Chereads / IDOLIZE / Chapter 34 - Special 2: Sebatas Gerigi Dalam Mesin

Chapter 34 - Special 2: Sebatas Gerigi Dalam Mesin

Pada lantai ketiga sebuah gedung lama, Dara mengetik dengan kecepatan yang hampir tidak masuk akal. Meja di depannya dipenuhi jadwal latihan, wawancara, pemotretan, dan pertunjukan untuk grup idol Spica, yang sedang menapaki tangga popularitas dengan cepat.Layar komputer di hadapannya penuh dengan jadwal yang tersusun rapi—latihan vokal pukul sembilan, koreografi pukul sebelas, wawancara dengan majalah fashion pukul dua siang, dan sesi streaming langsung dengan penggemar pada pukul delapan malam. Sebagai sekretaris utama di agensi RP710, Dara adalah salah satu otak di balik operasi grup idol Spica, sepuluh gadis muda yang penuh bakat dan energi, menjadi tangan kanan dari produser mereka. Wanita itu selalu memastikan semuanya berjalan sesuai rencana tanpa celah sedikit pun.Seperti biasa, Dara tiba di kantor tiga puluh menit lebih awal dari siapa pun. Baginya, waktu adalah sesuatu yang sakral, dan keterlambatan adalah dosa yang tak termaafkan. Dengan blazer abu-abu yang selalu rapi, kacamata bulat tipis, dan rambut panjang yang terikat kuncir rapi, ia memancarkan aura dari seseorang yang mengendalikan segala termasuk dirinya sendiri. Namun, ada satu orang yang sering menguji kesabarannya—Lea, manajer Spica, yang lebih santai dan kadang sulit diajak serius."Met pagi..."Lea muncul di pintu kantor dengan cup kopi besar di tangan, rambutnya saja nampak berantakan menunjukkan betapa terburu-burunya dia datang. Dara memandang jam tangannya sekilas sebelum mengangkat alis."Manajer Lea, seharusnya kamu datang lebih awal lagi. Kita ada rapat lima menit lagi." Balas Dara dengan penuh ketus."Lima menit lagi kan? Santai, seenggaknya aku gak telat." Sembari menyeruput kopinya, Lea tertawa kecil."Bukan masalah telat atau tidaknya, tapi soal profesionalisme." Jawab Dara, berdiri dan mengambil tablet pada meja. Ia berjalan menuju ruang rapat kecil di ujung ruangan, diikuti Lea yang tampak malas-malasan.Rian, produser Spica, sudah duduk di dalam ruangan dengan ekspresi penuh ngantuk. Meski posisinya adalah produser, yang menentukan arah Spica—ia juga merupakan kreator yang menciptakan berbagai lagu bagi Spica. Walau begitu, Rian merupakan orang yang terlalu sibuk sehingga terkadang melupakan banyak hal. Sampai Dara harus sering mengingatkan Rian mengenai jadwalnya sendiri, karena jika tidak, lagu-lagu Spica mungkin tidak akan selesai tepat waktu dan kegiatan mereka bakal ruwet."Ah, kalian datang juga." Sapa Rian yang tengah mempersiapkan proyektor untuk presentasi."Jadi, apa yang hendak anda bahas, Produser?""Sebenarnya, mengenai lagu baru lagi buat Spica. Aku sudah menyelesaikan liriknya. Sekarang lagi coba bernegosiasi sama ZEN."Rian menjelaskan sembari menunjukkan slide demi slide. Sementara di sisi lain, Lea tampak setengah mendengarkan sambil mengetik pesan di ponselnya. Dara menghela napas kecil tetapi memilih untuk mengabaikannya. Fokusnya adalah memastikan semua rencana berjalan lancar."Jika mengikuti jadwal buatan Dara, bisa dikatakan, agak mepet untuk dipakai di live bulan depan.""Mengenai hal itu, saya sudah susun jadwal baru lagi.""Eh? Sudah? Cepet amat..."Terkejut oleh rencana cadangan yang telah disusun oleh Dara, masalah yang bisa mengganggu tersebut bisa menemukan solusinya tanpa lama. Selesai melakukan rapat, member Spica terlihat sudah datang ke kantor satu persatu. Di sana, ia menemukan bahwa beberapa anggota ada yang belum datang ke kantor. Sehingga segera ia mencari sang manajer yang telah duduk pada sofa, terfokus pada handphone."Manajer, beberapa member ada yang masih belum datang. Bagaimana ini.""Oh? Ah... soal itu. Si Istar bilang dia lagi syuting bentar, agak telat. Sedangkan Valentin masih kejebak macet."Mendengar jawaban tersebut dari Lea, Dara tentu naik pitam. Karena jadwal yang telah disusun serta dibahas dengan staff pelatih bisa saja molor."Waktu itu penting, manajer! Keterlambatan bisa saja menjadi hilangnya penggemar di masa depan nanti!" ucap Dara dengan suaranya yang tak sadar meninggi."Aku pun tahu soal itu, tapi gak semua hal bisa berjalan sesuai jadwal, Dara.""Tapi—""Kamu itu terlalu perfeksionis, Dara. Dunia nggak selalu berjalan sesuai rencana, makanya kita perlu fleksibel." Lea mengatakannya dengan nada ringan, tetapi setiap kata itu menancap dalam di hati Dara.Ia hanya terdiam, tak mampu membalas, sesuatu yang jarang terjadi. Biasanya, ia punya jawaban siap untuk setiap argumennya dengan Lea. Tetapi kali ini, ia tak tahu apa yang harus dikatakan.Saat Lea mulai pergi ke tempat latihan bersama para member, Dara duduk terdiam pada kursi. Pandangannya terpaku pada meja kerja yang selalu ditatanya begitu sempurna. Berkas-berkas tersusun berdasarkan prioritas, pena dan alat tulis berjajar seperti barisan prajurit, dan jam digital kecil yang selalu diatur dengan alarm untuk mengingatkan setiap aktivitas. Tidak ada satu pun yang meleset. Semuanya teratur—atau begitulah ia selalu yakini.Ia menyandarkan punggung ke kursi, mengusap wajahnya yang tiba-tiba lelah. Menolehkan mata mengarah ke jendela besar di sisi ruangan, menatap kelap-kelip lampu toko serta orang berlalu lalang. Bahkan jalanan saja terasa hidup, berdenyut dengan caranya sendiri. Berbeda dengan dirinya, yang merasa ada begitu kosong.Kata-kata Lea tadi terus bergema. Ia mulai memikirkan hidupnya sendiri. Sejak kecil, ia selalu diajarkan bahwa disiplin adalah kunci kesuksesan. Ibunya, seorang wanita pekerja keras yang membesarkan Dara sendirian, selalu berkata,"Jika kamu tidak tekun, tidak telaten, dan tidak berjuang. Bagaimana kamu mau hidup. Kesempatan hanya datang bagi mereka yang bekerja keras, Dara." Kalimat itu menjadi prinsip yang Dara pegang teguh.Dari bangun pagi yang harus sesuai dengan alarm, tanpa ada kata lima menit lagi. Makan selalu cukup, tidak berlebihan apalagi kurang. Pokoknya setiap apapun yang dilakukan memiliki ketepatan, terencana. Sampai hal kecil seperti naik bus ke kantor pun direncanakan dengan matang dari malam, supaya tidak terlambat.Walau di balik semua itu, ada perasaan yang selama ini ia abaikan. Hidupnya terasa seperti garis lurus yang tak pernah berubah arah. Semuanya berjalan