan sebelumnya—kebersamaan, tawa, dan kebahagiaan yang sederhana. Dewi mulai terbiasa dengan keberadaan pria itu di kehidupannya, dan untuk sementara waktu, ia merasa seolah-olah dunia menjadi lebih cerah.Sampai perlahan dirinya mulai merasa terperangkap dalam jebakan manis. Sebab Dewi yang memiliki tujuan tersendiri untuk bisa lulus sebagai siswa berprestasi dan mendapatkan beasiswa, ia terkadang tidak memenuhi keinginan pacarnya untuk menjalankan hubungan romansa. Pacarnya tidak terima, kian menunjukkan sikap yang posesif, mengatur kehidupannya dengan cara yang tidak sehat. Dewi dilarang melakukan banyak hal, termasuk hal-hal yang seharusnya menjadi fokus utamanya—belajar mandiri dan mengejar impiannya untuk masuk ke universitas ternama. Pria itu mulai membatasi pergerakan Dewi, selalu ingin tahu ke mana dia pergi, siapa yang dia temui, bahkan sampai mencoba menghalanginya pergi ke perpustakaan untuk belajar.Waktu yang seharusnya digunakan untuk belajar dan mempersiapkan masa depan kini teralihkan oleh pacarnya yang selalu menuntut perhatian. Bahkan ketika Dewi mencoba berfokus pada tujuannya, si pacar akan marah atau ngambek, membuat Dewi merasa tertekan dan bersalah karena tidak bisa menyeimbangkan keduanya. Yang lebih parah, pria itu mulai menunjukkan niat yang tidak baik terhadap Dewi. Beberapa kali, pacarnya mencoba memaksanya melakukan hal-hal yang tidak senonoh, sesuatu yang Dewi sangat tolak. Gadis tersebut tetap menjaga prinsipnya, bertahan menghadapi setiap penolakan yang tentu membuat pria itu semakin marah dan kesal. Ia mulai melancarkan berbagai alasan dan manipulasi emosional, seolah-olah Dewi lah yang salah karena tidak memenuhi "kebutuhan" hubungannya."Pus, kudenger kamu pacaran sama anak dari kelas sebelah ya?""Kok bisa sih, kamu ngapa-ngapain dia ya?""Masa orang seganteng dia malah jadian sama kamu sih, si maniak belajar.""Pasti ada apa-apa..."Desas-desus tidak mengenakkan mulai terdengar dari berbagai arah. Hubungan mereka mulai memburuk, dengan pria itu sering marah dan mulai menyebarkan kabar burung tentang Dewi di antara teman-teman sekelas. Dewi menjadi korban fitnah yang menyakitkan, rumor yang beredar di sekitar sekolah mulai menggambarkan dirinya sebagai sosok yang bermasalah dalam hubungan mereka, meski kenyataan justru sebaliknya.Saat Dewi menginjak kelas tiga, kenyataan yang lebih pahit menimpa dirinya. Ia mengetahui dari teman sekelas bahwa pacarnya telah mulai berhubungan dengan cewek lain—seseorang yang jelas-jelas ia pilih tanpa memberitahukan kepadanya terlebih dahulu. Pria itu tidak pernah secara resmi memutuskan hubungan mereka, seolah-olah Dewi masih terikat padanya, sementara ia sendiri dengan mudah melanjutkan semuanya dan mencari pasangan lain.Perasaan Dewi saat itu hancur lebur. Ia merasa telah dipermainkan dan diperlakukan dengan sangat tidak adil. Tetapi di tengah kekecewaannya, Dewi memutuskan untuk mengambil kendali. Ia mendekati pria tersebut dan dengan tegas mengatakan bahwa hubungan mereka telah berakhir. Pacarnya tentu saja tidak menerima keputusan ini dengan baik. Ia membela diri, mengatakan bahwa Dewi salah paham dan bahwa dia tidak pernah mengkhianatinya."Setelah semua yang kukasih, kamu malah mutusin gitu aja?!""Semua... yang kamu kasih? Jika ini semua yang kamu kasih, maka kuberikan semuanya kembali."Setelah