Malam itu, Wulan mengayuh sepedanya pelan-pelan sambil menatap langit penuh bintang. Sepanjang perjalanan pulang, senyuman terus terlukis di wajah, hatinya pun terisi penuh oleh perasaan bahagia yang hangat. Dalam pikirannya, dia masih tak percaya bahwa akhirnya ada kesempatan untuk mewakili Spica di sebuah acara besar. Bali, gumamnya pelan, merasa kata itu begitu asing tapi penuh harapan."Jadi beneran... aku bakal ke Bali." ujarnya pelan, senyum semakin lebar di wajahnya.Dia ingat saat dulu ikut PON dan bertanding di kota-kota yang berbeda, tapi semua itu tak pernah tentang liburan atau pengalaman baru selain kompetisi. Semua terasa ketat, fokus, dan penuh tekanan. Tapi kali ini berbeda—ia pergi untuk tampil, bersenang-senang, dan membawa nama Spica menuju ke kancah nasional.Mendadak Wulan teringat percakapan teman-temannya tadi siang di agensi. Istar yang antusias tentang syuting live dan popularitas, Valentin yang bersikeras bahwa ia akan berusaha memenangkan setiap tantangan, dan Lea yang berpesan padanya,"Wulan, stamina kamu tuh bagus. Makanya kalo ada kegiatan outdoor, kami percayain ke kamu."Suara Lea itu masih terngiang, dan Wulan merasakan dorongan untuk memenuhi harapan semua orang."Aku nggak akan mengecewakan mereka," gumamnya, semangat kembali membara di dalam hati.Sesampainya di rumah, ia menyandarkan sepedanya dan melangkah pelan ke dalam dengan senyum lelah tapi penuh bahagia. Begitu pintu kayu berderit itu terbuka, Wulan disambut oleh kelima adiknya yang langsung melesat dari lorong gelap, berlarian kecil penuh antusias. Salah satu adiknya, Dewa, yang paling kecil, langsung menangkap aroma lezat yang keluar dari kantong kresek besar yang dibawa Wulan."Kak, itu apa?" tanyanya dengan mata berbinar.Wulan tersenyum lembut, mengangkat kantong itu sedikit sambil berkata, "Ini pizza. Kalian belum pernah makan kan?"Begitu Wulan mengeluarkan kotak pizza dan membukanya, para adiknya seakan tak percaya dengan aroma dan tampilannya yang menggoda. Mata mereka berbinar penuh rasa ingin tahu dan kesenangan yang tak terkira."Pizza? Serius, Kak? Ini mahal kan." tanya Bima, adiknya yang paling besar di antara mereka."Udah, gak usah mikir mahal engganya. Makan aja, abisin." jawab Wulan sambil tersenyum, melipat lututnya dan duduk di lantai kayu di dekat mereka.Yudhi memberanikan diri untuk mengambil potongan pertama, sehingga yang lain segera mengikuti, masing-masing dengan potongan pizza di tangan mereka. Setiap gigitan disambut oleh decak kagum dan tawa kecil. Wulan hanya tersenyum sambil mengamati mereka.""Enak banget!" teriak Pandu sambil mengunyah dengan mata berbinar."Kakak, engga ikut makan?""Iya, kakak laper juga kan." Sodor Juna dengan sepotong pizza di tangannya.Wulan hanya menggeleng pelan. "Gapapa, kakak dah kenyang. Buat kalian aja, kakak udah makan di luar tadi."Tak lama setelahnya terdengar suara motor usang yang berhenti tepat di depan rumah mereka, menandakan bahwa sang bapak telah pulang. Wulan segera berdiri, menyambut bapaknya yang berjalan perlahan dengan langkah letih. Pria tua itu tampak sangat lelah, wajahnya menandakan keletihan panjang dari kerja keras sehari penuh. Ia meletakkan tas lusuh di samping pintu, menghela napas panjang sebelum tersadarkan akan sesuatu.Ia mencium aroma makanan yang tak biasa dari dalam rumah, langkahnya terhenti di ambang pintu, tatapan matanya bingung namun sedikit berbinar melihat adik-adik Wulan yang sedang makan pizza di ruang tengah dengan tawa riang."Sofi... itu makanan mahal kan. Dari mana kamu dapet makanan itu?""Anu... itu... Sofi dapat sedikit uang dari acara sekolah. Jadi... kupikir buat beli pizza kayanya enak, soalnya mereka belum pernah makan gituan kan." Jawabnya begitu takut karena kecurigaan ayahnya.Bapaknya mengamati putrinya dengan cermat, mencoba memahami setiap kata dari Wulan. Meskipun tampak lega, tatapan sang bapak masih menyiratkan sedikit keraguan, mencermati kondisi putrinya yang sering kali tampak letih. Ia sering kedapatan pulang begitu malam dan jarang pulang langsung setelah selesai bersekolah, tidak seperti waktu dulu."Hmm... dari sekolah, ya? Trus, sekolahmu gimana, baik-baik aja?" ujar pria tersebut ketika duduk pada kursi lapuknya.Wulan mengangguk cepat, tersenyum, mencoba meyakinkan ayahnya. "Baik kok, Pak. Aman... pr sama tugas juga Sofi kerjain