Hari itu merupakan hari biasa dengan kesepuluh member Spica tengah bersantai, duduk pada ruang tengah sembari mengobrolkan banyak hal pada hari ini. Mereka baru saja menyelesaikan latihan tari, menghabiskan waktu istirahat mereka dengan kegiatan masing-masing.Isla duduk di sudut sofa, memegangi buku ensklopedia mengenai serangga, diam begitu tenang. Di sebelahnya Yuna, berbincang serius bersama Dewi mengenai lagu yang tengah populer belakangan ini, saling membandingkan preferensi mereka."Lagu itu memang bagus, tapi kalau dinaikkan sedikit chorusnya bakal lebih mengena. Soalnya itu kan lagu yang punya harmoni, penyanyi saja ada tiga bukan." Ujar Yuna sambil memperdengarkan lagu yang Dewi bahas dengan earphone."Hmm... masuk akal juga sih. Sayangnya, dibuat begitu biar lebih menyentuh sama video klip yang mereka tampilin." Balas Dewi kemudian.Sementara itu, di sisi lain ruangan, Valentin tengah menyeduh teh yang baru saja ia beli. Gerakannya begitu rapi dan penuh keanggunan, bahkan hanya untuk menuangkan air panas ke dalam cangkir."Apa ada yang mau teh?" katanya lembut sambil menyodorkan teko berisikan teh hangat yang baru saja ia seduh."Boleh, aku minta secangkir."Sedangkan Wulan yang tak bisa berhenti diam terus menerus coba memainkan bola kecil dengan kedua kakinya. Rain yang menyaksikan dari sofa hanya dapat bergeleng-geleng keheranan karena gadis yang satu itu sama sekali tidak kehabisan tenaga."Ati-ati loh, Wulan. Jangan sampe mecahin sesuatu, berabe ntar." Ujarnya sambil tertawa.Di tengah keramaian itu, Lily terlihat gelisah melirik jam di dinding."Habis ini latihan koreografi kan... aku takut kalo nanti gerakan-gerakannya nambah susah lagi...""Santai aja, Lily. Kita kan abis nyelesein video klip bulan ini, ga bakal ada yang susah susah lagi kok." kata Celi dengan santai sambil bersandar di sofa.Sedangkan Cia, semenjak tadi mengamati video-video penampilan dari setiap rival mereka seperti Sirius dan juga Girlish 10. Ia menunjukkan video tersebut kepada Istar, berusaha meminta saran darinya."Menurutmu gimana, Star? Girlish 10 aja dah bisa gerakan sulit begini loh.""Gimana ya, dari gerakan sih emang oke. Tapi kostum mereka tuh ga ada kesan trendynya samsek, old-school. Tu tipikal baju idol Jepang kan? Ga bosen kah."Mereka semua larut dalam obrolan masing-masing ketika tiba-tiba pintu kantor terbuka. Semua kepala menoleh, kemudian dari balik tembok, muncul produser mereka, Rian, dengan ekspresi ceria yang tidak biasa."Semuanya, dengerin deh!" teriak Rian begitu keras."Kabar apa, produser?" tanya Wulan dengan mata berbinar penuh rasa ingin tahu."Lagu baru kalian resmi selesai! Dan bukan cuma itu, mulai hari ini lagu itu dah bisa kalian tonton di UTube. Video musiknya juga kelar diunggah!" kata Rian sambil tersenyum lebar.Ruangan langsung meledak dengan sorak-sorai. Valentin memejamkan mata penuh bangga, terkejut namun penuh kegembiraan. Dewi bertepuk tangan perlahan, memberikan apresiasi atas kabar tersebut. Di sisi lain, Cia hampir melompat kegirangan, seperti seorang penggemar yang baru saja mendapat berita idolanya merilis lagu baru."Serius?! Bisa ditonton langsung nih!" seru Lily dengan nada tak percaya."Iya, betulan. Kalian cek deh." Balas Produser."Tonton bareng aja, lewat tv. Biar gue sambungin."Semua anggota Spica segera berkumpul mengelilingi televisi pada ruang tengah. Video klip baru mereka mulai diputar, kemudian ruangan yang tadinya ramai mendadak hening. Lagu baru mereka, berjudul "Bersinar Bersama", mengalun dengan melodi yang ceria namun penuh emosi. Video musiknya memamerkan dramatisasi mengenai kebersamaan akan sekelompok anak remaja. Setiap adegan memperlihatkan kekuatan persahabatan yang menjadi inti dari grup mereka."Wew, kok aku jadi keren gitu ya..." celetuk Rain sambil menggeleng tak percaya saat melihat dirinya sendiri mengenakan baju maskulin."Editingnya bagus... indah." bisik Isla pelan, wajahnya kini menunjukkan senyum puas."Di kolom komentar pun banyak yang apresiasi soal itu... mereka bilang ini salah satu video klip yang bagus." Kata Yuna yang mengecek kolom komentar melewati hpnya.Ketika video selesai, Istar segera ikut membuka kolom komentar di UTube, yang sudah mulai ramai."Kebanyakan sih komen positif." ujarnya sembari terus scroll ke bawah."Banyak yang bilang konsepnya ciamik pula." Tambah Lily sambil membaca di ponselnya sendiri.Namun, saat mereka melanjutkan membaca, suasana riang itu perlahan memudar. Rain yang selalu suka bercanda tiba-tiba terdiam, alisnya mengerut ketika matanya tertuju pada salah satu komentar. Dewi, yang duduk di sebelahnya, menyadari perubahan ekspresi gadis itu."Kenapa, Rain?" tanya Dewi penuh khawatir.Rain tidak langsung menjawab, hanya menyerahkan ponselnya kepada Dewi. Komentar itu mencuat di antara komentar-komentar fans lain.'Lagunya sih oke, tapi suara Cia ngerusak banget. Cempreng, gak cocok lagi. Kasian aku sama member lain, ngancurin lagu doang.'Ekspresi Dewi ikut menegang, tapi ia tidak berkata apa-apa. Yuna yang menyadari komentar itu muncul menjadi paling atas, langsung bersuara,"Apaan coba komentar ini."Tanpa disadari, Cia yang sebelumnya tersenyum senang juga sudah membaca komentar tersebut. Ia terdiam, pandangannya kosong, dan senyum yang tadi menghiasi wajahnya perlahan memudar."Cia... anu... sebaiknya biarin aja komentar itu. Biarin." Balas Yuna berusaha menenangkan temannya.Keributan di kolom komentar video klip ternyata lebih besar dari yang dibayangkan. Rian yang awalnya hanya ingin merayakan pencapaian baru grupnya, mulai menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Saat ia membuka kolom komentar di laptop, alisnya mengernyit melihat percakapan sengit yang sudah memenuhi halaman.Komentar negatif tentang suara Cia tidak hanya sekadar satu atau dua, tetapi sudah memancing perdebatan panjang antara penggemar yang membelanya dan mereka yang menghujat. Diskusi yang awalnya penuh positif berubah menjadi arena perdebatan yang tidak sehat. Segera ia menelepon manajer yang tengah bertugas di luar untuk mengatasi hal tersebut."Manajer, darurat, kolom komentar Utube kita kacau. Gimana caranya buat batasin komentar atau filter otomatis? Kalo gini terus bisa makin runyam ntar.""Eh, beneran kah? Biar kuatur aja dari sini. Biar kuurus."Setelah panggilan itu selesai, Rian kembali ke ruang latihan, di mana anggota Spica masih berusaha menghibur Cia. Mereka berhenti bicara saat melihat Rian masuk, wajahnya terlihat serius namun tetap tenang. Ia mendekat ke arah Cia yang masih duduk di sofa, menunduk sambil memutar-mutar rambut kuncir duanya tersebut. Rian berlutut di depan Cia agar bisa berbicara langsung dengan pandangan sejajar."Cia, aku tau kamu abis liat komentar tadi. Dan aku pun tau betapa nyakitinnya komentar itu ke kamu. Gak ada yang bakal suka kalo dihujat begitu, terutama setelah kamu berusaha begitu kerasnya demi lagu ini."Cia mengangguk pelan, tanpa menatap langsung. "Aku hanya... ngerasa kalo dah ngecewain para fans. Andai nyanyiku lebih bagus, komentar