hubungan yang penuh manipulasi dan kekecewaan itu berakhir, Dewi sepenuhnya mengalihkan fokus ke tujuan awal yaitu mendapatkan beasiswa dan melanjutkan pendidikan ke universitas ternama di ibu kota. Ia sadar bahwa selama ini, hubungan asmara hanya membebani dan menghalanginya dari impian yang telah ia rencanakan sejak lama. Kesedihan yang ia rasakan setelah putus berangsur-angsur tergantikan oleh tekad yang kuat untuk kembali ke jalur yang benar.Saat ujian beasiswa mendekat, Dewi bekerja lebih keras daripada sebelumnya. Ia mengabaikan gosip atau kabar tentang mantan pacarnya, tidak peduli bagaimana kehidupan pria itu berjalan atau siapa yang kini mengisi hidupnya. Bahkan setiap upaya dari pria itu yang ingin kembali mendekati selalu ia hindari. Baginya, semua itu adalah bagian dari masa lalu yang tidak perlu lagi diingat. Kehidupan mantan bukan lagi urusannya.Pengalaman pahit dengan mantan pacarnya telah memberi Dewi pelajaran penting tentang dunia dan tentang orang-orang di sekitar. Ia menyadari bahwa tidak semua orang yang tampak baik hati itu memang benar-benar tulus. Mantannya dulu, yang selalu hadir untuk membantu di saat dia dalam kesulitan, pada akhirnya memiliki motif tersembunyi. Dari pengalaman itu, Dewi belajar bahwa kebaikan tidak selalu datang tanpa pamrih, dan terkadang, ada harapan atau niat tersembunyi di balik bantuan yang diberikan.Maka dari itu, Dewi bertekad untuk tidak terjebak lagi dalam situasi di mana ia harus merasa berutang budi atau terikat pada seseorang karena bantuan mereka. Saat diterima kuliah di ibu kota, ia membawa pelajaran ini bersama dirinya. Dewi menetapkan prinsip bahwa jika ia membantu seseorang, ia akan melakukannya dengan ikhlas, tanpa mengharapkan imbalan atau pamrih. Begitu juga sebaliknya, ia tidak akan membiarkan orang lain memperalat atau memanipulasi dirinya atas dasar rasa terima kasih atau kewajiban.xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxPagi itu, setelah bangun dari mimpi buruk yang terasa begitu nyata, Dewi meraih ponselnya yang terus bergetar di sisi kasur. Panggilan tersebut datang dari teman kuliah, membuatnya teringat akan masa-masa dulu ketika mereka sering menghabiskan waktu bersama."Pus, mau ikut main bareng gak?""Main? Ke mana?" jawabnya dengan menguap penuh ngantuk."Ke mall lah, jalan-jalan liat baju, sama ke kafe biasanya.""Hmmm... bentar ya... aku mikir dulu.""Pakek mikir segala..."Dewi, yang tengah diselimuti kekhawatiran mengenai hidupnya, sempat ragu untuk menerima ajakan mereka. Tetapi akhirnya berpikir bahwa ia masih punya waktu sebelum jadwal latihan rutin di Spica pada sore hari. Jadi, tanpa berpikir panjang, ia mengiyakan ajakan tersebut.Mereka bertiga, Dewi dan dua teman lamanya, memutuskan untuk berkunjung ke sebuah mall. Hari itu terasa seperti jeda yang menyegarkan bagi Dewi—sebuah kesempatan untuk lepas dari tekanan dan rutinitas yang membebani pikiran. Mereka berhenti di kafe yang sering dikunjungi semasa kuliah, memesan minuman dingin, dan mulai berbincang tentang masa lalu. Obrolan mereka dipenuhi nostalgia, dari cerita lucu sewaktu kuliah hingga perkembangan hidup masing-masing sekarang. Satu cewek sudah bekerja di perusahaan besar, satunya lagi sudah dilamar dan katanya bentar lagi mau menikah. Dewi mendengarkan cerita mereka sambil tersenyum, tetapi di