"Kemenangan itu ga penting, karena kebersamaan lebih berharga daripada peringkat."
Kata-kata yang dilontarkan oleh produser terngiang-ngiang di benak Valentin. Sementara menunggu pada studio kecil yang telah disediakan untuk para peserta Siapa Berani, menghangatkan diri dengan secangkir cokelat panas di tangannya. Pada seberang, kru sibuk mempersiapkan venue untuk sesi terakhir acara hari ini, dan para idol diberi waktu istirahat untuk bersiap.
Valentin duduk terdiam, tatapannya terpaku pada cokelat hangat yang perlahan menguarkan uap. Pikiran dan perasaannya bercampur aduk, antara tekadnya untuk menunjukkan kemampuan timnya dan tekanan dari ancaman sang ayah yang terasa semakin berat sejak kompetisi ini dimulai.
"Sebenarnya aku ini ingin apa..." tanyanya pada disi sendiri.
Saat istirahat tadi siang, para gadis Spica menerima panggilan video dari anggota lain di agensi mereka. Di layar, wajah-wajah yang penuh semangat dan rasa penasaran muncul, menanyakan bagaimana serunya acara Siapa Berani. Wulan langsung berbinar-binar menceritakan pengalaman mereka,
"Asyik loh! Pemandangan di Bali cantik banget lagi, pokoknya seru deh!" Teman-temannya yang tidak ikut serta langsung mengeluh iri.
"Aku pengin kesanaaa..." ucap Cia penuh kesal di hadapan kamera.
"Iya, ngeliat story yang diupload Istar juga kayanya emang indah banget." Balas Dewi dari seberang.
Lea sang manajer, ikut serta hadir memberikan nasihat, "Yang penting jangan sampai kalian terlalu memaksakan diri, ya. Ingat, kalian memang bawa nama Spica, tapi keselamatan kalian tetap yang utama. Jangan sampai ada yang terluka."
Istar masih jengkel dengan tantangan ketinggian yang harus ia hadapi pagi tadi, langsung mendengus.
"Apaan, orang tantangannya bahaya semua! Gue tuh fobia ketinggian, tapi gak ada yang kasih tau soal itu."
Semua gadis di layar tertawa geli melihat keluhannya, dan Rian, produser mereka, menundukkan kepala sedikit sambil meminta maaf, "Maaf, Istar. Aku beneran gatau soal itu."
Di balik canda tawa, para gadis Spica yang tidak ikut serta juga memberi pesan serius.
"Jangan sampai terlalu fokus sama menang atau kalah, ya! Kita itu Spica. Jangan lupain itu!" ujar Celi dengan lembut.
"Tenang aja, kami ngerti kok! Yang penting kita bareng-bareng sampai akhir." Balas Wulan dengan anggukan mantap.
"Paham kok, paham." Istar pun ikut mengiyakan.
Sementara itu, Valentin yang sedari tadi diam berpikir dalam hati. Kata-kata itu terasa mengena, mengingatkan dirinya pada semua tindakan yang telah ia lakukan sewaktu di acara. Ialah yang menjadi penyebab mengapa Spica tidak bisa meraih poin tinggi, berakhir menjadi tim pada peringkat terakhir. Tetapi kenyataan itu harus disembunyikan sekeras mungkin, sehingga tersenyum dan mengangguk, berusaha meyakinkan mereka semua.
Acara Siapa Berani kini memasuki tantangan kedua untuk hari itu, persaingan semakin memanas, terutama di antara para grup idol yang bersiap. Di bawah sinar lampu yang menerangi area games pada malam itu, tantangan "tebak kata menggunakan gerakan" akan menguji kekompakan dan kemampuan mereka menyampaikan pesan hanya dengan gerakan. Setiap grup akan dipisahkan dalam bilik-bilik kecil bersekat korden, tanpa bisa melihat apa yang ada di depan dan sedangkan yang menunggu giliran akan diberikan headphone peredam suara sehingga tak bisa mendengar apapun.
Kawaii Sekai dipanggil sebagai giliran pertama, mereka mulai memasuki bilik masing-masing dengan antusiasme yang terpancar di wajah setiap idol. Miyu, yang berada di posisi pertama, mengintip tulisan di papan yang dipegang oleh pembawa acara.
"Kincir angin...?"
Miyu menarik napas dalam-dalam, memutar otaknya sejenak, lalu mulai menggerakkan kedua lengannya melingkar, menirukan putaran baling-baling dengan tubuh berputar perlahan. Ketika korden terbuka, Nana menatap dengan serius, berusaha mencerna gerakan yang disampaikan Miyu.
"Paan coba?" ia pun kebingungan mengenai makna yang hendak disampaikan.
Ketika waktu telah habis, ia berbalik untuk menghadap pada Rin. Lalu meniru gerakan tersebut semampunya menyampaikan apa yang ia pahami kepada gadis terakhir. Namun, interpretasi Nana sedikit meleset. Saat tiba giliran Rin, gerakan itu tampak agak berubah—mungkin terlihat lebih seperti gerakan "kipas angin" alih-alih "kincir angin." Ketika pembawa acara bertanya, Rin menjawab penuh percaya diri.
"Itu, kipas angin kan?"
"Sayang sekali!"
"Eh? Salah?"
Gelak tawa terdengar dari para penonton ketika Rin salah menebak kata-katanya. Sementara anggota Kawaii Sekai lain agak kesal karena tidak bisa memahami kata semudah tadi.
Sesi tebak kata dengan gerakan berhasil membawa suasana penuh ceria di acara Siapa Berani malam itu. Setiap grup idol terlihat begitu bersemangat dan serius berusaha menebak kata yang harus disampaikan, tapi justru keseriusan mereka menciptakan momen-momen yang lucu dan menghibur.
Dari balik korden, giliran anggota Sirius mencoba menyampaikan kata "gajah" hanya dengan gerakan tubuh. Anggota pertama mencoba menirukan belalai dengan melingkarkan lengan ke depan, tapi di tengah-tengah, gerakannya terlihat agak ambigu, seolah-olah sedang meniru sosok dengan tangan terulur ke depan. Saat pesan sampai ke anggota terakhir, tebakan yang terlontar malah,
"Orang-orangan sawah?" yang langsung mengundang tawa keras dari para kru dan penonton.
Bahkan anggota Sirius yang membawa kesan anggun sekaipun tak kuasa menahan tawa melihat betapa keliru interpretasi gerakan mereka.
Girlish 10 pun tak kalah lucu. Ketika mendapat kata "pinguin," anggota pertama menggerakkan tubuhnya dengan tangan di sisi tubuh sambil berjalan berjingkat. Tetapi saat sampai ke anggota terakhir, gerakannya terlihat seperti menirukan bebek, dan tebakan "bebek" membuat semua yang hadir tertawa terbahak-bahak, terutama karena mereka hampir benar tapi masih meleset sedikit.
Sesi ini dipenuhi gelak tawa dan sorakan, bahkan produser dan para kru tak bisa menahan tawa melihat aksi para idol yang biasanya tampil anggun atau cool kini sibuk menebak gerakan-gerakan aneh. Istar, Valentin, dan Wulan dari Spica ikut tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan aksi grup lain.
Ketika giliran Spica tiba, suasana semakin meriah. Wulan yang ditempatkan di posisi pertama, terlihat bersemangat tapi agak kebingungan saat memahami kata yang diberikan. Dengan penuh ekspresi, ia mulai memeragakan gerakan untuk kata "katak," misalnya, melompat-lompat sambil menirukan mulut yang terbuka-lebar menelan serangga. Meski gerakannya tampak berlebihan, Istar, yang berada di posisi kedua, bisa memahami makna yang hendak ia sampaikan.
"Lu niat banget ya sampai segitunya..." ujar Istar, terhibur oleh tingkah gadis itu.
Istar kemudian melanjutkan untuk menyampaikan gerakan tersebut ke Valentin, yang berdiri di ujung. Meskipun Istar merasa cukup yakin, perasaan canggung mulai muncul, dan gerakannya malah jadi lebih malu-malu. Valentin menatap Istar dengan ekspresi bingung, berusaha menafsirkan apa yang baru saja ia lihat. Setiap tebakan Valentin entah kenapa selalu meleset jauh, mulai dari "kelinci" hingga "kanguru" membuat para kru, pembawa acara, bahkan anggota idol dari grup lain tertawa terpingkal-pingkal.
"Jawaban yang benar adalah katak!"
"Loh, itu tadi katak? Tapi gak kaya katak sama sekali." Balas Valentin kebingungan.
"Apaan sih! Orang mirip gitu, kok gak tau?!" justru Istar kesal karena ia tidak bisa paham padahal sudah susah payah menirukan.
Ketika giliran kata "kupu-kupu" datang, Wulan kembali tampil dengan gerakan sayap yang mengepak sangat cepat, dan Istar meneruskan gerakan itu dengan sangat hati-hati.Tetapi Valentin yang tampak semakin tertekan oleh suasana malah menjawab,
"Angsa? atau Elang?" Hal ini membuat seisi venue riuh oleh tawa.
Setiap kali tebakan Valentin meleset, wajahnya menunjukkan ekspresi bingung dan malu yang begitu lucu sehingga Wulan dan Istar ikut tertawa, meski merasa sedikit kasihan.
"Jadi kita cuma dapet poin dikit doang..."
"Lagi-lagi peringkat terakhir kah..."
"Ya lu berdua gak bener banget deh ngasih tahunya..."
Selesai berbincang sejenak Istar duduk merenung pada kursinya, memikirkan kembali jalannya sesi tebak kata yang baru saja selesai. Wulan yang sejak awal berusaha keras mengingat kata-kata dari pembawa acara, beberapa kali menyampaikan kata dengan gerakan yang sedikit tak terduga dan kadang bahkan lucu. Namun walau begitu, Istar bisa menebak sebagian besar dari gerakan Wulan meski tak sempurna. Tetapi saat gilirannya meneruskan pada Valentin, Istar merasa ada sesuatu yang tidak biasa.
