Chereads / IDOLIZE / Chapter 29 - Bab 26: Menjadi Dewasa, Part 3

Chapter 29 - Bab 26: Menjadi Dewasa, Part 3

"Malam ini, kamu nginep aja di rumahku.""Eh?"Kedua mata Dewi terbelalak lebar saat manajernya mengatakan hal tersebut. Tentu saja ia tidak bisa langsung mengiyakan mengenai saran darinya, penuh keraguan serta takut akan merepotkan manajer karena permasalahan yang seharusnya ia atasi sendiri."Se... sepertinya tidak perlu sampai seperti itu deh, manajer. Dia gak mungkin—"Lea menatap Dewi dengan serius, mengatakan bahwa saat ini yang paling penting adalah keamanan Dewi."Kalau dia sampai tahu di mana kamu tinggal, bisa aja dia dah nyelinap masuk saat kamu gak sadar, aku gak bisa nganggap ini masalah remeh."Meskipun awalnya merasa segan, Dewi akhirnya menerima tawaran Lea. Dara yang mendengar pernyataan Lea, awalnya merasa ini sedikit berlebihan, tetapi dari ketegasan ucapan serta wajah penuh serius datang dari seorang Lea mengubah pikirannya.Sepanjang hari, baik Lea, Rian, maupun Dara, secara hati-hati mengawasi jalannya latihan serta memastikan tak ada orang mencurigakan di sekitar mereka atau Dewi. Kejadian ini juga membuat Rian sangat marah. Dalam percakapannya dengan Lea, ia sempat meminta agar diberitahu lokasi pria tersebut untuk "menyelesaikan masalah ini secara langsung." Meski Rian berusaha menahan emosi, terlihat jelas bahwa ia sangat tidak terima melihat Dewi mengalami situasi seperti ini."Stalker katamu?! Gak bisa dibiarin... ini udah bahaya masuknya!" kata Rian dengan suara yang semakin meninggi ketika mereka tengah menunggu di luar tempat latihan."Aku juga mikir sama sepertimu, tapi belum dapet banyak informasi soal tu stalker.""Kalo dah dapet, kabari aku, Lea. Biar aku sendiri yang atasi ini, pria dengan pria."Lea yang ikut terbawa api amarah tetap berusaha untuk tenang sembari menasihati produsernya itu."Rian, jangan buru-buru gerak gitu. Gak ada jaminan dia bakal berenti kalo dipukul sekalipun, biar aku yang atasi. Bakal kubikin dia gak bakal lakuin hal itu lagi, selamanya." katanya sambil tersenyum tipis.Ia punya rencana, walau belum menjelaskan semua detailnya, terlihat bahwa Lea ingin mengatasi situasi ini dengan caranya sendiri. Sama seperti yang dilakukannya pada kasus Isla.Malam kini telah mulai mendatangi, serta latihan yang ia jalankan pada hari ini terasa jauh lebih melelahkan daripada sebelum-sebelumnya. Gadis berusia 24 tahun itu terus berusaha untuk tetap tenang meski ia tahu bahwa keselamatannya kini terancam. Bahkan begitu dirinya keluar dari tempat latihan, manajer langsung menghampiri Lea yang muncul paling terakhir."Maaf menunggu lama, manajer.""Gak apa-apa, yang lain juga baru aja keluar tadi, sekarang mau pulang ke kantor lagi sama produser."Teman-teman grupnya yaitu Lily, Rain, dan Yuna, tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran mereka. Selepas menceritakan mengenai kejadian yang menimpanya berupa dirinya yang tiba-tiba jatuh pingsan dan tidak menghadiri satu sesi latihan, tentu setiap gadis begitu cemas. Di dalam saja banyak yang mengutarakan langsung kepada Dewi."Kak Dewi, yakin gapapa?" tanya Lily.Dewi tersenyum tipis, berusaha tampil tenang. "Jangan khawatir. Manajer dan produser yang menangani semuanya.""Kami khawatir kalau kamu kenapa-napa." Balas Valentin dari ujung ruangan, disertai anggukan yang lain."Tenang saja, yang penting kalian semua tetap fokus ke latihan. Aku gak pengin keadaanku ini memengaruhi kalian."Setelah menenangkan seluruh teman-temannya di Spica, mereka berpisah. Pada malam ini ia telah direncanakan untuk menginap terlebih dahulu di rumah Lea sampai situasinya telah aman. Mereka berdua melangkah menuju parkiran, di mana Lea sudah menyiapkan motor kesayangannya untuk mengantar Dewi. Sang manajer tersebut tahu betapa pentingnya menjaga keselamatan setiap talent mereka, terlebih sejak isu stalker yang tak disangka muncul begitu cepat.Sepanjang perjalanan Lea berusaha menjelaskan mengenai ini itu, kebanyakan mengenai rumahnya yang berada di daerah cukup ramai di tengah kota. Ia berkata bahwa lantai pertama rumahnya terhubung dengan sebuah bengkel otomotif yang dijalankan oleh sang ayah. Di lantai atas bengkel itulah tempat tinggal Lea berada.Dalam perjalanan, Dewi memperhatikan malam yang semakin pekat. Lampu jalan menyinari sisi-sisi jalan yang sepi, sementara motor Lea melaju perlahan namun pasti melewati blok demi blok perumahan. Ketika mereka hampir sampai, Lea mulai menurunkan kecepatan. Mereka melintas di depan bengkel yang masih ramai meskipun hari sudah larut. Terdengar suara mesin yang bising dan canda tawa beberapa pelanggan setia yang sudah akrab dengan suasana bengkel itu.Begitu mendekat ke arah bengkel, Dewi tak kuasa menahan rasa takut. Matanya tertuju pada pria-pria kekar berotot yang dipenuhi tato yang sedang bercanda dan tertawa di sekitaran bengkel. Secepat mungkin ia bersembunyi di balik punggung Lea, mencoba menghindar dari perhatian mereka. Jantungnya berdebar-debar, takut kalau-kalau daerah ini termasuk ke daerah yang tidak aman. Tetapi ketika mereka melihat sosok Lea yang menurunkan helm, suasana langsung berubah."Oh si Key! Gue pikir siapa!" sapa salah satu pria bertato itu dengan senyuman lebar di wajahnya."Dih dih, sekarang dah sibuk jadi jarang pulang cepet nih ye..." sahut yang lain, masih dengan nada ramah. Mereka melambaikan tangan bahkan salah satunya menunduk untuk melihat ke belakang Lea, memperhatikan Dewi yang masih setengah bersembunyi."Siapa nih, eneng yang manis ni? Temenmu ya?" tanya seorang pria yang menatap Dewi dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu.Dewi yang masih gemetar ragu-ragu membalas sapaan mereka dengan anggukan kecil, sementara Lea tersenyum tenang dan menjawab,"Iya, temen, namanya Dewi. Dia mau nginep bentar di rumah beberapa hari.""Kalo temennya Key, berarti temen kite-kite juga. Oi, bang, ini anakmu bawa temennya. Sapa kek!" ujar salah satu pria dengan suara berat tapi penuh kehangatan. Mereka mengangguk setuju, beberapa bahkan tersenyum kepadanya, membuat Dewi yang awalnya ketakutan perlahan merasa lega. Kebaikan dan keramahan mereka terasa tulus, seolah-olah setiap orang yang penting bagi Lea akan diperlakukan sebagai keluarga.Di tengah percakapan itu, seorang pria yang lebih tua keluar dari bawah kolong mobil, mengusap tangannya yang kotor dengan kain lap. Pria itu ialah ayah Lea, kini ia memandang Dewi dengan tatapan penuh pengertian."Tadi