seperti mesin yang terus bekerja tanpa jeda. Tidak ada ruang untuk kesalahan, tidak ada tempat untuk sesuatu yang tidak terduga. Dara selalu bangga dengan hal itu. Tetapi sekarang, ia mulai bertanya-tanya—apakah semua itu benar-benar membuatnya bahagia?Ia teringat momen-momen kecil ketika member Spica tertawa di studio, membuat lelucon spontan di tengah latihan. Produser atau manajer terkadang ikut tertawa bersama atau ikut mengobrol, tetapi dirinya justru tetap fokus pada kerjaan yang ada di tangannya. Gadis-gadis itu terlihat bebas, selalu menikmati momen-momen sederhana yang sering Dara abaikan. Lea juga terkadang bisa membuat masalah yang tak terduga terasa penuh gejolak. Membuat wanita itu bertanya-tanya, kapan terakhir kali ia melakukan sesuatu hanya karena ia ingin, tanpa memikirkan sebab atau akibat.Tangannya perlahan mengusap permukaan meja kerjanya. Padahal dulu sewaktu kecil, ia pernah bermimpi menjadi seorang musisi. Sampai mimpi itu terhenti, ketika ia disadarkan bahwa mengejar seni tidak dianggap sebagai jalan menuju keberhasilan oleh orang-orang di sekitarnya. Jadi ia menyusun rencana baru—rencana yang jauh lebih masuk akal. Ia memutuskan untuk menjadi pekerja kantoran, seseorang yang akan mencapai segalanya dengan rencana matang, menjadi orang yang tak memiliki kekurangan sama sekali. Cukup untuk menghidupi dirinya."..."Ia memang berhasil menjadi pekerja kantoran yang ideal, seperti yang selalu ia rencanakan. Meski itu semua adalah dulu, sewaktu dirinya masih menjadi sekretaris terbaik di Apollo Production, sebuah perusahaan hiburan di Jakarta. Bekerja di tempat itu adalah simbol kesuksesan, rumah bagi bintang-bintang besar yang namanya dikenal di seluruh negeri. Dara ingat betapa bangganya ia ketika pertama kali diterima di sana. Dengan keuletan serta kerja kerasnya, berhasil merangkak dari pekerja kantoran biasa menjadi tangan kanan yang bisa dipercaya langsung oleh sang Direktur.Dirinya sangat bekerja keras, seringkali sampai lupa makan dan tidur, memastikan semuanya berjalan sempurna. Para artis yang ia bantu mungkin memiliki jadwal yang sangat sibuk, tetapi jadwal Dara bahkan lebih padat. Kesalahan sekecil apa pun langsung mendapat sorotan tajam, sampai-sampai tidak ada ruang untuk keluhan. Awalnya, ia menikmati tantangan itu, tetapi lama-kelamaan, tekanan yang terus-menerus mulai menggerogoti dirinya."Kamu saya turunkan dari posisi sekretaris."Hingga suatu hari, semuanya runtuh. Dara tidak pernah tahu pasti apakah itu karena kesalahan kecil yang tidak terdeteksi, atau hanya karena politik kantor yang kotor, tetapi ia mendapati dirinya dikeluarkan dari posisinya. Mereka memindahkannya ke RP710, agensi kecil yang nyaris tidak dikenal, tempat ia harus mulai dari nol bersama Rian, yang juga mantan staf Apollo yang tersingkir.Saat itu, Dara merasa hancur. Pindah ke RP710 adalah sebuah tamparan bagi dirinya yang selalu ingin berada di puncak. Agensi ini saja tidak memiliki apapun. Spica saja dimulai dari audisi, sebuah grup idol kecil yang saat itu bahkan tidak memiliki penggemar hingga lagu. Tetapi ia tidak menyerah begitu saja, karena tahu bahwa jika ia membiarkan RP710 jatuh, itu berarti ia akan gagal untuk kedua kalinya.Bersama Rian, ia menyusun strategi untuk membangun Spica dari nol, membuat jadwal promosi, memastikan latihan berjalan tanpa hambatan, dan menangani setiap detail kecil yang diperlukan. Tidak jarang ia bekerja hingga larut malam, bahkan di akhir pekan.Semakin lama ia bekerja di RP710, semakin ia merasa ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Ia tidak bisa mengabaikan rasa jenuh yang terus bertambah. Rutinitas yang dulu memberinya rasa aman kini terasa seperti beban yang tak berkesudahan. Ia terus memaksa dirinya untuk bergerak maju, tetapi di dalam hatinya, ada ruang kosong yang tidak pernah terisi.Suara langkah sepatu yang menghampiri perlahan membuat Dara tersentak dari lamunannya. Ia menoleh dan mendapati Rian berdiri di samping."Dara, hari sudah malam. Semua kegiatan Spica dah selesai. Hari ini ga usah lembur dulu." Katanya pelan.Dara mengerjap, bingung sejenak, lalu mengalihkan pandangan ke jendela. Langit sudah gelap. Lampu-lampu kota telah menyala berkelap-kelip layaknya bintang di bawah sana, bayangan dirinya di kaca pun terlihat samar, terlihat jauh lebih lelah dari biasanya. Ia melirik meja kerjanya yang penuh berkas, lalu beralih menatap sekeliling. Suara dari ruang tengah yang biasanya ramai kini lenyap, menyisakan keheningan. Kantor telah berubah menjadi tempat yang sepi, menyisakan para staff yang tengah bersiap untuk pulang."Yuk, pulang." Sapa Lea dari seberang."Bahkan sampai tak sadar... kalau sudah malam." gumamnya pelan, hampir seperti bicara kepada dirinya sendiri.Ia merapikan beberapa berkas di mejanya, menyusun semuanya menjadi tumpukan rapi, lalu mematikan komputer. Langkahnya terasa berat saat ia melangkah keluar kantor, bergabung dengan Rian dan Lea yang juga bersiap pulang.Mereka bertiga turun bersama. Saat menuruni tangga, suasana tidak benar-benar hening karena Lea dan Rian sibuk bercakap-cakap. Lea menceritakan toko-toko baru yang dibuka di sekitar kantor dan event kuliner yang akan berlangsung minggu depan. Rian sesekali menanggapi dengan komentar santai, membuat percakapan mereka terdengar ringan dan menyenangkan.Sementara itu, Dara hanya berdiri di belakang mereka, diam tanpa sepatah kata. Ia mendengarkan, tetapi pikirannya melayang ke tempat lain. Rasanya aneh mendengar mereka berbicara tentang hal-hal kecil seperti itu, seolah dunia mereka penuh warna yang berbeda dari miliknya. Mereka tampak menikmati hidup, memiliki momen-momen kecil yang membuat hari-hari mereka terasa berarti.'Sedangkan diriku...'Ia sendiri tak tahu kapan terakhir kali ia menikmati hal-hal seperti itu, kehidupan pribadi yang penuh kegiatan menyenangkan. Kesehariannya hanya berputar pada pekerjaan, target, dan rutinitas. Ia tidak tahu bagaimana bersenang-senang. Bahkan mendengar orang lain berbicara tentang hal-hal sederhana seperti toko baru atau event membuatnya merasa seperti seorang asing di tengah hidup mereka."Oke, sampai ketemu besok!" seru Lea sambil melambaikan tangan, diikuti Rian yang memberikan anggukan kecil pada Dara sebelum mereka pergi ke arah