terus.""Syukurlah kalau begitu. Waktu itu gurumu pernah bilang ke bapak kalau nilai-nilai kamu sudah sedikit membaik, tapi... katanya juga sering ketiduran di kelas, ya?""Err... itu..." Wulan tidak bisa menjawab mengenai fakta yang diutarakan tadi, karena memang benar kalau dirinya sering ketiduran di kelas karena kecapean."Ya sudah, selama nilaimu aman-aman saja mah gapapa. Bapak dulu juga sering ketiduran waktu sekolah."Wulan menunduk, menggigit bibirnya sedikit saat bapaknya mengangguk setuju. Ada kehangatan di mata pria tua itu, sebuah kepercayaan penuh yang selalu ia berikan pada Wulan, meski kali ini kepercayaan itu justru membuat hatinya terasa berat.Ia tahu, di balik persetujuan sang bapak, ada harapan dan keyakinan bahwa putrinya akan selalu jujur dan bertanggung jawab. Tetapi untuk pertama kalinya, Wulan merasakan kesedihan yang dalam karena tidak sepenuhnya bisa membalas kepercayaan itu dengan kejujuran.Keesokan hari pada kantor agensi, Dara dan Rian tengah membahas detail biaya untuk perjalanan mereka ke Bali. Dara duduk dengan secarik kertas dan pena, mencatat setiap rincian, sementara Rian menatap layar laptopnya dengan cermat. Setelah beberapa menit, Dara angkat bicara mengenai pembahasan yang semenjak tadi tengah mereka ributkan."Soal biaya untuk acara tersebut, bagaimana?""Penginapan... transportasi... uang makan, dan sebagainya ya? Aku sudah menghubungi Pak Andik, dia bilang kalau biaya yang ditanggung oleh acara hanya penginapan, makanan, dan segala macam selama di Bali aja.""Jika begitu, berarti transportasi dari sini ke sana kita tanggung sendiri." Dara menjelaskan, menatap Rian untuk memastikan ia juga memahaminya dengan jelas.Rian mengangguk sambil merenung. "Iya, sudah aku konfirmasi ulang, dan itu kebijakan mereka. Jadi, kita harus pilih yang paling hemat buat transportasi, mungkin kereta saja untuk keberangkatan. Baru pulangnya bisa pakai pesawat.""Kereta memang lebih hemat, kita bisa pakai dana yang tersisa buat kebutuhan lain selama di sana." katanya sambil mencatat saran tersebut di secarik kertas.Namun, di sela-sela percakapan serius itu, Istar, yang sedari tadi diam-diam mendengarkan, mendadak berseru dari sofa."Andai aja ngasih tau lebih awal, gue bisa beli tiket pesawat buat kita semua! Serius, kenapa nggak bilang dulu, sih?"Rian tersenyum tipis, berusaha menahan tawa."Masalahnya yang seperti ini harus dibahas dulu dengan staff, Istar." jawabnya sambil tertawa kecil, menyadari sedikit protes manja dari Istar itu tidak lebih dari keluhan ringan."Manajer bilang sudah pesan tiketnya untuk hari H. Kereta cepat, gerbong bisnis." balas Dara selepas dirinya menelepon Lea."Ya udah deh, itung-itung pengalaman baru buat gue, naik kereta." katanya pasrah.Wulan, yang sejak tadi diam, ikut mengangkat kepalanya dan berkomentar dengan penuh antusias."Naik kereta cepat?! Ini kali pertama aku naik kereta loh!""Hah?! Beneran, Wulan. Kamu baru pernah naik kereta?" Seru Valentin seakan tidak percaya sama sekali."Iya. Aku biasanya kalau lomba ke luar kota, cuma naik bus."Istar menatap Wulan dengan alis terangkat. "Bus? Lu nggak capek naik begituan? Udah lama, jalannya gak mulus, pengap lagi."Wulan hanya tersenyum tipis, tampak menerima dengan tenang. "Iya, sih, kadang capek. Tapi yah buat lomba, mau gak mau. Makanya dari itu jadi terbiasa, nggak kerasa berat lagi."Mendengar itu, semua orang sejenak terdiam. Ada kekaguman yang terpancar dari wajah mereka, tak pernah menyadari kesederhanaan yang biasa dijalani Wulan, walau melalui kesulitan yang luar biasa ia tetap memancarkan semangat serta dedikasi yang tak tertandingi."Wulan, kamu sudah izin sama orang tua buat ikut acara ini, kan?" tanya sang produser tiba-tiba.Wulan menunduk sebentar sebelum mengangguk dengan mantap."Sudah kok, produser..."Untuk sekali lagi dirinya merasa begitu bersalah karena meminta izin saja ia harus berbohong terlebih dahulu. Tentu saja, bapaknya tidak akan mengizinkan Wulan untuk pergi ke luar kota tanpa alasan yang jelas seperti lomba silat. Apabila ia bilang pergi ke Bali demi mengikuti acara idol, kemarahanlah yang akan ia dapatkan. Sehingga berbohong, berkata dirinya akan menginap ke rumah teman untuk kerja kelompok.Mendengar itu, Dara, yang duduk di samping Rian, merasa lega."Syukurlah kalau sudah izin. Karena kamu masih sekolah, perlu