si Key dah ngabarin, kamu ya yang mau nginep sini? Sante aja ya, anggep kaya rumah sendiri. Sama, jangan takut sama abang-abang yang tampangnya nyeremin ini, kalo mereka macem-macem, teriak aja. Ntar kita gibeng rame-rame." katanya penuh canda.Dewi terkejut. Meski tampang pria-pria di bengkel itu terlihat sangar, hati mereka begitu baik. Ia tertunduk malu karena sudah salah menilai mereka, merasa lega sekaligus bersyukur mendapat sambutan yang tak terduga. Lea menepuk bahunya lembut, memberi isyarat agar Dewi tak perlu lagi merasa canggung."Terima kasih banyak... pak. Maaf merepotkan." Dewi berkata pelan, berusaha menguatkan diri.Lea dan Dewi menaiki tangga menuju lantai dua, meninggalkan hiruk-pikuk bengkel di bawah mereka. Di tengah perjalanan, Lea berbisik pelan,"Maaf ya soal orang-orang di bengkel tadi. Aku tau tampang mereka agak nakutin, tapi mereka tu baik kok. Jadi gak perlu takut, abang-abang tadi dah kek saudara buat aku."Dewi hanya tersenyum kecil, masih sedikit gugup tapi mulai merasa lebih tenang. Di sela obrolan Lea sempat menambahkan,"Oh iya soal nama tadi, 'Key'. Itu nama asliku, cuma sedikit doang yang tau kaya si Rian. Biasanya sama yang lain dikenal sebagai Lea sih, jadi tolong rahasiain kalo bisa."Setelah beberapa saat, mereka sampai di lantai dua, memasuki kamar Lea yang terlihat rapi dan penuh dengan berbagai peralatan komputer. Dewi melihat sekeliling, mengagumi susunan meja dan kursi yang penuh dengan perangkat elektronik mahal serta layar monitor besar terpampang di sana."Kamu istirahat dulu aja. Kuambilin minuman sama jajan bentar." kata Lea sebelum ia beranjak keluar, membiarkan Dewi meregangkan otot dan melepas lelah di ruangan itu. Sesaat kemudian, Lea kembali membawa nampan berisi minuman dan beberapa bungkus makanan ringan.Dewi menerima minuman itu dengan senyuman. Sambil menyeruputnya, ia bertanya, "Ah iya, manajer. Kalau boleh tau, ibu manajer ada di mana? Aku juga ingin menyapanya."Seketika, ekspresi Lea berubah sedikit murung. Tetapi ia dengan tenang menjawab, "Ibuku... dah meninggal sejak aku SMA, Dewi.""Oh... maaf, aku nggak bermaksud..." Dewi menunduk, merasa bersalah karena menanyakan hal itu."Gak apa-apa kok, itu dah lama juga. Serta, ayah dan abang-abang di bengkel juga selalu ada buat aku. Mereka semua dah kayak keluarga yang ngisi kekosongan itu." Lea tersenyum tipis, mengisyaratkan bahwa ia sudah terbiasa dengan kesedihan yang satu itu."Maaf...""Udah ah, jangan minta maaf mulu. Oiya satu lagi, selama di sini panggil aja pake Kak, ga usah pake manajer segala." ucap Lea dengan senyum hangat, mencoba menenangkan Dewi yang masih tampak canggung."Iya, Kak Lea." balas Dewi sambil tersenyum kecil, merasa lebih nyaman."Oh iya, kamu pasti capek dan keringetan habis latihan tadi. Mending mandi dulu biar lebih seger. Bakal kusiapin tempat tidurnya juga." ujar Lea sambil menuntunnya ke arah kamar mandi.Dewi pun menurut. Setelah ia selesai mandi dan merasa lebih segar, Lea mempersilakan Dewi untuk beristirahat."Kalo mau istirahat duluan aja, Dewi. Aku harus nyelesein beberapa hal dulu di komputer. Kalau ada apa-apa, panggil aja."Dewi mengangguk mengiyakan, lalu berbaring di tempat tidur yang disiapkan Lea. Ketika Dewi mulai memejamkan mata, Lea kembali ke komputer dan langsung serius menelusuri jejak digital milik stalker yang mengintai Dewi. Meski Dewi tak banyak bercerita tentang stalker tersebut, dari informasi yang telah dikumpulkan selama di agensi, ia telah berhasil mendapatkan akun media sosial milik pelaku. Fokusnya kini ialah menemukan informasi detail yang bisa membantu rencananya.Pada sela-sela keseriusannya, notifikasi pesan muncul di layar. Beberapa teman lama Lea yang jarang melihatnya online hingga tengah malam, tiba-tiba menghubunginya lewat aplikasi chat."Tumben kamu online malam-malam, ada apa?" tanya salah satu teman.Lea memasuki voice chat itu dan membalas, "Lagi ngurus sesuatu."Jawaban tersebut membuat teman-temannya penasaran, mengingat mereka tahu Lea jarang mengurusi hal-hal serius hingga tengah malam ini sejak kasus lama yang sempat melibatkan dirinya dalam keadaan sulit."Kamu nggak ada masalah, kan? Jangan bilang lagi kena masalah kayak dulu yang sampai butuh pengalihan." balas salah seorang teman yang teringat dengan insiden masa lalu Lea yang sempat membuat dirinya kelabakan."Nggak, bukan aku yang kena, sante aja. Ini soal temen cewekku. Dia kena masalah stalker." Balas Lea begitu cepat.Teman-teman Lea terdengar begitu lega saat mendengar bahwa bukan Lea yang menjadi target serangan kali ini. Walau begitu, setelah mengetahui teman perempuan Lea yang menjadi korban, tanpa ragu mereka menawarkan bantuan."Mau kita bantu gak. Buat kasus kayak gini, apalagi kalau udah nyangkut stalking cewek, gratis no tipu-tipu. Soalnya hal kayak gini tuh menjijikkan gak sih." ucap salah satu temannya dengan penuh tekad."Padahal lu juga sering stalking cosplayer cakep.""Weh, ini ama itu tuh beda ya. Yang dimaksud sama Lea tuh stalking beneran di dunia nyata kan?""Iya, dia beneran ngikutin di dunia nyata." Balas Lea di antara keributan tadi."Tuh, kalo udah gitu ya gak bisa dibiarin kan, nakutin tau.""Anjir, sampai di rl diikutin? Ya udah, tunggu apa lagi. Serang lah."Lea awalnya enggan menerima bantuan itu, khawatir berutang budi. Namun, ketika melihat betapa seriusnya mereka dan begitu ngotot, mau tidak mau ia hanya bisa mengiyakan. Lantas mereka segera bekerja sama, menyusuri jejak digital si stalker, menghubungkan satu petunjuk dengan petunjuk lainnya. Dalam hitungan jam saja, mereka berhasil mengumpulkan informasi yang lebih dari cukup—mereka menemukan nama asli, riwayat singkat, hingga alamat IP yang terakhir kali digunakan oleh si pelaku. Bahkan saking jagonya teman Lea tersebut, ia bisa menemukan alamat tempat tinggal dari sang pelaku tanpa kesulitan."Gimana? Dah cukup? Apa perlu kubajak rekening sebangsanya sekalian?" tawar dari teman-temannya di dalam voice chat."Ga usah! Kalian tuh, justru lebih nakutin dari si stalker tau..." ujar Lea sedikit merinding."Loh? Karna dia ngerasa kalo dirinya jago. Wajar dong nunjukin siapa yang paling jago diantara semuanya."Melihat semua informasi terkumpul di layar komputernya, Lea tersenyum kecil. Senyuman yang tidak biasa—penuh kelicikan dan kepuasan."Oke, sudah waktunya..." bisiknya pelan.Kini, dengan semua data di tangannya, Lea sudah bisa mulai melancarkan rencana yang telah ia susun untuk