masing-masing. Dara membalas dengan senyum tipis, tetapi tidak berkata apa-apa. Ia melangkah perlahan ke arah halte bus, sendirian.Di sepanjang jalan, Dara mengamati sekelilingnya. Semuanya terasa berbeda. Gedung-gedung yang dulu familiar kini tampak berubah dengan pencahayaan baru. Jalan yang biasa ia lewati dipenuhi toko-toko baru yang belum pernah ia perhatikan. Bahkan udara malam ini terasa lebih dingin dari biasanya.Walau di tengah semua perubahan itu, ada satu hal yang tetap sama—dirinya. Ia merasa seperti satu-satunya hal yang tidak bergerak maju, yang terjebak dalam rutinitas yang tak berubah. Orang-orang di sekitarnya, seperti Rian dan Lea, tampaknya selalu menemukan cara untuk menikmati hidup. Tetapi Dara merasa seperti sebuah roda gigi yang terus berputar tanpa tujuan, hanya untuk memastikan semuanya berjalan lancar untuk orang lain.Langkahnya melambat saat ia mencapai halte. Ia duduk di bangku kosong, membiarkan pikirannya mengembara. Ia tahu bahwa hidup tidak akan menunggunya. Dunia di sekitarnya terus berubah, bergerak maju, sementara ia masih terjebak di tempat yang sama.Bus tiba, membawanya pulang ke apartemen kecilnya yang sunyi. Malam itu, saat berbaring di tempat tidur, Dara memandang langit-langit kamarnya. Ia bertanya-tanya, kapan terakhir kali ia benar-benar merasa bahagia, bukan karena keberhasilan menyelesaikan pekerjaan, tetapi karena sesuatu yang sederhana dan kecil.xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx"Selamat, Dara! Selamat!"Berdiri di atas panggung besar, lampu sorot satu persatu menyala menyorotinya begitu terang hingga menyilaukan mata. Pada kedua tangannya, terdapat berbagai piala yang tak mampu digenggam begitu erat, di leher pun terkalung banyak medali perhargaan yang tak ternilai harganya. Ia mengenali beberapa pencapaian tersebut seperti trofi lomba cerdas cermat ketika SMA, plakat penghargaan sebagai mahasiswa cumlaude, dan piagam atas pencapaian gemilangnya pada Apollo Production. Sekitar panggung terisi oleh suara tepuk tangan yang bergema, riuh memenuhi telinganya. Wajah-wajah orang yang ia kenal—guru, rekan kerja, bahkan keluarganya—tersenyum padanya, seolah berkata bahwa ia telah mencapai segalanya.Mendapatkan pujian serta tepuk tangan semeriah itu membuat Dara tidak bisa menyembunyikan perasaan bangga. Memandangi semua pencapaian yang ada di tangan membuatnya berpikir bahwa inilah yang selama ini ia perjuangkan. Semua kerja keras, disiplin, dan pengorbanan—akhirnya membuahkan hasil. Tetapi semakin lama, ada sesuatu yang terasa salah. Suara tepuk tangan itu mulai terdengar kosong, seperti gema yang tidak memiliki sumber.Dara menoleh ke seberang panggung, ke arah tempat yang sebelumnya ia sadari. Di sana, terdapat sekelompok orang yang duduk di bangku sederhana. Tidak ada sorotan lampu atau penghargaan di tangan mereka. Tidak ada panggung megah. Tetapi wajah mereka bersinar dengan kebahagiaan. Mereka tertawa bersama, berbagi cerita, dan menikmati hal-hal kecil seperti secangkir kopi atau obrolan mereka.Tepuk tangan di sekelilingnya mulai memudar, tetapi tidak dengan suara tawa dari kelompok di kejauhan itu. Perlahan, semua piala di tangannya mulai melebur, menjadi cairan yang dingin dan mengalir melalui jari-jarinya. Dara panik, mencoba menggenggamnya, tetapi tidak ada yang tersisa. Suara tepuk tangan sepenuhnya lenyap, dan ia menyadari bahwa panggung tempat ia berdiri mulai menghilang."Tidak... tidak! Tidak!"Ia berusaha mengejar orang-orang di kejauhan, tetapi kakinya terasa berat, seolah terikat rantai yang tak terlihat. Sedangkan setiap orang kian menjauh, tidak peduli terhadap Dara yang terseok-seok di belakang. Meninggalkan Dara sendirian di kegelapan yang semakin pekat."Semua...! Semuanya! Kenapa...?!"Dara berteriak, memanggil, tetapi suaranya tidak keluar. Perlahan, ia merasa seperti tenggelam ke dalam kegelapan itu, tanpa apa-apa yang bisa ia pegang. Rasa kesepian telah menelan wanita itu sepenuhnya. Tepuk tangan, penghargaan, dan sanjungan—semuanya lenyap, meninggalkan dirinya dengan kehampaan yang begitu besar."Hah?!"Ia pun terbangun dari mimpi buruk, dengan nafas yang berusaha mengejar tiada henti, serta keringat dingin yang perlahan menuruni badan. Ruangan apartemennya gelap dan sunyi, hanya diterangi oleh cahaya matahari yang menerobos melalui tirai. Mimpi itu begitu nyata, hingga ia butuh beberapa saat menyadari bahwa dirinya kini memang telah terbangun.Duduk di tepi ranjang, Dara memegangi kepalanya yang terasa berat. Gambar-gambar dari mimpi itu masih melekat di pikiran. Tepuk tangan yang memudar, piala yang meleleh, dan orang-orang yang berjalan menjauh meninggalkannya. Ia merasa seperti seseorang yang terus berlari mengejar sesuatu, tetapi tidak tahu apa yang sebenarnya ia cari.Malam itu, ia menyadari sebuah kebenaran yang selama ini ia abaikan, bahwa semua yang ia capai, semua tepuk tangan dan penghargaan, tidak pernah benar-benar memberinya kebahagiaan. Telah menghabiskan hidup demi mengejar kesempurnaan, hingga tidak tahu apa yang sebenarnya ia inginkan."Aku... harus... bagaimana."Dan untuk pertama kalinya, Dara merasa takut. Takut bahwa ia telah kehilangan terlalu banyak waktu untuk hal-hal yang sebenarnya tidak benar-benar penting. Takut bahwa ia tidak akan pernah menemukan jalan kembali. Takut bahwa ia akan terus tenggelam dalam kegelapan yang sama seperti di dalam mimpinya."