"Percaya..."Gumam pelan gadis tersebut sembari berjalan di bawah cahaya lampu jalan yang berkedip-kedip, setiap langkah yang ia kerahkan terasa begitu berat, bagai ia memikul beban sebesar dunia di bahunya. Seharian tadi, rutinitas yang ia jalani terasa seperti perjuangan tanpa akhir. Latihan tari, latihan menyanyi, ditambah tekanan yang datang bertubi-tubi memenuhi kepala, membuat langkahnya semakin terasa lambat. Malam semakin merayap, jalanan kota mulai sepi, menyisakan hanya suara langkah kakinya yang setia menemani. Tubuhnya lelah, tetapi pikirannya lebih lelah lagi. Hatinya dipenuhi oleh kebingungan, pertanyaan, dan penyesalan yang tak pernah menemui jawaban."Mengapa mereka bisa ada di sana... mengapa..." sebuah pertanyaan besar tidak dapat terlepas dari lubuk hatinya.Ketika ia sampai di sebuah gang sempit yang biasa ia lewati untuk pulang ke kost, sekelompok orang muncul di hadapannya. Lima gadis berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan yang dingin. Seketika hati gadis tersebut terasa berhenti sewaktu menyaksikan bahwa wajah-wajah yang ada di hadapannya terlalu familiar— mereka adalah teman-teman lama, yang dulu pernah satu grup bersamanya, sebelum semuanya runtuh."Aina..." salah satu dari mereka bersuara, suaranya terdengar dingin dan penuh cemooh."Rupanya masih berani ya, buat nari lagi?"Celi berhenti tak bergeming. Jantungnya berdebar kencang, rasa takut bercampur rasa bersalah membanjiri dirinya. Ia ingin menjawab, ingin mengatakan sesuatu, tapi tenggorokannya kering. Kata-kata tersebut tidak dapat keluar dari melalui hati terdalam."Setelah ngancurin grup kita... setelah ngancurin mimpi kita... setelah apa yang kamu lakuin..." lanjut gadis yang lain, pandangannya menusuk tajam ke dalam diri Celi.Ia tetap terdiam, tanpa tahu apa yang harus ia lakukan atau apakah yang harus ia katakan. Memori dari masa lalu mereka bersama mulai terputar ulang, saat-saat menakjubkan yang dipenuhi kesenangan, optimistme, dan ambisi. Sampai segalanya berubah saat sebuah kesalahpahaman dan rasa iri menggerogoti kebersamaan itu, menghancurkan segalanya tanpa sisa."Liat dirimu. Berpura-pura kalo semuanya baik-baik aja, bahwa kamu sama sekali gak bersalah, dan kembali bisa menari di grup barumu. Dasar pengkhianat." suara ketiga bergema di udara malam yang dingin.Celi melangkahkan kakinya ke depan berusaha untuk mengutarakan sesuatu, ingin menjelaskan, tetapi rasa bersalah yang ia miliki terlalu besar sehingga tertelan kembali masuk untuk dipendam dirinya seorang. Kembali menundukkan kepala, menatap kakinya yang seakan terpaku di tanah."Menjijikan, tau gak. Kamu gak pantes buat nari lagi Aina— bukan, Celi, kamu gak pantes buat ada di grup barumu itu... kamu gak pantes buat Spica." suara itu semakin tajam, penuh kebencian yang mendalam.Langkah kaki disertai angin dingin datang melewatinya, tatapan penuh benci serta perkataan penuh kutukan dapat terdengar jelas pada telinganya saat mereka pergi. Namun Celi tidak berkata sepatah katapun, membiarkan setiap kata menghantam dirinya tanpa melawan. Hatinya berteriak, tetapi mulutnya tak bisa bergerak. Sesaat kemudian, gadis-gadis itu pergi, meninggalkannya sendiri di dalam gelap. Celi berdiri diam, air matanya mengalir tanpa suara."Aku... aku... aku tidak melakukan semua itu. Aku tidak melakukannya..." ucapnya lirih, sebuah perkataan yang tak mampu terucap oleh mulutnya tadi.Pada balik tembok seseorang berdiri tanpa suara, nafas yang ia miliki sepenuhnya tertahan setelah menyaksikan apa yang terjadi. Di seberang, teman dari satu grupnya tersebut dikelilingi oleh sekelompok gadis, di tengah jalan yang gelap dan sepi. Suara mereka terdengar