gitu nggak bakal muncul.""Dengar, seribu kebaikan aja bisa hancur karna satu keburukan. Kedengeran kejam emang, tapi kamu gak perlu peduli pada keburukan itu. Fokuslah pada ribuan orang yang suka kamu dan lagu kita. Mereka yang dukung kamu, paham usaha dan perjuanganmu, merekalah yang terpenting.""Tapi..." Cia hendak mengatakan sesuatu, namun terhenti dan memilih untuk diam."Cia itu seorang idol, kamu dah melalui pelatihan yang berat, penampilan demi penampilan, dan kamu selalu ngasih yang terbaik. Semua idol, bahkan yang paling terkenal sekalipun, pasti pernah mendapat kritik. Yang membedakan mereka adalah bagaimana mereka bangkit dari itu."Para anggota Spica yang lain mendengarkan dengan serius. Dewi menaruh tangannya di bahu Cia, memberikan dukungan dalam diam. Wulan pun sampai duduk di sebelahnya, berusaha memberikan semangat walau tidak tahu harus melakukan apa.xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxEsok hari seusai keributan di kolom komentar, Cia masih belum bisa pulih dari kejadian itu. Meski telah mendapat dukungan penuh dari teman-temannya di Spica dan produser mereka, rasa minder yang terlanjur tumbuh dalam dirinya sulit untuk hilang begitu saja. Setiap kali ia berdiri di depan cermin, pikirannya dipenuhi keraguan. Apakah ia benar-benar pantas berada di sini? Apakah suaranya benar-benar menghancurkan grup mereka?Berusaha keras dirinya menepis pikiran itu dengan satu-satunya cara yang ia ketahui, yaitu berlatih begitu keras. Ia menghabiskan waktu lebih lama untuk berlatih, sering kali terus melanjutkan sesi latihannya di rumahnya sendiri.Pada suatu sore, grup Spica tengah menjalani latihan vokal bersama pelatih mereka. Suara merdu dari anggota lain bergema di ruangan, tetapi Cia merasa suaranya sendiri terdengar berbeda—cempreng, tajam, dan tidak menyatu dengan harmoni yang dihasilkan.Setelah sesi latihan selesai, pelatih memberikan waktu untuk beristirahat. Tetapi, Cia tetap di tempatnya. Sambil memegang mikrofon, ia mengulang-ulang bagian lirik yang menjadi bagiannya dalam lagu "Bersinar Bersama". Setiap kali suaranya meleset sedikit, ia menggertakkan giginya dan mencoba lagi, semakin keras.'Sebentar lagi... sebentar lagi suaraku pasti bisa...' pikir Cia sembari terus menerus mencoba.Beberapa anggota lain mulai khawatir, tetapi mereka tidak ingin menekan Cia lebih jauh. Tak lama kemudian, pelatih kembali ke ruangan. Ia memperhatikan Cia yang terus menyanyi, suaranya mulai terdengar serak."Cia, berhenti. Jangan memaksakan diri seperti itu. Pita suaramu itu butuh istirahat, pakai waktu istirahat itu dengan benar!" ujarnya dengan nada tegas."Tapi... sebentar lagi, aku bisa paham sesuatu, pelatih!"Ia terus meneruskan nyanyiannya dan berjuang lebih keras, hingga akhirnya ia mulai terbatuk-batuk. Semua anggota Spica langsung terkejut dan menghampirinya."Cukup! Batasmu sudah segitu! Kalau terus dipaksa, nanti bisa luka, suara itu setengah hidupnya idol!" tegur pelatih menyanyi begitu keras, mengejutkan setiap orang.Cia terdiam, air mata mulai menggenang di matanya. "Tap...""Cia, dengarkan baik-baik. Latihan itu penting, tapi memaksakan diri seperti ini tidak akan membuatmu berkembang. Yang ada, kamu hanya akan merusak dirimu sendiri. Dan kalau kamu kehilangan suaramu karena ini, bagaimana kamu bisa menjadi idol yang kamu inginkan?" sang pelatih menghampiri Cia, menatapnya begitu serius."Aku... aku pengin jadi lebih bagus lagi. Mau seberapa keras kucoba, gak pernah bisa. Suaraku... suara jelek ini sudah ada sejak lahir, gak bisa aku ngubah begitu aja. Apa... apa yang bisa kulakuin biar bisa jadi lebih baik lagi, pelatih?" balas Cia, bergetar sangat lemah.Pelatih menggeleng. "Kamu ya kamu, Cia. Yang membuat seorang penyanyi hebat bukan hanya mengenai suara saja, tapi bagaimana dia menggunakan suaranya dengan benar. Suaramu, meski berbeda, punya irama yang khas. Dan itu adalah kekuatanmu. Kalau kamu memaksakan diri untuk mengubahnya, kamu hanya akan kehilangan identitasmu.""Cia, kita itu idol. Idol nggak bisa berdiri sendirian bukan, Spica itu ada karena kesepuluh dari kita. Maka dari itu, kami juga menerima dirimu dengan apa adanya kok." balas Lily dengan ditemani Dewi yang melangkah maju, mengelus kepala Cia dengan lembutnya.Wulan mencoba menghidupkan suasana dengan candanya. "Bener tuh, sama, kalo kamu sampe sakit. Siapa yang bakal nyanyi bagianmu? Jangan aku ya, suaraku yang kaya robot ini aja nggak bisa niru loh."Dukungan demi dukungan yang didapatkan terasa tulus dari lubuk hati terdalam, walau begitu Cia tetap merasa begitu berat untuk bisa menerimanya. Setiap kata pujian, setiap kalimat semangat, baginya seperti angin yang lewat, tidak mampu bertahan lama. Rasa takut yang mendalam, yang telah lama tertanam dalam dirinya, membuat Cia merasa bahwa segala kebaikan itu hanya sementara. Rasa takut akan kegagalan, serta tidak bisa memenuhi harapan setiap orang lah, yang menahan dirinya.Setelah memaksakan diri yang membuatnya terbatuk-batuk, Cia memutuskan untuk mundur sebentar. Ia duduk sendiri di sudut ruangan, merenung. Teman-temannya masih sibuk berbincang, sementara dirinya terus terdiam memandangi lantai. Setiap kali ia mencoba untuk merasa lebih baik, bayangan masa lalu dan kecemasan tentang masa depan datang begitu saja.Ia tidak bisa tidak berpikir tentang teman-temannya yang telah berhasil mendapatkan kesempatan mereka sendiri. Isla, Dewi, dan Yuna—mereka sedang sibuk dengan live di studio kecil. Wulan, Istar, dan Valentin—ikut dalam acara UTube yang sukses besar. Lily dan Rain bahkan sedang sibuk mengikuti audisi drama televisi.Sementara itu, dirinya... dan Celi, mereka berdua hanya bisa diam. Tidak ada tawaran pekerjaan yang datang. Tidak ada panggilan untuk tampil. Cia merasa terpinggirkan, meskipun dia tahu bahwa itu bukan salah siapa-siapa. Tetapi rasa cemas terus menggerogoti dirinya.Cia menundukkan kepalanya, matanya yang memerah memandang lantai yang memantulkan bayangannya sendiri. Ia merasa terasing di dalam grupnya sendiri, seakan menjadi bagian yang hilang, yang tidak diperhatikan."Apa yang salah denganku? Kenapa aku merasa seperti ini? Kenapa mereka bisa mendapatkan kesempatan, dan aku tidak?" pikirnya dalam hati.Pada ruang agensi, berlainan dari setiap gadis yang tengah berlatih, diskusi menegangkan terjadi antara Produser dan Manajer dari Spica. Rian duduk di kursinya, memandangi layar komputer yang menampilkan kolom komentar video klip pada Utube. Wajahnya menunjukkan keprihatinan bercampur kemarahan yang tertahan. Di dekatnya Lea berdiri di sisi meja dengan tangan menyilang, wajahnya penuh oleh keseriusan."Hal kaya gini bukan hal baru kan, setiap idol pasti pernah ngalamin." Ujar Lea."Aku tau soal itu, tapi serangan kali ini kerasa begitu masif. Makin banyak yang ngekomentarin soal Cia.""Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau Cia sedari awal memang agak berisiko buat dimasukin ke idol-mu. Sebab suaranya...""Memang, memang... tapi gak begini juga. Mereka gak tau seberapa keras gadis itu berjuang buat sampe sini, seenaknya ngasih hate speech begitu. Dia emang gak punya suara 'ideal' sebagai idol, tapi ada hal lain yang menonjol darinya. Dari visual, karakter, hingga gerakan tarinya yang di atas rata-rata."Mendengar komentar Rian yang begitu panjang mengenai Cia, Lea hanya dapat menghela nafas, memahami betapa kesalnya pria tersebut sekarang. Ia pun merasakan kemarahan yang sama, sebab anak yang ia bina sampai dikata-katai seperti itu."Internet emang tempat yang kejam... mereka asal komentar sesuka hati tanpa peduli gimana hasilnya entar. Tapi dari pengamatanku, itu hanya sekedar orang biasa yang asal komentar. Jadi kemungkinan mengenai serangan yang terstruktur, sepenuhnya bisa dibantah."Kata-kata Lea membuat Rian memutar-mutar pena di tangan, tanda bahwa pikirannya tengah bekerja keras."Maksudmu, yang kaya gini itu bisa dikoordinasi? Hate speech begini?" tanyanya."Bisa. Banyak orang terkenal yang pernah kena beginian. Entah pengirimnya dari fans yang merasa kurang senang, atau rival yang pengin ngehancurin mereka, sampai sengaja buat bikin karirnya down. Yah... intinya kamu ga usah khawatir soal itu, soalnya kasus Cia bukan yang seperti itu kok." Balas Lea, sembari menepuk pundak Rian agar ia merasa sedikit tenang.Sedangkan pria itu masih tenggelam dalam pikirannya, mencoba mencari jalan keluar dari masalah yang menimpa Cia. Memegangi pena begitu erat, mengetuk-ngetukkannya pelan di atas meja."Apa... ga ada cara buat hentiin ini semua, Lea?" ucap Rian begitu pelan."Sayangnya, sampai sekarang pun, ga ada cara yang benar-benar ampuh buat ngehentiin hate speech. Internet terlalu luas, terlalu mudah di akses, dan tanpa batas. Yang cuma bisa kulakuin, hanya nyegah komentarnya biar tidak semakin banyak, biar gak jadi flamming..." balas Lea menunduk, merasa tak berdaya.Rian mendesah panjang. "Gitu kah, maaf ya, manajer. Aku cuma ... frustrasi, waktu dihadapi masalah seperti ini lagi.""Gapapa kok, produser. Makdarit, semangat lagi dong. Ini tugasmu bukan, soal beginian itu kamu yang jago. Bahkan motivator kaya aku aja kalah kalo urusan character development!" tepuk Lea pada punggung Rian, membuat pria itu tersentak kaget.Rian tersenyum kecil, termotivasi oleh perkataan dari sahabatnya. Tetapi sebelum ia sempat menjawab, suara dering telepon terdengar dari arah meja, menarik perhatian mereka. Dara mengangkat telepon dengan sigap, lalu tiba-tiba berdiri dan berjalan mendekati meja Rian."Produser, telepon. Dari STVI katanya." Ucap Dara tergesa-gesa."Hah?! STVI, stasiun TV terkenal itu?! Ngapain mereka telepon kita!" Rian keheranan, alisnya terangkat serasa tak percaya akan apa yang baru saja didengarnya.Dara mengangkat bahu memberikan isyarat sama sekali tak tahu, lalu menyerahkan telepon itu. Rian mengambilnya dan menempelkan ke telinganya."Halo, saya Rian, produser dari Spica. Apakah ada yang bisa saya bantu?"Suara seorang wanita yang terdengar profesional menjawab dari ujung telepon. "Halo, Pak Rian. Saya Julia, salah satu staff tayangan Koki Bintang Lima di STVI. Kami tertarik untuk mengundang Spica menjadi salah satu kontestan di episode spesial kami yang akan tayang bulan depan.""Anda... ingin mengundang Spica? Untuk acara memasak?" Rian kembali mengulang kata-kata yang baru saja didengar, memastikan bahwa yang ia dengar itu betulan."Betul, Pak. Di episode tersebut kami berniat mengundang para tokoh idola anak muda untuk berkompetisi di kontes memasak. Berhubung sewaktu itu Spica tampil gemilang di live streaming Siapa Berani." jawab Julia dengan ramah.Rian menutup telepon dengan tangan satunya, menatap Lea dengan mata membelalak. "Mereka pengin ngundang Spica ke acara masak. Koki Bintang Lima! Yang ada di STVI itu!"Lea yang sedang meminum kopi hampir tersedak mendengar hal tersebit."Serius?! Demi apa!"Rian kembali ke telepon, mencoba meredam kebingungannya. "Untuk teknisnya sendiri, bagaimana?"Julia menjawab dengan detail, menjelaskan konsep acara yang santai dan menghibur. Episode tersebut akan menampilkan anggota Spica serta beberapa tim lain, memasak hidangan sesuai tema untuk kemudian dinilai oleh para juri profesional yang biasa hadir di acara itu. Fokusnya bukan hanya pada masakan, tetapi juga interaksi lucu dan spontanitas para bintang tamu yang diundang.Setelah percakapan selesai, Rian meletakkan telepon itu kembali ke meja dengan ekspresi campuran antara kagum dan kebingungan."Bisa-bisanya mereka pilih kita loh. Mana katanya itu gara-gara live streaming kemarin, waktu di Siapa Berani." katanya pelan."Tuh kan, kita langsung dapet efeknya abis tampil di situ. Tapi, pertanyaan utamanya... itu satu. Yang bisa masak di Spica itu siapa aja?""Oh iya!"Rian segera disadarkan oleh pertanyaan dari Lea tersebut, kembali memutar pikiran mengenai masalah satu lagi yang bertambah. Yaitu siapa saja yang bisa ia kirimkan kepada acara yang bertema memasak itu.xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxEsok hari, Rian tidak bisa menahan senyum dari wajahnya saat membawa kabar yang sudah ia tahan-tahan sejak semalam. Para anggota Spica duduk melingkar setelah selesai sesi pemanasan, beberapa masih mengelap keringat."Produser ngumpulin kita lagi, pasti ada apa-apa nih." Tanya Rain dari ujung sofa."Kalau bukan kabar dadakan, pasti masalah." tambah Yuna, mengamati Rian yang terlihat bersemangat.Rian menepuk tangannya untuk menarik perhatian. "Oke, sepertinya kalian dah gak asing kalau aku ngumpulin semua member begini. Kemarin, kita baru saja mendapatkan tawaran dari salah satu stasiun TV besar di Indonesia, STVI. Mereka ingin mengundang Spica ke acara mereka yang cukup terkenal, yaitu Koki Bintang Lima."Sejenak ruangan itu hening. Semua anggota saling memandang dengan ekspresi bingung, sampai akhirnya Dewi berseru, "Bentar, acara masak-masak itu?!""Iya, yang kadang ngundang selebriti gede buat tanding masak itu. Kali ini mereka mengundang Spica buat ikut serta ke acaranya." Jawab Rian sembari mengangguk.Hampir semua anggota merespons serentak."Keren... sampai diundang ke acara sebesar itu." seru Isla, menepuk tangannya perlahan."Kita bisa masuk tv nih berarti?!" Wulan yang memang sedari awal bermimpi untuk masuk tv langsung bersemangat."Tapi acara masak ya... bahkan masak masakan gampang kaya tumisan sayur aja aku masih belum bisa." Keluh Valentin sambil meringis."Emangnya cocok, idol kaya kita ikut acara gituan?" tanya Istar penuh ragu, memandang ke arah Rian dengan keraguan."Iya juga, belakangan ini kita selalu diundang ke acara begituan terus. Bukan acara musik kaya konser atau semacamnya." Yuna yang mencerna situasi mengutarakan pendapatnya."Sama, tapi anggap aja ini buah dari kerja keras kalian. Soalnya STVI ini pasti ngundang Spica gara-gara performa bagus kalian sewaktu di Siapa Berani." Lea yang berdiri di belakang sofa segera membalas.Mendengar nama acara tersebut, beberapa anggota tersenyum mengingat momen itu. Penampilan live Spica di acara Siapa Berani memang mendapat perhatian luas. Istar, Valentin, dan