... hah."Seusai menenangkan dirinya, ia meraba-raba meja kecil di samping ranjang, mencari handphone untuk memastikan pukul berapa sekarang. Begitu menemukannya, ia segera menekan tombol daya, tetapi layar tetap gelap, menandakan bahwa handphone tersebut telah mati."Astaga." gumamnya, menyadari bahwa ia lupa mengisi daya semalam karena terlalu lelah.Ia memutar pandangan ke arah jam dinding bundar di atas. Jarum pendeknya nyaris menunjukkan pukul delapan pagi—waktu yang hampir mustahil baginya untuk sampai ke kantor tepat waktu. Panik, Dara segera melompat dari tempat tidur. Tidak ada waktu untuk mengenakan pakaian dari balik lemari, hanya mengambil apa pun yang terjangkau oleh tangannya, sebuah kemeja yang belum disetrika dan celana panjang yang agak kusut.Dalam keadaan setengah sadar, ia berlari ke kamar mandi. Hanya cuci muka dan sikat gigi seadanya—tanpa ada waktu untuk mandi atau merapikan rambutnya. Sarapan? Bahkan pikiran untuk makan pun tidak terlintas. Segera menyambar tas kerjanya dan langsung keluar dari apartemen, berharap masih bisa mengejar kereta pagi."Hah, hah, hah... semoga masih sempat! Khk—"Saat menuruni tangga dengan tergesa-gesa, kakinya terselip. Pergelangan kakinya terkilir, dan rasa sakit langsung menjalar hingga ke betis. Dara meringis, berhenti sejenak untuk memeriksa, tetapi ia memutuskan untuk mengabaikan nyeri itu."Kalo diurus, bisa-bisa telat... Kuh—" pikirnya dan melanjutkan langkah meski terpincang-pincang.Sesampainya di stasiun, kereta sudah hampir berangkat. Dengan napas tersengal dan sedikit tertatih, ia berhasil masuk ke gerbong terakhir. Dara berdiri di sana, memegangi tiang sambil menahan sakit di kakinya. Orang-orang di sekitar melirik pakaian dan rambutnya yang acakadut, tetapi Dara sama sekali tidak peduli mengenai apa pandangan sekitar, yang terpenting adalah sampai di agensi tepat waktu.Ketika akhirnya tiba di kantor RP710, ia mendapati suasana yang sedikit tegang. Lea dan Rian berdiri di dekat pintu masuk, keduanya tampak cemas. Lea memegangi ponselnya, sementara Rian menatap ke luar seolah-olah sedang mencari seseorang."Dara!" seru Rian begitu menyaksikan wanita itu muncul dari balik pintu."Dari tadi kita telepon mulu loh, kok ga dijawab." Lea berjalan mendekat, penasaran mengapa bisa Dara sampai seperti itu."Maaf..." adalah jawabnya singkat."Tumben banget, telat begitu. Bahkan bajumu sampe acak-acakan, ketiduran ya?" balas Lea setelah memperhatikan dirinya dari atas hingga bawah.Dara, yang masih terengah-engah, mengangkat tangannya seolah ingin memberi penjelasan. "Maaf, handphone saya mati karena lupa di-charge. Dan telat bangun..."Ia berhenti sejenak, menyadari bahwa ini adalah pertama kalinya ia mengalami situasi seperti ini. Biasanya, ia adalah orang yang paling disiplin, paling tepat waktu, dan selalu tampil rapi."Hari bersejarah ini. Seorang Dara pun bisa teledor! Hahaha!" Lea tertawa mendengar jawaban yang muncul.Dara memutar matanya kesal, tetapi tidak membalas. Rian hanya menggelengkan kepala, tetapi senyum kecil tersungging di bibirnya."Yang penting kamu ga kenapa-napa. Aku panik soalnya gak bisa dihubungi. Anggap saja hari ini hari apes aja, oke."Tanpa bisa menjawab atau berasalan lagi, ia hanya dapat pasrah ketika menjadi lelucon Lea yang masih tertawa. Duduk pada meja kerja, meletakkan tas sembari mencolokkan handphone-nya ke charger. Ketika handphone-nya akhirnya menyala, ia melihat banyak pesan dan panggilan tak terjawab dari Rian dan Lea. Beberapa pesan hanya berupa,"Kamu di mana?" tetapi ada juga yang berisi lelucon seperti, "Perlu kukirim Tim SAR kah?" dari Lea.Pada meja kerja, Dara memeriksa daftar tugas yang harus diselesaikan hari itu. Matanya tertuju pada satu catatan penting berupa dokumen dan tawaran kerja dari sponsor yang harus segera ditinjau sebelum diserahkan. Ia melirik ke arah Rian, yang sedang mengetik dengan ekspresi yang tampak sedikit tegang."Produser, anda sudah memeriksa dokumen dari tawaran sponsor untuk minggu ini, kan?" panggil Dara dari seberang, yang membuat pria itu menoleh.Rian langsung terdiam. Ekspresinya berubah, seperti seseorang yang baru saja teringat bahwa ia lupa membawa dompet di tengah perjalanan. "Err... kayanya belum deh. Aku baru periksa dokumen soal mini live.""Produser... itu harus diserahkan hari ini loh, kalau bisa segera dicek." Dara menatapnya tajam, ekspresi seriusnya semakin menjadi."Ya! Bakal kuperiksa, sekarang juga kuperiksa." Balas Rian tergesa-gesa, sembari mengobrak-abrik dokumen yang tertumpuk di meja demi mencari yang perlu dicek.Setelah memastikan Rian kembali bekerja dengan serius, pandangan Dara beralih ke Lea, yang terlihat begitu santai tiduran di sofa sambil memainkan ponselnya. Dara mendekat dengan alis sedikit terangkat."Manajer. Kerjaan anda, sudah selesai?" panggilnya, membuat Lea menoleh tanpa mengubah posisinya.Lea menguap kecil sebelum menjawab, "Kalau soal data perkembangan member, jadwal bulan ini, sama rencana live streaming... sudah kuselesaikan kok.""Betulkah... kok bisa selesai secepat itu." Ucapnya ragu, sembari mengecek dari tablet soal kerjaan Lea yang rupanya memang telah selesai semua.Hari semakin meninggi, kini member Spica mulai berdatangan satu per satu ke agensi. Gadis-gadis muda itu tersenyum ceria, menyapa setiap staf yang ada. Saat tengah menyapa setiap idol, perhatian Lea teralih pada Dara yang berjalan kesana kemari mengambil dokumen dengan kaki yang pincang."Loh, bentar. Dara, kakimu kenapa? Kamu kekilir jangan-jangan." Ekspresi santai Lea berubah menjadi khawatir."Ah... tadi pagi, terkilir sewaktu menuruni tangga. Tapi tidak usah khawatir, selama tidak mengganggu pekerjaan..." jawab Dara cepat, meskipun wajahnya meringis menahan sakit tiap kali berjalan."Ngomong apa sih kamu. Pincang gitu nyuruh aku gak usah khawatir. Sini. Duduk, biar ku urus." Lea bangkit dari sofanya sembari menyeret Dara untuk duduk pada ruang tengah, di antara para idol."Kenapa sama Kak Dara?" tanya Lily kebingungan."Kaki dia kekilir tapi maksain terus buat kerja." Balas Lea ketus."Ya apa yang harus dilakukan kalau terkilir? Memangnya ada di antara kalian yang tahu cara mengobati kaki terkilir?" balas Dara. Gadis-gadis saling memandang satu sama lain dan menyadari bahwa Dewi yang pandai soal perawatan kini belum datang."Soal itu ga usah khawatir, kan dah kubilang, biar aku yang urus." Lea datang dari ruangan lain, membawa sebotol minyak dengan baunya yang menyengat."Ka-Kamu mau ngapain, manajer?" Cia menyaksikan Lea yang kini membaluri sekujur telapak tangan dengan minyak yang nampak licin itu."Tentu aja, mijet dia lah. Ayahku itu pandai soal ginian, sering mijat orang kalau ada yang keseleo. Jadi, serahin aja ke aku."Dara sangat menolak saran dari gadis tersebut berusaha meronta, tetapi Lea tidak memberinya kesempatan untuk berargumen. Dengan paksaan, Lea menarik kaki Dara dan menyuruhnya melepas sepatu. Ia hanya dapat pasrah menghadapi cengkeraman keras dari sang manajer yang tak menerima kata tidak itu.Lea mulai memijat pergelangan kaki Dara dengan gerakan yang terlihat terampil, tetapi sensasinya tidak main-main. Rasa sakit segera menjalar ke seluruh