mengabarkan kegiatan seperti ini pada orang tua. Berbeda dengan Istar dan Valentin yang masuknya sudah dewasa, bisa mengurusi diri mereka sendiri."xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxPada Jum'at siang itu, suasana di Stasiun Gambir ramai dengan lalu-lalang penumpang yang bersiap berangkat ke berbagai tujuan. Rian, sang produser, berdiri di depan tiga gadis yang akan mewakili Spica di acara "Siapa Berani." Saat melihat barang bawaan mereka, ekspresinya langsung berubah, menahan senyum sekaligus bingung. Ketiganya punya gaya yang sangat berbeda, seperti tiga karakter dari dunia yang berlainan."Kenapa, produser?" tanya Valentin ketika menyaksikan pria tersebut berdiri terdiam."Engga... aku... cuma..."Valentin tampil sederhana dan praktis. Ia mengenakan pakaian yang nyaman untuk perjalanan jauh dengan koper kecil yang terlihat ringkas. Rian bisa menebak bahwa tas itu mungkin hanya berisi beberapa baju ganti dan perlengkapan penting.Di sebelahnya, Istar tampak seperti selebriti yang sedang siap menuju liburan tropis. Ia mengenakan baju dan celana pendek yang santai namun mencolok, ditambah kacamata hitam besar dan headphone yang menutup hampir seluruh telinganya. Di lehernya, bantal leher empuk berwarna cerah melengkapi tampilan bintangnya. Ia juga membawa koper besar yang tampaknya berisi barang-barang untuk semua kemungkinan—entah apakah itu perlu atau tidak."Kapan berangkatnya produser! Kapan? Kapan?"Tetapi yang paling menarik perhatian Rian adalah Wulan. Gadis itu mengenakan baju training panjang yang sederhana dan hanya membawa tas sekolah kecil sebagai bawaan. Rian sempat terpaku melihat betapa minimnya barang bawaan Wulan, ia tak bisa menahan diri untuk tidak melirik ke arah mereka bertiga secara bergantian, penuh rasa penasaran."Paan sih produser, liat-liat mulu?!" Istar memelotot sambil bersedekap, nada suaranya tegas namun ada senyum geli di baliknya"Iya produser, kita harus segera ke peron bukan."Rian mengerjap, tersadar dari pikirannya, lalu tertawa kecil."Oh, iya... iya, kalian memang sudah siap ya, tapi... barang bawaan kalian... beda banget satu sama lain." Ia berusaha menahan tawanya, menutupi rasa heran yang tak sengaja terpancar."Kan produser sendiri yang bilang bebas bawa apa aja." Balas Valentin.Wulan, di ujung, tersenyum kecil sambil menunduk. "Iya, makanya aku bawa yang penting aja. Kan cuma dua hari, nggak perlu banyak-banyak."Selepas tiba di dalam kereta, perjalanan pun dimulai ketika kereta cepat tersebut melaju kencang melintas mulai meninggalkan ramainya kota di belakang. Keempat penumpang tersebut duduk dalam suasana yang sangat kontras antar satu sama lain. Rian, sang produser duduk pada bangku jauh dari jendela setelah melihat Wulan yang tampak penasaran terhadap lajunya kereta. Ia tidak bisa berhenti mengamati setiap idol yang ia tanggung jawabi, meski terlihat jelas wajahnya sangat kelelahan dan ngantuk sebab terlalu banyak begadang mengurusi keperluan untuk acara ini.Berlawanan dengan Wulan, gadis tersebut menempelkan wajahnya di jendela dengan penuh antusias. Matanya berbinar-binar mengikuti setiap pemandangan yang berlalu cepat di depan matanya, seolah-olah takut kehilangan satu pun detil. Sesekali, dia berseru dengan nada kagum,"Wuaaah! Gunung, gunungnya keliatan! Itu gunung apa? Waaah! Indah banget deh sawahnya!"Yang membuat Rian tidak bisa berhenti tersenyum ketika menyaksikan kesenangannya terhadap hal sekecil itu, layaknya anak kecil. Pada seberang, duduklah Valentin. Sebagai seseorang yang dibesarkan di lingkungan yang disiplin dan berkelas, ia duduk begitu anggun. Sembari memegang ponselnya, sesekali ia mengangkat kamera untuk mengambil gambar. Dalam kesunyian ia begitu fokus dengan elegan, jari-jarinya menggenggam ponsel dengan penuh kehati-hatian, memastikan setiap angle foto yang diambilnya sempurna. Sesekali dia melihat layar ponsel, mengedit kontras atau saturasi, lalu tersenyum tipis puas dengan jepretan yang ia ambil. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, tapi ekspresinya yang tenang dan terkontrol jelas menunjukkan betapa ia menikmati perjalanan ini dengan caranya sendiri."Hnggh... brisik banget sih keretanya..."Sementara itu, duduk di samping Valentin, adalah Istar. Ia sangat tidak menikmati perjalanan yang tengah dilaluinya. Mengenakan headphone besar yang menutupi hampir seluruh telinganya, jelas ia mencoba memblokir kebisingan dan suara-suara riuh dari mesin kereta, walau tampaknya percuma. Beralaskan bantal yang ia pinjam dari staf kereta, ia peluk erat-erat di sisi kepala sebagai sandaran. Istar menutup matanya erat-erat, seolah berharap bisa segera tertidur dan menyelesaikan perjalanan meski kenyataannya masih terlalu jauh untuk dicapai.Rian melihat sekilas pada ketiganya dan merasa geli sendiri. Ia sangat mengenal karakter masing-masing idolnya: Wulan yang seperti anak kecil di taman bermain, Valentin yang tampil kalem dan berkelas, serta Istar yang selalu menampilkan sisi dramatisnya di setiap situasi. Meskipun mereka bertiga sangat berbeda, Rian tahu bahwa ketiganya punya keunikan masing-masing yang membuat mereka saling mengisi.Setelah perjalanan berlangsung beberapa jam, suasana dalam kereta mulai lebih santai dari sebelumnya.Wulan, yang sudah cukup lama duduk, mulai merasa sedikit gelisah dan menoleh ke Rian,"Produser, dari tadi gak nyampe-nyampe. Kita sampai kapan naik keretanya?" tanyanya khawatir."Masih beberapa jam lagi, Wulan. Sekitar enam jam totalnya, karena kita naik kereta cepat. Kalau naik kereta biasa, bisa lebih lama lagi." Jawab Rian berusaha menenangkan gadis tersebut.Mendengar itu, Istar langsung menegakkan tubuhnya dan menghela napas panjang dengan nada mengeluh."Enam jam?! Masa aku harus duduk selama enam jam!" ujarnya sambil menyingkap headphone. Sorot matanya tampak tidak puas, seperti merasakan setiap menit perjalanan ini sebagai beban."Mau bagaimana lagi, kita kan dari Jakarta ke Jawa Timur. Jaraknya itu jauh banget, untung kita pakainya kereta cepat yang baru selesai dibangun ini, dulu lebih susah loh. Bisa setengah hari." Balas Valentin.Istar memutar matanya, jelas tidak terhibur. "Mending naik pesawat aja." gumamnya sambil melipat tangan di depan dada dengan wajah sedikit cemberut.Wulan, yang tak pernah bosan dengan segala bentuk perjalanan, menyenggol obrolan tadi sambil tertawa,"Tapi lebih seru gini! Aku jadi bisa lihat banyak pemandangan yang belum pernah kuliat sebelumnya. Kalau naik pesawat, mana bisa lihat sawah dan pegunungan seperti ini kan?"Istar hanya menghela napas, tapi akhirnya tak bisa menahan senyum kecil saat melihat Wulan yang begitu bersemangat. Ia memutuskan untuk menyandarkan kepala kembali ke bantal, mencoba untuk menerima kenyataan bahwa ia akan berada di sini untuk beberapa jam lagi. Dalam hati, mungkin Istar juga merasa, walaupun sedikit kesal, ia coba untuk mencari titik terang dalam kesulitan yang tengah dijalaninya seperti Wulan. Kini ia bertukar tempat duduk dengan Valentin, mencoba untuk menikmati pemandangan yang rupanya memang sebagus yang Wulan beritahukan tadi.Selama enam jam perjalanan itu, mereka sempat tertawa bersama, berbagi cerita, hingga menikmati beberapa makanan ringan yang mereka beli di dalam kereta. Istar pun akhirnya terlihat sedikit lebih rileks, bahkan sekarang bisa tidur sebab saran dari Wulan barusan.Kereta akhirnya kian melambat menandakan mereka hampir tiba di stasiun tujuan, Rian menepuk pundak Wulan yang masih menatap pemandangan di luar jendela dengan penuh kagum, membangunkan Valentin yang tertidur sambil menyender ke kursinya dengan elegan, dan menggoyangkan bahu Istar yang langsung terbangun dengan ekspresi setengah sadar."Hmm? Udah sampe kah?" tanya Istar masih setengah bangun."Ya, kita sudah sampai." kata Rian sambil tersenyum. Ia melirik ketiganya, merasa lega bahwa meskipun perjalanan ini cukup panjang, mereka semua akhirnya sampai dengan selamat dan dalam suasana hati yang baik.Ketiganya pun berdiri, mengambil barang-barang mereka, dan bersiap-siap untuk turun dari kereta."Selamat datang pada Stasiun Banyuwangi Baru."Mereka segera disambut oleh pengumuman dari speaker, mengutarakan tempat tujuan terakhir dari kereta tersebut. Istar tampak menutup telinganya dengan ekspresi terkejut. Setelah berjam-jam memakai headphone di dalam kereta, telinganya serasa berdengung, dan suara ramai di stasiun membuatnya semakin pening."Gue... gak bisa denger apa... apa..." keluhnya sambil menggosok telinganya pelan.Sementara itu, Valentin berjalan dengan tenang di sampingnya, berusaha untuk mengarahkan Istar yang pendengarannya tengah terganggu. Di dekat mereka, Wulan bergerak penuh