Seharusnya Valentin yang dikenal selalu teliti, tidak akan sulit menangkap maksud gerakannya. Tetapi justru gadis tersebut sering kali tampak bingung dan menyampaikan kata yang tak sesuai atau bahkan salah, seolah ada yang mengganggu fokusnya. Istar melihat ekspresi Valentin beberapa kali berubah—terlihat ragu, bahkan mungkin terganggu, yang tak biasa bagi dirinya yang dikenal tenang.
Ketika games selesai dan pengumuman kembali menempatkan Spica di peringkat terakhir untuk sesi ini, Istar tak dapat menahan rasa herannya. Mengingat kembali bagaimana tekun ia mencoba menyampaikan setiap kata dengan jelas, ia jadi mempertanyakan apakah memang dirinya yang kurang tepat atau memang ada hal lain yang menganggu grup mereka.
Setelah kru dan idol lain pergi untuk beristirahat sejenak, Istar mendekati Valentin yang tampak sedang duduk sendiri, memandangi secangkir minuman hangat tanpa banyak bicara. Istar, dengan suara pelan dan penuh perhatian, berkata,
"Valentin, lu kok... agak aneh tadi. Lagi kepikiran sesuatu kah?"
Valentin tersentak sejenak, lalu tersenyum tipis, berusaha menutupi kegelisahannya. "Ah, ngga, mungkin karna... capek aja. Maaf ya gara-gara aku tadi salah nebak terus."
Wulan yang ikut mendengar percakapan mereka segera menimpali, "Gak apa-apa, kok! Yang penting kita semua bisa ketawa. Aku juga sering lupa, toh ini cuma game doang!"
Kata-kata Wulan yang polos dan tulus sedikit menghangatkan suasana, namun Istar tetap merasa ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat Valentin tak seperti biasanya. Ia pun memutuskan untuk tidak menekan lebih jauh dan berpikir akan mencari kesempatan untuk berbicara lagi nanti, ketika suasana lebih tenang.
"Kali ini kita bakal memasuki segmen terakhir dari acara Siapa Berani, Day One!"
Segmen terakhir merupakan kuis trivia mengenai Indonesia, menjadi puncak acara dari malam ini. Setiap grup idol duduk di belakang meja masing-masing, lengkap dengan tombol besar di tengah meja. Pada bawah mereka terdapat kolam besar dengan air jernih yang terlihat begitu mengancam bagi mereka. Pembawa acara menjelaskan bahwa siapapun yang menekan tombol paling cepat dan dapat menjawab dengan benar akan mendapatkan poin, tetapi bagi mereka yang kalah, seluruh anggota tim akan jatuh ke kolam yang ada di bawah.
Sorak-sorai penonton bergema di seluruh arena ketika segmen terakhir kuis trivia dimulai. Setiap tim idol bersiap di meja masing-masing, jemari melayang di atas tombol besar, mata fokus, dan telinga tajam menunggu pembawa acara melontarkan pertanyaan.
"Pertanyaan pertama, apa nama gunung tertinggi di Indonesia?"
Belum sempat detik berlalu, seorang anggota dari Girlish 10 langsung menekan tombol dengan antusias. Padahal grup-grup lain saling berdiskusi mengenai jawaban apa yang harus mereka ajukan.
"Gunung... Bromo?"
"Salah! Jawabannya itu Gunung Puncak Jayawijaya!"
Mengetahui mereka salah menjawab, beberapa anggota Girlish 10 merasa begitu kecewa. Kali ini poin menjadi minus bagi grup Girlish 10, apabila telah mencapai minus 3, maka mereka akan jatuh ke kolam menjadikannya kalah.
"Pertanyaan kedua, apa nama tarian tradisional dari Bali yang menggunakan pakaian khas berwarna keemasan?"
Kali ini, Sirius mengambil alih dengan kecepatan kilat.
"Tari Kecak!" jawab salah satu anggotanya dengan lantang, disambut sorakan bangga dari anggota timnya.
"Tepat sekali!" ujar pembawa acara, diiringi tawa dari penonton. Sementara itu, di meja Spica, Istar memegang keningnya, gugup karena tak ingin grupnya terus tertinggal.
"Mereka kok cepet-cepet amat jawabnya!" bisik Wulan frustrasi.
"Gue lemah kalo pengetahuan gini, cuma tau soal fashion doang. Valentin, gue percayain ke lu. Abis itu Wulan, kalo misal Valentin tau jawabannya, cepet pencet!"
"Oke, aku bakal coba."
Kuis trivia semakin memanas, suara tombol ditekan dan buzzer memenuhi udara, disertai tawa serta sorakan dari anggota grup idol dan penonton. Beberapa idol terlihat begitu percaya diri memencet tombol, namun salah menjawab hingga harus menerima hukuman berupa minus poin, menjadikan kemungkinan mereka untuk jatuh ke kolam semakin tinggi.
"Kota apa yang dikenal sebagai Kota Apel di Indonesia?" tanya pembawa acara.
Seorang anggota Kawaii Sekai dengan cepat menjawab, "Bogor!" tetapi buzzer merah langsung berbunyi, diikuti tawa gemuruh dari penonton.
"Jawabannya itu, Malang! Wah-wah... bentar lagi Kawaii Sekai bakal jatuh ke kolam nih, udah minus dua!"
Keadaan kuis sekarang tengah memasuki titik penuh kejutan. Setiap idol saling memandang satu sama lain dengan tegang terutama sebab skor sekarang berisikan Sirius dengan 2 poin dan minus 1, Girlish 10 dengan 1 poin dan minus 1, Kawaii Sekai 2 poin dengan 2 minus juga, sedangkan Spica dengan 1 poin dan 2 minus.
Valentin berdiri di tengah tim Spica, kedua tangannya terus meremas jemarinya sendiri. Ketegangan tergambar jelas di wajahnya. Di sebelah gadis tersebut Istar tampak gelisah, berulang kali melirik Valentin dengan alis mengerut, sementara Wulan tetap menempatkan tangannya di atas tombol selalu bersedia.
"Ayo Val... fokus. Kita masih bisa kok, jangan ragu."
Valentin menggeleng pelan, suara hatinya terdengar putus asa. "Aku... takut kalo salah lagi. Kalau salah, kita makin dekat ke kolam."
Istar mendengus frustrasi. "Justru kalau kamu nggak berani jawab, kapan kita mau dapat poin? Sampe-sampe Kawaii Sekai nyusul kita. Mereka bisa saja bikin comeback di pertanyaan terakhir nanti!"
Wulan, yang mendengar percakapan mereka, memandang Valentin dengan lembut. Ia paham perasaan temannya yang terbebani tanggung jawab besar.
"Valen, aku tahu kamu takut salah. Tapi kita lebih baik coba daripada nggak sama sekali. Kita nggak bakal tahu kalau nggak nyoba."
"Tapi... Gimana kalau jawabanku salah lagi? Aku nggak mau kalian kecebur karena aku..."
Wulan menggeleng dengan senyum tipis yang penuh keyakinan. "Kalau kamu takut salah, biar aku aja yang pencet tombolnya. Kalau salah, salahku. Jadi nggak perlu kamu yang merasa bersalah."
Sebuah pertanyaan baru pun terdengar dari pembawa acara.
"Pertanyaan berikutnya, berasal darimanakah Bika Ambon?"
Setiap idol melirik kepada satu sama lain, merasa bahwa pertanyaan ini adalah pertanyaan jebakan. Tetapi tanpa membahas sekalipun, Wulan segera memencet tombol sehingga membuat Istar dan Valentin kaget oleh hal itu. Meski kata-katanya tadi sangatlah bagus, untuk memberanikan diri dan lebih baik mencoba, tetapi apabila ia salah menjawab pada detik ini juga mereka akan langsung kalah.
"Spica! Apa jawabannya?" seru pembawa acara.
"Pertanyaannya gampang banget, dari namanya aja udah ketera kan? Bika Ambon tuh asalnya dari..."
Mereka saling pasrah pada satu sama lain, mengetahui bahwa kemungkinan jawaban yang akan diberikan oleh Wulan salah. Sebab nama dari makanan tersebut sangat tidak mencerminkan asal dari tempat aslinya.
"...Medan, lah."
Keadaan menjadi hening sejenak, sampai kemudian...
"Benar! Spica mendapat satu poin!"
Sorak-sorai penonton bergema, dan Wulan tersenyum lega. Valentin, yang tadinya tegang, langsung memeluk Wulan sambil berkata,
"Wulan... kupikir kamu bakal jawab salah tadi."
"Hah? Pertanyaan segampang itu masa salah. Udah kubilang kan, kalau kita gak coba, kita gabakal berhasil. Makanya, kalo kalian tau jawabannya tapi ragu buat mencet, serahin aja ke aku!" jawabnya dengan senyum meringis.
"Kali ini pertanyaan terakhir! Situasi semakin memanas, karena tim dengan perolehan tertinggi ada Sirius, Kawaii Sekai, dan juga Spica!"
Tegangan di arena semakin terasa. Sorak-sorai penonton yang tadinya meriah kini berubah menjadi gumaman-gumaman penuh antisipasi. Sirius, Kawaii Sekai, dan Spica berdiri dalam formasi masing-masing, pandangan mereka tertuju ke arah pembawa acara yang sedang mempersiapkan pertanyaan terakhir. Satu jawaban benar akan langsung memenangkan pertandingan, tetapi satu kesalahan saja bagi Spica atau Kawaii Sekai berarti mereka akan tercebur ke kolam di depan ribuan penonton dan jutaan pemirsa online.
"Pertanyaannya adalah..." suara pembawa acara terhenti sebentar, sengaja membangun ketegangan lebih lanjut.
"Siapakah nama pahlawan nasional Indonesia yang dikenal dengan sebutan Ayam Jantan Dari Timur?"
Seketika, setiap tim tenggelam dalam diskusi mereka. Sirius terlihat percaya diri, dengan setiap anggotanya coba mengingat-ingat. Sedangkan Kawaii Sekai sangat serius, terlihat kebingungan. Di sisi Spica, Valentin langsung menyadari jawabannya.
"Val, lu tau jawabannya kan?" Istar mencoba untuk membangun kepercayaan diri Valentin, sebab ia terlihat mengetahui jawaban dari pertanyaan tadi.
"Aku..."