tubuh Dara, membuatnya spontan berteriak."Adududuh! Sa-sakit! Kamu yakin bisa mijat?!""Tahan! Segini doang mah normal! Kalau sakit, itu tandanya bagian situ yang perlu diurut!" kata Lea dengan tenang, meskipun sudut bibirnya melengkung ke arah senyum kecil."Normal? Rasanya seperti kamu ingin matahin kakiku!" Dara memekik lagi saat Lea menekan bagian tertentu. Bahkan gaya bicara formal wanita tersebut hilang ketika menghadapi rasa sakit yang tak terkira dari pijatan Lea.Member Spica yang baru saja datang segera berlari ke ruang tengah, penasaran dengan suara teriakan Dara yang terus menggema. Beberapa dari mereka mulai cekikikan, sementara yang lain mencoba menahan tawa.xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxSetelah drama pijat urut yang membuatnya menjerit-jerit, Dara akhirnya merasakan pergelangan kakinya kembali normal. Kini, dengan kaki yang tidak lagi terasa sakit, wanita itu bisa melakukan pekerjaannya dengan lebih ringan. Pada kantor agensi RP710 yang biasanya penuh canda tawa, hari ini terasa lebih sepi dari biasanya. Para staf tengah sibuk mengurus jadwal dan kegiatan para member Spica di lokasi-lokasi berbeda. Meninggalkan dirinya sendiri di ruangan, ditemani bunyi pelan dari pendingin ruangan dan ketikan keyboard.Suasana itu mendadak dipecahkan oleh dering telepon kantor yang nyaring, membuatnya buyar dari ketikan. Segera ia mengangkat gagang telepon tersebut."Halo, dengan Sekretaris RP710 di sini, apakah ada yang bisa kami bantu?" tanyanya dengan nada profesional.Di ujung sana, terdengar suara seorang pria yang memperkenalkan diri sebagai perwakilan dari salah satu studio musik ternama. Suaranya ramah, tetapi nada bicaranya membuat Dara langsung siaga."Kami dari Studio Galaxy, ingin menanyakan mengenai ketersediaan Spica untuk menghadiri salah satu acara kolaborasi yang kami adakan minggu depan. Tapi kami butuh konfirmasi secepatnya, kalau bisa hari ini juga, agar bisa mengatur jadwal dan persiapannya."Dara merasakan jantungnya berdegup kencang. Hari ini juga? Ia melirik ke sekeliling kantor yang kosong, merasa beban tanggung jawab itu sepenuhnya jatuh di pundaknya. Tidak ada Lea, tidak ada Rian, dan para member Spica sedang dalam sesi latihan di studio lain."Ah, tentu, terima kasih atas undangannya. Sebelum itu, bolehkah kami mengetahui mengenai detail acaranya? Saya akan coba mengonfirmasi dengan tim kami secepatnya." Balas Dara sembari mengeluarkan buku note kecil dari balik sakunya, bersiap menulis.Pria itu menjelaskan konsep acara tersebut—sebuah kolaborasi spesial antara band remaja yang tengah naik daun dan grup idol berisikan gadis-gadis muda juga. Studio musik itu ingin Spica membawakan lagu bersama band tersebut, yang kebetulan temanya begitu cocok.Dara mencatat setiap detailnya dengan cepat, tetapi semakin mendengar, ia merasa semakin tertekan. Jadwal Spica sudah cukup padat, dan ia tidak yakin apakah mereka bisa menyelipkan acara ini tanpa membuat perubahan besar. Belum lagi, keputusan untuk menerima undangan seperti ini biasanya melibatkan diskusi panjang antara Lea, Rian, dan bahkan para idol."Baik, saya menerimanya dengan baik. Akan segera kami berikan informasi secepatnya." Jawab Dara di akhir.Setelah menutup telepon, Dara menatap daftar jadwal Spica yang terbuka di layar komputernya. Wajahnya sedikit pucat, memikirkan bagaimana ia harus mengatur semuanya. Sudah coba ia menelepon Rian, tetapi pria itu mengatakan bahwa dirinya tengah disibukkan dengan wawancara Dewi, Yuna, serta Isla sehingga tidak mungkin ditinggalkan begitu saja."Oh iya, coba telepon Lea."Namun begitu panggilan terhubung, dirinya dikagetkan oleh fakta bahwa handphone Lea rupanya tertinggal di agensi. Kata-kata dari pria di telepon tadi segera terputar di telinga Dara."Kami ingin bertemu untuk membahas detailnya, kalau bisa jam empat sore, hari ini."Matanya langsung melirik ke jam dinding. Waktu menunjukkan pukul dua siang, yang berarti ia hanya punya dua jam untuk mengurus segalanya. Tidak ada pilihan lain. Ia harus bertindak cepat.Dengan langkah gesit, Dara meraih tasnya, memastikan semua dokumen penting ada di dalam, langsung memesan ojek online melalui ponsel. Beberapa menit kemudian, bersama dengan tukang ojek ia menuju tempat latihan menari Spica. Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar, mencoba mencari cara terbaik untuk memastikan bahwa tawaran sebaik ini tidak hilang sepenuhnya.Sesampainya di tempat latihan, Dara segera lari di gang kecil. Begitu pintu terbuka, ia hanya menemukan Ruri, pelatih tari Spica, yang sedang membereskan alat-alat latihan. Dara menghampirinya dengan napas sedikit tersengal."Ruri, yang lainnya, pergi ke mana? Apa... Lea masih di sini?" tanya Dara dengan nafas yang belum sepenuhnya terkumpul.Ruri menatap Dara dengan ekspresi heran. "Mereka baru aja kelar latihan lima belas menit lalu. Sekarang lagi pergi tempat latihan nyanyi sama Lea.""Hah... ya sudah. Terimakasih banyak, Ruri." katanya singkat sebelum bergegas kembali ke jalan utama untuk mencari ojek lagi.Perjalanan menuju tempat latihan menyanyi tidak terlalu jauh, tetapi rasa cemas membuatnya merasa waktu berjalan begitu lambat. Begitu sampai, Dara langsung masuk ke studio, berharap menemukan seluruh member Spica berkumpul di sana.Satu per satu member Spica memang ada di studio, tetapi mereka sedang latihan sendiri tanpa terdapat manajer mereka mendampingi."Loh, manajer pergi ke mana?" tanya Dara kepada Valentin."Oh, tadi manajer bilang mau ke agensi dulu. Katanya ada yang perlu di urus di sana." Balas Valentin singkat.Dara menutup mata sejenak, seakan tidak percaya mengenai keadaan yang tengah dialaminya. Rasa lelah yang ia tahan sepanjang hari mulai terasa semakin berat. Ia merasa seperti sedang dipermainkan oleh keadaan, dikejar waktu, tetapi selalu terlambat satu langkah. Tetapi bagi seorang Dara, berdiam diri untuk merasa kesal bukanlah caranya. Ia harus kembali ke agensi, kali ini dengan harapan Lea benar-benar ada di sana. Setelah mengucapkan terima kasih singkat kepada Valentin, Dara keluar dari studio dan memesan ojek lagi.Sepanjang perjalanan kembali ke agensi, tubuhnya terasa semakin berat, dan pikirannya terus dipenuhi berbagai skenario. Bagaimana jika ia tidak bisa memberikan jawaban kepada