Wulan berhasil menaikkan traffic penonton berkat penampilan gemilang mereka bertiga. Bahkan Spica semakin dikenal oleh kalangan luas berkat itu."Idol itu gak semerta-merta cuma nyanyi sama nari doang kan, aku dah pernah bilang dulu. Kalian bakal sering ditawari acara-acara seperti ini, buat menarik minat penonton." Lanjut Lea."Kalian bakal tanding lawan artis-artis remaja lain kok, tenang saja. Sedari awal tujuannya memang untuk have fun saja." Tambah Rian."Artis remaja? Mayan sih... selama gak lawan yang udah terkenal banget mah...""Bener Lily. Fokus utamanya bukan memasak. Tapi soal bagaimana kalian menunjukkan kepribadian kalian di depan kamera. Bagaimana kalian bekerja sama sebagai tim, bagaimana kalian menghadapi tantangan. Fans ingin melihat sisi normal kalian, sehingga ini kesempatan bagus buat luasin basis penggemar kalian."Cia, yang duduk agak di belakang, mendengarkan dengan seksama namun tetap tampak ragu. Ia memandangi tangan kecilnya yang bertumpu di lutut."Tapi... gimana kalo kita gagal? Pasti ada jurinya kan? Takutnya nanti kalo masak yang aneh-aneh justru nurunin pandangan fans sama kita...""Santai, ga ada yang ngarepin kalian buat bikin masakan kaya chef professional. Kalo episode biasa mungkin isinya chef-chef jago pada tanding, tapi episode kali ini cuma sekedar hiburan."Mendengar komentar dari sang manajer, Cia sedikit tampak lega."Jadi, siapa aja yang bakal ikut acara ini?" tanya Wulan.Pertanyaan mengenai siapakah member yang akan ikut serta ke acara tersebut membuat Lea dan Rian saling memandang satu sama lain. Sebetulnya mereka masih belum bisa menentukan, meski setidaknya member tersebut bisa memasak."Niatnya sih, mau dipilih berdasarkan yang bisa memasak.""Jadi mau diadain kontes memasak kecil-kecilan buat nentuin siapa yang bakal wakilin Spica. Mereka butuh tiga orang." Balas Rian dan Lea saling bersaut-sautan."Kontes masak ya... kalo gitu, mau diadakan di mana kontes masaknya?" tanya Dewi penuh penasaran.Semua anggota Spica menoleh ke arah Lea dan Rian, menunggu jawaban. Sementara kedua orang tersebut pun bingung kembali. Rian menggaruk belakang kepalanya, mencoba mencari jawaban yang masuk akal."Kalo rumah kalian tentu saja tidak mungkin. Apartemenku kurang cocok, aku jarang masak soalnya. Alat masak aja dikit banget."Lea menghela napas. "Rumahku juga nggak bisa. Ada bengkel di depan, setiap hari brisik sama suara mesin dan orang-orang. Nggak cocok buat acara gituan."Semua member Spica mulai saling berbisik, mencoba mencari solusi. Sementara itu, di sudut ruangan, Dara yang sedang mengetik pekerjaan pada komputer, tiba-tiba mengangkat tangan dengan ragu."Sepertinya, saya punya saran. Kalau memang kalian butuh tempat untuk kontes masak, serta jika kalian mau, bisa pakai apartemen saya." Serunya, menghentikan pembicaraan.Semua orang menoleh ke arah Dara dengan ekspresi terkejut."Di apartemenmu?" tanya Rian, memastikan."Iya. Apartemen saya cukup luas, dapurnya juga lengkap sebab saya sering memasak juga ketika tengah luang. Serta, tentunya tidak ada kebisingan atau orang lain sehingga cocok.""Tapi... Kak Dara yakin? Kami ini lumayan banyak orang, lho. Bisa jadi ribut dan berantakan." Balas Lily mengerutkan dahi."Tidak mengapa, setidaknya, biarkan saya menjadi juri kalian untuk kontes itu." Tantang Dara kepada setiap member."Karena telah mendapatkan izin dari tuan rumah, kita bakal tetapin kontesnya di apartemen Kak Dara. Untuk harinya, di hari libur!"xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxAkhirnya hari libur yang dinanti telah tiba, keseruan mengisi setiap member Spica ketika mengendarai mobil menuju ke apartemen Dara. Lokasinya terletak di pusat kota Jakarta, dikelilingi oleh gedung-gedung tinggi dan jalanan yang selalu ramai oleh kendaraan. Sesampainya di sana, mereka dibuat takjub oleh kenyataan bahwa apartemen Dara berada di lantai yang sangat tinggi. Dari balkon, pemandangan kota Jakarta yang megah tampak begitu memukau, lengkap oleh gedung-gedung pencakar langit dan lalu lintas yang seperti miniatur.Namun yang benar-benar mengejutkan mereka adalah luasnya apartemen Dara. Ruangan itu terasa lega, mempunyai desain minimalis modern. Dibanding interior, dapur justru menjadi pusat perhatian mereka. Rak-rak penuh dengan bumbu, alat-alat masak terkini yang tertata rapi, serta meja dapur panjang nan kinclong membuat setiap orang spontan berdecak kagum."Secara interior, hampir sama... tapi dapurnya... gila. Kalah total gue." Balas Istar yang memandangi peralatan masak beraneka ragam di depannya."Dah kaya restoran kecil gak sih..." balas Rain juga sembari memegang panci Sauté yang berkilauan."Kalian terlalu berlebihan. Dibandingkan rumah ibu dahulu, yang ada di apartemen ini masih kalah." Ujar Dara yang tengah menutup pintu apartemennya."Wah, ibu kak Dara pasti suka memasak ya?" tanya Dewi."Bisa dikatakan, begitu. Maka dari itu, sedari kecil saya selalu menekankan bahwa saya pun harus pandai memasak. Katanya, wanita itu harus bisa masak, Dara. Karena dengan memasaklah, kamu bisa menghidupi keluarga serta memikat hati suamimu kelak." Jawab wanita tersebut berusaha menirukan mendiang ibunya ketika mengucapkan hal tersebut."Sepertinya... kak Dara selalu ditekanin harus bisa apapun." Bahkan seorang Isla yang jarang berkomentar kini membuka mulut."Yah begitulah, tetapi dengan ajarannya, saya bisa hidup mandiri selama ini di kota Jakarta yang besar ini.""Kalo aku jadi kak Dara... kayanya mustahil deh." Lily terkekeh mendengar jawaban itu.Rian berdiri di tengah ruang tamu apartemen Dara, sambil memegang catatan kecil yang terlihat seperti daftar aturan. Di sebelahnya, Lea dan Dara duduk di pada kursi, tersenyum melihat semangat para anggota Spica. Sementara pada dapur yang luas, para tim mulai sibuk menyiapkan bahan-bahan masakan mereka, menata peralatan, dan berdiskusi dengan pasangan masing-masing."Oke semuanya, seperti yang sudah ditetapin di minggu lalu, kalian dibagi menjadi tim berisikan dua orang. Kompetisinya dibagi menjadi tiga sesi yaitu pertama sesi makanan pembuka, kedua makanan utama, dan ketika makanan penutup. Setiap sesi akan memiliki waktu 30 menit untuk memasak, dan 10 menit untuk penilaian." Mulai Rian bersamaan dengan suaranya yang lantang."Walau kompetisi ini cuma sekedar hiburan, kuharap kalian tetep serius ya. Soalnya kita bertiga juga bakal kasih penilaian yang jujur." tambah Lea begitu tegas."Untuk susunan timnya yaitu Rain dan Isla, Yuna dan Istar, Valentin dan Lily, Cia dan Celi, dan terakhir Wulan dan Dewi. Sedangkan sebagai juri ada aku, Lea, dan Dara. Kami akan menilai berdasarkan tiga aspek rasa, kerja sama, dan kreativitas."Setelah penjelasan teknis selesai, waktu untuk sesi pertama pun dimulai. Para tim sibuk berdiskusi tentang strategi mereka."Sudah siap?" tanya Rian dari meja penjurian."Siap!" setiap tim membalas serentak secara bersamaan."Baik, sesi pertama kita mulai!"Setelah Rian secara resmi membuka sesi pertama kompetisi, semua tim mulai bekerja keras di dapur