dalam hatinya, rasa minder perlahan menyelinap."Enak ya... kalian dah jadi ini itu..." balas Dewi menyeruput minuman, sedikit murung.Meski ia cukup senang dengan perjalanan hidupnya di dunia idol, ia tak bisa mengatakan hal tersebut dan menghilangkan rasa minder karena statusnya yang belum memiliki pencapaian yang bisa dibanggakan seperti mereka. Dewi ragu menceritakan bahwa dirinya adalah seorang idol di Spica, grup yang masih dalam proses merintis popularitas. Ia takut teman-temannya tidak akan memahami pilihannya, atau lebih buruk lagi, menilai pekerjaannya itu tak sebanding dengan prestasi akademisnya dulu."Duh kamu nih, jangan murung gitu ah Puspa. Kamu tuh masih muda, masih luang hidupnya.""Iya bener, kesempatan masih banyak kok. Jangan minder gitu, kita cerita juga bukan karna mau pamer loh."Namun, teman-teman Dewi segera menangkap suasana hatinya. Mereka memberi dukungan dengan kata-kata penuh pengertian. Ucapan mereka membuat Dewi merasa sedikit lebih baik. Rasa hangat dari dukungan teman-temannya memberi dorongan baru. Ia membalas support mereka dengan sebuah senyuman dan kembali melanjutkan obrolan dengan lebih santai, tertawa serta bercerita tanpa beban. Tak lupa, mereka saling berfoto bersama, mengabadikan momen kebersamaan itu, kemudian mempostingnya di FastGram.Di tengah canda dan tawa, Dewi mengucapkan terima kasih kepada teman-temannya karena sudah mengajaknya bermain hari ini. "Akhir-akhir ini aku lagi banyak pikiran soal hidup, bahkan tadi main aja, aku sempet mau nolak. Tapi, syukurlah aku nerima ajakan kalian.""Ah, nggak perlu makasih, Pus. Waktu kuliah dulu kan kamu yang banyak bantu kita. Kalau nggak ada kamu, mungkin kita belum lulus sampai sekarang."Kita cuma balikin kebaikan yang dah kamu kasih kok." Jawab mereka berdua beriringan.Dewi tersenyum mendengar ucapan itu. Rasa syukur memenuhi hatinya. Ia menyadari bahwa meskipun hidup terasa penuh tantangan, ia tidak sendirian. Teman-temannya yang tulus selalu ada untuknya. Mereka pun menambahkan bahwa jika Dewi butuh bantuan atau sekadar teman curhat, mereka selalu siap. Bahkan, mereka menawarkan untuk memberi tahu jika ada lowongan pekerjaan yang cocok untuk Dewi."Sampai ketemu lagi ya, Puspa!""Kalo aku ada tawaran kerja, nanti kukabarin!""Ya! Makasih banyak semua! Sampai ketemu lagi!"Setelah beberapa jam yang menyenangkan, mereka pun berpisah. Dewi melambaikan tangan ke arah teman-temannya dengan senyuman yang lebih lega. Perasaan minder dan kekhawatiran yang tadi menekan hatinya perlahan memudar.Saat hendak turun ke lobi mall, bersiap untuk kembali ke agensi, ia tak sengaja melihat sosok yang tak asing di sudut dekat pintu keluar. Seorang pria dengan pakaian kasual, tubuhnya bersandar santai ke dinding, sesekali melirik ke sekitar seperti sedang menunggu seseorang. Jantung Dewi langsung berdegup kencang saat menyadari bahwa pria itu adalah mantan pacarnya dari SMA—tidak menyangka bahwa kehadirannya kembali muncul.'Kok, dia ada di sini?!'Segera perasaan tak nyaman menggerogotinya dan berusaha untuk mencari jalan agar bisa keluar dari mall tanpa bisa ketahuan, tetapi nampaknya usaha tersebut sirna ketika ia berhasil ditemukan olehnya. Menghampiri Dewi yang baru saja turun dari eskalator dengan suara lembut yang terdengar seperti dipaksakan, mulai menyapa."Puspa? Wah, kebetulan banget