menjaga keamanan Dewi sekaligus memastikan si stalker mendapat pelajaran. Ia segera menyusun strategi dengan teliti, mengatur langkah-langkah yang akan ia lakukan agar tak hanya melindungi Dewi, tetapi juga memberi efek jera kepada pelaku.xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxKeesokan paginya, Lea meminta Dewi untuk tetap tinggal di rumahnya untuk sementara waktu. "Kamu nggak ada jadwal atau kepentingan hari ini, kan?" tanyanya dengan lembut.Dewi menggelengkan kepala sehingga Lea bisa menghela napas lega."Bagus. Aku sudah telepon Rian dan Dara buat ke sini, mereka bakal jagain kamu. Aku ada urusan sebentar."Ketika kehadiran Rian muncul dengan mobilnya disertai Dara di belakang, ayah Lea yang tengah menyelesaikan membongkar mesin segera menyapa mereka berdua."Loh? Si Rian? Sama siapa itu." sapanya dengan senyuman."Apa kabar pak? Baik-baik aja kan? Ini temen satu kerjaan, Dara. Kita satu kantor sama si Key.""Oh gitu, ya udah, masuk dulu masuk. Si Key dah nungguin di dalem."Lea yang baru keluar dari dapur dengan secangkir teh, tersenyum lega melihat mereka."Lama amat datangnya. Aku pengin cepet-cepet berangkat nih.""Maaf, pagi-pagi gini jalanannya rame, banyak anak sekolah." Balas Rian sembari menikmati secangkir teh yang telah disajikan.Setelah mereka duduk, Lea menjelaskan situasi yang dihadapi. "Aku dah dapet semua data yang kuperlu tadi malam. Makanya, hari ini bakal kucoba rencananya. Dan... aku gak bisa biarin Dewi sendirian aja di sini, jadi butuh bantuan kalian. Jadi... maaf kalo manggil pagi-pagi gini.""Tidak mengapa, selama saya bisa membantu..." angguk Dara dengan wajah seriusnya."Kalo gitu... aku berangkat."Mengambil helm di atas meja, Lea segera berjalan menuju ke parkiran motor. Tetapi sebelum sempat dirinya menaiki motor tersebut, Rian mendatanginya sambil berlari, wajahnya penuh kecemasan."Lea, mending aku ikut deh. Kita nggak tau orang ini seberbahaya apa." katanya dengan nada serius.Melihat kekhawatiran tulus di wajah sahabatnya, Lea hanya tersenyum tipis. Namun, ia menenangkan Rian dengan menepuk bahunya dan berkata,"Justru kalau kamu ikut, bakal gampang ketauan Rian. Sante aja aku tau apa yang kulakuin kok. Kamu di sini aja, oke, jaga Dewi. Ga usah panik, aku bakal baik-baik aja."Rian terdiam sejenak, lalu akhirnya mengangguk pasrah meski tampak berat melepaskan Lea. Setelah memastikan semuanya sudah siap, Lea mengendarai motornya menuju alamat yang berhasil ia temukan semalam. Untuk menyamarkan identitasnya, Lea mengenakan pakaian tertutup dan hoodie yang membuatnya tampak seperti pria dari kejauhan.Setelah memarkirkan motornya beberapa blok dari lokasi target, ia mengambil posisi di balik tiang listrik, mengawasi dengan cermat. Ia tahu orang ini harus segera dihadapi, serta mengetahui bahwa ia telah mengancam orang lain dengan ketakutan, maka ia harus melakukan hal yang setimpal."Mata, dibalas mata."Dengan napas tertahan dan mata tajam, Lea menunggu saat yang tepat untuk melihat sosok yang selama ini hanya ia kenali lewat jejak digitalnya. Ada sekitar setengah jam ia sabar menunggu, berpura-pura asyik bermain game di pinggir jalan sambil sesekali melirik bangunan di depannya. Sikapnya santai, tidak mencurigakan, namun matanya tetap waspada mengawasi setiap pergerakan yang ada di sekitar. Hingga akhirnya, seorang pria keluar dari pintu lantai dua. Seketika, Lea menegakkan punggung lalu memeriksa gambar yang ia simpan. Ciri-ciri pria itu sangat cocok—dialah orang yang selama ini membuntuti Dewi."Jadi dia kah..."Dengan cekatan, Lea menyelinap ke balik tembok terdekat, bersembunyi sambil mengambil beberapa foto pria tersebut dari berbagai sudut. Setiap foto menampilkan wajah sang pelaku dengan jelas, menjadi bukti tak terbantahkan jika dia mencoba mengelak nanti."Waktunya, pembalasan."Setelah berhasil mendapatkan foto-foto itu, Lea segera membuka akun media sosial milik stalker tersebut dan memulai aksinya. Ia mengunggah salah satu foto terbaru yang baru saja diambilnya, mengirim pesan singkat namun penuh ancaman, "Aku tahu di mana kamu berada dan aku tahu apa yang kamu lakukan. Hentikan, atau aku akan memastikan semua orang tahu tentang perbuatanmu."Kini pelaku tengah berdiri di bawah lampu lalu lintas, menyadari semenjak tadi handphonenya berdering. Notifikasi muncul di sana berupa pesan-pesan yang datang dari akun media sosial. Begitu ia melihat isi dari deretan pesan terkirim melalui akun yang tak dikenali, ia langsung terdiam seribu kata. Dari sana terlihat foto-foto dirinya dalam berbagai aktivitas yang terpampang jelas, membuatnya dilanda kepanikan serta paranoid. Matanya bergerak liar mencari-cari ke sekeliling, mencoba menemukan siapa yang sedang mengawasi saat ini. Nafas pun semakin berat, tetapi rasa takut yang mengintimidasi itu malah ditanggapi dengan keras kepala. Ia mengetik balasan penuh keangkuhan, menolak ancaman itu dengan sombong, seolah-olah ia tak takut sedikit pun."Oh? Gitu ya, gak takut..."Sambil berjalan ia berusaha begitu keras menelisik akun misterius itu, yang tentu tak tahu bahwa akun tersebut hanyalah akun dummy buatan Lea, tak ada jejak asli yang bisa ia lacak. Lea yang masih mengamati pria itu dari jarak jauh, tersenyum penuh kesabaran. Dengan perasaan jengkel karena ancamannya dianggap sepele, ia memutuskan untuk melancarkan serangan kedua.Lea membuntuti pria itu dari satu tempat ke tempat lain. Saat ia menarik uang di ATM, Lea mengambil foto. Ketika pria itu membeli minuman, Lea kembali mengabadikan momen. Hingga ketika pria tersebut akhirnya berkumpul dengan gerombolan pria lain di sebuah kafe, Lea tetap tak lepas darinya. Mengumpulkan semua foto yang ia ambil, Lea mengirimkan satu per satu kepada si pria melalui pesan.Pesan itu langsung masuk, membuat pria tersebut terhenyak. Isi pesannya semakin mencekam: "Aku bisa melihatmu di manapun kamu berada. Di ATM, saat beli minuman, dan sekarang di kafe bersama teman-temanmu. Masih merasa aman?"Mendapati ancaman kali ini dilengkapi dengan foto-foto dirinya saat ini, pria itu mulai menunjukkan tanda-tanda panik yang tak bisa lagi ia sembunyikan. Ia memandang sekeliling dengan gelisah, menahan napas, sementara teman-temannya menatapnya bingung."Lu napa dah, dari tadi kaya panik gitu?" tanya mereka.Pria itu berusaha tersenyum canggung, tapi tangan yang menggenggam ponsel bergetar. Ketidaknyamanan itu semakin nyata, dan teman-temannya mulai menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Lea