tajam, penuh kebencian dan cemoohan, menghantam gadis tersebut tanpa henti. Ia menyaksikan dengan gemetar, hatinya berdesir antara rasa marah, sedih, dan tak berdaya."Maaf, Celi... maaf... maafkan Yuna ini..."Ia mengenal wajah-wajah itu— mereka ialah anggota dari Kawaii Sekai, grup yang menjadi lawan mereka pada Dreamy Festival. Dan kini mereka berdiri di hadapan Celi, meluapkan amarah yang dirinya sendiri tidak paham sama sekali. Tetapi satu hal yang dapat Yuna pahami, ia dapat melihat betapa hancurnya Celi di balik tatapan kosong dan tubuh yang tak bergerak itu. Bagaimanapun, tak ada seorang pun yang mampu bertahan seusai dihantam oleh perkataan sekejam itu, termasuk dirinya sendiri."Maaf... maaf..."Ia ingin keluar dari tempat persembunyiannya, ingin mendekati Celi, menenangkannya, membelanya, atau sekadar memeluknya. Namun, kakinya terasa terpaku. Ada sesuatu yang menahannya, perasaan berat yang seakan mengakar dari lubuk terdalam. Sebab Yuna sendiri, sangat paham akan apa yang dirasakan oleh Celi. Bukan hanya karena mereka berada dalam grup idol yang sama, tetapi karena Yuna dan Celi memiliki luka yang serupa—luka lama yang tak dapat sembuh. Keduanya menari dan menyanyi dengan harapan dan impian yang sama, tetapi di balik itu semua, ada beban yang tak terlihat oleh orang lain. Yaitu, mereka sama-sama pernah kehilangan."Semuanya... aku, aku... aku tidak..."Celi menangis pelan di sana, berdiri sendirian di tengah gang. Hati Yuna hancur melihatnya, tetapi ia tahu, tak ada yang bisa ia katakan untuk membuat semuanya lebih baik. Sebab Yuna juga masih terjebak dalam rasa bersalahnya sendiri, masih berjuang untuk berdamai dengan masa lalu yang terus menghantuinya. Dan itu membuatnya merasa tak pantas mendekati Celi saat ini. Dengan langkah yang terasa berat, Yuna berbalik, meninggalkan Celi sendirian di sana. Meskipun keinginannya adalah membantu, sesuatu di dalam dirinya tahu bahwa ia belum cukup kuat. Bagaimana ia bisa menenangkan Celi, ketika ia sendiri masih terjebak dalam bayang-bayang penyesalan?"Aku... benar-benar menjijikan."Derap langkah semakin Yuna kerahkan saat berlari menjauh dari sana, mencoba melarikan diri dari suara tangisan Celi yang menggema di benaknya. Mengenai bayangan Celi, yang tengah berdiri sendirian dalam kesedihan, terus menghantuinya. Sebuah pengingat bahwa mereka, meskipun berbeda jalan, terikat oleh rasa sakit yang sama.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sesampainya di kost, Celi melemparkan tubuhnya ke kasur dengan lelah yang lebih dari sekadar fisik. Matanya menatap kosong ke langit-langit, tetapi pikirannya mulai berputar tanpa henti, membawa kembali ingatan-ingatan yang sebenarnya ingin ia lupakan. Luka-luka lama yang belum sepenuhnya sembuh kembali menganga, seakan malam ini membuka kembali lembaran kelabu dalam hidupnya.Dulu, di Kawaii Sekai, Celi adalah bintang yang bersinar terang. Sebuah bintang yang dikenal dengan nama Aina. Setiap langkah tari yang ia lakukan tampak sempurna, setiap gerakan seakan penuh akan cahaya yang memikat hati setiap fans. Tapi sinar yang begitu terang tersebut justru membawa membutakan beberapa orang di antara mereka. Awalnya, Aina berpikir semua baik-baik saja, bahwa popularitasnya akan membawa Kawaii Sekai ke puncak. Namun, satu per satu dari mereka mulai menjauh, memandangnya dengan tatapan iri dan dengki.Ia bahkan masih teringat bagaimana mereka perlahan menghindarinya, berhenti berbicara kepadanya, bahkan mulai menyebar desas-desus buruk di belakang Aina. Ada yang mengatakan ia terlalu egois, terlalu haus perhatian, dan hanya memikirkan dirinya sendiri. Mereka memandangnya bukan lagi sebagai teman, melainkan