kita bisa ketemu lagi." katanya, tersenyum tipis seolah mencoba terlihat santai."I... Iya... ahaha... gak nyangka..." balas Dewi risih, bertanya-tanya mengapa bisa ia tahu bahwa dirinya ada di mall ini."Gimana sih, dingin banget deh kamu. Padahal aku dah kirim pesan ke kamu, tapi nggak dibalas-balas. Aku cuma mau ngobrol sebentar, Pus. Kita kan alumni satu SMA, masa nggak mau ngobrol sih?"Dewi memegang ponselnya erat, lalu mengecek pesan yang dimaksud dari media sosial. Memang, ada beberapa pesan dari pengguna yang tidak ia kenal, mengatakan telah menunggunya. Mungkin memang benar itu dia. Tapi Dewi tak ingin terjebak dalam percakapan ini. Hatinya semakin berdebar, tubuhnya mengatakan bahwa ia harus segera pergi dari sini sebelum dirinya mulai gemetaran."Cewek-cewek yang sama kamu tadi... temen-temenmu kah?" pria itu bertanya lagi, kali ini lebih santai tapi dengan nada sedikit menyelidik."Mereka... kenalan doang... baru ketemu." Sekeras mungkin ia mencoba agar menyembunyikan mengenai teman-teman kuliahnya, sembari menundukkan kepala berusaha mencari celah agar bisa pergi.Tetapi sebelum sempat ia melangkah lebih lanjut, mantannya tiba-tiba berbicara dengan nada cukup keras."Kok kamu dingin banget, sih? Padahal kita dulu kita tuh deket banget loh, bahkan selama setahun kita pernah bareng, Pus! Masa gitu sih sama aku, kaya kita orang asing?!" Kalimat itu terlontar cukup keras, membuat beberapa orang di sekitar melirik ke arah mereka.Menyadari kini mereka berdua menjadi pusat perhatian di tengah-tengah jalanan mall, jantungnya berdegup begitu kencang. Rasa malu yang telah menumpuk ia biarkan berlalu dengan langkah yang semakin ia percepat, tidak peduli atau bahkan menanggapi perkataan darinya. Ia hanya ingin secepat mungkin pergi dari situasi canggung ini. Tanpa menoleh ke belakang, Dewi melangkah cepat ke arah pintu keluar mall, semakin mempercepat langkahnya saat merasakan tatapan orang-orang yang seakan menelusuri setiap geraknya.Pada agensi suasana tengah santai hanya berisikan para staff yang tengah beristirahat, mereka masih jauh dari jadwal latihan setiap idol sehingga rehat sejenak. Rian dan Lea tengah berbincang mengenai beberapa tawaran pekerjaan yang sedang dipertimbangkan untuk Spica, grup idol mereka. Tawaran-tawaran itu cukup beragam, mulai dari iklan hingga acara variety show, yang bisa menjadi peluang besar untuk memperkenalkan Spica ke khalayak lebih luas. Sementara Dara yang juga tengah menikmati kopi hangatnya sering memberi pertimbangan mengenai pekerjaan apa yang cocok bagi setiap idol. Sampai tiba-tiba saja terdengar suara keras dari balik pintu agensi, seakan ada sesuatu yang jatuh."Kok ada suara keras banget tadi?" ujar Lea yang pertama kali dengar."Iya, kaya gedubrag gitu. Dari luar." Rian langsung terdiam dan memandang ke arah pintu dengan alis yang mengernyit khawatir."Biar kucek bentar, kali aja ada barang jatuh atau apa."Ia berdiri dari kursi, berjalan mendekati pintu keluar. Saat Lea membuka pintu, apa yang ia lihat membuat dirinya terdiam penuh ketegangan."Dewi?!"Di hadapannya Dewi tergeletak di lantai dengan nafas tersengal-sengal, wajahnya pucat pasi serta bajunya basah penuh keringat dingin. Lea segera berjongkok, mencoba membangunkan Dewi sambil memanggil namanya, tetapi Dewi tidak merespons. Panik, ia langsung memanggil