di sisi lain, merasa puas melihat pria itu semakin cemas. Ia tahu pria itu kini mulai merasakan rasa takut yang sama seperti yang Dewi rasakan selama ini.Pada ruang tamu yang sunyi, Dewi duduk meringkuk di sofa dengan ekspresi gelisah. Ia sungguh tidak menyangka bahwa hari-hari biasa yang dilaluinya menjadi seperti sekarang ini. Padahal dirinya sudah cukup disibukkan oleh berbagai pikiran, tetapi sekarang ia bersembunyi di rumah Lea, sang manajer yang selalu mendampinginya sejak awal, dengan penjagaan ketat dari produser dan sekretaris dari agensi RP710. Sejak tadi ia menunduk sembari mencengkeram ujung bajunya begitu erat, merasa tidak enak dan bersalah. Ia menarik napas dalam-dalam dan melirik ke arah Rian yang berdiri tak jauh darinya."Produser... kak Dara... aku tidak ingin merepotkan kalian semua. Padahal kalian masih banyak kerjaan yang harus dilakuin, tapi... malah." gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam kecemasan.Rian mendekatinya, menunduk agar bisa menatap matanya dengan tegas."Dewi, kamu adalah idol dari Spica, salah satu dari kami. Nggak ada yang lebih penting dari keselamatanmu. Semua idol Spica itu prioritas utama, terutama saat menyangkut keselamatan mereka. Kamu sama sekali nggak merepotkan.""Kami semua di sini untuk mendukungmu, Dewi. Bahkan manajer tengah melakukannya sekarang, melakukan semua ini supaya kamu bisa merasa aman. Dan sejujurnya, ia bahkan sempat membujuk Produser agar tidak mengejar pria itu sendiri. Kalau tidak, mungkin sekarang pria yang satu ini sudah menghabisi pria itu tanpa pikir panjang." Balas Dara dari seberang.Kecemasan sedikit menurun begitu mendengar balasan dari kedua staff, walau pikirannya kembali lagi kepada sang manajer yang saat ini berusaha melacak dan mengatasi masalah tersebut sendirian. Kekhawatirannya meningkat, membuatnya meremas tangan yang dingin."Tapi... seharusnya... aku yang ngehadapi dia sendiri. Ini urusan pribadi kami berdua. Aku nggak pengin menyeret staff semua ke dalam masalah ini." bisiknya.Suara pintu berdecit pelan, membuat semua mata di ruangan itu tertuju ke arah pintu masuk. Seorang pria paruh baya muncul, dengan ekspresi tenang namun sedikit ragu. Ayah Lea yang hendak memasuki rumah, tanpa sengaja mendengar percakapan yang tengah berlangsung. Ada sedikit rasa bersalah dalam senyum canggungnya saat ia melihat semua orang terdiam. Ia berjalan perlahan ke arah mereka, lalu menundukkan kepala sedikit sebagai tanda minta maaf."Maaf, tadi gak sengaja denger kalian cerita." katanya sopan, menatap mereka satu per satu, kemudian pada Dewi yang masih menunduk.Dewi mendongak sedikit dan melihat pria itu tersenyum hangat. Ia segera berdiri dan menunduk dalam-dalam."Saya minta maaf, Pak. Karena saya, kak Key jadi harus melibatkan dirinya sejauh ini. Saya sungguh... merasa bersalah karena telah membuat kak Key melakukan ini, bahkan apa yang ia lakukan saat ini mungkin membahayakan dirinya. Padahal, ini masalah saya sendiri. Seharusnya saya yang menyelesaikannya." Ucap gadis tersebut dengan suara yang nyaris bergetar.Ayah Lea mendekat dan menggelengkan kepalanya dengan lembut."Kenapa harus minta maaf? Si Key pasti ngelakuin bukan gara-gara kepaksa atau diminta. Dia pasti lakuin itu karna emang dia sendiri yang pengin. Gak usah ngerasa bersalah gitu.""Tapi, saya... saya takut bahwa semua ini bisa membahayakan dirinya. Orang— cowok itu... bukan orang yang bisa diremehkan. Saya tidak bisa membayangkan kalau sampai sesuatu yang buruk terjadi pada kak Key karena membantu saya." Balas Dewi kembali sembari menggelengkan kepala lemah.Tiba-tiba saja terdengar sebuah tawa cukup keras dari sang ayah, mengagetkan seluruh orang di ruang tamu."Justru itulah Key. Dari dulu dia ntu suka banget sama hal-hal gituan, yang micu adrenalin, selalu nyari sesuatu yang menantang. Sampe kadang bapaknya ini aja cuma bisa geleng-geleng kepala sama khawatir doang." ujarnya dengan nada penuh kasih.Ayah Lea duduk di kursi yang berhadapan dengan Dewi, senyumnya masih hangat dan tenang. Ia melirik ke arah Rian yang berdiri dengan tangan terlipat di dada, mengenang masa-masa lamanya bersama Lea."Kalo kamu tanya ke si Rian, dia bakal jawab iya karna tau betul senekat apa tu anak." Katanya."Nggak salah sih, sangat benar malah. Dia emang selalu ada aja ide nekatnya. Sampe mikir kalo dia gak punya rasa takut. Walau gitu, si Key bukan tipe nekat doang tanpa mikir—pasti ada aja rencana di baliknya. Setiap kali terjun ke situasi menantang, dia tahu gimana harus bertindak, dah mikir dua langkah ke depan." Bakas Rian sambil menatap Dewi penuh keyakinan."Key selalu gitu, dia emang suka nekat ngadepin hal yang sulit baginya. Dan, seaneh apapun kepenginnya, gak pernah ngelakuin semua itu buat dia doang. Selalu pengin bantu siapapun. Ya kan, Rian?" Ayah Lea tersenyum sembari mengingat kembali mengenai kedua sahabat itu."Ya, meskipun dia keras kepala dan sulit dihentiin, aku tau yang dia lakukan itu selalu ada maknanya. Kami saling bantu satu sama lain dari dulu, hingga sekarang pun." Balasnya dengan anggukan mantap.Dewi mendengar semua itu dengan penuh rasa haru. Matanya berkaca-kaca ketika ia kembali menunduk dan berkata pelan, "Tapi aku... Aku takut gak bisa membalas kebaikan yang kak Key berikan padaku. Rasanya aku nggak pantas nerima semua ini."Ayah Lea dan Rian saling menatap sejenak, kemudian kompak menjawab dengan suara tegas dan penuh keyakinan,"Kebaikan tak seharusnya dibalas, Dewi. Karna setiap kebaikan seharusnya diberikan tanpa mengharapkan apa pun sebagai gantinya."Suara motor besar milik Lea terdengar menggelegar dari depan rumah, mengumumkan kepulangannya. Begitu masuk dengan wajah lelah, ia segera disambut oleh keadaan yang membuat geger. Terlihat sosok Dewi yang menangis tidak terkira di pelukan Dara, sementara di depannya terdapat dua orang pria dewasa tengah panik. Lea langsung mengernyit dan menatap tajam ke arah Rian dan ayahnya."Kalian ngapain?! Sampe bikin anak cewe nangis hah?!" tanyanya dengan nada agak tinggi, menatap dengan sorot mata penuh kecurigaan.Rian dan ayah Lea segera mengangkat tangan, mengumandangkan penyerahannya."Be-bentar kami gak ngapa-ngapain! Cuma ngobrol-ngobrol dikit, kasih Dewi dikit nasihat. Itu aja!" jawab Rian dengan nada bercanda, berusaha untuk menenangkan."Be-bener kata Rian! Kami gak ngelakuin hal seburuk yang kamu kira kok. Tadi habis kasih semangat..." tambah ayahnya.Tetapi Dewi malah