Dara. Suasana apartemen menjadi ramai oleh suara penggorengan, blender, dan obrolan antar anggota. Setiap tim berusaha membuat hidangan pembuka terbaik, walau tak semuanya berjalan lancar.Rain dan Isla memutuskan membuat gado-gado, hidangan khas Indonesia yang penuh rasa. Sampai pada pertengahan memasak, kesalahpahaman kecil terjadi di antara mereka."Bentar, Isla... kita sama-sama bikin gado-gado kan?""Iya. Kenapa?""Kok rasanya pedes sih." Rain yang coba mencicipi saus kacang buatan Isla sedikit bingung."Gado-gado... saus kacangnya itu memang pedas kan?""Setauku manis loh..."Isla mengira bahwa yang hendak mereka buat ialah tipe gado-gado yang sering ditemui di Jawa Timur di mana rasa saus kacangnya memang pedas, sedangkan Rain yang memang tinggal di Jakarta biasa menemui gado-gado dengan saus kacang manis. Sehingga ketika selesai, hasilnya adalah gado-gado dengan rasa yang terbagi dua sebagian manis dan sebagian pedas."Yang kanan manis... yang kiri pedes... unik sekali." Jawab Rian memiringkan kepalanya, usai memakan masakan tersebut."Harusnya lebih konsisten sih mau pedes apa manis, kalo gini malah aneh, hahaha." Balas Lea ikut mengomentari."Sepertinya mereka berdua tidak saling menyatu, yang satu ingin buat gado-gado khas Jatim, yang satunya lagi khas Jakarta." Dara yang memahami masakan pun menilai demikian.Selanjutnya tim Yuna dan Istar, mereka berdua sama-sama tidak berpengalaman dalam memasak, memutuskan bermain aman. Masakan yang disajikan berupa roti dengan berbagai pilihan selai, seperti stroberi, cokelat, dan kacang. Sampai ketika hidangan mereka disajikan, setiap juri saling memandang satu sama lain."Ini... Cuma roti sama selai doang?" celotek Lea, kebingungan."Iya.""Simpel, orang suka yang simpel dan mudah kan." Mereka berdua saling membagikan alasan satu sama lain."Simpel emang bagus, tapi kalo buat kompetisi... masa gini doang.""Betul kata Produser. Kalian punya banyak alat dan bahan di sini, kenapa tidak mencoba sesuatu yang lebih menantang?"Setelah dikomentara seperti itu oleh ketiga juri, kedua gadis itu hanya dapat tersenyum canggung. Merasa malu karena memang mereka tidak terpikirkan apapun mengenai masakan seperti apa yang harus dibuat untuk menjadi makanan pembuka.Pada sisi lain Valentin dan Lily bekerja sama membuat batagor. Semuanya berjalan begitu lancar sampai Valentin yang sangat menyukai makan pedas, menciptakan saus kacang dengan cabai ekstra. Ketika juri mencicipi, ekspresi mereka langsung berubah menjadi kepanasan."Pedes amat!!!" teriak Lea langsung menengguk segelas air putih sampai habis sepenuhnya."Eh? Masa... segitu doang gak pedes kok, manajer. Aku sendiri dah coba." Ujar Valentin dengan rasa percaya dirinya."Ya... ini mah bukan level normal lagi pedesnya, kelewatan." Rian ikut mengomentari dengan matanya yang telah berair."Sebenarnya enak, tekstur batagornya renyah di luar dan lembut di dalam. Tetapi benar kata mereka berdua, sausnya terlalu pedas sehingga tiada rasa lain selain pedas." Komentar Dara yang masih berusaha menghilangkan rasa cabai di lidahnya."Tuh kan, dibilang ngeyel sih Valentin!" Sementara Lily hanya bisa mengomel pada partnernya itu.Selepas itu tim Wulan dan Dewi menyajikan tahu dan tempe goreng dengan sambal terasi khas rumahan. Aroma gorengan mereka memenuhi dapur, membuat semua orang tergoda untuk mencicipi. Masakan yang begitu mudah dan gampang untuk dibuat, dari presentasi saja sangatlah sederhana nan tradisional."Ini mah makananku tiap pagi..." ujar Lea saat menyaksikan piring putih di hadapannya."Duh, jadi keinget ibu di rumah... sambelnya enak lagi." Rian pun tidak bisa berhenti menyicipi sambal buatan mereka berdua dengan tempe di tangannya."Saya bisa merasakan nostalgia di setiap gigitan. Sangat bagus untuk hidangan pembuka." Bahkan Dara mengapresiasi masakan mereka berdua, walau sesimpel itu.Kemudian yang terakhir ialah Cia dan Celi, mereka memilih untuk membuat rujak buah. Sama-sama hidangan yang begitu sederhana. Celi memotong buah-buahan dengan teliti, memilih buah seperti mangga, nanas, dan jambu yang segar. Sementara Cia di sisi lain, menciptakan bumbu rujak yang sempurna, memadukan gula jawa dan cabai sehingga menghasilkan rasa manis, pedas, dan segar."Wuih, seger... rujaknya seger banget." Rian tersenyum puas usai mencobanya.Lea mengangguk setuju. "Bumbu rujaknya pas. Pedasnya cukup, manisnya nyegerin.""Pemilihan buah kalian juga bagus, ditambah sausnya yang menjadi primadona. Cukup memuaskan." Tambah Dara.Setelah semua hidangan pembuka selesai dicicipi, suasana berubah menjadi hening penuh ketegangan. Para anggota Spica menunggu dengan cemas di ruang tamu sementara juri—Rian, Lea, dan Dara—berdiskusi pada mejanya."Semua masakan kalian punya kelebihan dan kekurangan sendiri." Buka Lea, bermaksud membuat situasi semakin menegang."Tetapi, yang menjadi penentu pasti ada."Rian berdiri di tengah dengan senyuman kecil, sementara Lea dan Dara berdiri di sisinya. Dia membuka catatan kecil di tangannya sebelum berbicara."Baik, semuanya. Seperti kata manajer tadi, masakan kalian memang ada kekurangan dan kelebihan masing-masing. Semua masakan punya keunikan tersendiri, tapi tenang saja, kami benar-benar menikmati makanan kalian kok." kata Rian, memberikan pujian untuk meredakan ketegangan."Walau seperti yang sudah kalian tahu, kompetisi tetaplah kompetisi. Dan kami sudah memutuskan siapa yang menjadi pemenang sesi pertama ini." tambah Lea."Pemenangnya ialah... Tim Wulan dan Dewi. Serta, Tim Cia dan Celi!" seru Dara.Wulan melompat kegirangan sembari memekik, "Horee! Bener kan, kak Dewi! sambal Kakak itu yang jadi juaranya!"Dewi yang tidak menyangka bisa memenangkan sesi pertama padahal menggunakan masakan sesimpel itu hanya dapat tersenyum senang, mengelus kepala Wulan.Sementara Celi langsung memberikan 'tos' kepada Cia atas kerja kerasnya dan gadis kecil itu pun membalas dengan wajah penuh ceria. Tim lain menerima hasil ini dengan lapang dada, meskipun beberapa anggota bercanda tentang kekurangan mereka.Rain berkata kepada Isla, "Kita balas di sesi berikutnya!"Sementara Valentin berseloroh kepada Lily, "Aku janji deh nanti gak bakal masukin cabe kebanyakan lagi!"Setelah keseruan di sesi hidangan pembuka, Rian mengumumkan dimulainya sesi kedua berupa masakan utama. Para juri menekankan bahwa sesi ini akan menjadi tantangan terbesar karena membutuhkan kerja sama tim yang solid dan kemampuan memasak yang tinggi. Masakan utama adalah inti dari sebuah hidangan, sehingga mereka mengharapkan hasil yang lebih berani dan berkesan.Semua tim bersiap dengan antusias, lengkap bersama tekanan yang mulai terasa dari wajah-wajah yang terlihat. Ketika waktu memasak dimulai, suasana dapur apartemen Dara kembali dipenuhi suara alat masak, hiruk-pikuk diskusi, dan semangat yang tak kalah membara bersama dengan nyala api kompor.Tim pertama, Wulan dan Dewi, memilih untuk memasak bubur ayam, sebuah hidangan ringan yang akrab di lidah semua orang. Wulan tampak semangat menyiapkan bahan-bahan, dari