pihak studio tepat waktu? Bagaimana jika undangan itu terlewatkan karena salahnya? Ia menggenggam tasnya erat-erat, mencoba menahan rasa gugup yang semakin menjadi.Saat Dara tiba di agensi dengan langkah tergesa-gesa, ia melihat Lea duduk di sofa ruang tengah, tampak santai sambil memainkan kunci mobil di tangannya. Melihat Dara masuk, Lea langsung menyambut dengan nada setengah heran."Kemana aja kamu, Dara? Jam tiga kita ada janji sama client kan! Harus cepetan berangkat nih."Mendapati seseorang yang tengah ia cari justru bisa duduk dengan santainya, sementara ia harus berlari kesana kemari, membuat wanita itu penuh oleh kekesalan yang tak lagi terbendung."Padahal saya mencarimu, manajer! Tadi ada tawaran dari studio musik... dan mereka minta bertemu di jam empat sore!"Lea mengangkat alis, bingung. "Tawaran ? Bentar, studio musik? Itu baru nyampe? Soalnya aku samsek gatau. Dari tadi aku sibuk ngurusin persiapan bertemu client lain, makanya aku kembali ke sini dulu. Hp aja kutinggal buat di charge, soalnya bakal balik lagi ke sini sebelum jam tiga.""Bentar... tadi anda bilang, ada pertemuan dengan client lain di jam tiga? Aduh! Bagaimana ini, kacau!" Dara berteriak, lalu jatuh berlutut di lantai, kelelahan.Lea berdiri dari sofa, ekspresinya berubah menjadi cemas. Ia menghampiri Dara dan berjongkok di depannya."Tenang... tenang dulu Dara. Jelasin dulu semuanya dengan jelas."Dara menghela napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. Lantas membalas."Tadi saya menerima telepon dari Studio Galaxy, mereka mengajak Spica untuk berkolaborasi pada event mereka. Dari pihak studio meminta konfirmasi secepatnya, bahkan ingin bertemu pada jam empat hari ini. Tapi baru ingat dari anda, kalau kita juga ada janji dengan client lain di jam tiga. Kalau kita pergi ke meeting jam tiga, kita tidak akan sempat ke studio musik di jam empat."Lea terdiam sejenak, memproses situasi. Tetapi alih-alih panik atau khawatir, ia malah berdiri dengan santai sambil memainkan kunci mobil."Dua meeting dalam jarak satu jam? Hah, santai aja. Serahkan saja padaku."Dara mengangkat kepala, menatap Lea dengan ekspresi bingung sekaligus kesal."Mudah darimana, manajer?! Kita hanya punya satu jam di antara kedua meeting itu! Kamu pikir jarak satu tempat ke tempat lain itu dekat, apalagi Jakarta itu penuh macet!"Lea tersenyum lebar, kali ini penuh percaya diri. "Loh ga usah panik, ga usah risau. Gue itu anak sini, tahu lah jalan tikus satu dua. Makanya, biar mempersingkat waktu, kita ke client pertama dulu. Baru tancap gas ke studio musik!""Betulan nih? Kita tidak boleh sampai telat loh." Tatap Dara dengan penuh skeptis."Dara, kamu ingat, aku ini siapa? Lea! Walau aku ini orangnya ga jelas, tapi ada satu hal yang jelas dariku. Yaitu bisa bikin segalanya berhasil!" jawab Lea sambil menepuk bahu Dara.xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxDi dalam mobil, suasana terasa hening. Mesin mobil menderu lembut di tengah jalanan yang sudah mulai padat dengan arus balik para pekerja. Dara duduk di kursi penumpang, tangannya terus memijat pelipisnya yang terasa berdenyut akibat tekanan sepanjang sore tadi. Pada sampingnya, Lea tampak santai memegang kemudi dengan satu tangan sementara tangan lainnya mengetuk-ngetuk setir mengikuti irama lagu yang diputar pelan di radio."Saya masih tak percaya, kalau anda melakukan hal senekat itu, manajer." Setelah beberapa menit dalam keheningan, Dara akhirnya membuka suara.Lea menoleh sekilas, tersenyum kecil. "Sesekali kamu perlu percaya sama aku. Rian aja sering gitu kok.""Tapi cara anda bernegosiasi tadi, terlalu agresif. Untung saja tidak menyinggung client. Mereka adalah salah satu media perfilman terbesar di Indonesia. Kita tidak bisa bermain api seperti itu, manajer. Kalau mereka tersinggung, bisa-bisa agensi ikut kena imbas juga.""Kalo gak ditekan kaya tadi, kita gak bakal sempet ke studio musik tepat waktu. Yang mereka lakuin itu, buang-buang waktu, banyak diskusi sana sini. Dibiarin ngulurin waktu gitu, gak bakal ngehasilin apa-apa. Makanya mending langsung ke inti aja." Balas Lea dengan tawa kecil.Dara memutar bola matanya, tetapi tidak membalas langsung. Ia tahu, dalam hati, Lea ada benarnya. Meskipun cara yang ia lakukan membuatnya was-was, setidaknya negosiasi mereka berhasil, dan Spica kini mendapatkan dua tawaran besar sekaligus."Ah, manajer. Bisa tolong berhentikan saya di depan jejeran toko itu?""Eh? Oke deh..."Mobil berhenti di depan sebuah toko alat tulis yang tidak terlalu besar, tetapi cukup lengkap untuk memenuhi kebutuhan kantor. Dara melepas sabuk pengamannya, lalu memandang Lea yang masih memegang kemudi."Saya perlu membeli beberapa perlengkapan kantor—kertas printer, pena, dan beberapa barang lainnya."Lea mengangguk santai, tetapi sebelum Dara sempat keluar, ia berkata, "Oke, biar aku tunggu di parkiran.""Tidak perlu ditunggu, sebab mungkin akan lama. Sebaliknya, manajer masih perlu menjemput member Spica dari tempat latihan, kan?""Ah... iya juga. Tapi yakin gapapa, pulang sendiri?"Dara mengangguk dengan yakin. "Tenang saja."Setelah Lea pergi, Dara melangkah masuk ke toko stationery itu. Suasana toko cukup tenang, dengan hanya beberapa pelanggan yang sibuk memilih barang-barang kebutuhan mereka. Ia mengambil keranjang belanja dan mulai menyusuri lorong-lorong toko, memeriksa daftar belanja kecil yang ada di ponselnya.Begitu daftar pada ponselnya telah terbeli, ia menyelesaikan sesi belanja tersebut dengan perjalan menuju ke halte bus. Kedua tangannya sibuk menenteng kantung kresek besar yang berisi perlengkapan kantor. Kantung itu sesekali bergeser karena beratnya, membuat ia harus menggenggam lebih erat. Udara malam semakin dingin serta hiruk pikuk kota semakin ramai, tidak cukup untuk menyamarkan rasa lelah yang terasa di setiap langkahnya.Sepanjang jalan, deretan toko-toko kecil yang ia lewati telah mulai menutupi gerainya. Sebuah toko kue yang biasa ia kunjungi terlihat gelap, dengan papan bertuliskan "Closed" tergantung di pintunya. Dara menghentikan langkahnya sejenak, menatap toko itu dengan pandangan penuh kekecewaan.Ia menghela napas panjang dan kembali berjalan. Kini pikirannya tengah melayang ke rak kulkas di kantor yang biasanya menyimpan puding cokelat atau kue keju favoritnya. Makanan manis itu selalu menjadi pelarian di tengah kesibukan, seolah-olah menjadi hadiah kecil atas segala kerja keras yang ia lakukan. Tetapi hari ini, waktu terasa terlalu sempit, begitu pula peluang untuk menikmati sepotong kue manis."Hari ini terlalu sibuk sampai aku belum makan sepotong kue sama sekali..." gumam Dara pelan.Halte bus tidak terlalu jauh, tetapi perjalanan ke sana terasa seperti perjalanan panjang akibat kantung belanjaan yang semakin berat di tangan. Sesampainya di sana, ia mendudukkan diri di bangku kayu yang dingin, meletakkan kantung di lantai, sembari menyandarkan punggungnya. Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan suara kendaraan dan langkah orang-orang di sekitar menjadi latar belakang.Dalam keheningan itu, ia merenungkan hari yang panjang ini. Semua pencapaian, semua kesalahan, dan semua usaha yang telah ia lakukan untuk memastikan Spica mendapatkan peluang terbaik. Tetapi di tengah segalanya, Dara menyadari bahwa ia sering lupa memberikan perhatian pada dirinya sendiri.Suara deru bus yang datang membangunkan Dara dari lamunan, dirinya pun menaiki bus yang berisi penuh oleh orang-orang yang hendak pulang dari pekerjaan mereka. Duduk pada kursi di samping jendela, kantung belanjaan diletakkan di lantai di samping kakinya. Bus melaju perlahan, melewati jalanan yang mulai sepi. Udara di dalam bus terasa hangat, tetapi tidak cukup untuk mengusir rasa dingin yang muncul dari pikirannya sendiri.Ia mengeluarkan ponselnya, bermaksud untuk mengecek apakah ada notifikasi penting yang masih di sana. Tetapi saat layar menyala, ia disambut oleh lockscreen yang menampilkan bahwa hari ini ia tengah berulang tahun. Dara menatap layar itu lebih lama dari yang seharusnya, meresapi kesadaran bahwa ia bahkan melupakan ulang tahunnya sendiri. Hari ini hanya terasa seperti hari lain yang dipenuhi kesibukan, tumpukan tugas, dan lari ke sana ke mari mengejar waktu. Tidak ada momen khusus, tidak ada perayaan. Ia hanya sekedar seorang sekretaris yang terlalu sibuk hingga melupakan hari penting baginya."Hari ini pun... cuma hari biasa, seperti biasanya." Gumam Dara pelan.Deru mesin bus yang terus berjalan membawanya kembali pada kenyataan. Ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela, memandangi lampu-lampu jalan yang memanjang seperti garis-garis cahaya.Langkah kaki Dara terasa berat saat ia menaiki tangga menuju lantai kantor. Kantung belanjaan yang berisi perlengkapan kantor menggantung berat di tangan, tetapi beban sebenarnya terasa jauh lebih dalam—lelah setelah seharian penuh kesibukan dan bayangan akan kenyataan yang terus membayanginya.Ketika ia akhirnya sampai di depan pintu kantor, ia meraih gagang pintu dengan sedikit enggan. Begitu pintu terbuka, suasana di dalam ruangan begitu gelap. Tidak ada cahaya, tidak ada suara. Dara terdiam sejenak, berpikir bahwa mungkin semua orang sudah pulang.Dia menghela napas panjang, rasa sedih menyergapnya. Dalam benak, pikiran itu muncul lagi—bahwa ia selalu berakhir sendirian, bahkan di hari ulang tahunnya sendiri. Semua orang seakan memiliki hidup yang penuh warna, penuh canda tawa, sementara dirinya hanya terjebak dalam rutinitas tanpa akhir.Ia melangkah masuk perlahan, menaruh kantung belanjaannya di lantai, berjalan ke arah saklar lampu. Begitu cahaya menyala, suara riuh terdengar serentak, diikuti oleh balon-balon yang beterbangan dan tawa yang pecah."Surprise! Selamat ulang tahun, Dara!""Selamat ulang tahun!"Dara terpaku di tempat, terkejut luar biasa. Di depannya, semua orang—Rian, Lea, dan setiap member Spica—berkumpul di ruangan yang sudah dihias dengan dekorasi sederhana, lengkap dengan balon, spanduk kecil, dan sebuah meja yang dihiasi kue ulang tahun di tengahnya.Lea mendekat sambil membawa sebuah puding dalam kemasan khusus, menyerahkannya dengan senyum lebar."Persembahan untuk anda, wahai Nyonya Sekretaris. Pudding edisi terbatas, favorit anda.""Ba-bagaimana kamu bisa tahu, kalau aku suka pudding ini?! Padahal aku tidak pernah membicarakannya." Saking kagetnya Dara, ia sampai melupakan gaya bicara formal yang biasa dipakai."Tentu aja aku tau! Aku selalu merhatiin semua orang dari gerak-gerik, kesukaan, tanggal ulang tahun, hobi, dan makanan favorit mereka. Karna itu, tugas manajer!" balas Lea seakan begitu bangga, menyilangkan tangan ke dada penuh percaya diri."Ju-justru itu nakutin loh, manajer. Kayanya dia juga inget apapun yang kita lakuin selama ini..." balas Rian takut.Para member Spica tertawa, meskipun beberapa dari mereka terlihat agak ngeri dengan kemampuan Lea yang mengingat hal-hal kecil seperti itu. Dara tersenyum lebar, memandang ke sekeliling, melihat wajah-wajah penuh gembira serta mereka yang menyambut hari pentingnya itu dengan begitu semangat. Semua perasaan sedih dan lelah yang tadi menguasainya perlahan memudar, tergantikan oleh rasa syukur dan kebahagiaan."Terima kasih, saya... tidak menyangka kalau kalian akan melakukannya sampai seperti ini." ujarnya pelan, suaranya sedikit serak."Tentu saja. Kamu bagian penting dari agensi ini, Dara. Tidak mungkin kami lupa sama hari ulang tahunmu."Lily menambahkan, "Kak Dara sosok penting bagi kami. Kalau bukan karena Kak Dara, mungkin kami tidak bisa sampai sini.""Bener! Maka dari itu, selamat ulang tahun kak Dara!"Dara tersenyum kecil, mendengarkan semua ucapan selamat ulang tahun dan rasa terima kasih dari orang-orang di sekitarnya. Ia tak bisa berhenti merasa terharu, karena ini adalah pertama kalinya dalam bertahun-tahun ulang tahunnya dirayakan. Sebelumnya, hari yang berharga itu selalu berlalu begitu saja—tanpa perayaan, tanpa ucapan, bahkan terkadang ia melupakannya karena sibuk bekerja. Hingga segalanya terasa berbeda, pada malam ini ia merasakan kehangatan yang begitu tulus, sesuatu yang jarang ia rasakan.Setelah semua orang selesai memberikan ucapan, Rian yang duduk di sampingnya tersenyum iseng."Ngomong-ngomong, Dara, ulang tahun ke berapa memangnya, aku belum masang lilin ke kuenya."Dara memandang Rian sejenak, lalu menjawab singkat, "28."Lea yang tengah menyiapkan minuman di seberang langsung menoleh dengan ekspresi sok kaget, ia segera menyeletuk."Hah? 28? Wah, itu umur yang agak bahaya kalo belum nikah, loh!"Seketika semuanya hening