semakin terisak dan menundukkan kepala di bahu Dara. Suaranya begitu serak dan penuh rasa haru saat ia berteriak,"Kak Key... makasih banyak... kamu ngelakuin begitu banyak hal untukku... aku... aku nggak tahu gimana caranya balas semua ini..."Lea mendekati gadis yang tengah penuh kesedihan itu, wajah marahnya kian melunak saat melihat Dewi yang benar-benar terharu."Udah udah, jangan nangis. Gak usah mikir soal balasan atau coba ganti semacamnya. Aku ngelakuin ini buat ngelindungi kamu dan yang lainnya kok."Tangisan perlahan mereda, sembari napas dalam-dalam untuk meredakan isakannya. Dara mengelus punggung Dewi dengan lembut, menunjukkan kehangatan kepadanya. Setelah suasana kembali tenang, Lea segera duduk pada sofa sembari mengabarkan hal yang cukup serius."Jadi, aku dah mengatasi si penguntit itu. Dah tau di mana rumahnya dan dah lakuin langkah-langkah buat nyegah dia ngelakuin hal itu lagi. Walau... masih butuh sedikit gerakan tambahan buat bener-bener mastiin dia berhenti dan jera."Rian mengangguk mengerti, menatap Lea dengan ekspresi penuh rasa percaya."Kalau kamu butuh bantuan, aku siap kok."Lea tersenyum kecil, sedikit lega, lalu menatap Dewi. "Dewi, aku bakal pastiin semuanya selesai tuntas. Kamu nggak perlu khawatir. Mulai abis ini, kamu fokus saja sama dirimu dan kegiatan di Spica. Sisanya, biar aku, dan yang lainnya yang urus."xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx"Rencananya, yaitu, pura-pura jadi pacar Dewi.""Ha-Hah?!"Selama beberapa hari terakhir, rencana Lea untuk menyamar sebagai pacar palsu Dewi berjalan dengan lancar—meski tidak tanpa kejutan bagi orang-orang di sekitarnya. Ketika Lea tiba di kantor agensi pada hari pertama dalam kostum penyamarannya, para member Spica yang sedang berkumpul langsung terdiam dan terperangah. Lea yang biasanya mengenakan pakaian formal rapi kini tampil dengan outfit maskulin berupa jaket kulit gelap, celana jeans, dan sepatu boots berkilap, menambah kesan pria yang tak terbantahkan."Astaga... itu... beneran manajer...?" bisik Valentin dengan nada kagum, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.Istar yang menyukai gaya fashion manajernya tersebut tidak melewatkan momen ini dan segera memotret Lea dari berbagai sudut, dengan mata berbinar."Gile! Manajer ampe lebih ganteng dari produser!" katanya penuh kegirangan."Oi, yang bener aja..." Rian yang mendengar hal tersebut sedikit tersinggung.Dewi yang tidak menyangka bahwa rencana ini akan betulan dijalankan hanya dapat berdiri penuh canggung di samping sang manajer. Ia tidak menyangka kalau Lea akan benar-benar terlihat layaknya pria betulan. Sejak saat itu, Lea selalu ada di setiap aktivitas Dewi—mengantarnya pulang, menemaninya saat berpergian ke luar, sebisa mungkin selalu mengontaknya ketika hendak pergi ke manapun. Misi dari Lea cukup sederhana, yaitu menciptakan sosok "pacar" yang selalu bersama Dewi, agar bisa memancing pelaku keluar dari persembunyiannya."Dia ngirim pesan lagi ke kamu?""Iya... nanyain soal cowo yang selalu di deketku...""Beneran gak jera-jera tu anak ya..."Meski telah diancam sekalipun oleh serangan Lea tampaknya dia tidak mau menyerah begitu saja. Pesan-pesan berisikan ucapan yang tidak mengenakkan masih terus dikirim kepada Dewi, membuat gadis tersebut kembali resah.Pada suatu sore Lea dan Dewi berjalan berdua di taman kota sepulang dari latihan, berusaha untuk membuat diri mereka lebih mudah menemukan penguntit sebab tempat tersebut begitu lapang dan sepi. Lea melangkah dengan santai di samping Dewi, tetapi matanya selalu waspada mengawasi sekitar. Ketika berhenti sejenak duduk di bangku taman, ia tiba-tiba menyadari kehadiran asing di sekitar—suatu firasat gelap yang membuat bulu kuduknya meremang. Lantas Lea mendekat ke arah Dewi, berbisik pelan."Dewi... di ada di sini. Gak begitu jauh, di belakang pohon sana. Beneran gak jera..."Dewi mengernyit, berusaha mencari keberadaan si pria tetapi Lea mengatakan pelan agar tidak melakukan hal yang membuat pelaku semakin takut muncul. Ia meletakkan tangan pelindung di bahu Dewi dan merendahkan suaranya agar hanya Dewi yang bisa mendengar."Kalau begitu, kita mainkan rencana berikutnya..."Setelah berhari-hari memantau dan menyusun rencana, akhirnya Dewi dan Lea memutuskan untuk menghadapi stalker itu secara langsung. Ajakan yang berulang kali diterima Dewi melalui pesan akhirnya mereka putuskan untuk dijadikan panggung utama dalam rencana ini. Ketika pria itu kembali mengajak Dewi bertemu, ia menyetujuinya, namun dengan persiapan matang di belakang.Pada hari pertemuan itu, Dewi tiba di kafe yang sudah disepakati. Ia mengenakan pakaian kasual dan berusaha bersikap setenang mungkin. Di seberang bangku tak jauh dari pandangan Dewi, Lea duduk menyamar, lengkap dengan kacamata hitam dan jaket panjang, siap mengawasi setiap gerak-gerik pria itu. Ia bersiaga penuh memperhatikan ekspresi Dewi, serta memperhatikan jika pria itu akan berbuat sesuatu yang mencurigakan."Duh jadi nungguin..."Ketika pria tersebut muncul, senyum penuh percaya diri terlukis di wajahnya. Dewi mencoba menahan rasa cemas sembari berusaha tetap menenangkan diri. Si pria yang baru duduk langsung mulai berbicara, melontarkan banyak kata-kata tanpa henti, hingga tak lama, ia mulai menyinggung soal pria yang ia lihat "terlalu dekat" dengan Dewi akhir-akhir ini."Kamu belakangan ini deket sama cowok ya? Kukira kamu gak punya pacar abis putus dariku." Ucapnya disertai tatapan penuh curiga yang tentu membuat Dewi sedikit tidak nyaman.Ia menambahkan dengan nada agak meremehkan, "Gak kupikir kalo ternyata si Puspa tuh gini. Padahal dulu, aku selalu yang paling ngerti kamu."Dewi menahan napas sejenak, lalu menanggapinya dengan senyum tenang, seperti yang sudah mereka rencanakan. Hatinya kini lebih tenang karena mengetahui Lea mengawasi."Trus, kenapa kamu ngikutin aku terus? Apa pengin ngajak balikan lagi kaya dulu?""Kenapa? Sekarang kamu kan dah terkenal. Aku tau kamu jadi idol, Puspa. Wajahmu terlihat dimana-mana. Juga, idol kan seharusnya masih single kan? Kalo sampai kamu ketauan deket sama cowo, bakal gimana nanti. Makanya, mending sama aku aja, aku bisa jaga rahasia." Jawabnya sembari mengeluarkan ekspresi penuh mengancam.Dewi tetap menatap pria itu dengan tenang, meskipun perasaannya bergolak. Mendengar alasan yang begitu dangkal dari pria yang selama ini mengganggunya, ia merasa rasa takutnya perlahan berganti dengan keinginan untuk