Pada saat dirinya hendak menjawab, matanya tiba-tiba beralih ke arah tribun penonton. Di sana, ia menangkap sosok yang tidak ingin ia lihat di tempat ini yaitu Darius, produser Kawaii Sekai sekaligus bawahan setia ayahnya. Wajah Darius datar, namun mata pria itu menatap tajam ke arah Valentin, mengirimkan pesan tanpa kata-kata. Seperti kilatan listrik, pikiran-pikiran gelap langsung memenuhi kepalanya.
"Apa yang akan ayah lakukan kalau aku buat Spica menang? Bagaimana kalau ini jadi alasan utama untuk ngehancurin mereka? Istar... Wulan... aku..."
Valentin menggigit bibirnya, merasa dadanya sesak. Ia tahu persis misi yang diberikan ayahnya padanya adalah menghancurkan Spica. Itu sebabnya ia dikirim ke grup ini sejak awal. Tetapi kini, ia merasa terperangkap dalam jebakan yang lebih besar dari yang ia bayangkan.
"Val?" suara Wulan yang memanggil membangunkan gadis itu dari lamunannya.
Istar memandangnya dengan curiga. "Lu beneran gapapa? Sumpah, dari tadi pagi aneh banget deh lu."
Di depan matanya, Valentin nampak berpikir begitu keras. Walau jawaban sudah terlihat jelas di kepalanya yaitu—Sultan Hasanuddin. Bayangan akan ancaman yang bisa terjadi jika Spica menang menghantui pikirannya.
"Aku pencet aja ya?" balas Wulan, memecahkan keheningan.
"Wulan... kayanya... aku tahu jawabannya." Kata Valentin pelan.
Wulan yang berada di dekat tombol terlihat menunggu instruksi. Ia mempercayai teman-temannya sepenuh hati, seperti biasa.
"Kalau kamu yakin, kasih tahu aku. Biar aku yang tekan." katanya dengan nada optimis, tersenyum penuh percaya diri.
Valentin menatap kedua temannya. Dalam hatinya, ia ingin melindungi mereka—Wulan yang tulus dan selalu bekerja keras serta Istar yang penuh keberanian meski dirinya sendiri takut. Tapi ia juga tahu, satu langkah benar dari mereka bisa saja membuat malapetaka bagi Spica.
Akhirnya, dengan suara bergetar, Valentin berkata, "Sebut... Sultan Jamaluddin."
Wulan menatapnya sejenak, merasakan ada sesuatu yang aneh dari cara Valentin berbicara. Tapi ia tak mempertanyakan lebih jauh. Wulan percaya sepenuhnya kepada Valentin. Ia pun menekan tombol dengan mantap.
Pembawa acara menoleh ke arah mereka dengan senyum formal. "Spica, apa jawaban kalian?"
"Sultan Jamaluddin." Wulan menjawab dengan lantang.
Penonton menahan napas. Seluruh arena seolah membeku menunggu keputusan pembawa acara. Senyuman di wajah pembawa acara perlahan berubah menjadi ekspresi penuh simpati. Ia menggelengkan kepala pelan.
"Sayang sekali... jawaban kalian, salah."
Seakan petir menyambar, suara bel tanda kesalahan berbunyi keras. Lantai di bawah kaki mereka langsung terbuka, membuat Wulan, Valentin, dan Istar tercebur ke dalam kolam air dingin. Sorak-sorai penonton terdengar membahana, beberapa dari mereka tertawa, sementara yang lain tampak terkejut melihat nasib Spica.
Istar muncul dengan wajah penuh terkejut, mengibaskan air dari rambutnya. "Salah?!" Ia menatap Valentin dengan tatapan bingung. "Tapi lu bilang..."
Wulan pun naik ke permukaan, matanya tajam tertuju pada Valentin, yang tampak diam dan penuh rasa bersalah. Valentin menghindari tatapan mereka berdua, tubuhnya terlihat gemetar.
"Maaf..." Valentin berbisik pelan, nyaris tak terdengar di tengah suara gemuruh penonton.
Di sudut arena, Wulan, Istar, dan Valentin duduk di bangku panjang, membungkus diri dengan handuk sambil menunggu tubuh mereka yang basah kuyup mengering. Suara sorak-sorai penonton masih menggema, merayakan kemenangan Kawaii Sekai yang baru saja dinobatkan sebagai pemenang kuis. Berkebalikan pada arah lain, suasana di antara anggota Spica terasa jauh lebih sunyi.
Wulan menatap dua temannya, menyadari bahwa suasana hati mereka sedang tidak baik, terutama Valentin yang duduk mematung dengan kepala tertunduk.
"Maaf ya..." kata Wulan tiba-tiba, suaranya pelan tapi cukup untuk didengar oleh mereka. Ia meremas handuk di tangannya, menatap lantai dengan rasa bersalah.
"Gara-gara aku terlalu pd, jadi salah tadi..." lanjutnya kembali.
"Bukan salah lu, Wulan. Bukan..." jawab Istar sembari terus menatap ke depan, pada arah panggung yang penuh tepuk tangan.
Wulan tersenyum lemah, tapi ia masih merasa bersalah. "Tetap aja... kalau aku lebih tenang mungkin hasilnya bisa beda."
Istar menggeleng pelan, lalu menoleh ke Valentin, yang masih tak bergeming. Ia sangat ingin mengatakan bahwa sebenarnya ini semua salah Valentin, berkat dirinya yang memberikan jawaban salah kepada Wulan, mereka semua kalah.
Valentin mengangkat kepalanya perlahan, matanya terlihat berkaca-kaca, kata-kata yang keluar dari mulutnya hampir tenggelam di keramaian sekitar mereka.
"Semua ini salahku. Kalau aku nggak kasih jawaban yang salah... Maaf... maaf."
Wulan segera memotong. "Enggak, Val!"
"Ini bukan salahmu. Kamu tadi udah bantu banget, kasih jawaban yang bikin kita dapat poin-poin sebelumnya. Kalau nggak ada kamu, mungkin kita nggak akan sampai di sini." Jawabnya kembali dengan mata penuh simpati.
Rian mendekati ketiga gadis Spica yang masih duduk di sudut arena, berusaha memancarkan senyum penuh semangat.
"Udah, jangan terlalu dipikirin. Seengaknya kalian dapet dua poin loh, setara sama Sirius." katanya penuh lembut.
Wulan, Istar, dan Valentin menoleh hampir bersamaan. Mereka mencoba tersenyum, tapi rasa kecewa masih jelas terlihat di wajah mereka.
"Baru hari pertama, hasil hari ini gak nentuin segalanya. Masih ada besok kan, kesempatan terbuka lebar buat kalian. Daripada murung di sini, mending semangat lagi buat balas mereka besok, ya kan?"
"Produser... makasih dukungannya. Tapi ya... emang agak kecewa sih." Balas Wulan, menggantungkan kalimatnya, tak mampu menyembunyikan perasaan tersebut dari lubuk hati.
"Aku paham kok, paham. Maka dari itu, buat bikin kalian ceria lagi. Tadi aku udah bahas sama kru acara, ada sedikit hadiah hiburan bagi yang kalah di hari ini."
Lantas mereka bertiga kembali mendongak ke atas, menatap sang produser dengan penuh penasaran.
"Karena kalian jatuh ke kolam, mereka bilang kalian boleh buat pakai pemandian air panas yang ada di hotel!"
"Hah? Serius?!" mata Istar langsung terbelalak begitu lebar.
"Hotel kita, ada pemandian air panasnya?"
"Ya, makanya, kesempatan yang bagus kan? Habis dingin-dingin kecebur, langsung mandi di air panas."
Valentin, yang sedari tadi diam, akhirnya ikut tersenyum tipis. "Kedengarannya menyenangkan... terima kasih, Produser."
Ketiganya mengangguk, perlahan kembali bersemangat. Meski rasa kecewa mereka belum sepenuhnya hilang, bayangan mengenai menghabiskan malam di pemandian air panas memberi mereka harapan kecil untuk mengakhiri hari dengan tawa dan kebersamaan.
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
Setelah menghadapi hari penuh dengan rintangan serta gejolak, dari mengikuti estafet di antara pepohonan tinggi, hingga tercebur ke kolam karena kuis. Para gadis Spica kini tengah menghabiskan malam mereka pada pemandian air panas yang luas di hotel. Sebab negosiasi produser mereka dengan kru acara serta pihak hotel, gadis Spica diperbolehkan memakai pemandian itu secara percuma. Tentu saja Wulan, Istar, dan Valentin tidak menyia-nyiakan kesempatan langka itu.
"Wuaah! Jadi gini pemandiannya!"
Uap tipis dari kolam pemandian air panas bergulung-gulung di udara, menciptakan suasana magis di bawah langit yang dihiasi bintang-bintang. Suara gemericik air mengiringi tawa kecil dan percakapan ringan yang terdengar dari kejauhan.
Wulan, yang lebih dulu bersemangat, berlari ke arah kolam dengan wajah penuh antusias.
"Aku duluan!!!" teriaknya, sebelum langsung melompat ke air dengan cipratan besar.
Air hangat yang menyentuh tubuh membuat Wulan menghela napas lega, selepas ia kedinginan di luar tadi akhirnya ia bisa merasakan kehangatan sejati dari pemandian. Ia berenang kecil ke sana kemari, seperti seorang anak kecil yang menemukan taman bermain baru.
"Angetnya..." seru gadis tersebut, tertawa riang.
Namun, Istar yang baru saja berjalan masuk dengan handuk di tangan, memandang Wulan dengan dahi berkerut.
"Wulan, lu gimana sih? Gak boleh langsung nyebur gitu! Bilas dulu! Nanti kotor gimana coba!" katanya sambil menunjuk shower di sudut ruangan.
Wulan menghentikan renangnya dan hanya bisa tertawa malu.
"Eh iya kah, aku gatau soal itu!" ujarnya dengan nada bersalah. Ia pun bergegas keluar dari kolam, menggigil sebentar karena terkena angin sebelum menuju shower untuk membilas tubuhnya.
Valentin, yang telah siap dengan rambutnya yang diikat rapi dan handuk melingkar di bahunya, hanya menggeleng kecil sambil tersenyum tipis.