memotong ayam dalam suwiran kecil sampai sayur mayur yang menggugah selera."Aku urus kaldu, kamu hias toppingnya, oke?" ujar Dewi kepada Wulan.Sementara partnernya yaitu Dewi memastikan kaldu yang tengah ia rebus cocok bagi bubur ayam, tak lupa selalu memastikan juga bahwa nasi yang tengah dikukus telah berubah menjadi bubur."Oke, dah kepotong semua! Tinggal goreng bawang." balas Wulan sambil memeriksa bawang gorengnya.Setelah hidangan selesai, aromanya begitu menggoda, dan tampilannya rapi. Begitu bubur ayam mereka sampai di meja juri, Lea mencicipi dengan hati-hati."Rasanya enak, kaldunya gurih... sayang, buat presentasi kurang banget deh." katanya sambil menatap mereka."Buat aku pribadi sih suka soal rasanya... tapi kalo sekelas buat lomba kurang banget." Tambah Rian dari sebelah."Sebaiknya lebih inovatif lagi dalam plating, lebih kreatif, baru bisa oke."Seusai menerima kritik dari ketiga juri, Wulan dan Dewi tetap tersenyum dan berjanji akan memperbaiki strategi mereka pada tantangan selanjutnya.Berbeda dengan Wulan dan Dewi yang cukup percaya diri, tim Yuna dan Istar menghadapi masalah besar. Dengan keterbatasan pengalaman memasak, kedua sejoli itu memutuskan untuk membuat nasi goreng."Err... cara bikin nasgor yang enak tuh gimana ya?" tanya Istar panik sambil mengaduk nasi di wajan.Yuna yang pintar sekalipun tidak tahu menahu bagaimana cara memasak yang baik, karena dalam masakan tidak ada yang namanya rumus. Sehingga ia menyarankan teknik paling mudah dan gampang kepada Istar."Pakai bumbu instan aja. Gak perlu pusing."Mereka akhirnya menggunakan bumbu instan untuk menghemat waktu, tetapi kurangnya pemahaman soal rasa membuat nasi goreng mereka hambar dan tidak menggugah selera. Saat hidangan itu sampai di meja juri, warnanya tampak pucat dan aroma khas nasi goreng pun hampir tidak tercium."Gak ada rasanya samsek... warnanya juga pucet banget, kalian pasti pake bumbu instan ya." Kata Rian penuh ragu seusai mencicipi sesendok nasi goreng tersebut."Ya... pake bumbu instan.""Gak salah kalo pake bumbu instan. Soalnya emang udah diracik biar pas, tapi diliat dulu takarannya buat berapa banyak. Sama, tambahin bahan lain biar lebih kerasa." Kritik Lea lebih jujur daripada juri lain."Usaha kalian patut diapresi. Walau, hidangan kalian tidak bisa disebut hidangan semestinya sih..."Mendengar kritik ini, Yuna dan Istar hanya bisa tersenyum pasrah. Namun, mereka saling menyemangati untuk tidak menyerah meskipun hasil kali ini mengecewakan.Untuk selanjutnya, giliran tim Rain dan Isla untuk menyajikan hasil masakan mereka. Di hadapan juri, sepiring spaghetti yang simpel dengan saus merah memberikan beberapa pertanyaan kepada para juri. Rain terlihat percaya diri sementara Isla tetap terdiam, menunggu penilaian begitu tenang."Hmm, sausnya enak. Kamu bikin sendiri?" tanya Rian yang mencicipi sesendok."Tentu. Aku bikin sendiri saus bolognese-nya, bukan instan ya. Semuanya kubikin dari tomat sama yang lain. Gimana?" balas Rain yang antusias.Isla, dengan nada lebih tenang, menambahkan, "Dan pastanya kami masak sampai al.. al dente apa ya namanya, yang tidak terlalu lembek tapi juga tidak terlalu keras."Dara mengambil garpu, memutar spaghetti yang sausnya terlihat mengilap, lalu mencicipinya dengan saksama. Ekspresi wajahnya langsung berubah, matanya melebar sedikit."Wah, sausnya betulan enak rupanya. Rasa asam dari tomatnya terasa segar, bumbunya seimbang, dan teksturnya lembut.""Perfect sih ini semuanya. Gak bisa ngekritisi apa-apa aku." Lea sampai mengangguk setuju atas pendapat Dara."Tidak kusangka kalian berani membuat saus sendiri. Langkah yang cukup berisiko jika tak tahu caranya. Tapi ini luar biasa. Rasa dan teksturnya benar-benar seperti di restoran!"Mendengar pujian langsung dari Dara, Rain berseru girang, memberikan 'tos' pada Isla.Tim selanjutnya yang maju ialah Valentin dan Lily, mereka menyajikan burger buatan sendiri. Ketika burger diletakkan di atas meja, para juri langsung terkesan dengan presentasinya. Potongan roti terlihat sempurna, patty-nya tebal dan juicy, dengan lapisan sayuran segar dan keju yang meleleh.Valentin menjelaskan dengan tenang, "Kami pilih burger karena pengin menyajikan sesuatu yang simpel tapi dengan rasa yang kuat. Lily bikin patty ini dari daging, sementara aku ikut bantu mastiin bumbunya pas.""Padahal yang banyak tau soal burger tuh Valentin, aku cuma ngikutin arahan dia doang biar rasanya pas, ahahaha..." ucap Lily sembari tertawa kecil.Lea mengambil satu gigitan, mengunyah perlahan, dan kemudian tersenyum. "Dagingnya juicy, ada rasa smokey yang sangat enak, dan bumbu patty-nya kuat tapi tidak terlalu berlebihan," komentarnya."Kamu ngomong apa sih manajer, bahasanya kaya alien gitu. Tapi ya... memang bener sih. Yang jadi primadona itu patty-nya." Balas Rian yang baru mencoba satu gigitan.Meski Dara memberikan kritikan, "Sebagai masakan utama, sepertinya menyajikan burger itu sedikit kurang. Lebih cocok jadi makanan pembuka, kecuali disajikan dengan satu set seperti menambahkan french fries serta salad.""Win in detail." Senyum Valentin penuh percaya diri.Lily tertawa kecil, "Untung aja aku punya partner yang pernah nyobain burger mahal-mahal, jadi bisa dapat patokan rasa."Setelah giliran Valentin dan Lily selesai, akhirnya tibalah giliran Cia dan Celi untuk menyajikan hidangan mereka. Begitu mereka menunjukkan masakan, para juri dan member lain langsung terlihat terkejut."Mie ayam?" bisik Dewi, tak percaya."Kok mereka malah pilih makanan yang bisa ditemuin dipinggir jalan..." Istar pun terkejut menyaksikannya.Valentin menatap piring mereka dengan rasa penasaran, sementara Rain coba menebak-nebak mengenai rencana mereka."Kali aja ada sesuatu yang spesial," gumamnya sambil menyikut Istar.Cia sedikit gugup ketika setiap orang memandang penuh skeptis, meski begitu Celi yang berada di dekatnya tersenyum, coba membantu gadis itu agar lebih berani."Ma-masakan dari kami, mie ayam. Walau sederhana... kami ingin nonjolin bahwa sesuatu yang sederhana pun memiliki gebrakan luar biasa." Katanya.Rian mengambil sumpit dan memutar sedikit mie di mangkuknya. Setelah mencicipi, dia berhenti sejenak, matanya memandang Cia dan Celi."Kaldunya..." ucap pria itu perlahan.Lea, yang sudah mencicipi lebih dulu, langsung menyela, "Luar biasa. Kok bisa bikinan kalian lebih enak daripada mie ayam langgananku?!"Dara mengangguk sambil tersenyum. "Selain kaldu, potongan ayam kalian... bumbunya benar-benar meresap, ada rasa manis dan gurih yang pas. Seperti kata-kata kalian tadi, sederhana, tapi penuh rasa."Para peserta lain saling melirik, mulai menyadari bahwa meskipun terlihat sederhana, mie ayam buatan Cia dan Celi memiliki sesuatu yang istimewa. Rain, yang biasanya suka bercanda, bahkan berbisik ke Isla,"Kayaknya saingan berat kita tuh mereka deh." Isla hanya mengangguk, setuju tanpa kata-kata.Setelah semua masakan dinilai, Rian kembali mengumpulkan semua tim untuk pengumuman pemenang sesi kedua."Baik, setelah mencicipi semua hidangan