menyelesaikan masalah ini.Ancaman pria itu mulai menambah ketegangan di udara, membuat Dewi terdiam sejenak. Sambil tersenyum licik, pria itu berkata,"Kalau kamu nggak segera putuskan 'cowok' itu dan balikan sama aku, bakal kusebar kabar kalau kamu punya pacar sekarang. Bayangkan, idol baru naik daun dah mengkhianati penggemarnya—apa yang bakal mereka lakuin, Puspa— eh bukan, Dewi...?"Rasa takut yang mulai menggerogoti Dewi membuat dirinya tersentak dari tempat duduk, saat pria itu perlahan mendekat kepadanya. Ia terdiam seakan tidak tahu apa yang dilakukan sekarang, tetapi sebelum ia untuk menjawab, seseorang muncul dengan cepat dari belakang pria itu— yaitu Lea. Dengan satu gerakan cekatan, ia menahan lengan pria itu, mencegahnya mendekat lebih jauh."Hentikan apa yang kamu coba lakuin." Lea menatap pria tersebut begitu tajam dan dengan suara yang dalam meniru nada pria.Pria itu berbalik, terkejut dan penuh amarah saat melihat Lea berdiri di belakangnya dengan ekspresi tegas."Jadi kamu ya, cowoknya?!" geramnya, menatap liar dan penuh amarah.Lea hanya menyeringai, tetap tenang meski pria itu tampak siap menyerang kapan saja."Apa pun yang coba kamu lakuin buat maksa dia balikan, itu percuma. Puspa dah sepenuhnya jadi milikku. Mending kamu pergi aja." katanya dengan nada percaya diri, mempertegas peran Lea sebagai pacar palsu Dewi.Pria itu mengepalkan tinjunya, seakan tidak rela menerima kenyataan tersebut. Ia menatap Dewi, mencoba mencari tanda-tanda keraguan di wajahnya, tetapi Dewi justru tetap diam di samping Lea, tidak menunjukkan rasa takut. Keberanian Lea menular padanya, membuat gadis itu merasa lebih kuat dari sebelumnya. Setelah menatap mereka dengan kemarahan dan keputusasaan, pria itu akhirnya melepaskan diri dari genggaman Lea, meskipun masih menunjukkan ketidaksenangan yang jelas."Makasih... makasih banyak, manajer...""Sudah sudah, sekarang kita pergi dari sini."Sambil berjalan bersama, Lea memberikan pandangan penuh makna ke arah Dewi, menegaskan bahwa rencana berikutnya akan menjadi yang terakhir dan yang paling penting. Mereka menuju tujuan terakhir dari rencana besar ini—sebuah bekas bangunan tua yang telah lama ditinggalkan, tempat di mana rencana mereka akan mencapai klimaksnya.Setibanya di sana, suasana bangunan itu terasa sunyi dan sedikit menyeramkan, dengan dinding kusam dan lorong-lorong gelap yang menciptakan bayangan samar. Dari jendela yang pecah, sinar matahari terakhir sore itu menerobos masuk, menciptakan nuansa misterius. Tanpa mereka sadari Rian telah menunggu di sana, bersiap membantu memastikan keselamatan Dewi sekaligus merekam bukti tambahan jika pria itu melakukan hal lain yang berbahaya."Semuanya dah diatur, produser?" sapa Lea yang masih didekap erat oleh Dewi."Udah dong, baik speaker, placing kamera, dah perfect.""Oke sip, berarti tinggal nunggu tu orang dateng ke sini.""Kamu yakin banget dia bakal dateng. Sama... kalo diliat lebih deket emang kalian berdua tuh kaya orang pacaran, sumpah." Ucap Rian yang mengamati kehadiran kedua sosok tersebut di hadapannya."I-Iya kah... soalnya, manajer tadi keren banget... yang ada aku bisa luluh sama dia.""Oi, hentiin itu Dewi, kita berdua cuma akting."Rian yang penasaran tak bisa menahan diri untuk bertanya pada Lea, "Kok kamu repot-repot nyiapin ini semua, manajer? Bukannya bukti dari yang dikumpulin kemarin tuh sudah cukup?""Memang, aku aja dah dapet bukti kuat dari rekaman tadi di kafe, tapi itu semua sekedar buat mengancam. Andai kita bisa dapet bukti lebih jelas di sini, terutama bukti soal perbuatannya yang lebih bahaya, bisa saja aku ringkus dia pakai polisi. Itupun kalo dia beneran datang kemari, yang dalam artian dia sadar risikonya, atau dia sangat nekat, dan baru bisa pastikan pantes dibikin berhenti—atau diringkus sekalian." Balas Lea sembari menatap lurus ke arah bangunan yang mereka pilih sebagai tempat penutup rencana ini."Gitu kah... oke deh, selama itu bisa beneran bikin Dewi aman—""Bentar, kayanya aku denger sesuatu."Percakapan mereka terhenti saat mereka mendengar suara langkah kaki dari kejauhan. Di tempat sunyi seperti ini, setiap langkah terdengar jelas dan menggaung di sepanjang lorong. Seketika, mereka menyadari bahwa suara langkah kaki itu tidak berasal dari satu orang, tetapi lebih dari satu. Rian menoleh ke arah Lea yang hanya mengangguk singkat, memberi isyarat agar ia segera bersembunyi sesuai rencana.Dewi dan Lea berdiri di tempat yang mereka yakini terekam oleh kamera tersembunyi yang telah dipasang sebelumnya. Mereka siap menghadapi pria itu, namun saat pria tersebut akhirnya muncul dari balik bayangan, mata mereka membelalak. Ia tidak datang sendiri, melainkan membawa beberapa pria lain yang wajahnya penuh ekspresi jahat dan ingin membuat masalah. Senyum licik terpancar di wajah mantan pacar Dewi, seolah kemenangan ada di genggamannya."Kamu pikir bisa main-main ya? Beneran cari masalah. Coba kuliat sini, apa nyalimu segede waktu tadi ngomong gitu di kafe!" ujar pria itu menyeringai, menatap Lea dengan ejekan."Hah? Liat lagi deh, kalo perlu bawa kaca. Cowok macam apa yang nantang tapi bawa orang rame-rame gini, cupu." Bukannya berusaha meredam amarah, Lea justru semakin memancing amarah pria itu dengan kata-kata sarkasnya."Bangsat... kuhabisi kamu!"Menyaksikan amarah yang muncul darinya serta beberapa pria lain yang telah siaga di belakang, gemetar dapat Lea rasakan dari lengan Dewi yang tak henti mencengkeram punggungnya. Tetapi Lea menoleh ke belakang, bergumam pelan."Tenang aja, ga perlu risau Dewi... semuanya bisa kuatasi."Tanpa menunggu lama Lea telah bersiaga memegang sesuatu dari balik saku jaket. Sementara pria-pria itu semakin mendekat, keadaan menjadi mencekam."Loh—"Di luar rencana yang Lea susun, Rian yang sejak tadi bersembunyi di belakang pilar muncul ke belakang gerombolan tersebut. Kehadiran Rian yang tiba-tiba muncul di belakang gerombolan membuat semua orang terkejut. Dengan suara lantang, ia berteriak,"Woi! Jangan main keroyokan gitu dah!"Semua mata beralih padanya, namun tak satu pun dari mereka terutama mantan pacar Dewi, menunjukkan niat untuk menghentikan tindakan mereka. Menyadari tak ada yang peduli, Rian dengan tegas melanjutkan,"Kalau lu pada mau berantem, maju sini. Cupu lu semua, ngeroyok cowo yang lagi ngelindungi cewek!"Kata-kata yang terlontar dari mulut Rian bagai tengah melemparkan kayu pada bara api, suasana langsung memanas dan tak butuh waktu