sebagai musuh. Walau mereka berusaha membuatnya jatuh, gadis tersebut memilih untuk tetap bertahan. Ia berusaha lebih keras, menari lebih baik, dan menolak untuk menyerah pada rintangan yang datang silih berganti.Tapi kekuatan Aina bukan tanpa batas. Dalam kelompok yang seharusnya menjadi tempat ia merasakan kebersamaan, justru ia semakin terasingkan. Terdapat seseorang yang mulai melakukan hal-hal buruk di belakang punggungnya, mencoba merusak reputasi dari seorang Aina. Pernah suatu saat ada yang merusak kostum miliknya sebelum tampil, ada yang sengaja membuatnya terlambat sehingga dirinya dimarahi, dan berbagai hal buruk lain demi bisa melihatnya jatuh.Dalam kegelapan yang semakin mengurung Aina, ia bertemu dengan teman-temannya tersebut yang berada dalam satu angkatan bersamanya. Mereka berusaha memahami Aina sepenuhnya, membantu gadis tersebut berdiri kembali, dan memberikan semangat untuk terus berjuang di Kawaii Sekai, seaklipun banyak yang memusuhi dirinya. Bersama mereka, Aina kembali menemukan kekuatan. Ia pikir semuanya akan membaik. Tetapi, kenyataannya tidak.Kenyataan itu datang seperti badai. Seorang anggota Kawaii Sekai yang dulu ia anggap teman, berkhianat. Gadis itu menyebarkan kabar syur yang mengatakan bahwa Aina memiliki hubungan dewasa dengan seorang anggota band terkenal yang sedang naik daun saat itu. Berita itu menyebar cepat, seperti api yang memakan kayu perapian. Awalnya hanya rumor di dunia maya, tapi tak lama, seluruh internet menghabisinya. Komentar jahat, hinaan, bahkan ancaman mulai membanjiri akun media sosialnya. Si pelaku sama sekali tidak dapat ditemukan sebab Kawaii Sekai merupakan grup dance cover besar pada masa itu, dengan banyak sekali angkatan yang dibentuk. Atau mungkin saja, pelaku tersebut dilindungi oleh Kawaii Sekai sendiri untuk mencegah terjadinya keributan secara internal.Aina tidak hanya dihakimi di dunia maya saja, dunia nyata pun kini ikut menghancurkannya. Fans Kawaii Sekai mengejeknya di jalan, beberapa bahkan mengancamnya secara langsung. Tempat-tempat yang dulu dapat ia kunjungi dengan aman kini dipenuhi dengan sekelompok orang tak dikenal yang menggunjing mengenai dirinya. Aina sendiri secara langsung mengatakan bahwa ia tak pernah memiliki hubungan apa pun dengan anggota band itu, tetapi kebohongan besar telah terlanjur dimakan mentah-mentah oleh banyak orang. Tak ada lagi yang peduli mengenai kebenaran.Dalam keheningan kamarnya, Celi memeluk tubuhnya sendiri, mencoba menahan tangis yang perlahan-lahan tak bisa ia kendalikan lagi. Semua itu kembali menghantam dirinya malam ini—rasa dikhianati, dipermalukan, dan dipaksa terpuruk di bawah beban yang sebetulnya bukan dari kesalahan yang ia perbuat. Aina terpaksa keluar dari Kawaii Sekai demi bisa menyelamatkan teman-teman satu angkatannya. Sosoknya pun menghilang bagaikan hantu, hawa keberadaannya tidak dapat lagi ditemukan dan namanya seakan telah terhapus meski beberapa orang masih dapat mengingat kejadian tersebut."Khk..." Celi merintih dalam tangisnya.Meskipun ia kini berdiri di grup idol yang baru, dengan teman-teman yang selalu mendukungnya, Celi masih tetap merasa bahwa luka masa lalu itu tetap tinggal. Luka yang terus mengingatkannya bahwa sinar yang terlalu terang bisa menarik kegelapan yang lebih dalam. Suatu saat mungkin saja hal tersebut dapat terjadi kembali, membuatnya harus kembali merasakan rasa sakit yang sama untuk kesekian kalinya.Dan malam ini, ketika semua kata-kata kebencian kembali mengingatkan hal itu kepadanya, ia merasa sendirian lagi— sama seperti dulu.