utama yang luar biasa ini kami akhirnya memutuskan tiga pemenang sesi masakan utama." Katanya.Semua tim menahan napas, menunggu keputusan itu."Pemenang pertama adalah... Valentin dan Lily, dengan burger mereka yang memukau," lanjut Rian. Valentin dan Lily saling tos, terlihat puas dengan kerja sama mereka."Pemenang kedua, Rain dan Isla, dengan spaghetti bolognese mereka yang sempurna." Rain melompat kecil dengan gembira, sementara Isla hanya memberikan senyum lega."Dan pemenang terakhir sesi ini adalah... Cia dan Celi, dengan mie ayam yang penuh rasa dan kejutan!""Tuh kan? Dah kubilang kalo pake mie ayam aja." Celi langsung menyikut pelan Cia.Sementara Cia hanya tersenyum kecil, wajahnya memerah karena lega."Serius?!" ujar Wulan dari belakang, sedikit kaget tetapi tidak bisa menyangkal bahwa mie ayam itu memang enak.Dewi menepuk pundaknya, "Kadang sederhana yang penuh rasa itu lebih menang."Begitu sesi ketiga hendak dimulai, antusiasme para peserta terlihat jelas, mereka tahu bahwa ini adalah kesempatan terakhir untuk memikat para juri. Rian dengan semangat mengumumkan bahwa tema hidangan kali ini adalah makanan penutup."Kreativitas kalian akan benar-benar diuji di sesi ini. Ingat, makanan penutup harus memberikan kesan manis yang menutup semua hidangan dengan baik."Lea menambahkan, "Tapi jangan lupa, kami juga liatin teknik sama usaha kalian loh."Istar dan Yuna, yang sejak awal sudah terbukti memilih jalan termudah, memutuskan untuk menyajikan es krim dengan taburan buah. Yuna mengambil alih tugas menyusun es krim ke dalam mangkuk-mangkuk kecil, sementara Istar memilih buah-buahan untuk dipotong dan ditaburkan di atasnya."Begini doang, cukup kan?" tanya Istar sambil memotong apel."Es krim kan sudah dari sananya enak, jadi sebisa mungkin kita coba tarik minatnya pake hiasan buah." Balas Yuna percaya diri.Saat juri mencicipi, mereka tak bisa menahan diri untuk memberikan komentar.Lea tersenyum tipis. "Rasanya enak, tapi jelas bahan instan ini yang bekerja, bukan kalian," katanya, membuat Istar dan Yuna saling melirik dengan raut malu-malu."Kalian perlu menunjukkan lebih banyak usaha. Ini bukan hanya soal rasa, tapi bagaimana kalian menyajikan sesuatu yang benar-benar buatan sendiri." Kritik Dara selanjutnya."Tapi yah, seenggaknya masih enak kok buat dinikmatin." Balas Rian terus memakan es krim itu.Sementara pada tim sebelah, Lily dan Valentin memutuskan untuk membuat pudding karamel. Valentin yang punya pengalaman menyicipi banyak makanan penutup mahal, coba membimbing Lily yang jauh lebih pandai memasak darinya."Intinya itu di karamelnya, jangan sampai gosong." katanya serius kepada Lily, yang sedang menuangkan adonan pudding ke dalam cetakan."Santai, santai." jawab Lily yang kemudian mengipasi karamel di panci.Ketika pudding karamel itu akhirnya disajikan, para juri langsung terpukau dengan penampilannya."Wow, elegan banget," komentar Rian saat memotong puddingnya.Begitu mencicipinya, ekspresi mereka berubah menjadi penuh kepuasan."Manisnya pas, teksturnya lembut, dan benar-benar meleleh di mulut," puji Dara sambil tersenyum kepada Lily dan Valentin.Sedangkan Lea tidak berkomentar apapun hanya mengangguk setuju, karena sangat menyukai pudding itu hingga habis tak tersisa dalam sekejap.Peserta lainnya mulai merasa semakin tegang, menyadari bahwa kompetisi ini semakin ketat."Harus serius nih sekarang." bisik Rain kepada Isla, yang hanya mengangguk sambil fokus memikirkan ide mereka sendiri.Tidak luput juga yang lain, Wulan dan Dewi, serta Cia dan Celi, terlihat sibuk merencanakan strategi terakhir mereka untuk mencuri hati para juri di sesi terakhir ini. Kompetisi masih terus berjalan, dengan ketegangan dan semangat yang semakin memuncak.Wulan dan Dewi tampil percaya diri membawa piring saji yang menampilkan es krim pisang buatan mereka. Tidak seperti es krim Yuna dan Istar yang sekadar menggunakan bahan instan, Wulan dan Dewi berusaha mengolah es krim itu menjadi sesuatu yang berbeda."Kami coba campur es krimnya sama yoghurt biar rasanya lebih segar," jelas Dewi saat menaruh piring di hadapan para juri."Lalu, pisangnya diblender pake susu, jadi saus yang melumuri es krim. Hiasannya? Pisang segar yang dipotong tipis-tipis." Tambah Wulan di sebelahnya.Lea mencicipi terlebih dahulu. "Hmm, rasa saus pisangnya lembut dan cocok sama manisnya es krim. Bikin rasanya jadi seimbang.""Dekorasinya juga bagus. Aku suka bagaimana potongan pisangnya membuatnya terlihat cantik." Angguk Dara setuju.Rian memandang Wulan sambil tersenyum, "Jadi, siapa yang dekorasi ini?"Wulan mengangkat bahu dan menunjuk Dewi. "Aku cuma ngeblender dan ngurus bahan. Cantik kan hiasannya?"Dewi hanya tersenyum kecil sambil berkata, "Ih apaan, Wulan. Kita bikin ini bareng-bareng kan."Berikutnya adalah giliran Cia dan Celi. Saat mereka membawa hidangan ke hadapan para juri, ekspresi penasaran langsung terlihat. Di atas piring mereka ada tiramisu, makanan penutup khas Italia yang tidak biasa ditemui di meja kompetisi ini."Ini... apaan?" tanya Lea penuh kebingungan."Tiramisu. Hidangan penutup dari Itali." Jelas Cia."Aku mikir tiramisu itu cuma rasa dari minuman loh."Saat Lea mencicipi sendok pertama, matanya membelalak."Aku baru pertama coba... tapi rasanya unik banget, cobain deh produser. Kamu ga pernah coba juga kan?"Rian, yang juga baru pertama kali mencoba, tampak sependapat. "Manisnya gak berlebihan, mana ada rasa kopi yang halus di balik lembutnya krim lagi. Enak!"Dara yang lebih berpengalaman dalam mencicipi makanan internasional memberikan pujian besar, "Untuk membuat tiramisu seperti ini butuh teknik yang tepat. Ini rasanya otentik sekali. Kalian sungguh bekerja keras."Celi dengan senang hati menunjuk Cia. "Berkat Cia ini! Aku mah gatau apa-apa soal tiramisu."Cia tersipu mendengar sanjungan dari Celi, tetapi tetap menjawab dengan rendah hati. "Kak Celi juga banyak bantu, kok. Kalau nggak ada kakak, mungkin aku nggak selesai tepat waktu."Para juri tampak kagum dengan dedikasi dan kreativitas yang ditunjukkan oleh Cia dan Celi. Sementara peserta lain mulai merasa tekanan semakin berat."Tiramisu? Sesuatu banget deh," bisik Rain kepada Isla. Isla hanya mengangguk sambil memandang Cia dan Celi dengan rasa hormat baru.Rain dan Isla melangkah maju untuk mempersembahkan hidangan penutup terakhir, membawa sepiring pancake hangat yang tampak sederhana tetapi menggugah selera. Topping-nya hanya berupa saus maple yang mengilap dan sepotong mentega yang perlahan meleleh di atas pancake."Alasan kami milih pancake, karena menurut kami makanan penutup itu harus sesuatu yang ringan serta manis."Rian segera mencicipi pertama kali, menyuapkan sepotong pancake yang sudah menyerap saus maple."Adonannya lembut banget. Manis saus maple sama mentega yang bikin gurih bikin nyatu dengan sempurna."Lea tampak setuju, menganggukkan kepala sambil tersenyum."Pinter sih kamu milih pancake. Di banyak restoran juga biasanya pancake yang sering dipilih."Dara pun tak segan memberikan pujian. "Kadang, kesederhanaan