lama bagi mantan pacar Dewi untuk terpancing. Dengan amarah di matanya, ia melayangkan pukulan langsung ke arah Rian. Tetapi yang mengejutkan semua orang, Rian tidak menghindar—ia justru membiarkan pukulan itu mengenai wajahnya. Pria tersebut terhuyung ke belakang akibat pukulan yang begitu cepat, membuat Dewi nyaris berteriak ketakutan. Sebelum sempat ia berteriak kepada Rian, Lea langsung menghentikan Dewi dan mencegahnya agar tidak melakukan apapun."Jangan! Biarin dia... jangan teriak atau gerak sejengkal pun." bisik Lea dengan suara serius, meski jelas terlihat ada kekhawatiran di matanya saat menyaksikan Rian terjatuh.Dewi dilanda oleh ketakutan yang tak terkira, dirinya tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi. Sementara itu, Rian berusaha untuk menahan rasa sakit di tubuhnya, dan memancing gerombolan itu lebih jauh. Seperti yang diduga, para pria itu, termasuk mantan pacar Dewi, mulai mengeroyok Rian. Mereka mengitari Rian, melontarkan pukulan dan tendangan berulang kali. Tapi Rian tidak membalas atau mencoba melawan, ia hanya melindungi bagian tubuh vitalnya sebisa mungkin, tetap menjaga dirinya yang terjatuh di tanah.Tiap kali pukulan mendarat, Rian bergeming, walau tubuhnya perlahan mulai melemah. Tujuannya jelas, ia sengaja membuat bukti rekaman yang sedang Lea ambil menjadi lebih valid, lebih jelas, dan lebih kuat di mata hukum. Jika ia bisa menahan ini sedikit lebih lama, polisi akan memiliki alasan yang sangat kuat untuk menahan gerombolan tersebut.Meski Lea mengagumi keberanian Rian, hatinya sungguh tersiksa melihat sang sahabat dipukuli begitu brutal tanpa dirinya bisa melawan. Tetapi tindakan tiba-tiba dari Rian ini telah membuka celah bagi rencananya agar semakin berhasil. Dengan detik-detik berharga yang didapatkan dari pengorbanan Rian, Lea bergerak cepat. Ia meraih remote kecil yang telah ia sembunyikan di jaket, dan tanpa ragu menekan tombol yang langsung membunyikan sirine polisi dari speaker tersembunyi di sekeliling area.Suara sirine itu menggema keras di seluruh bangunan kosong, memecahkan kesunyian dengan getaran yang menusuk telinga. Semua pengeroyok yang tengah memukuli Rian, seketika panik dan terkejut. Mereka langsung melepaskan pria yang terbaring lemah itu dan berlari kocar-kacir, berpikir bahwa polisi benar-benar datang.Pria mantan pacar Dewi menoleh ke segala arah, matanya melebar dengan ketakutan."Brengsek! Dia manggil polisi! Cepet kabur!" teriaknya.Satu per satu mereka berlari keluar dari bangunan, sementara Rian membentangkan lengan, mencoba mengatur nafas yang terasa sangat berat. Lea segera berlari mendekatinya, menarik Rian ke tempat yang aman, sementara Dewi bergegas menghampiri dengan air mata berjatuhan, penuh kecemasan melihat kondisi sang produser."Dasar bodo! Ngapain coba kamu sok keren gitu?!" teriak Lea penuh oleh amarah."Ya... yang penting kalian berdua aman." Ujarnya dengan penuh serak, ia tersenyum lemah walau terdapat darah mengalir melewati bibir."Produser... kenapa... kenapa...""Ini... bagian dari rencana kan... kita dah dapet semua rekaman dan kamu bakal aman abis ini. Sama... mana bisa aku biarin dua cewek ketakutan buat ngadepin segerombolan orang begitu aja..." jawabnya sembari meringis.xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxSesampainya di agensi, Rian yang dipenuhi perban dan bekas luka membuat Dara terpaku dengan kebingungan."Pro-Produser kenapa?" ujarnya khawatir dengan mata tak lepas dari kondisi Rian yang babak belur.Lea yang mendampingi mereka segera menjawab, suaranya penuh amarah yang nyaris tak tertahan,"Produser kita ini dikeroyok gerombolan preman, mana dia bukannya ngelawan malah milih buat diem aja. Bisa bayangin nggak, Dara? Mereka pukulin dia habis-habisan, tapi dia tetap diem."Rian hanya tersenyum lemah, menanggapi kemarahan Lea dengan sikap tenang."Kalau aku ngelawan, malah bisa jadi senjata makan tuan buat kita. Polisi mungkin akan melihatnya sebagai perkelahian biasa, bukan tindakan pertahanan. Kalo aku babak belur gini, rekaman kita benar-benar menunjukkan siapa yang jadi korban.""Dari dulu kamu emang gitu! Masih terus mikirin orang lain dibanding diri sendiri. Nggak berubah sedikit pun dari pas kuliah!" Lea mendengus kesal, menatap Rian dengan tatapan tajam.Dewi yang membantu Rian untuk duduk pada sofa penasaran mengenai hubungan mereka berdua."Tunggu, memangnya ada apa waktu produser dan manajer kuliah dulu?"Lea menghela napas panjang, seolah kenangan lama itu tak pernah benar-benar pudar."Waktu kuliah dulu, Rian pernah ngelakuin hal yang hampir sama. Di kampus kami, senioritas itu masih menjamur dan mereka suka semena-mena sama para maba. Saking semena-menanya banyak yang ga betah dan milih ga berangkat kuliah lagi atau kabur. Tapi Rian... dia nggak tahan ngeliat mereka diperlakuin kaya begitu."Dara mendengarkan dengan seksama, terkejut mendengar sisi lain dari Rian yang tak pernah ia ketahui sebelumnya."Rian waktu itu berusaha ngelawan, meski tahu risikonya. Dia mendatangi para senior itu, dan— ya, kaya sekarang, babak belur." Lanjut Lea."Tapi berhasil kan? Sampai sekarang ga ada senioritas lagi. Waktu itu aku bisa berhasil juga berkat Lea. Berkat pengeroyokan, ada bukti yang cukup buat kampus ngambil tindakan."Walau mengenang momen itu membuatnya tersenyum, Lea masih tak bisa menahan rasa kesal. Dengan cepat, ia berbalik dan berjalan keluar ruangan, meninggalkan mereka tanpa sepatah kata pun."Kenapa dia bertingkah begitu? Padahal temannya yang satu ini baru aja babak belur, harusnya kasihan bukan?""Nggak apa-apa, Dara. Itu justru tanda kalau Lea peduli padaku. Kalau dia marah-marah seperti ini, itu karena dia peduli. Kalau diam, baru itu artinya gawat—tandanya dia benar-benar dah nggak peduli sama sekali."Dara memandang Rian dengan takjub, mulai memahami sifat Lea yang unik itu. Dewi yang mendengarkan di samping hanya bisa tersenyum tipis, hatinya lega bahwa meskipun situasi penuh bahaya, mereka tetap memiliki orang-orang yang begitu peduli dan saling mendukung di sekitarnya. Lea yang tengah duduk di tangga, mencoba meredam amarah dan kekhawatiran dalam hatinya, ia masih ketakutan sebab melihat sahabatnya kembali melindungi dirinya tanpa dia bisa melakukan apapun. Dan meski pria itu baru saja melalui cobaan yang berat, senyumnya tak pernah pudar—karena ia tahu, dalam setiap amarah, selalu tersimpan kasih sayang Lea yang tulus untuk dirinya.Keesokan hari, Dewi datang ke