Rian, dan tanpa pikir panjang mereka berdua segera membantu Dewi ke dalam agensi, merebahkannya di atas sofa."Dia... dia gapapa kan?! Kok bisa jatuh begitu." tanyanya dengan nada panik, sementara Lea dengan cepat mencari cara untuk membantu keadaan Dewi."Dia dingin sekali... badannya penuh keringat dingin." Ucap Dara.Lea datang dari arah lain membawa selimut dan dengan hati-hati menyelimuti gadis tersebut. Segera disuruhnya Rian untuk mengambil kain lembut sementara Dara mengambilkan air hangat. Perlahan ia menyeka wajah Dewi yang basah oleh keringat dingin."Sebaiknya, dia gak ikut latihan dulu hari ini." Saran Lea."Ya... aku setuju. Biar aku yang nangani latihan hari ini sementara kalian berdua mengurus Dewi."Latihan yang direncanakan hari itu akhirnya berjalan tanpa kehadiran Dewi. Rian segera mengambil alih tugas Lea untuk mengawasi, memimpin anggota Spica yang lain untuk tetap melanjutkan latihan vokal dan koreografi, meskipun mereka penuh kecemasan sebab tiada kehadiran Dewi di sana. Anggota lain, seperti Lily, Wulan, dan Isla, tampak khawatir saat mereka sadar bahwa Dewi tidak bisa ikut latihan hari itu. Mereka sempat bertanya-tanya apakah Dewi baik-baik saja, tapi Rian berusaha menjaga suasana tetap tenang dan mengatakan bahwa Dewi hanya kelelahan.Dara, yang khawatir sejak melihat Dewi terbaring tak sadarkan diri, duduk di sebelah Lea sambil memandang cemas. Setelah beberapa saat terdiam, ia tak bisa menahan diri lagi dan bertanya pelan,"Lea, Dewi kenapa? Apa dia sakit?"Menghela nafas panjang, pandangannya masih tertuju pada gadis yang terbaring lemas itu. Ia berusaha menjelaskan kepada Dara mengenai apa yang sebenarnya mereka hadapi."Dia... bisa dibilang sakit. Tapi bukan tipe sakit karna penyakit, Dara. Kemungkinan, ini lebih karna trauma atau shock. Dia kena gejala syncope—pingsan sebab tekanan psikologis atau fisik yang berat. Dan di tengah gejala itu, justru dia maksain diri buat dateng ke agensi. Walau tubuhnya gemetaran serta merasa cemas berat. Dia tahan terus, sampai akhirnya kolaps."Ia mengangguk pelan, menyadari rupanya ada sesuatu yang bahkan tidak dapat dipahami oleh seseorang sepertinya. Bahkan, Lea yang sedari tadi menyuruh mereka melakukan ini itu untuk menangani Dewi yang tak sadarkan diri. Apabila tidak ditangani oleh seseorang yang paham, mungkin bagi kebanyakan orang itu dianggap seperti pingsan karena kecapekan. Serta, dari sini ia tak tahu sepenuhnya bahwa kehidupan seorang idol seperti Dewi tidak semudah yang ia pikirkan."Trauma... katamu." gumam Dara, merasa tidak nyaman mendengar kata itu.Tak lama setelah itu, Dewi mulai bergerak pelan di sofa. Matanya setengah terbuka, menandakan ia perlahan mulai sadar, walau pandangannya masih sedikit buram. Ia mendapati Lea dan Dara duduk di sampingnya, wajah mereka terlihat khawatir. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, berusaha memahami situasi di sekitar."Aku... di mana..." tanyanya dengan suara lemah, masih bingung.Lea tersenyum lembut, berusaha menenangkan Dewi. "Kamu di kantor agensi, Dewi. Tadi kamu jatuh pingsan di depan pintu. Beruntung kamu jatuhnya waktu sampai di sini."Mendengar itu, Dewi langsung merasa panik. Ia berusaha bangkit dari sofanya meskipun tubuhnya masih terasa lemas. "Aku... Aku harus ikut latihan... sekarang jadwalku latihan, kan?" ucapnya