antusias, melihat ke arah pintu keluar, mengecek segala arah dengan mata berbinar."Produser, pelabuhannya mana! Aku pengin liat laut!"Rian, yang berjalan tepat di belakangnya, berusaha menjaga agar Wulan tidak tersesat. "Pelabuhannya dekat kok, gak jauh dari stasiun. Tapi jangan lari kesana kemari gitu, nanti terpisah sama yang lain." katanya sambil melirik sekilas ke arah Istar yang masih terlihat bingung dengan telinganya yang berdengung.Seusai menaiki bus sebentar, mereka tiba di pelabuhan untuk menaiki feri menuju Bali. Saat mereka hendak menaiki kapal tersebut, Rian sempat tersenyum mendengar obrolan singkat antara Wulan, Istar, dan Valentin."Baru kali ini aku naik kapal loh..." jawab Valentin ketika menyaksikan kapal feri di hadapannya."Sama, gue kali pertama juga...""Loh? Kalian baru pertama? Kalau gak naik feri, terus ke Bali naik apa dong?" tanya Wulan sambil tertawa.Istar, yang sudah mulai sembuh, menjawab, "Ya pesawat lah, jelas lebih cepat dan nggak bikin pusing."Valentin mengangguk, menambahkan, "Iya, biasanya aku juga naik pesawat kalau ke Bali. Lebih nyaman."Ketika kapal mulai berlayar dengan lembut bergoyang mengikuti ombak, Istar dan Wulan tampak menikmati pemandangan laut yang luas dan biru. Mereka berdua berdiri di pinggir dek, memandangi matahari senja yang memantul di atas air, sesekali berbicara tentang betapa indahnya laut dan angin segar yang berhembus. Wulan bahkan sempat mengeluarkan ponselnya untuk mengambil beberapa foto, menyimpan kenangan momen pertamanya di atas kapal feri.Tetapi Valentin yang penuh ketenenangan serta anggun nampaknya tidak cocok dengan kapal, wajahnya terlihat pucat. Goyangan kapal membuatnya merasa mual, dan tidak lama kemudian, ia mulai mengeluh, "Aku... rasanya pusing banget..." sebelum akhirnya ia harus berlari ke toilet, muntah beberapa kali karena mabuk laut.Rian segera bergerak mendampinginya. Ia memberikan botol air mineral dan sapu tangan kepada Valentin, mencoba menenangkan sambil memastikan Valentin bisa beristirahat sejenak."Kamu istirahat dulu saja Valentin. Setengah jam doang kok, tahan dulu ya. Biar kubawain obat buat mabuk laut." katanya dengan tenang, langsung berlari mencari tasnya.Sementara itu, Wulan dan Istar melihat dari kejauhan. Istar, dengan nada setengah bercanda, berkomentar,"Wah, baru pertama kali gue liat Valentin sampe lemes gitu."Sekitar tiga puluh menit kemudian, kapal feri akhirnya sampai di pelabuhan Bali. Valentin, meski masih terlihat pucat, tampak lega ketika mereka akhirnya menjejakkan kaki di daratan. Istar sempat menepuk bahunya dengan ekspresi simpatik,"Tenang, Valen. Walau muntah begitu, lu masih tetep cantik kok." katanya setengah. Sedangkan gadis yang telah mengalami mabuk laut untuk pertama kalinya, hanya dapat tersenyum penuh pasrah.Rian segera mengatur transportasi menuju hotel, memastikan semua berjalan lancar agar setiap gadis bisa segera beristirahat setelah perjalanan panjang ini. Mereka akhirnya menaiki kendaraan yang telah dipesan, meninggalkan pelabuhan dan melaju menuju hotel yang akan menjadi tempat istirahat mereka selama berada di Bali.xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxSetelah perjalanan panjang dari Jakarta ke Bali, mereka akhirnya sampai di hotel yang telah dipesan oleh tim acara Siapa Berani. Tim panitia menyambut mereka dengan ramah dan mengarahkan masing-masing idol ke kamar yang telah disiapkan. Dengan semangat bercampur lelah, Wulan, Valentin, dan Istar akhirnya bisa menaruh barang-barang mereka dan menghela napas lega. Walau mereka hanya punya sedikit waktu untuk beristirahat karena tak lama kemudian, para idol diminta untuk berkumpul di aula besar untuk mengikuti briefing acara untuk hari sabtu besok.Setibanya di aula, semua idol dari berbagai grup, seperti Girlish 10, Kawaii Sekai, dan Sirius, telah duduk di kursi-kursi yang diatur rapi. Aula itu terasa penuh energi dan sedikit kegugupan dari para peserta yang siap berpartisipasi dalam acara besar ini. Wulan, Valentin, dan Istar duduk di barisan terdepan, mendengarkan dengan penuh perhatian sementara pembawa acara berdiri di depan, memberikan penjelasan detail tentang kegiatan yang akan mereka lakukan esok hari. Slide demi slide ditampilkan di layar besar, memperlihatkan rangkaian acara, tantangan, dan sesi khusus untuk masing-masing grup.Sesekali, pembawa