"Dia itu, kemana pun selalu heboh. Aku iri sama semangatnya." ujarnya kepada Istar.
Selepas selesai membilas tubuhnya Istar berjalan menuju ke tepi kolam, mencelupkan kakinya terlebih dahulu sebelum perlahan-lahan masuk.
"Emangnya siapa yang gak bakal heboh waktu dikasih pemandian gratis begini?" ucap Istar dengan nada puas, meregangkan tubuhnya di dalam air.
"Hah~ ini yang gue butuhin..." lanjutnya dengan desahan penuh nikmat.
Valentin mengangguk, ikut menyelusup masuk ke dalam kolam dengan gerakan anggun. Ia menghela napas panjang, membiarkan rasa hangat dari air meresap ke tubuhnya.
"Sehabis masuk... rasanya seperti semua rasa lelah langsung hilang begitu aaja." katanya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam gemericik air.
Wulan kembali ke kolam setelah membilas diri, meluncur ke dalam air dengan senyum lebar.
"Nah, sekarang aku bersih. Nggak ada lagi yang bisa ngomel!" katanya sambil menggoda Istar.
"Kalo gue gak ngomel, pihak hotelnya nanti yang ngomelin lu!"
Mereka bertiga tertawa, perlahan mulai melupakan rasa kecewa dari hari sebelumnya. Kolam yang hangat seolah menjadi penghapus segala kepenatan, menyatukan mereka dalam momen kelegaan dan kebersamaan. Wulan, yang tadinya seperti anak kecil, akhirnya ikut tenang, bersandar di pinggir kolam sambil melihat ke langit.
"Kalau begini, walau kalah sekalipun, semuanya gak terasa nggak sia-sia." kata Wulan dengan suara lembut.
Ucapan Wulan yang penuh ketulusan itu membuat suasana di antara mereka semakin damai, walau Istar tidak merasa demikian. Sambil merendam tubuhnya di air hangat, pikiran Istar terus berputar, mengingat kembali semua hal yang terjadi sepanjang hari. Bayangan gerak-gerik Valentin yang aneh selama acara, serta pertemuan singkatnya dengan Produser Kawaii Sekai, tidak bisa ia abaikan begitu saja.
'Kenapa Valentin jadi penuh ragu gitu?' pikir Istar, memandangi wajah gadis tersebut yang tampak murung di sisi kolam.
Bahkan sejak tadi pun Valentin terus-menerus meminta maaf, terutama ketika Wulan berusaha keras meyakinkannya bahwa tidak ada yang perlu dimaafkan.
"Maaf..." Valentin berkata lagi, suaranya hampir melayang bersama uap hangat yang menyelimuti ruangan.
"Dah kubilang, ga ada salah sama kamu kok. Jangan minta maaf terus ah." Wulan menggeleng pelan, menepuk pundak Valentin dengan senyum lembut.
Valentin tidak menjawab, hanya menunduk lebih dalam. Sementara Istar menatapnya dengan tatapan tajam, meski tidak ia tunjukkan secara terang-terangan. Bagaimana bisa seseorang yang biasanya tegas dan berani, seketika berubah menjadi penuh rapuh seperti ini.
'Kalian juga salah. Kalo emang ada yang bisa disalahin, itu gue. Gue cuma jadi beban sepanjang acara, gak berguna, selain buat narik perhatian penonton doang. Yang jadi beban tim, itu gue...'
Kemarahan kecil pada dirinya sendiri bercampur dengan frustrasi terhadap Valentin. Istar tidak mengerti kenapa Valentin terus-menerus menyalahkan dirinya sendiri, tapi di sisi lain, ia juga merasa kecewa karena gadis itu tidak berani bicara jujur.
"Wulan, lu duluan aja ke kamar. Gue ada urusan bentar, sama Valentin."
"Eh? Ah... oke deh."
Istar memimpin langkah dengan tegas, menarik Valentin menjauh dari keramaian. Suasana lorong hotel yang remang-remang terasa dingin meski mereka baru saja menikmati kehangatan pemandian air panas. Valentin mengikuti tanpa berkata sepatah kata pun, wajahnya masih menyiratkan rasa bersalah yang mendalam.
Ketika mereka sampai di sudut lorong yang sepi, Istar berhenti dan menoleh ke arah Valentin. Ia memastikan bahwa tidak ada siapa pun di sekitar mereka.
"Istar... yang kamu pengin bahas itu ap—"
Sebelum sempat Valentin mengucapkan apapun, Istar memojokkan dirinya ke arah tembok. Tubuhnya bergetar kaget ketika menyaksikan Istar berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam. Cahaya lampu lorong hotel yang redup mempertegas bayangan wajah Istar yang penuh amarah.
"Gue gak paham, apa yang lu pikirin, Val. Pengin lu apa sih?!" seru Istar, suaranya nyaris pecah.
"A... apa yang kamu bicarain, aku... ga paham."
"Lu pikir bisa boongin gue?! Lu pikir kita itu lagi main-main?! Gak serius soal Spica?! Kalo lu emang mikir gitu, omongin cepet!" seru Istar, suaranya nyaris pecah ditengah emosi yang meluap-luap.
"Aku... aku sama sekali gak berpikir begitu, Istar. Aku... pengin yang terbaik buat Spica!" jawab Valentin dengan tergagap.
"Yang terbaik? Yang begitu lu bilang terbaik?! Liat Wulan! Lu dah ngelecehin perjuangan tu bocah, dia kerja keras, ngelakuin semuanya buat Spica. Dan lu juga ngelecehin gue yang bahkan sampe mati-matian buat kelarin rintangan, demi gedein nama Spica!" Istar mendekatkan wajahnya ke Valentin, membuat gadis itu semakin tersudut ke dinding.
Valentin menatap Istar dengan ekspresi campuran antara rasa bersalah dan kebingungan. "Aku... sama sekali gak.... Tapi kenyataannya... grup-grup lain jauh lebih hebat dari kita. Sirius, Kawaii Sekai—mereka ada di level yang berbeda. Kita nggak bisa bersaing dengan mereka."
"Omong kosong! Lu sengaja ngalah kan...?" bentak Istar. Tangannya mengepal kuat, menahan amarah yang hampir tak bisa dikendalikannya.
Lorong itu terasa semakin sempit dan penuh tekanan. Udara di sekitarnya seakan membeku ketika Istar berdiri di hadapan Valentin, tatapannya yang tajam seolah mampu menembus hati gadis itu. Valentin menggigit bibirnya, berusaha menahan amarah yang berkecamuk di dalam dirinya. Namun, setiap kata dari Istar seperti paku yang menusuk lebih dalam.
"Atau mungkin, ini gara-gara lu ketemu sama produser Kawaii Sekai, kan. Gue liat kalian berdua kemarin."
Valentin terdiam, kali ini ia menatap langsung pada mata Istar. Menyadari bahwa rahasia yang disimpannya selama ini kini terancam terungkap.
"Kalo emang ga ada niatan menang, kalo emang lu gak ngerasa jadi bagian Spica, mending balik aja sana. Spica gak butuh beban kek lu."
Kata-kata itu menghantam Valentin seperti pukulan telak. Selama ini, ia selalu merasa dirinya berada di bawah bayang-bayang orang lain, tapi kali ini amarahnya meluap tanpa terkendali.
"Beban...? Kamu pikir aku nggak berjuang? Kamu pikir aku cuma bisa diem doang tanpa ngelakuin apapun?!" balas Valentin dengan suaranya yang meninggi.
"Kamu gak tahu apa yang harus kulewati selama ini. Aku harus menghadapi lebih banyak hal daripada yang kalian berdua tahu! Kalian yang sebenarnya beban, karena aku yang harus mikirin semuanya!" lanjut Valentin, nadanya penuh dengan kemarahan yang ia tahan selama ini.
Kata-kata itu membuat suasana semakin sunyi. Valentin sadar apa yang baru saja keluar dari mulutnya, dan rasa bersalah langsung menyerangnya seperti ombak besar. Ia tidak ingin mengucapkan hal itu, tidak ingin menyakiti mereka. Tapi kini semuanya sudah terlambat. Istar terdiam beberapa detik, kemudian menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Matanya berkaca-kaca, tetapi ia menolak membiarkan air matanya jatuh di depan Valentin.
"Jadi itu... yang lu pikir soal kita." Balas Istar pelan, suaranya dipenuhi dengan kesedihan yang dalam.
Istar berbalik, melangkah pergi meninggalkan Valentin tanpa mengatakan apapun lagi. Tetapi sebelum benar-benar menjauh, ia berhenti sejenak dan berbicara tanpa menoleh.
"Lu mungkin mikir kalau gue itu beban, itu gapapa. Tapi... lu gak bisa bilang begitu ke Spica, Val."
Kata-kata itu menghantam Valentin lebih keras daripada semua kemarahan Istar sebelumnya. Ia ingin mengejar, ingin mengatakan sesuatu, tetapi kakinya terasa seperti tertanam di lantai. Istar akhirnya pergi, meninggalkan Valentin sendirian di lorong yang dingin dan sunyi. Valentin merosot ke lantai, menggenggam erat dadanya yang terasa begitu sesak. Air matanya mulai mengalir tanpa henti.
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
Hari kedua dimulai dengan suasana hati yang suram di antara para anggota Spica. Meskipun matahari Bali bersinar cerah, atmosfer di antara mereka terasa mendung. Wulan duduk di pojok sambil mengikat baju renangnya, sesekali melirik Istar dan Valentin yang duduk berjauhan, tidak saling berbicara. Biasanya, Istar adalah yang paling cerewet, sedangkan Valentin selalu punya candaan ringan untuk menghibur. Tapi pagi ini, keheningan mencengkeram mereka.
Rian, yang merasa janggal, mendekati Istar lebih dulu. "Ada apa sama kalian berdua, Istar? Kamu sama Valentin kelihatan beda. Biasanya gak begini."
"Ngga ada apa-apa, ga usah kepo deh, produser. Fokus ke acara aja." Nada bicaranya ketus, membuat Rian hanya bisa menghela napas panjang.
Dia kemudian mencoba mendekati Valentin. "Valentin, kamu betulan ga ada apa-apa sama Istar. Kalau semisal pengin cerita, kamu bisa kasih tau ke aku. Biar aku yang selesaikan."