terburu-buru, dengan nada cemas yang jelas terdengar."Nggak... nggak boleh. Kamu harus istirahat. Latihannya dah mulai dari tadi. Jangan khawatir, aku dah bahas sama Produser kalau kamu diperbolehin cuti hari ini. Nggak usah mikirin latihan, nggak ada yang marah kok kalo kamu bolos sekali karna sakit." Balas Lea yang segera menahan Dewi agar tidak beranjak dari sofa.Dewi terdiam sejenak, napasnya masih belum sepenuhnya stabil, ia merasa sedikit bersalah sebab setiap orang berlatih tanpa ada dirinya di sana."Tapi aku nggak mau merepotkan mereka...""Kamu gak ngerepotin siapapun. Mereka justru bakal serempak bilang kalo kamu harus istirahat. Udah, dengerin kata manajermu ini." Geleng Lea membalas kata-kata Dewi dengan suara lembut.Dewi duduk dengan cangkir air hangat di tangan, kedua tangannya bergetar sembari kedua mata memandangi permukaannya yang mengeluarkan uap tipis. Di sebelahnya, Dara dan Lea duduk dengan tenang, tapi perhatian mereka sepenuhnya tertuju pada Dewi. Mereka sudah melihat bagaimana kondisi Dewi hari ini, dan Lea, dengan naluri yang tajam, tahu bahwa ada sesuatu yang jauh lebih mendalam dari sekadar kelelahan fisik."Dewi... kenapa kamu maksain diri buat berangkat? Jelas-jelas dirimu gak sepenuhnya fit. Bahkan sekarang pun masih gemeteran.""Aku cuma sedikit lelah doang kok... manajer." Balasnya pelan."Kamu lupa ya, aku itu lulusan sosiolog, Dewi. Tahu betul itu lebih dari sekedar capek. Dari caramu berbicara, gerak tubuh, sampai ekspresi—semuanya ngasih tau kalo kamu nggak baik-baik saja. Mana bisa kubiarin begitu aja. Ceritakan, apa yang ganggu pikiranmu?" tegas Lea dengan kedua matanya berubah serius.Sang gadis terdiam sejenak, bibirnya terkatup rapat. Ada keraguan yang jelas di wajahnya. Menceritakan masalah pribadinya bukan hal yang mudah. Namun, saat matanya terpejam, bayangan pria itu kembali hadir— yaitu mantan pacarnya. Sosok yang sudah lama ia lupakan, atau setidaknya, berusaha ia lupakan. Kini muncul kembali, mengusik kedamaiannya, membawa kenangan yang seharusnya sudah terkubur.Tiba-tiba, tubuh Dewi gemetar. Tangannya berusaha memegang cangkir dengan stabil, tapi Lea melihat itu dengan jelas. Ia meletakkan tangannya di atas tangan Dewi, memberinya kehangatan dan dukungan yang Dewi butuhkan."Dewi... kalau misal belum siap, jangan paksakan. Tapi ingat, posisiku di sini sekarang tidak hanya seorang manajer, tapi menjadi tempat bagimu curhat sebab kita berdua sama-sama seorang wanita." Bisik Lea pelan.Dewi menunduk, air mata mengalir perlahan di pipinya. Tanpa bisa menahan lagi, ia mulai menceritakan semuanya. "Waktu SMA... aku pernah pacaran dengan seseorang. Awalnya, aku pikir dia baik. Dia selalu membantuku, selalu ada saat aku butuh. Tapi, semakin lama, dia mulai berubah. Dia... dia mengontrolku, membatasiku, bahkan pernah mencoba melakukan hal-hal yang bikin aku nggak nyaman." Suaranya bergetar, tapi ia terus melanjutkan."Sampai suatu saat ketika dia nemuin cewek lain, dia membuangku begitu saja. Dia nggak pernah bilang langsung, aku cuma tahu dari orang lain. Kejadian itu... benar-benar bikin aku hancur saat itu."Lea dan Dara mendengarkan dengan penuh perhatian, tidak menyela. Mereka tahu ini penting bagi Dewi, untuk mengeluarkan semuanya."Tapi sekarang, waktu aku dah gak mau inget atau bahkan ketemu dia lagi. Dia datang, selalu