acara berhenti untuk memberikan kesempatan bagi peserta yang ingin bertanya. Istar, yang biasanya memilih untuk diam, ternyata mengangkat tangan untuk bertanya, menunjukkan ketertarikannya pada kegiatan khusus yang akan mereka lakukan di pantai."Berarti untuk lomba besok, kita lombanya secara kelompok? Tipikal estafet, gitu?" tanyanya, dengan nada sedikit skeptis."Betul sekali! Makanya kalian harus bisa kerjasama dengan teman satu grupnya ya~" balas pembawa acara penuh semangat.Di belakang ruangan, Rian duduk tenang, memperhatikan para idolnya dari jauh. Ia melihat dengan bangga bagaimana Wulan yang biasanya ceria bisa tetap mendengarkan dengan serius, sementara Valentin menuliskan beberapa catatan di ponselnya untuk mengingat jadwal yang diberikan. Tiba-tiba, sebuah suara lembut menyapanya dari samping."Permisi, apakah benar anda produser dari Spica?" Seorang wanita dewasa dengan tampilan anggun tersenyum padanya, mendekat duduk di sebelah Rian."Oh, iya, betul itu saya. Saya Rian, Produser dari Spica. Kemudian... anda ini?" awabnya sambil mengulurkan tangan, memperkenalkan diri dengan sopan.Wanita itu menjabat tangannya dengan hangat. "Senang bertemu dengan anda, Rian. Saya Sarina, produser Girlish 10. Saya sudah mendengar tentang grup anda, mereka gadis-gadis yang penuh bakat.""Terimakasih banyak, saya juga tidak menyangka bisa bertemu dengan produser yang mengantarkan Girlish 10 jadi juara satu di Dreamy Festival! Dan... tidak mengira kalau produser semuda anda berhasil membawa mereka hingga menjadi pemenang." ujarnya tulus penuh kekaguman.Sarina tersenyum malu sambil menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. "Wah, ternyata anda jauh lebih pintar dalam menyanjung dibanding sang manajer, terima kasih banyak. Tapi sebenarnya saya sendiri sudah di usia 30-an. Rasanya sudah tidak terlalu muda lagi." Jawab wanita itu sambil terkekeh, sedikit terkejut atas pujian tiba-tiba barusan."Meski begitu, masih termasuk muda kok, hahaha."Setelah beberapa obrolan ringan, Rian pun teringat bahwa sebelum menyapanya, ia melihat Sarina sedang berbincang dengan seorang pria yang duduk di seberang mereka."Tadi saya lihat anda sempat berbicara dengan produser dari Sirius, ya?" tanya Rian, penasaran."Oh, bukan, dia bukan produser, tapi manajer dari Sirius. Sekarang ia menangani generasi terbaru mereka. Saya pun mengira kalau ia produser dari mereka." Geleng Sarina sembari tersenyum ringan.Rian memperhatikan sang manajer yang dimaksud, ia tampak berbicara dengan tenang namun tegas kepada beberapa staff sebelumnya. Manajer Sirius itu, dengan postur tegap dan pembawaan yang tenang, memang memancarkan aura profesional yang kuat. Rian juga menyadari bahwa di sisi kanannya, terdapat seorang produser lain, yang ternyata adalah produser dari Kawaii Sekai, sering mengajak manajer Sirius itu berbicara. Ia tampak antusias dan sangat ramah, serta mempunyai keberanian yang tinggi untuk menjalin relasi dengan grup sebesar Sirius.Saat itu, briefing mulai mendekati akhir, dan pembawa acara kembali ke panggung untuk menjelaskan rundown acara besok. Dengan detail, ia menjelaskan alur kegiatan, jadwal panggung, sesi latihan, dan tantangan yang harus dihadapi oleh para idol. Sesi ini adalah momen serius, dan seluruh peserta mendengarkan dengan khidmat, termasuk Rian dan Sarina yang mengarahkan perhatian mereka ke depan."Sekian yang dapat saya sampaikan untuk rundown acara besok. Kami harapkan kerjasama dan semangat kalian semua untuk menyukseskan Siapa Berani!"Setelah rundown selesai dijelaskan, Sarina menoleh pada Rian, tersenyum ramah, dan mengulurkan tangan."Semoga kita bisa memberikan yang terbaik untuk para idol kita di acara ini, Produser Rian. Saya harap mereka semua bisa menikmati setiap tantangan yang ada dan belajar sesuatu dari pengalaman ini."Rian menyambut uluran tangan itu dengan semangat. "Saya berharap demikian, Produser Sarina. Mari kita lakukan yang terbaik! Meskipun kita semua di sini untuk bersaing, saya percaya bahwa semuanya punya tujuan yang sama—untuk membawa gadis-gadis tersebut tumbuh dan bersinar."Keduanya berjabat tangan dengan perasaan yang sama, merasakan solidaritas kuat di antara mereka sebagai sesama produser yang berdedikasi untuk mendampingi dan mendukung idol-idol mereka. Meskipun di acara ini akan ada