"Ngga... produser, ngga ada apa-apa kok." Balas Valentin dengan gelengan kepala lemas, nada suaranya penuh kepahitan yang tidak bisa ia sembunyikan.
Rian menyerah sementara, merasa tidak akan mendapatkan jawaban apapun dari mereka. "Oke, kalau kalian nggak mau cerita sekarang, jangan sampai kehilangan fokus di acara ini. Baik teman-teman kalian di Spica... dan penggemar kalian berharap banyak kepada kalian bertiga."
Wulan, yang sedari tadi mengamati, mendekati Rian saat mereka menuju pantai. "Produser, ada apa sih sama mereka? Aku jadi khawatir."
"Lebih baik, biarin dulu. Biarkan waktu menjawab semuanya." balas sang produser.
Langit cerah Pantai Kuta menjadi saksi awal tantangan pertama pada hari terakhir kompetisi "Siapa Berani". Keramaian wisatawan dan penonton memadati garis pantai, menciptakan suasana semarak yang penuh sorak-sorai. Di bawah teriknya matahari, empat grup idol terkenal berkumpul, mengenakan baju renang masing-masing yang memancarkan kecantikan mereka. Di barisan itu, grup Spica terlihat sedikit berbeda. Meski pakaian mereka berwarna cerah dan senyuman Wulan tetap terpampang, ketegangan di antara Istar dan Valentin seakan menjadi spotlight yang begitu jelas.
Pembawa acara berdiri di tengah kerumunan dengan mikrofon, menjelaskan tantangan pertama.
"Tantangan pertama, yaitu adu ketahanan di atas banana boat! Grup yang berhasil sampai akhir dengan anggota paling sedikit terjatuh, akan mendapatkan poin!"
Setiap grup harus naik ke banana boat yang akan ditarik oleh kapal cepat, dan mereka harus bertahan sekuat mungkin menghadapi ombak dan kecepatan. Grup yang anggotanya paling sedikit tercebur, atau yang mampu bertahan hingga akhir, akan mendapatkan poin tertinggi.
"Giliran pertama, Girlish 10!"
Begitu namanya dipanggil, mereka maju dengan penuh hati berdebar. Sebelumnya para kru telah mempraktekan mengenai mekanisme gamesnya dan bahkan mereka pun banyak yang terjatuh karena kesulitan tantangan itu. Setiap dari mereka mengenakan jaket apung, melompat ke atas banana boat satu persatu. Kapal pun melaju cukup pelan menuju ke arah pantai lepas, sampai tiba-tiba saja maju dengan kecepatan tinggi. Wajah ceria senang mereka berubah menjadi penuh panik. Banana boat terguncang hebat saat kapal melakukan manuver tajam, membuat anggota mereka satu per satu terlempar ke air. Penonton tertawa menyaksikan aksi mereka yang lucu, terutama saat salah satu anggota mencoba bertahan dengan memeluk pinggir boat sebelum akhirnya tercebur juga.
"Yah~! Semua anggota Girlish 10, tercebur! Nggak ada yang dapet poin deh... trus giliran selanjutnya. Sirius!"
Setiap anggota Sirius mulai menaiki banana boat, menunjukkan keanggunan mereka di atas sana dengan melambai kepada setiap fans yang menyempatkan hadir pada pantai. Kapal mulai meningkatkan kecepatannya, meski kebanyakan dari mereka tampak tak tergoyahkan satu sama lain, berpegangan tangan dengan erat. Penonton mulai bersorak, terpukau oleh ketahanan mereka. Hingga sebuah ombak besar menerjang membuat kapal melambung cukup tinggi, salah satu anggota Sirius kehilangan keseimbangan miring ke laut. Anggota lain, yang saling bergantung untuk menjaga stabilitas, ikut terjatuh bersamaan. Meski mereka semua tercebur, Sirius kembali ke pantai dengan sisa aura anggun, disoraki begitu hebatnya oleh para fans.
"Bahkan Sirius pun gagal! Seberapa sulitnya sih ini tantangan... Coba kita liat, apakah Kawaii Sekai berhasil dapet poin!"
Dari arah lain Kawaii Sekai berjalan beriringan, keseriusan mereka memang tidak bisa diremehkan sama sekali. Ketika menaiki banana boat pun saling berkoordinasi satu sama lain, memikirkan rencana untuk mempertahankan diri. Selama perjalanan, tiada satu pun anggota mereka yang kehilangan keseimbangan, bahkan di belokan paling tajam sekalipun. Penonton bersorak kagum melihat kekompakan mereka, dan mereka kembali ke pantai dengan senyum percaya diri, menjadi grup pertama yang berhasil mempertahankan seluruh anggota di banana boat hingga akhir.
"Berhasil! Kawaii Sekai berhasil sampai tanpa ada yang jatuh! Poin penuh!"
Melihat performa grup lain, Spica mulai merasakan tekanan yang luar biasa. Dari pinggir pantai, Wulan mengamati aksi grup lain dengan pandangan serius. Sebaliknya, Istar hanya memutar bola matanya sambil berkomentar,
"Mereka aja bisa bersatu kek gitu."
Valentin mendengarnya dan menghela napas panjang. "Kalau kamu sampai mengacau, kita bakal gak dapet poin sama sekali."
"Seenggaknya gue gak bakal ngalah kek lu." Balas Istar dengan tatapan penuh sinis.
Wulan akhirnya angkat bicara, suaranya lebih tegas dari biasanya.
"Udah deh! Kita nggak akan menang kalau kalian berdua terus seperti ini. Valentin, Istar, kita itu satu tim!"
Kata-kata Wulan membuat keduanya terdiam. Suasana mendadak hening, hanya diisi suara ombak dan sorakan penonton untuk grup lain. Giliran Spica akhirnya tiba. Dengan sedikit canggung, mereka menaiki banana boat. Valentin duduk di bagian depan, berusaha fokus. Wulan duduk di tengah, memastikan keseimbangan. Istar, yang biasa terlihat santai, kini duduk di belakang dengan ekspresi lebih serius.
Ketika kapal mulai melaju, banana boat mereka langsung terguncang oleh gelombang pertama. Valentin menggenggam erat pegangannya, sementara Wulan memberikan arahan untuk menjaga posisi tubuh. Istar, meski kesal, mengikuti arahan dengan serius.
"Pegangan yang erat. Valentin, kamu bilang ke kita yang belakang kalo depan ada sesuatu!" seru Wulan ketika banana boat mereka mulai melaju lurus.
"Ombak besar depan, pegangan!" teriak Valentin.
Di tengah perjalanan, sebuah ombak besar menghantam banana boat mereka, membuat Istar hampir kehilangan pegangan. Tetapi sebelum ia terlempar, Wulan dengan refleks menarik tangannya.
"Tahan, jangan lepasin!" Wulan berusaha keras untuk menahan tangannya, meski dirinya sendiri tengah kesulitan untuk bertahan hanya dengan satu tangan saja.
"Kapal belok ke kanan, dia bakal menukik!"
Mendengar informasi dari Valentin, Istar segera menyadari apabila ia terus menahan Wulan maka gadis itu akan jatuh pada belokan ini. Dia sebenarnya sangat kesal mengenai Valentin, sangat tidak ingin meminta bantuan dari seorang pengkhianat sepertinya. Tetapi ia tidak ingin apabila Wulan yang telah berjuang sekeras ini gagal karena menyelamatkan beban sepertinya, sehingga ia berteriak sekencang mungkin.
"Valentin! Tahan lengan Wulan!"
Mendengar teriakan itu, ia segera menolehkan mata ke belakang dan menyaksikan kedua temannya yang tengah kesulitan setengah mati. Apabila ia membantu mereka, ada kemungkinan bahwa mereka akan jatuh secara bersamaan. Sehingga keputusan terbaik tentu membiarkan mereka jatuh dan ia mendapatkan satu poin. Mereka tidak boleh mendapatkan poin penuh, sebab apabila berhasil menyaingi grup-grup besar itu, kemungkinan Spica akan dihabisi.
'Tapi itukah yang terbaik? Ngekhianatin mereka...?' pikiran tersebut terlontar dari balik kepala Valentin, seakan mencegahnya. Namun saat menyaksikan betapa kedua gadis itu nampak berjuang sangat keras, ia tidak bisa sekedar berdiam diri.
Tetapi tanpa berpikir apapun lagi, ia memegang lengan Wulan begitu eratnya. Selepas melihat bahwa Valentin telah memegang erat tangan Wulan, Istar menyadari bahwa temannya itu masih memikirkan mengenai mereka, mengenai Spica. Maka secepat mungkin Istar melepaskan diri dari pegangan Wulan agar gadis itu bisa mencengkeram pengaman.
"Istar?!" Wulan kaget karena tindakan Istar barusan.
"Pikir soal diri lu dulu, Wulan! Gue bisa... gue bisa bertahan!"
Ia sekuat tenaga mencengkeram banana boat itu dengan setiap yang ia miliki, dari kedua tangan, hingga kedua kakinya mendekapnya begitu erat. Barulah kapal berkelok dan Istar merasakan tekanan yang sangat besar menimpanya, dihantam oleh cipratan ombak yang tiada henti. Walau begitu ia terus bertahan, mereka terus bertahan dengan kekompakan mereka. Penonton yang awalnya mengira mereka akan gagal, mulai bersorak mendukung. Akhirnya, banana boat mereka berhasil bertahan hingga akhir, dikagetkan oleh hasil bahwa mereka setara dengan Kawaii Sekai.
"Spica! Semangat yang luar biasa! Mereka seri dengan Kawaii Sekai!"
Sesampainya di pinggiran pantai, walau tepuk tangan meriah menyambut mereka, justru keheningan menyelimuti setiap anggota Spica. Wulan melompat turun dari banana boat terlebih dahulu, menepuk-nepuk lengannya yang basah akibat percikan air. Istar dan Valentin menyusul di belakangnya, wajah mereka sama-sama menunjukkan ekspresi penuh lelah.
"Dengan selesainya tantangan pertama di hari ini... kedudukan Spica, kini setara dengan Girlish 10!"