--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sebuah ketegangan terjadi pada agensi 710 selama dua hari terakhir. Telah genap dua hari sejak sosok Celi menghilang tanpa adanya kabar satu pun. Telepon serta setiap pesan yang telah mereka kirimkan tak terbalas, sementara dirinya absen dari setiap latihan Spica. Grup yang seharusnya bersiap menghadapi Dreamy Festival—sebuah event besar yang menjadi perhatian utama mereka—kini justru dilanda kecemasan. Semua member Spica mulai cemas dengan banyak spekulasi bermunculan, tetapi tidak ada yang lebih khawatir dari produser mereka, Rian."Produser, masih belum ada kabar sampai sekarang?" Dewi yang selama ini begitu dekat dengan Celi terus menerus bertanya kepada Rian."Pesan gue sama sekali gak dibales loh... Cuma ninggalin tanda terkirim, sama sekali gak sampai atau bahkan dibaca." Istar pun menutup telepon genggamnya setelah mengecek pesannya kepada Celi, bingung."Kamu dah coba ngekontak guru tari kah, Produser?""Sudah... aku sudah coba semuanya, Manajer. Baik tanya ke Ruri, setiap orang terdekatnya sampai mendatangi alamat kostnya. Tapi kosong..."Rian telah mencoba berbagai cara. Ia menghubungi Ruri, gurunya yang telah melatih Celi sedari berada di Kawaii Sekai dengan harapan bisa mendapat sedikit petunjuk, tetapi Ruri saja sampai tidak tahu sama sekali mengenai keberadaan anak didiknya itu. Hingga Rian memaksakan pergi ke alamat Celi, kost yang ia tinggali, namun yang ia temui hanyalah sebuah tempat kosong. Tak ada jejak, tak ada tanda-tanda keberadaan Celi. Perasaan gelisah semakin menggerogoti Rian, terutama karena Dreamy Festival hanya tinggal beberapa hari lagi. Mereka tak bisa tampil tanpa Celi, dan lebih dari itu ia khawatir pada keselamatan gadis tersebut."Gimana ini... apa yang harus kita lakuin...""Gak biasanya si Celi begini loh... padahal beberapa hari lalu dia begitu semangat latian..."Lily dan Rain saling bergumam satu sama lain, seakan tidak dapat percaya. Tak ada satu pun yang mengerti apa yang terjadi pada gadis tersebut. Celi yang selalu tenang dan penuh perhitungan, bisa-bisanya pergi secara mendadak. Ketika semua orang tengah berkumpul di kantor agensi untuk mencari solusi, seorang pengantar surat tiba-tiba datang membawa sebuah amplop. Amplop itu ditujukan untuk RP710 dan di dalamnya terdapat secarik surat yang tak pernah diduga oleh siapa pun."Surat dari siapa, Produser?" tanya Valentin di samping Rian.Rian segera membuka surat tersebut dan membacanya begitu cepat. Surat itu adalah surat pengunduran diri dari Celi. Kalimatnya singkat, namun penuh arti. Celi menyatakan bahwa ia tidak lagi bisa melanjutkan perjalanan bersama Spica, tanpa penjelasan apapun. Surat itu dikirim dari alamat kost yang telah kosong, seolah-olah surat tersebut telah dipersiapkan sejak dua hari yang lalu. Meski mendapat surat sekali pun tak ada petunjuk jelas ke mana Celi pergi atau apa yang membuatnya mengambil keputusan mencengangkan ini."Gak mungkin... Celi... masa pengin ngundurin diri...""Pasti... pasti ada yang gak beres...""Dia gak mungkin ngelakuin itu!"Suasana di ruangan itu berubah menjadi lebih tegang. Setiap orang mengutarakan ketidak percayaan mereka kepada keputusan Celi. Yuna yang sejak awal merasa gelisah, mulai merasakan rasa bersalah yang begitu besar menyeruak dalam dirinya. Dua hari ini ia memendam perasaan yang seharusnya ia ungkapkan. Ia adalah satu-satunya yang tahu tentang kejadian malam itu, tentang Celi yang dipojokkan oleh teman-teman lamanya di jalan, dan bagaimana ia sendiri memilih untuk pergi daripada menolong.Rasa sesak memenuhi dadanya saat ini, pandangannya kosong seakan tengah menatap langsung pada kejadian pada malam itu. Andai saja dirinya bertindak, jika saja ia mendekati Celi dan memberinya dukungan, mungkin