persaingan, namun perlu ada rasa saling menghormati antar produser.Malam itu, suasana hotel mewah tempat mereka menginap begitu tenang, dengan udara laut yang segar dan pemandangan bintang-bintang di atas. Rian memutuskan untuk membebaskan para gadis menghabiskan waktu malam mereka sesuai keinginan. Wulan, yang tak bisa menyembunyikan rasa takjubnya bersemangat mengajak Valentin dan Istar untuk berkeliling. Meski awalnya mereka sempat mengundang Rian untuk ikut, ia menolak dengan alasan ingin mengurusi beberapa hal terlebih dahulu dengan para staff RP710.Mereka bertiga pun berjalan menuju balkon luas hotel, di mana dari kejauhan terlihat garis pantai Bali yang diterangi cahaya rembulan. Suara deburan ombak terdengar lembut, menciptakan suasana malam yang menenangkan sekaligus memikat."Indah banget pantainya...""Iya... katanya hari terakhir kita bakal ada lomba di pantai itu..."Pada tengah suasana malam yang magis ini, Valentin tiba-tiba melihat seseorang berdiri tak jauh dari mereka. Itu adalah Darius, pria tinggi penuh serius yang tak lain adalah bawahan ayahnya sekaligus produser dari grup Kawaii Sekai. Darius, dengan gerakan tangan singkat, memberikan isyarat agar Valentin menemuinya.Valentin merasa dadanya berdebar. Ia tahu Darius jarang muncul tanpa alasan penting, terutama dalam konteks pekerjaan. Berhati-hati, Valentin menghilang tanpa dapat disadari oleh Wulan serta Istar yang terpana oleh keindahan malam Bali."Aku jadi pengin tinggal di sini... ga mau pulang." Kata Wulan yang terhipnotis.Istar hanya tersenyum, mengangguk setuju meski ia sibuk mengambil beberapa selfie di bawah pencahayaan malam yang sempurna."Segini doang masih kurang, Wulan. Raja Ampat jauh lebih bagus lagi." ucapnya sambil berpose ke arah kamera ponselnya.Namun, setelah berkeliling mencari spot foto Istar menyadari sesuatu. Ia menurunkan ponselnya dan melirik ke sekitar."Loh, si Valentin ilang kemana?" tanyanya, sedikit bingung."Lah iya, tadi bareng kita kan?" ikut menoleh, Wulan sama-sama disadarkan akan misteri hilangnya Valentin.Sementara itu, di sudut lain balkon, Valentin berjalan menghampiri Darius, yang menunggunya dengan wajah serius. Suasana pertemuan ini terasa agak menegangkan bagi Valentin, karena ia tahu bahwa jika Darius datang menemuinya, pasti ada pesan penting dari sang ayah. Wajah Darius tampak khawatir, dan ia terus mengawasi sekitar agar tidak ada yang mendengar. Mendekat ke arah Valentin, ia menyampaikan kabar yang membuat Valentin tak nyaman."Nona Citra, saya mempunya pesan khusus dari ayah nona." kata Darius dengan suara rendah, tatapannya tajam namun penuh kekhawatiran."Kedatanganmu pasti gak jauh-jauh dari ayah, katakan saja.""Ayah nona mulai curiga. Apabila tidak lagi memiliki niatan untuk menjatuhkan Spica, saya takut ia akan melakukan hal yang tidak-tidak kepada nona. Bukti bahwa saya diturunkan langsung adalah tanda kalau beliau telah di ujung tanduk."Valentin menelan ludah, menahan rasa kesal yang mendidih di dadanya."Dari dulu ayah selalu seperti ini, Darius. Aku tidak menyukainya. Padahal anaknya ini sudah berjuang semampunya di sini, mengikuti keinginannya dengan caranya sendiri. Kenapa ia selalu menganggap usahaku tak cukup?""Saya memahaminya, nona. Tetapi jika saya sampai diturunkan, ini bukan mengenai kepercayaan lagi. Ia benar-benar ingin menyelesaikan segalanya, meski dengan cara paling kejam sekalipun." Darius menghela napas panjang.Valentin memandangnya dengan tatapan tajam, tak terima bahwa ia lagi-lagi terjebak dalam rencana ayahnya yang ambisius."Aku tahu, tapi aku punya kepercayaanku sendiri, Darius. Ayah harus paham bahwa aku berbeda darinya. Tidak sudi aku, bila harus menjatuhkan orang lain hanya demi keuntungan.""Saya selalu percaya kepada anda, Nona Citra. Tapi saya tidak ingin jika sampai ayah nona sampai menghukum nona karena ini. Saya ingin melindungi anda, jadi sebisa mungkin, dengarkan ide yang hendak saya sampaikan ini."Valentin terdiam sejenak, tahu bahwa meski tak menyukai rencana ini, Darius telah merawatnya semenjak kecil dan bantuannya tersebut jauh lebih dapat dipercayai dibanding rencana ayahnya. Lantas pria itu pun mulai membisikkan rencananya. Ide yang ia sampaikan tidak sepenuhnya menjatuhkan Spica, tetapi lebih pada menciptakan sedikit hambatan bagi mereka agar perhatian dan pujian di acara Siapa