ada di berbagai tempat layaknya kebetulan. Dia bilang dia cuma ingin bicara... tapi aku takut. Takut kalau dia bakal mengganggu hidupku lagi, seperti dulu. Aku gak mau kembali lagi... gak mau kalau semua kenangan buruk itu muncul lagi." lanjut Dewi dengan suara lebih serak.Lea menarik napas dalam-dalam, merenung. Di satu sisi, ia paham betapa traumatis pengalaman Dewi. Tapi di sisi lain, ia juga tahu bahwa ini adalah sesuatu yang lebih besar dari sekadar pertemuan dengan mantan pacar. Beberapa informasi yang ia dapatkan dari Dewi bahkan menceritakan mengenai pertemuan mereka yang seakan 'kebetulan', seperti menjumpai Dewi di dekat jalanan kontrakannya hingga tiba-tiba menunggu dirinya yang ada di suatu mall. Padahal banyak sekali tempat yang bisa menjadi kemungkinan bertemu, tetapi kenapa bisa orang itu seakan tahu Dewi ada di mana."Bentar Dewi, aku boleh minjem hpmu bentar gak? Buat ngecekin medsos kamu.""Eh... kenapa manajer.""Kayanya aku sadar akan sesuatu deh. Bentar doang, boleh kah?""Ka-Kalo manajer yang bilang... oke..."Lea mengamati ponsel Dewi dengan serius, matanya menyapu setiap pesan yang dikirim oleh pria itu, meneliti jejak digitalnya di media sosial Dewi, terutama Fastgram. Dia berfokus pada pola-pola yang mulai terlihat dari aktivitas pria tersebut. Chat yang dikirim dengan nada lembut yang dipaksakan, pesan-pesan yang menuntut perhatian, hingga momen di mana pria itu muncul setelah Dewi mengunggah status di suatu lokasi. Semua itu perlahan membentuk kesimpulan yang tidak bisa diabaikan.Setelah beberapa saat, Lea menegakkan tubuhnya dan menatap Dewi dengan penuh kekhawatiran. "Dewi..." ucapnya dengan suara tegas."Ini lebih serius daripada sekedar mantan yang mau balikan. Dari semua yang aku temuin di sini, aku rasa pria ini sudah masuk kategori stalker." Lanjut Lea."Stalker? Maksudnya seperti orang yang suka mengamati sosmed orang terus-terusan?" Dara yang duduk di samping Dewi mengernyitkan kening, bingung."Bukan cuma itu. Ini lebih dari sekadar kepo-in profil di media sosial. Stalker itu bisa ngikutin kita di dunia nyata juga. Ngelacak ada di mana kita berdasarkan apa yang kita bagiin di internet." Geleng Lea."Jadi... dia nyari keberadaanku dari apa yang aku upload, terus datengin ke sana?" Dewi menelan ludah, matanya melebar karena tiba-tiba kesadaran itu menghantamnya."Benar, seratus persen."Dewi tertegun, mengingat kembali kejadian di mall tadi pagi. Ia memang mengunggah foto bersama teman-temannya di kafe sebelum turun ke lobi. Begitu ia turun, pria itu sudah menunggunya di sana. Serta pesan-pesan yang telah ia kirimkan sebelumnya seakan bisa tahu Dewi telah berada di sana dan tengah mengawasinya dari kejauhan bahkan saat masih berbincang-bincang dengan temannya."Apa yang manajer bilang... kayanya benar. Aku memang posting mau ke mall sebelum dia muncul." kata Dewi dengan suara gemetar. Kini ia mulai sadar bahwa ini bukan sekadar kebetulan atau nostalgia masa lalu."Jadi, ini jauh lebih berbahaya daripada yang kita kira?" kata Dara merasa semakin tegang.Dewi merasa dadanya semakin sesak, ketakutan yang tadi hanya samar-samar kini terasa lebih nyata. Pria itu bukan hanya ingin memperbaiki hubungan atau berbasa-basi, tapi dia mungkin sudah mengintai kehidupannya lebih dari yang Dewi sadari."Yang kamu hadapi... itu seorang stalker, Dewi."