sesaat. Setiap orang, termasuk Rian dan para member Spica, menatap Lea dengan pandangan campuran antara bingung, kaget, dan kesal. Tatapan mereka seolah berkata,'Kenapa harus diingatkan di momen seperti ini?'Dara, yang tadinya masih tersenyum, kini menatap Lea dengan tatapan datar."Terima kasih atas pengingatnya, manajer. Sangat membantu." ujarnya dengan nada sarkastik.Rian, mencoba menyelamatkan situasi, langsung menambahkan,"Ah, biarin aja omongannya si manajer. Lagipula, 28 itu baru permulaan, kan? Masih banyak waktu untuk ngelakuin apa pun yang kamu mau.""Iya, Kak Dara kan masih muda banget. Kita saja yang masih remaja sering mikir kalau Kak Dara itu gak tua kok, malah kaya tante-tant—" sebelum sempat Wulan membalas obrolan tadi, mulutnya segera disumpel oleh Dewi dengan kedua tangan."Tante... tante... ya..." sedikit merenung, Dara kini disadarkan bahwa umurnya mungkin sudah cukup untuk dipanggil seperti itu.Malam itu, suasana kembali hangat dengan canda tawa. Pembicaraan tadi meskipun membuat canggung, justru menambah warna dalam perayaan kecil tersebut. Dara merasa bahwa ia benar-benar dihargai oleh orang-orang di sekitarnya, tidak hanya karena dedikasinya di pekerjaan tetapi juga sebagai seseorang yang menjadi bagian dari keluarga kecil di agensi itu.Begitu upacara peniupan lilin serta pemotongan kue telah selesai dilakukan, kini pesta tersebut sudah bisa secara resmi diadakan. Meski tokoh utamanya adalah Dara, sang heroine malah memilih untuk duduk di dekat meja kerjanya, menjauh dari keramaian di ruang tengah. Tangannya memegang sendok kecil, menikmati pudding pemberian Lea yang manis dan lembut. Sesekali, ia melirik ke arah rekan-rekannya yang sedang tertawa lepas dan berbagi cerita di sekitar meja kue. Suasana hangat itu terasa mengalir di seluruh ruangan, tetapi Dara merasa lebih nyaman pada seberang, hanya sebagai pengamat.Lea, yang memperhatikan Dara menyingkir dari kerumunan, segera menyusul. Dengan langkah santai, ia mendekati Dara sambil membawa sepotong kue di piringnya sendiri."Tokoh utamanya kok malah di sini. Harusnya kamu yang ada di sana, ikut rame-rame sama yang lain."Dara tersenyum kecil, menatap Lea sekilas sebelum kembali memakan puddingnya. "Keramaian tidak cocok bagi saya. Lebih baik seperti ini, memperhatikan dari jauh.""Oke oke, kalo maunya gitu, aku ya bakal ikutan duduk juga. Setidaknya biar ada temen pengamat." Lea menghela napas panjang, lalu menarik kursi yang ada di dekat meja kerja dan duduk di sana.Mereka berdua pun memandangi keramaian pesta di ruang tengah. Suara tawa dan canda terdengar riuh, terutama dari para member Spica yang kini tengah menggoda Rian tanpa henti. Dara hampir tak bisa menahan senyum kecil saat melihat Rian yang biasanya penuh serius, kini menjadi objek hiburan bagi para gadis-gadis muda itu. Sang produser berusaha membela diri dengan canggung, tetapi jelas ia kalah jumlah dan hanya bisa tertawa pasrah."Noh liat, bahkan udah ada badutnya loh. Makanya ke sana, biar kita santai bareng-bareng." Sikut Lea berusaha untuk terus membujuknya.Tetapi bukanlah candaan yang Lea dapatkan setelahnya, Dara memandang kepada Lea dengan kedua mata yang penuh oleh keseriusan, seakan ingin meminta sesuatu darinya."Lea... menurutmu, apakah yang selama ini kulakukan... semua ambisi... dan semua kerja kerasku itu, sia-sia?"Lea terdiam sesaat, mengamati ekspresi Dara yang serius. Ia tahu pertanyaan itu bukan sekadar basa-basi. Dara benar-benar mempertanyakan dirinya sendiri, sesuatu yang jarang terlihat dari wanita yang selalu tampak percaya diri itu. Ia tersadar bahwa, kemungkinan Dara telah merasakan yang dinamakan burnout, situasi di mana dirinya telah habis terkikis oleh kerja keras yang tak menemui akhir.Maka dari itu, bagi Lea hanya ada satu jawaban yang sangat pasti untuk menjawabnya."Sama sekali tidak. Aku percaya, bahwa nggak ada yang sia-sia di dunia ini, Dara." Jawab gadis itu dengan penuh ketegasan."Tapi aku merasa... aku terlalu kaku. Terlalu terobsesi untuk membuat segalanya sempurna. Aku..." ia berhenti untuk berkata, ragu akan apa yang hendak dikatakan."Kamu itu emang selalu keras ya, sama dirimu sendiri. Tapi yah, itulah yang bikin kamu, jadi kamu sendiri, Dara. Ambisimu, kerja kerasmu, yang selalu mastiin segalanya berjalan sesuai rencana, dan tidak mau ada yang salah sedikitpun... itu yang bikin kami selalu bergantung padamu."Dara tertegun. "Bergantung padaku?""Ya. Kamu itu pilar bagi RP710. Jika tidak ada pilar, maka rumah pun akan runtuh. Kalau bukan karna kepintaran serta perhitungan cermatmu, kuyakin RP170 gak bisa bertahan sejauh ini. Dah berapa kali coba kamu selametin kita dari kebangkrutan, dah berapa kali coba kamu selametin Rian dari keteledorannya, dan berapa kali kamu ngingetin aku terus buat selesein kerjaan? Kami selalu bergantung padamu."Ia pun terdiam, merenungkan kata-kata dari Lea yang terus berlanjut layaknya kereta, menghantam setiap perasaan ragu dalam hatinya."Setiap orang, punya perannya masih-masing. Aku mungkin lebih santai dan spontan, tapi aku butuh seseorang seperti dirimu buat bikin aku sadar. Baik Spica, Rian, bahkan aku sendiri— butuh kamu Dara. Jadi, jangan pernah berpikir apa yang kamu lakukan itu sia-sia. Dirimu gak bisa tergantikan di sini."Mendengar itu, perasaan hangat menjalar di hati Dara. Selama ini, ia selalu merasa bahwa dirinya hanya sebuah gerigi dalam mesin, bahwa semua kerja kerasnya hanyalah usaha tanpa makna. Tapi malam ini, Lea berhasil menunjukkan padanya bahwa kehadirannya benar-benar penting."Lea... aku... terima... kasih. Sepertinya, kata-katamu itulah yang kubutuhkan selama ini." Angguk Dara pelan, tesenyum penuh oleh syukur.Lea tersenyum lebar, lalu mengangkat gelas minumannya. "Kapan pun kamu butuh motivasi, panggil saja aku. Kerjaanku sebelum di sini tuh emang motivator jalanan!"Keduanya tertawa kecil, lalu kembali memandang keramaian pesta di ruang tengah. Dara merasa beban di pundaknya sedikit terangkat malam itu. Ia menyadari bahwa dirinya tidak sendirian, bahwa di balik kerja kerasnya yang kadang melelahkan, ada orang-orang yang membutuhkannya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Dara merasa benar-benar berada di tempat yang tepat. Sebuah tempat yang begitu menghargai, perjuangan kerasnya.