Sorakan dari para pendukung Spica langsung memenuhi udara. Istar melongo sebentar sebelum tertawa kecil dengan nada tidak percaya. Wulan memeluk Valentin yang tampak membeku mendengar hasil itu, sementara Istar berjalan ke arah mereka berdua.
Pada saat itulah Valentin menoleh ke arah lain, entah karena insting Istar pun menolehkan kepala pada arah yang sama dengan Valentin. Kedua pasang mata mereka bertemu, saling berbicara tanpa kata-kata.
Di antara kebingungan dan keheningan itu, Wulan berteriak ke arah mereka dengan penuh bahagia.
"Valentin... Istar.. Kita berhasil loh! Kita berhasil!"
Ia tersenyum penuh harap, meski tubuhnya tampak kelelahan setelah usaha kerasnya menjaga keseimbangan selama tantangan tadi. Wulan, yang selalu menjadi orang pertama yang berusaha menyatukan mereka, telah menunjukkan keuletannya tanpa banyak kata.
Menghela nafas panjang, Istar hanya dapat merasakan bahwa dirinya justru lebih kekanak-kanakan dibanding Wulan. Jika bersikap egois satu sama lain, Spica tidak akan bisa setara dengan grup-grup idol lain. Valentin juga merasa hal yang sama. Meski luka dari pertengkaran mereka semalam belum sepenuhnya sembuh, keduanya akhirnya sepakat di dalam hati masing-masing, bahwa ini bukan demi mereka.
'Tetapi demi Spica...'
Langit biru Pantai Kuta menjadi latar sempurna untuk pertunjukan live Sirius, sebelum melanjutkan ke sesi berikutnya, mereka tampil pada panggung besar kepada setiap pengunjung pantai. Panggung yang dihias elegan dengan ornamen bertema pantai memancarkan keindahan, sementara penonton yang memadati area depan panggung bersorak antusias. Musik mulai mengalun disertai Sirius memulai penampilan mereka dengan sempurna, sulit dipercaya bahwa yang berada di depan merupakan anggota dari generasi terbaru mereka.
Pada pinggiran pantai, para anggota Spica menyaksikan dengan kagum. Wulan berdiri di tengah, matanya berbinar saat melihat aksi panggung Sirius. Valentin pun bahkan terlihat terkesima. Sedangkan Istar, meski mencoba menyembunyikan rasa kagumnya, akhirnya berkata dengan nada bercanda,
"Generasi baru katanya? Kalau kita bisa setara sama mereka, mungkin dunia bakal gempar."
"Hampir mustahil... kita bisa menyaingi mereka dalam waktu dekat." Gumam Valentin, menatap Sirius begitu fokus.
Wulan menoleh ke kedua temannya melontarkan perkataan penuh optimis.
"Gak ada yang susah kok. Kalo kita kerja keras, pasti bisa kaya mereka!"
Suara tawa kecil terdengar di belakang mereka. Mereka bertiga menoleh dan melihat Rian, produser mereka, berdiri dengan tangan di saku. Wajah pria itu yang biasanya kalem kini menampakkan senyuman hangat.
"Benar kata Wulan. Itu dah dibuktikan tadi, di atas banana boat. Kalian nunjukin sesuatu yang bahkan sekelas Sirius pun bakal kagum." katanya sambil melangkah mendekat.
"Kagum? Soal apa?" Valentin bingung.
"Ketahanan kalian, keuletan, dan semangat. Meski dihantam banyak kesulitan, dihantam ombak keras, bahkan diremehkan sekalipun... kalian bisa bertahan. Para penonton awalnya gak yakin Spica bisa mengalahkan idol lain, apalagi menyamai mereka. Tapi di akhir tantangan, mereka bersorak paling keras buat kalian. Kalian memberi sesuatu yang para grup idol belum miliki, yaitu semangat pantang menyerah dalam menghadapi kesulitan, sebagai satu tim."
Istar, yang biasanya cepat memberikan komentar, sampai terdiam sesaat. Kata-kata Rian menusuk ke dalam pikirannya. Valentin juga tampak merenung, sementara Wulan tersenyum tipis, merasa sedikit terharu.
Setelah Sirius menyelesaikan penampilan live mereka, suasana pantai Kuta semakin meriah. Anggota Sirius yang baru saja turun dari panggung dengan senyuman menyapa para fans di barisan depan, melambaikan tangan dengan penuh rasa terima kasih. Dengan mikrofon masih di tangan, salah satu anggota mereka berkata,
"Terima kasih untuk semua yang telah datang hari ini, terutama untuk grup-grup idol lainnya. Kehadiran kalian semua membuat acara ini begitu luar biasa!"
Sorakan penonton kembali menggema sementara anggota Sirius melangkah mundur, memberikan tempat kepada pembawa acara yang tiba-tiba muncul kembali ke atas panggung. Dengan ekspresi penuh semangat, pembawa acara mengangkat mikrofon tinggi-tinggi.
"Oke! Meski acaranya makin meriah, Siapa Berani, bentar lagi memasuki tantangan terakhir loh! Walau telah melalui berbagai tantangan selama dua hari, tapi kini tiba saatnya untuk tantangan terakhir yang akan menjadi penentu segalanya!"
Semua mata, termasuk para anggota Spica, langsung tertuju pada panggung. Istar mengerutkan dahi, Wulan berdiri lebih tegak, dan Valentin menatap pembawa acara dengan tatapan serius.
"Tantangan terakhir akan menguji keberanian sejati kalian. Kali ini, setiap grup idol harus memilih satu anggota untuk mewakili mereka dalam sebuah uji nyali! Ujiannya apa? Masih rahasia!"
Penonton bersorak riuh mendengar pengumuman itu, sementara para anggota grup idol saling bertukar pandang. Suasana di antara grup menjadi tegang namun dipenuhi rasa ingin tahu.
"Uji nyali?!" teriak mereka bertiga.
"Apa maksudnya? Mereka mau bikin kita masuk ke tempat nyeremin gitu?!" seru Istar.
"Nggak tau deh, tapi kita harus milih satu orang." Balas Wulan, melirik ke mereka berdua.
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
Lokasi acara pun segera berpindah, mereka kini menaiki bus setelah melewati konser Sirius yang begitu ramai di pantai tadi. Suasana dalam bus begitu tegang, saat mereka melaju menuju tujuan dari uji nyali terletak pada salah bukit tinggi di Bali. Begitu mulai mendekati tempat, terdapat plang nama bertuliskan tempat bungee jumping yang terkenal. Di luar, panorama alam yang memukau tampak membentang. Laut biru yang menabrak karang dan pepohonan hijau yang rimbun, namun di dalam bus, suasana terasa sebaliknya—penuh kecemasan.
Pintu bus terbuka, disertai satu persatu anggota grup idol berjalan menuju ke platform bungee yang menakutkan, berdiri kokoh di ujung bukit yang curam. Sesekali mereka coba melirik ke seberang pembatas besi, seketika hati pun serasa berhenti saat menyadari betapa tingginya mereka sekarang.
"Oke, kita sampai! Kalian dah nentuin kan, siapa yang bakal jadi wakil dari grup kalian?"
Ketika pembawa acara memberi waktu kepada setiap grup untuk menentukan perwakilan mereka, suasana di antara anggota Spica menjadi tegang. Wulan menghela napas berat, lalu menatap Valentin dan Istar dengan tatapan penuh ketidakpastian.
"Kayanya, aku aja deh yang maju. Udah pasti kalau tantangan ini bakal bahaya." Ucap gadis itu disertai wajahnya yang berubah serius.
Valentin yang berdiri di sampingnya langsung menggeleng. "Ngga bisa gitu, Wulan. Biar..."
Tatapannya sesaat menghindari kedua rekannya, kemudian melanjutkan,
"Aku... saja yang mewakili kalian. Aku nggak bisa terus-terusan diam dan biarin kalian terus yang ambil risiko."
Sebelum sempat memutuskan, Istar maju ke antara mereka berdua. Ia berdiri tegap, langsung menghadap Rian, sang produser, yang sedang memperhatikan mereka dengan tatapan cermat. Matanya begitu tajam, tanpa ada sedikit pun guratan ragu.
"Gue yang maju." katanya dengan nada tegas.
Kata-kata itu membuat Wulan dan Valentin terkejut. Mereka berdua langsung menolak bersamaan.
"Kamu ngomong apa Istar! Kan kamu takut ketinggian! Kalo misal ada apa-apa gimana!" seru Wulan penuh panik.
"Betul kata Wulan. Tantangan ini terlalu ekstrem, ini bungee loh, kamu bakal terjun bebas dari ketinggian!" Valentin ikut mencegah Istar untuk melakukan hal senekat itu.
Tetapi gadis tersebut tetap berdiri tegak, tidak terpengaruh oleh keberatan teman-temannya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara, mulutnya bergetar sebelum sempat kata-kata terucap.
"Lu pada, gak paham ya?" ujar Istar sembari menatap kedua rekannya dengan mata yang mulai memerah.
"Selama dua hari, gue ngerasa jadi beban doang buat Spica. Waktu hari pertama, gue yang takut ketinggian malah ngehambat lu pada. Di kuis, gue gak bisa jawab banyak kaya Valentin. Dan bahkan, di banana boat pun, kalo gak dibantu sama Wulan, Spica langsung kalah telak."
"Istar, kita gak mikir seperti yang kamu bila—"
Tak sempat untuk menyelesaikan perkataannya, Wulan memandang Istar yang kini matanya mulai berair sehingga kata-kata tak dapat terucap.
"Gue tau kok, gue gak sekuat lu pada. Gue gak kaya Wulan, yang tangguh, gak takut ngehadepin apapun. Gue gak kaya lu Val, yang tenang, pinter, tau apa yang harus dilakuin. Sedangkan gue? Cuma beban. Dah takut, bodo, nyulitin Spica doang."
Valentin membuka mulut, hendak menolak keras perkataan itu, tetapi Istar melanjutkan dengan nada lebih tegas.
"Makanya, gue gak mau gini terus. Gue gak mau gue jadi alasan Spica gagal. Kalo ikut tantangan ini bisa bikin gue sadar bahwa gue bukan beban, gue bakal ambil. Produser..."