Berani ini lebih mengarah ke grup idol lain."Ayah nona hanya ingin Spica tidak mendapatkan spotlight pada acara ini. Apabila berhasil mengalihkan perhatian acara kepada grup lain, maka anda akan aman dari hukuman ayah anda, nona."Valentin menghela napas berat, merenungkan pilihan yang sulit ini. Di satu sisi, ia ingin bebas dari tekanan ayahnya, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa menuruti rencana ini berarti mengkhianati keinginan teman-temannya yang ingin memberikan segalanya di acara ini. Ia tak ingin menumbangkan Spica demi sebuah kepentingan.Setelah berpikir sejenak, Valentin akhirnya menjawab dengan tegas namun lirih,"Baiklah, Darius. Aku akan mempertimbangkannya. Tetapi, jika sampai teman-teman Spica-ku terkena bahaya atas rencananya, aku tidak akan diam begitu saja."Darius menatap Valentin dan mengangguk pelan, memahami keteguhan hatinya. "Baik, Nona. Saya akan mengingatnya. Dan, saya selalu ada di sini untuk nona, jadi jangan ragu untuk meminta bantuan pada hamba."Istar yang penasaran akan hilangnya Valentin memutuskan untuk mencari temannya di sekitar balkon hotel. Saat itu, tak disangka ia mendengar suara dari sebuah arah dan mendapati Valentin tengah berbicara serius dengan Produser Kawaii Sekai. Istar bersembunyi di balik pilar, mendengar sepenggal percakapan mereka yang membuatnya bingung dan curiga. Pembicaraan mengenai rencana dan desakan dari ayah Valentin membuatnya bertanya-tanya, apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan temannya itu.Sementara Istar berusaha mencerna situasi, Wulan tiba-tiba muncul di belakangnya, tampak bingung."Istar, lagi ngapain di sini? Malah main petak umpet."Sadar bahwa jika Wulan membuat kebisingan, situasinya bisa menjadi lebih rumit, seketika ia berusaha mengalihkan perhatian. Dengan refleks, merangkul bahu Wulan dan berkata,"Ah- Err... itu, gue lagi coba nyari, kok. Tapi kayanya di sini ga ada deh. Ah ya, omong-omong, Wulan, kita balik ke balkon aja yuk! Tadi kuliat ada bintang jatuh ke sana!"Wulan mengerutkan dahi, terlihat masih penasaran."Hah? Tapi tadi kamu kaya lagi ngintip sesuatu deh... ngapain?" tanya Wulan, suaranya sedikit terlalu keras dan mengagetkan Istar.Istar, panik bahwa suaranya akan terdengar, dengan cepat membekap mulut Wulan dengan tangan."U-udah deh, ikutin gue aja sini... tadi cuma lagi pose doang."Dengan kecekatan yang hampir terlalu dramatis, Istar menarik Wulan menjauh dari posisi di mana mereka bisa melihat Valentin. Dalam hatinya, Istar memutuskan untuk menyimpan apa yang baru saja ia saksikan barusan. Meskipun ia sendiri belum paham sepenuhnya, ia merasa ada alasan untuk melindungi Valentin dari potensi kesalahpahaman antara Spica dan Kawaii Sekai.Beberapa saat kemudian, Valentin menghampiri mereka dengan wajah yang tampak lebih tenang. Tetapi, ia dibuat bingung ketika memandang kedua temannya itu, terutama saat melihat Wulan tampak sedikit terganggu dan Istar berdiri di sampingnya sambil melepaskan tangan dari mulut Wulan."Kalian... lagi ngapain coba?" tanya Valentin, tersenyum bingung sambil menyisir rambutnya dengan jari.Istar cepat-cepat menjawab, "Wah ketemu deh, si Valentin! Wulan tadi ribut banget liat pemandangan, sampe berisik. Gue lagi coba nenangin ni anak." Ia melirik Wulan dan memberi isyarat dengan mata, berharap Wulan tak akan banyak bertanya.Wulan, masih bingung, mengangguk kecil dan tersenyum. "Aku gak begitu paham sih... tapi tadi lagi nyariin Valentin. Sama, ada tempat menarik lain nggak? Ayo kita keliling lagi!"Valentin, merasa lega dan bersyukur begitu menyadari tampaknya tak ada yang menyaksikan pertemuannya dengan Darius."Ayo, kudengar di lantai paling bawah ada kolam air mancur yang bagus, mana banyak lampu indahnya lagi."Ketiganya kemudian beranjak pergi, dan suasana kembali mencair. Valentin berusaha melupakan beban dari pertemuannya dengan Darius sejenak, menikmati momen kebersamaan dengan kedua temannya. Di sisi lain, Istar menyimpan segala kecurigaannya untuk saat ini, bertekad untuk menjaga rahasia Valentin meskipun ia belum sepenuhnya memahami situasi sebenarnya.Tetapi di balik canda tawa mereka, benak Istar masih dipenuhi oleh percakapan yang sempat ia dengar tadi. Ia tahu, di balik keceriaan Valentin, ada sesuatu yang lebih dalam dan rumit yang mungkin disembunyikan oleh gadis tersebut.