justru yang paling sulit dilakukan dengan benar. Dan kalian berhasil melakukannya."Rain menyikut Isla pelan sambil tersenyum bangga. "Tuh? Mending pilih jalan aman aja deh. Yang lain soalnya dah bikin yang gila-gila, haha.""Untung saja tadi adonannya bisa jadi. Kalau gagal, kita bisa kalah sih."Rain tertawa kecil. "Yah, untungnya nggak gagal."xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxSetelah semua hidangan penutup selesai dinilai, Rian, Lea, dan Dara tampak serius berdiskusi. Mereka mempertimbangkan rasa, teknik, dan kreativitas dari setiap tim, sementara para peserta menunggu dengan penuh deg-degan. Beberapa di antaranya mulai berbisik satu sama lain, mencoba menebak siapa yang akan menang.Setelah diskusi panjang dan perdebatan yang cukup serius di antara para juri, akhirnya keputusan pun dibuat. Dengan senyum penuh arti, Rian berdiri untuk mengumumkan hasil akhir kompetisi memasak kecil-kecilan mereka."Setelah berdiskusi begitu matang," katanya, menatap para anggota Spica yang tegang menunggu."Kami dari para juri telah memutuskan. Bahwa yang akan mewakili Spica di acara Koki Bintang Lima adalah... Rain, Lily, dan Cia!"Sorak sorai langsung memenuhi ruangan, sementara Rain, Lily, dan Cia saling memandang dengan campuran keterkejutan dan kegembiraan."Aku? Seriusan?!" Rain berseru, matanya membelalak ke arah para juri."Ide-ide masakanmu yang sederhana tapi mengagetkan itu yang bikin kami takjub." Jawab Lea berusaha menjelaskan."Gak kuduga kalau aku yang kepilih..." Lily hanya tersenyum tipis sambil membetulkan rambutnya.Valentin menepuk pundaknya dengan bangga. "Dari awal kan emang kamu bintangnya, aku cuma bisa ngasih saran doang."Cia tampak paling terkejut. "Eh... yang bener aja. Masa aku..." gumamnya dengan suara pelan, pipinya memerah.Celi yang berdiri di sebelahnya, langsung melingkarkan lengannya ke pundak gadis tersebut."Pasti kamu lah! Resep milikmu tuh gila-gila banget, teknikmu aja dah sekelas pro loh."Para anggota lainnya pun memberikan ucapan selamat. Dewi dengan senyum lembutnya, berkata kepada kepada setiap pemenang."Kalian pantas kok. Jangan meragukan diri sendiri."Wulan menambahkan, "Bener banget! Kini giliran kalian buat harumin nama Spica!"Rain, yang biasanya suka bercanda, kali ini tampak serius. Ia menatap Lily dan Cia sambil berkata,"Mau gak mau kudu serius nih. Soalnya gak lagi main masak-masakan. Kita bawa nama Spica di sana."Lily mengangguk setuju, dan Cia, meskipun masih agak gugup, akhirnya tersenyum kecil."Iya." katanya pelan.Setelah sesi memasak selesai dan para pemenang diumumkan, para anggota Spica yang kelelahan mulai bersantai di ruang tamu apartemen Dara. Namun, suasana santai itu segera berubah menjadi ide jahil ketika Rain berkata dengan nada menggoda,"Hei, dari tadi kita yang masak terus, kan? Gimana kalau sekarang giliran para juri?"Mendengar itu, mata anggota Spica lainnya langsung bersinar penuh semangat."Setuju!" seru Yuna sambil menepuk tangannya."Ayo, Produser, Manajer, Kak Dara, sekarang giliran kalian yang unjuk gigi!"Rian, Lea, dan Dara saling berpandangan sejenak sebelum akhirnya menerima tantangan itu dengan percaya diri."Baiklah," ujar Dara dengan senyuman penuh percaya diri."Tapi jangan salahkan kita kalau masakan kami lebih enak dari kalian ya." Balas Lea penuh sinis kepada setiap orang.Dara mengambil alih tugas memasak hidangan utama. Dengan gerakan yang cekatan, ia mulai memotong bahan-bahan dan meracik bumbu. Kalau membahas mengenai Kak Dara, tentu kemampuan memasaknya tidak bisa diremehkan sama sekali. Sebab ia sedari kecil memang sudah terbiasa masak. Dikarenakan ibunya itu tipe yang tidak mau anak-anaknya tidak bisa apa-apa, jadi dirinya dipaksa belajar masak sejak SD.Sementara itu, Rian mengambil peran untuk membuat makanan penutup. Ia tampak terampil mengaduk adonan kue di mangkuk besar, sesekali mencicipi rasa dengan penuh konsentrasi."Ko-Kok produser bisa masak sih..." tanya Istar penuh kaget."Hm? Ah, itu gara-gara dulu waktu kuliah suka ikut bantu bikin stand. Kebanyakan bikin stand makanan manis sih, jadi aku jago bikin kue. Anggap aja pengalaman lama, gitu?" katanya sembari fokus mengaduk.Lea, yang kebagian membuat minuman, memamerkan kemahirannya meracik jus buah segar dan menyajikannya dengan tampilan yang artistik."Gak mau nanya kenapa aku jago juga kah?" ujar Lea meringis kepada setiap member yang tengah menyaksikan ketrampilan Lea menggerakkan cangkir kesana kemari."Memangnya kenapa...?" Lily pun terpaksa bertanya karena penasaran."Dulu aku pernah kerja jadi barista di kafe. Kalo bikin minum-minuman kaya begini mah, easy peasy lemon squeezy." ungkapnya sambil menaburkan garnish pada gelas.Para anggota Spica terkesan melihat keterampilan ketiga juri itu."Wah, aku nggak nyangka kalau semua staff ternyata punya latar belakang keren sebelum jadi pekerja di RP710," kata Valentin dengan kagum."Kupikir kalian langsung kerja di dunia hiburan setelah lulus kuliah." Dewi pun terheran-heran.Rian tertawa kecil sambil menuangkan coklat ke ke kuenya. "Nggak, kok. Semua orang pasti punya cerita masing-masing sebelum sampai ke sini."Setelah semua masakan selesai, para juri menyajikan hidangan mereka kepada anggota Spica. Masakan Dara berupa ayam saus mentega dengan nasi putih harum disambut dengan sorakan kekaguman."I-Ini mah masakan restoran kelas atas!" seru Valentin yang mencoba pertama.Hidangan penutup Rian, berupa brownies cokelat dengan taburan keju, membuat semua orang berebut mengambil potongan."Enak!" ujar Isla sambil memejamkan mata menikmati rasa manisnya."Produser, aku boleh minta resepnya kah...?" Cia segera membuka handphonenya untuk meminta resep itu dari sang produser."Boleh boleh, tapi abisin dulu ya."Sedangkan Lea membuat jus berwarna-warni penuh oleh campuran banyak buah, memberikan rasa segar yang sempurna untuk mengakhiri santapan mereka."Aku nggak nyangka jus bisa sekompleks ini rasanya," kata Yuna sambil menyeruput."Bisa dong, itulah magic dari seorang barista!" balas Lea penuh bangga.Di tengah kemeriahan itu, Rain dan Lily mendekati Cia."Cia, kita bakal andelin kamu di acara itu nanti." ujar Rain dengan nada serius namun hangat.Cia tampak ragu, memutar-mutar gelas jusnya. "Tapi... aku nggak yakin bisa lebih jago dari kalian berdua."Lily tersenyum lembut sambil memegang tangan Cia. "Merendah ah kamu, Cia. Masakanmu itu bagus-bagus semua loh. Kita yakin kok kalo kemampuan masakmu itu jago. Dan santai saja, kita itu tim, jadi bakal kubantu juga."Rain menepuk bahu Cia dengan semangat. "Yoi, sama kaya kata Lily. Jadi, kumohon bantuannya sama kamu, chef!""O-oke deh... kalo kalian bilang gitu." Cia tersenyum kecil, akhirnya merasa sedikit lebih tenang.Mereka bertiga saling tersenyum, sementara anggota Spica lainnya melanjutkan tawa dan obrolan mereka. Malam itu di apartemen Dara, kehangatan dan kebersamaan grup idol bernama Spica terasa begitu nyata, mengisi setiap sudut ruangan dengan rasa percaya diri akan acara yang akan menanti di lain hari.