Wulan menggenggam tangannya, matanya penuh kekhawatiran.
"Star, kamu nggak harus buktiin apa pun ke kita. Kita tahu kamu berharga di tim ini. Jangan bilang gitu!"
Tetapi sebelum sempat mereka membujuk Istar untuk mundur, Rian melangkah maju dan menghentikan pembicaraan. Ia menatap ketiga gadis yang berada di hadapannya, memahami bahwa ini adalah titik bagi mereka untuk bisa berkembang.
"Jika Istar memang merasa begitu, biarin aja dia buktiin ke kita. Kalian gak bisa ngubah pandangan dia, berkata bahwa bukan Istarlah yang salah, karena hanya Istar sajalah yang paling tahu. Istar, kalo kamu pengin maju, majulah. Tunjukin ke Spica kalo kamu memang gak seperti yang kamu omongin!"
Kata-kata itu membuat Wulan dan Valentin terdiam, tetapi juga membuat mereka marah. Valentin menoleh ke Rian dengan tatapan penuh protes.
"Produser! Apa yang kamu omongin?! Tantangan ini bahaya, bungee jumping! Dia fobia ketinggian, kalo sampai ada sesuatu terjadi ke dia—"
Istar memandang pada Valentin, tidak mengira bahwa ia akan melakukan hal sejauh itu untuk mencegah dirinya, demi memastikan bahwa dirinya tidak melakukan hal yang berbahaya. Ia hanya dapat mengangguk pelan, sebelum perdebatan semakin memanas ia segera menepuk pundak Valentin, memberikannya pandangan penuh tekad.
"Istar..."
Kedua temannya menatapnya dengan tatapan tak percaya, sementara Rian hanya mengangguk perlahan.
"Kamu yakin, Istar?" tanyanya untuk memastikan.
Istar menelan ludah, mencoba menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. Ia tahu bahwa ketakutannya pada ketinggian bukan hal sepele, tetapi lebih besar dari itu adalah rasa takutnya menjadi beban bagi timnya sendiri. Dengan suara yang tegas, meskipun gemetar, ia membalas.
"Ya, gue gak bakal lari. Bakal gue buktiin ke lu semua, bakal gue buktiin ke setiap orang."
Tanpa menunggu lebih lama, Istar berjalan menuju pembawa acara yang masih berdiri di panggung, menunggu perwakilan dari Spica.
"Oh? Kita sudah dapat wakil dari Spica!" seru pembawa acara dari atas platform.
Penonton bersorak, tak menyadari drama yang baru saja terjadi di belakang layar. Sementara itu, Valentin dan Wulan hanya bisa memandang punggung Istar dengan campuran perasaan penuh cemas.
Para perwakilan dari setiap grup idol berdiri di atas platform yang menjulang tinggi, tempat tantangan terakhir akan dimulai. Angin bertiup kencang di sekitar mereka, membawa aroma segar pepohonan yang mengelilingi bukit hijau. Pemandangan di depan mereka luar biasa indah, memperlihatkan hamparan terasering khas Bali yang memukau, dengan sungai kecil berkilauan di bawah sana. Tetapi, keindahan itu tidak cukup untuk mengalihkan perhatian mereka dari rasa takut yang mencekam hati.
"Kalian siapp?!!"
Setiap idol telah dipasangkan pengaman, terikat oleh tali bungee yang dirancang untuk menjaga keselamatan mereka. Walau keamanan telah terjamin, semangat dilontarkan oleh anggota lain, dan ancang-ancang dilontar pembawa acara, seakan tidak cukup menjadi jaminan. Sebab tidak satu pun dari mereka yang bergerak, lumpuh oleh perasaan takut.
Istar berdiri diam di platform, kedua tangannya mencengkeram tali pengaman dengan kuat. Kedua matanya terpaku pada sungai di bawah, tampak begitu kecil dan jauh. Jantungnya semakin berdegup kencang, begitu keras hingga ia merasa bisa mendengarnya di telinga sendiri. Kedua kaki gemetar, hingga tak bisa memaksa tubuhnya untuk maju.
'Gue... harus buktiin... maju... ayo. Kenapa malah diem...'
Mengalihkan pandangan ke samping, para idol dari grup lain tampak sama gugupnya. Bahkan mereka yang sebelumnya terlihat percaya diri kini mendongak ke atas, berusaha menghindari ketinggian yang menunggu di bawah. Suasana di atas platform dipenuhi oleh keheningan yang tegang, hanya ditemani oleh suara gemerisik angin dan gelegar kecil dari sungai yang mengalir jauh di bawah.
Pembawa acara mencoba membakar semangat para peserta dari mikrofon di bawah.
"Oke, karena belum ada yang berani lompat. Kita ubah dikit nih tantangannya. Kalo ada yang berani lompat pertama, member yang lain juga boleh lompat loh. Gimana? Kesempatan nih, makin banyak yang melompat, makin tinggi poin yang bisa kalian kumpulkan buat tim!"
Tetapi ucapan itu seakan ikut terbawa bersama angin kencang, tidak membawa perubahan apapun dengan tiada satupun yang bergeming.
Memejamkan mata, Istar berusaha menguasai ketakutan dengan menarik nafasnya dalam-dalam. Walau setiap kali ia melakukan hal tersebut dan kembali menatap ke bawah, semuanya terasa tiada artinya sama sekali. Fobia akan ketinggiannya berbicara lebih keras daripada keinginannya untuk melangkah maju.
Dari bawah platform, Valentin dan Wulan menatapnya dengan tatapan cemas. Wulan menggigit bibirnya, tampak frustrasi karena tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu. Valentin mengepalkan tangan, merasa bersalah karena membiarkan Istar untuk melakukan ini, padahal ialah yang menjadi penyebab Spica berada di peringkat sekarang.
"Semangat Istar!" seru Wulan, meskipun ia tahu kalau dia tidak akan mendengarnya dari jarak sejauh itu.
Sementara dukungan terus bergema dari seberang, gadis tersebut bergetar hebat. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, membasahi tangan yang mencengkeram tali pengaman. Dalam benaknya, suara-suara yang begitu menyakitkan terus menggaung.
'Lu cuma omong doang.'
'Selalu ngerasa bisa segala, nyatanya apa? Nol.'
'Pecundang, pengecut, itu lu. Bisanya ngomong, ga berani aksi.'
Suara-suara itu datang dari dalam dirinya sendiri, mencemooh dengan kejam. Semakin lama, semakin keras. Valentin menggigit bibirnya, berpikir keras. Dalam hatinya, ia merasa bersalah. Ia teringat betapa kerasnya ia berbicara pada Istar sebelumnya, tentang bagaimana mereka berseteru beberapa waktu lalu. Semua itu kini terasa tidak berarti dibandingkan rasa takut dan kesedihan yang ia lihat di mata Istar sekarang.
Lantas segera ia berlari mendekati sang produser, meminta kepada Rian begitu sangatnya. Rian awalnya terkejut, tetapi setelah beberapa detik berpikir, ia mengangguk perlahan. Tanpa membuang waktu, ia mendekat ke arah para kru.
Di atas platform, pembawa acara memegang mikrofon dan berbicara dengan nada serius.
"Oke, kini hitung mundur bakal dimulai! Jika tidak ada yang melompat sampai hitungan nol, maka poin semua poin dari tim yang tidak melompat akan dikurangi!"
Pengumuman itu seperti bom yang meledak di kepala para idol. Di antara semua perwakilan, Istar yang paling terlihat terpukul. Ia tahu, jika ia tidak melompat sekarang, bukan hanya dirinya yang akan merasa gagal—tetapi juga Spica.
"Sepuluh!" teriak pembawa acara memulai hitungan mundur.
Istar mencoba menarik napas dalam-dalam, tetapi ia merasa dadanya semakin sesak.
"Sembilan! Delapan!"
Suara sorak-sorai anggota lain di bawah hanya menambah tekanan. Sementara matanya melirik sungai kecil di bawah sana, menguatkan diri di antara suasana yang semakin menekan.
"Tujuh! Enam!"
Air mata mulai menggenang di mata Istar. Terjebak dalam mimpi buruk yang tidak berujung.
"Lima! Empat!"
'Ayo... ayo... gerakin kaki lu! Gerakin...!' dirinya terus meronta-ronta dalam hati, berusaha memaksa kakinya agar melangkah ke depan.
"Tiga!"
Suasana semakin mencekam. Teriakan setiap orang mulai memekik, beberapa peserta lain bahkan menutup wajah mereka.
"Dua!"
Saat itu, tepat sebelum pembawa acara mengucapkan angka terakhir, sebuah teriakan keras menggema dari sisi platform.
"WAAAAAAAAAAAA!!!"
Semua orang, termasuk Istar, terkejut. Mereka menoleh ke arah suara itu—dan di detik berikutnya, seseorang benar-benar melompat dari platform lain. Sosok itu melayang begitu cepatnya di udara, dengan tali bungee melilit tubuh, sebelum akhirnya meluncur ke bawah dengan gerakan anggun yang mencuri perhatian semua orang.
"Va-Valentin?!" seru Istar, matanya melebar melihat dirinya yang kini menggantung di udara dengan tawa keras.
Istar hanya bisa menatap kosong ke arah Valentin, yang kini melambai ke atas sambil tertawa kecil. Valentin berteriak, suaranya penuh semangat meski terdengar samar dari kejauhan.
"Ayo! Apa yang kamu tunggu lagi, lompat sini! Dasar beban!" teriak gadis tersebut dengan senyum penuh sombong.
Kata-kata itu menghantam hati Istar seperti badai. Ia merasa seolah rantai yang melilit dirinya selama ini mulai terlepas. Valentin saja berani melompat tanpa ragu-ragu untuknya. Seseorang yang Istar sempat ragukan sebagai pengkhianat, bahkan rela melakukan ini semua demi mencegah Spica kalah.
Dengan napas yang masih terengah-engah, Istar tiba-tiba merasa dadanya lebih ringan. Rasa takutnya masih ada, tetapi kini ia merasa tidak sendiri. Valentin telah melompat lebih dulu, menunjukkan bahwa ia percaya pada Istar, pada dirinya.
"Siapa yang lu panggil beban, hah!!!"