kantor agensi lebih cepat dari biasanya. Begitu masuk ruangan ia mendapati bahwa sang produser tengah duduk pada meja masih bekerja, meskipun tubuhnya penuh perban dan wajahnya terlihat kesakitan. Dewi menghampiri sang produser dengan cepat, sorot matanya penuh kekhawatiran."Produser, kenapa gak istirahat? Sama, perbannya belum diganti dari kemarin ya?" ucap Dewi lembut sembari menyarankan agar duduk sebentar di sofa."Ah... gak ada waktu sih, kerjaanku masih banyak."Menyaksikan Dewi yang penuh perhatian kepadanya Rian mau tidak mau menghentikan kegiatan untuk mengikuti saran dari Dewi. Gadis tersebut dengan hati-hati mulai membuka perban di tangannya. Tanpa disadari ia telah menyiapkan perban bersih yang dibawa dari balik tas dan mulai memasangnya kembali, namun tiba-tiba gerakan tangannya terhenti."Maaf... karena aku, produser jadi terluka seperti ini." Suara itu muncul dari Dewi, begitu pelan.Tetapi Rian hanya tertawa ringan, tak sedikit pun tampak marah atau menyesal."Dewi, kamu ini idol yang berharga bagiku, serta bagi Spica. Tentu aja aku melakukan apa pun untuk melindungimu. Nggak bakal kubiarin siapapun nyakiti idolku."Kata-kata itu membuat Dewi tercengang sejenak, seakan waktu berhenti. Di dalam hatinya, ia tak menyangka ada orang yang begitu tulus hingga rela mengorbankan diri demi dirinya. Hingga dalam keterkejutannya, ia tanpa sengaja memasang perban terlalu ketat, membuat Rian mengernyit kesakitan."Aduduh— ke-kekeras banget... Dewi...""Ah! Maaf, Produser!" Dewi buru-buru memperbaiki perban, wajahnya merah menahan malu.Tak lama kemudian, beberapa gadis Spica masuk ke ruangan, dan mereka langsung terkejut melihat kondisi Rian yang penuh perban serta bekas pengobatan."Loh?! Produser, kenapa?!" tanya Rain menatap penuh cemas."Produser kok diperban gitu?!" Lily yang datang di belakangnya juga terkejut.Sebelum Rian sempat menjawab, Lea muncul dari ruangan lain, menyeringai sedikit ketus sambil bersandar di dinding."Produser kalian ini habis dikeroyok orang kemarin." katanya datar.Para gadis spontan semakin heboh, masing-masing langsung melontarkan pertanyaan dan kekhawatiran mereka. Rian tersenyum untuk menenangkan mereka,"Jangan khawatir, ini bukan luka serius kok. Palingan sebulan sembuh, kujamin gak bakal ganggu pekerjaan atau latihan kalian."Dewi, yang sejak tadi terus di samping Rian, terlihat sangat perhatian. Ia bahkan membuatkan kopi untuk Rian, memberikan roti buatannya sendiri, dan sesekali memeriksa kondisi luka Rian untuk memastikan perbannya tetap rapi. Gadis-gadis Spica saling menatap, bingung melihat Dewi yang biasanya kalem, kini begitu perhatian pada Rian. Istar bahkan berbisik pelan pada member lainnya,"Kok Dewi jadi... nempel banget sama produser?"Sebelum sempat topik itu semakin memanas, Lea mendekati Dewi yang masih duduk begitu dekat dengan Rian. Ia langsung menarik gadis tersebut menjauh dari Rian dengan tegas."Oke Dewi, dah cukup ya ngerawat produsernya. Dia harus balik kerja. Dan satu lagi, nggak boleh ada hubungan apa-apa antara idol dan produser. Ini dunia nyata, bukan kayak game di HP yang sering kamu mainkan itu, paham?" katanya sambil menatap Rian dengan mata tajam.Rian mengangguk pelan, menerima nasihat Lea tanpa membantah. Sementara Dewi yang digiring Lea hanya bisa menunduk malu, wajahnya merah padam karena teguran yang disampaikan di depan teman-temannya. Meski begitu, dalam hati kecilnya, Dewi merasa lega. Meski tak bisa diungkapkan, ia mulai merasakan betapa berarti keberadaan Rian dalam hidupnya sebagai idol. Dan meski dibatasi oleh hubungan profesional, perhatian yang ia terima membuatnya semakin kuat, seakan kini ia punya seseorang yang selalu siap mendukungnya, apa pun yang terjadi.Saat Lea menyeret Dewi pergi, tiba-tiba ponsel berdering, membuat langkah mereka terhenti. Lea mengizinkan Dewi untuk mengangkat telepon tersebut, yang menunjukkan panggilan dari ibunya. Tanpa menunggu lama Lea menyarankan agar Dewi menjawab, siapa tahu itu panggilan penting. Dewi mengangguk dan melangkah keluar ruangan untuk menerima telepon tersebut."Halo bu, ada apa?" suara Dewi terdengar lembut, tetapi wajahnya mulai tampak cemas begitu mendengar suara ibunya dari seberang."Kamu dah dapat kerjaan belum? Kalau belum, pulang saja ke sini. Di kampung ada kerjaan buat Dewi." ucap ibunya langsung, tanpa basa-basi.Perkataan itu membuat Dewi terdiam. Di satu sisi, ia tahu betapa pedulinya keluarga terhadap keadaan Dewi saat ini. Ia merasa kembali ragu memilih mengenai segalanya. Sampai, ingatan tentang semua yang telah ia lalui di agensi kembali menguatkan sang gadis. Terpikir bagaimana Rian dan Lea rela melakukan apapun melindunginya, ia berhasil mendapatkan keberanian yang kini terlahir berkat kebaikan yang ditunjukkan oleh mereka berdua."Ibu... sekarang, Dewi, dah jadi idol..." kata Dewi dengan mantap. Walau hatinya berdebar-debar, ia merasa bahwa ini adalah saat yang tepat untuk memberi tahu keluarganya tentang pilihan tersebut."Idol? Maksudmu kaya penyanyi gitu? Beneran Dewi?" terdengar nada kebingungan di suara ibunya.Di saat itu, Rian muncul dari balik pintu mencari Dewi untuk menanyakan kabar tentang tawaran pekerjaan yang datang pagi ini. Melihat Dewi berbicara dengan ekspresi serius di telepon, Rian hanya berdiri di dekatnya menunggu panggilan selesai.Dewi yang menyadari kehadiran Rian, tersenyum jahil dan melontarkan candaan tanpa berpikir panjang,"Iya bu, kerjaannya bagus kok. Sama, produser mau tanggung jawab soal itu, jadi nggak usah khawatir."Rian yang baru saja mendengar kata "tanggung jawab" terkejut dan memasang ekspresi bingung,"Tanggung jawab? Soal apa, Dewi?"Tetapi sebelum Dewi sempat menjawab, beberapa member Spica yang kebetulan mendengar percakapan tersebut langsung ramai keluar ruangan, mendekat sambil memasang senyum penuh penasaran."Eitss, apa hayo? Ada apa sama Produser dan kak Dewi? Wah, wah, wah, pasti ada gosip rame nih?" goda mereka sambil tertawa."Engga, engga, ga ada apa-apa! Kalian salah paham! Nggak ada apa-apa antara aku dan Dewi. Ini... cuma urusan kerja kok!" ucap Rian sambil menoleh ke Dewi, berharap ia akan segera menjelaskan situasi sebenarnya.Yang ia dapatkan justru berkebalikan, Dewi hanya melet penuh jahil sembari pura-pura tidak mendengar, membuat suasana menjadi semakin kacau. Satu per satu gadis-gadis Spica mulai berbisik-bisik, masing-masing menebak-nebak "rahasia" di antara Dewi dan sang produser."Bantu aku dong Dewi..."