Menghapus air matanya dengan cepat, ia langsung mengikuti langkah berani dari Valentin dan melompat. Tubuhnya terjun bebas menembus angin yang terasa seperti menghantam kulitnya. Teriakan panjang keluar dari mulut, meluapkan segala rasa takut, cemas, dan sampai akhirnya tiada yang tersisa selain... kebebasan.
"Ah..."
Meski begitu, saat semakin ia meluncur ke bawah, wajahnya kian memucat ketika sungai di bawah perlahan mendekat. Sesaat, pikiran buruk berkelebat—bayangan akan dirinya yang benar-benar jatuh tanpa henti ke bawah.
"WUAAAAAA!!!!"
Namun sebelum rasa takut itu bisa sepenuhnya menjadi kenyataan, tali bungee yang lentur menegang, menghentikan Istar dari permukaan air dan menariknya kembali ke atas. Istar melambung dengan lembut, kini menghadap langit biru yang membentang luas. Cahaya matahari yang hangat menyelimuti tubuhnya, seolah memberinya pelukan hangat dari semesta.
Tawa kecil meletup dari bibirnya, pelan lalu semakin keras. Bukan tawa untuk menutupi rasa takut, tapi tawa yang penuh kelegaan dan kebahagiaan. Ia menyadari sesuatu, ketakutan yang selama ini ia rasakan bukan hanya soal melompat dari ketinggian, tetapi juga tentang menerima dirinya apa adanya—bahwa tidak apa-apa untuk takut, tidak apa-apa untuk tidak sempurna.
Setiap orang yang berada di atas bersorak semakin keras, menyaksikan aksi penuh keberanian dari anggota Spica. Tetapi sebelum semua bisa kembali tenang, kejutan lain muncul.
"Wulan, wulan, jangan ikutan! WULAN!!!" teriak seseorang dari arah belakang.
Tiba-tiba, dari platform yang sama, Wulan berlari dengan penuh semangat dan melemparkan dirinya ke udara tanpa ragu. Berbeda dengan Istar yang penuh kegugupan, Wulan tertawa lepas bahkan sebelum tubuhnya meluncur ke bawah.
"Yiiiihaaaaaaaa!!!" teriak Wulan dengan antusias.
"Beneran dong... astaga. Padahal aku minta izinnya buat Valentin doang, kenapa dia malah ikutan?!" dari arah lain Rian memegangi kepalanya frustasi, berpikiran harus bicara apa kepada kru acara karena tindakan dari gadis-gadis binaannya.
Melihat aksi ketiga anggota Spica, para idol dari grup lain mulai merasa keberanian mereka terkumpul kembali. Salah satu anggota Sirius berdiri dari tempatnya, menarik napas dalam-dalam, dan akhirnya melompat.
"Kalau mereka bisa, aku juga bisa!" serunya, diikuti oleh teriakan semangat dari wakil Girlish 10.
Satu per satu, idol dari grup lain mulai melompat, mengisi udara dengan tawa, teriakan, dan sorak-sorai penonton yang semakin meriah. Aksi Spica, yang awalnya dianggap nekat, kini menyulut keberanian semua peserta.
Dari atas, Rian menatap semua itu dengan campuran rasa lelah dan bangga. Ia memandang anggota Spica satu per satu, yang kini tergantung di udara sambil tertawa lepas, wajah mereka penuh dengan kebahagiaan.
"Memang kalian ini... hah." gumamnya sambil tersenyum kecil.
Aksi terakhir tantangan itu tidak hanya berhasil mengukuhkan posisi Spica sebagai salah satu grup idol yang patut diperhitungkan, tetapi juga membuktikan bahwa keberanian sejati adalah tentang menghadapi rasa takut bersama-sama.
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
Hari Minggu, matahari pagi bersinar lembut di atas hotel tepi pantai tempat acara Siapa Berani mencapai akhir. Semua grup idol berkumpul di aula besar yang dihiasi dengan pernak-pernik warna-warni, menyimak pengumuman yang telah dinanti-nantikan berupa pemenang acara ini.
Pembawa acara naik ke atas panggung, tersenyum cerah sambil memegang mikrofon.
"Terima kasih kepada semua grup idol yang telah berpartisipasi dalam acara Siapa Berani kali ini! Semua tantangan telah selesai, dan sekarang, mari kita umumkan pemenangnya!"
Semua grup terlihat tegang, termasuk Spica. Valentin menatap layar yang akan menampilkan skor dengan tangan mengepal di dadanya. Wulan berusaha terlihat santai, tetapi gerak-geriknya yang gelisah tidak bisa menutupi kecemasannya. Sementara itu, Istar hanya berdiri dengan napas tertahan, matanya tertuju penuh pada pembawa acara.
"Dan pemenang Siapa Berani ialah... Sirius dengan poin tertinggi!" seru pembawa acara, diikuti oleh riuh tepuk tangan dan sorakan dari seluruh penonton.
Setiap anggota Sirius naik ke atas panggung, menerima kemenangan tersebut dengan anggun. Meski banyak yang sudah menebak bahwa Sirius yang menang, tetapi persaingan yang tak mau mengalah antara para grup idol membuat kompetisi sedikit mendebarkan.
"Di posisi kedua, Kawaii Sekai!" lanjut pembawa acara.
Anggota Kawaii Sekai tersenyum senang, naik ke atas panggung untuk menerima tepuk tangan dari penonton.
"Dan di posisi ketiga, Spica dan Girlish 10 dengan poin yang seimbang!"
Di tengah suasana meriah, produser Girlish 10, yaitu Sarina, berjalan mendekati Rian. Ia menyodorkan tangan dengan senyum yang sulit diterjemahkan.
"Selamat, Spica. Tidak disangka grup anda berhasil setara dengan Girlish 10. Harus saya akui, kamilah yang tampil kurang memukau kali ini."
"Terima kasih. Semua ini berhasil dicapai karena semangat dari member Spica juga." Balas Rian tersenyum sembari menggenggam tangannya.
Produser Girlish 10 terkekeh pelan. "Tapi jangan senang dulu. Tentu kami tidak akan diam menyaksikan hasil ini. Di kesempatan lain, Girlish 10 akan melampaui Spica. Dan bahkan Sirius sekalipun."
"Dan kami pun akan mengimbangi, bukan— justru akan melampaui kalian." Angguk Rian semakin tertantang dengan pernyataan Sarina.
Keduanya saling melepaskan jabatan tangan, memahami rivalritas yang semakin berkembang ini. Di sisi lain aula, anggota Spica masih merayakan kemenangan mereka. Valentin memeluk Wulan dan Istar bergantian, berkata dengan penuh emosi.
"Kita seimbang, seimbang loh sama Girlish 10!"
"Walau gak setara sama Sirius... seenggaknya kita gak jadi yang paling bawah."
Ketiganya kembali berpelukan erat, diiringi sorakan dari penggemar yang menyaksikan mereka dengan bangga. Hari itu, Spica tidak hanya membawa pulang kebanggaan, tetapi juga rasa percaya diri yang baru serta ikatan yang semakin kuat. Di tengah dunia idol yang penuh kompetisi, mereka tahu bahwa tantangan terbesar bukanlah melawan grup lain, melainkan melawan kelemahan mereka sendiri—dan bersama-sama, mereka telah melewatinya.
Selepas pengumuman serta penutupan resmi dari acara Siapa Berani, pada hari itu juga mereka harus segera pulang ke agensi. Pesawat yang membawa mereka kembali ke Jakarta mulai melaju di landasan, getarannya terasa di bawah kaki para penumpang. Di dalam kabin, Wulan duduk dengan antusias di dekat jendela, sementara Rian yang berada di samping hanya dapat duduk pasrah menghadapi semangat tiada henti dari gadis di sebelahnya itu.
"Produser! Sayapnya besar banget, gerak loh! Gerak gerak! Wuah... akhirnya... akhirnya aku bisa naik pesawat! Padahal dulu cuma bisa liat di TV doang!" seru Wulan dengan mata berbinar.
Rian, yang tadinya ingin tidur, mengangguk pelan sambil tersenyum tipis. "Iya, Wulan. Hebat kan, pesawat tuh... sama... jangan berisik ya. Di dalem banyak orang lain juga..."
Wulan terus berceloteh, membuat Rian hanya bisa menghela napas sambil berusaha menenangkan dirinya agar tidak mengganggu penumpang lain. Sementara di baris lain, Istar duduk di dekat jendela, menatap awan yang mulai terlihat saat pesawat naik ke udara. Valentin duduk di sebelahnya, diam seperti biasa, meski ada sesuatu yang jelas terpikirkan olehnya.
"Istar..." panggil Valentin pelan, hampir seperti bisikan.
"Hm?" Istar tidak menoleh, matanya masih terpaku pada pemandangan luar jendela.
Valentin menarik napas dalam-dalam, lalu berbicara dengan suara yang sedikit gemetar.
"Kalo kamu mau lapor soal yang terjadi di malam itu ke produser, silakan. Aku sadar kalau yang kulakuin itu memang, salah. Memang, seperti katamu, aku tidak layak berada di Spica bareng kalian..."
"Lu, ngomong apa sih?" Gadis di sebelahnya pun menoleh, kedua alisnya terangkat seakan tak percaya soal apa yang bicarakan.
"Soal—"
"Lu itu bagian dari Spica, titik. Di akhir acara, gue dah dibikin paham kok. Kalo lu... ga bakal ngelakuin hal buruk ke Spica." Balas Istar sembari menaruh headphone yang berada di leher menutup kedua telinganya.
Tanpa menunggu jawaban, Istar memejamkan mata sambil menyenderkan kepalanya ke dinding pesawat. Valentin hanya duduk di sana, terpaku. Senyuman kecil mulai muncul di wajah Valentin. Balasan Istar mungkin terdengar begitu kasar, tetapi ia mengatakan semua itu dengan tulus.
"Begitu... ya..."
Pada saat itu juga, Valentin memutuskan untuk menyimpan momen itu sebagai pengingat, bahwa ia tidak sendiri. Bahwa Spica adalah kesatuan, keluarga kecil yang akan terus berjuang di dunia idol ini, bersama-sama. Serta, bahwa hatinya, memang berada di Spica.