situasinya tak akan seburuk ini. Mungkin Celi tak akan merasa terpuruk hingga memutuskan untuk meninggalkan Spica. Perasaan bersalah itu semakin menghantui Yuna, tetapi lidahnya terasa kaku untuk mengungkapkan apa yang ia saksikan."Kenapa... Celi..."Di seberang lain, Rian mengerutkan keningnya. Meski surat itu ada di tangannya, hatinya menolak untuk menerima kenyataan ini. Ia tahu Celi terlalu kuat untuk menyerah begitu saja, namun ia juga memahami bahwa ada hal besar yang Celi sembunyikan selama ini. Tapi apa itu? Mengapa ia memilih melarikan diri begitu mendadak?"Produser..." Yuna mendekat pada Rian, ia menundukkan kepala terbebani oleh rasa menyesal.Setelah mengumpulkan keberaniannya, ia meminta waktu untuk berbicara secara pribadi, hanya mereka berdua. Di sebuah ruangan kosong tanpa gangguan, suasana hening menyelimuti mereka berdua, hanya terdengar napas berat Yuna yang menandakan rasa cemas yang terus menghantui dirinya. Rian berdiri di depan Yuna, tatapan mereka berdua penuh kekhawatiran dan ketegangan yang jelas terlihat. Pria tersebut tahu ada sesuatu yang penting yang ingin disampaikan Yuna dan ia siap mendengarkannya."Sebenarnya... aku, menyembunyikan suatu hal selama dua hari ini..." ungkap gadis tersebut dengan suara yang bergetar."Katakan." Ia memberi isyarat padanya untuk terus melanjutkan."Aku melihat Celi dua hari yang lalu, sewaktu tengah berjalan pulang. Aku melihatnya di tengah jalan, dikelilingi oleh beberapa orang yang nampaknya anggota Kawaii Sekai. Mereka... memojokkannya, menghina dan terus menerus mengatakan hal-hal yang kejam pada Celi. Aku... aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya berdiri di sana, menyaksikan semuanya. Aku takut. Aku pikir Celi bisa mengatasinya, karena dia selalu tampak lebih dewasa dan... berpikir bahwa mungkin ia sama sepertiku.""Yuna..." seusai Rian terdiam selama beberapa detik, ia mulai angkat bicara."Setiap orang punya cara berbeda dalam menghadapi rasa sakit. Tidak semua orang bisa bertahan dan melawan seperti yang kita kira. Ada yang memilih untuk berjuang, tapi ada juga yang memilih untuk lari. Dan terkadang... melarikan diri adalah satu-satunya cara yang mereka tahu untuk meredakan rasa sakit itu. Tidak setiap orang sekuat dirimu, Yuna."Yuna tak mampu menahan rasa bersalah yang semakin menghimpit dadanya. Matanya mulai berkaca-kaca, menyadari bahwa betapa angkuh dirinya yang merasa dapat memahami apa yang Celi rasakan. Ia merasa semakin kecil dan semakin menyesal karena tidak segera bertindak untuk membantu gadis tersebut.Rian pun segera berjalan melewati Yuna yang tetap terdiam, lantas berlari meninggalkan kantor. Yuna hanya bisa menatap kepergiannya, merasa patah hati karena tak tahu harus melakukan apa lagi. Selepas mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada Celi, Rian segera menuju ke tempat Ruri satu-satunya orang yang mungkin bisa memberikan sedikit petunjuk. Ketika ia menemui Ruri, wajahnya menunjukkan keputusasaan yang semakin mendalam."Ruri, apa yang sebenarnya terjadi dengan Celi di masa lalu... waktu dia masih berada di Kawaii Sekai." kata Rian dengan suara begitu menekan.Ruri menatap Rian dengan tatapan simpati, namun ia menggeleng pelan. "Aku tidak bisa membicarakannya tanpa izin dari gadis itu sendiri. Aku tidak pantas menceritakan hal tersebut menggantikannya.""Kumohon Ruri! Ini semua demi Celi!"Menyaksikan betapa frustasi serta putus asanya pria yang berada di hadapannya tersebut membuat Ruri tidak bisa berdiam begitu saja. Lagipula, ia sendiri paham bahwa satu-satunya orang yang mungkin bisa menyelamatkan gadis itu hanya dia seorang."Mungkin... ada satu hal yang bisa kuberitahukan. Kalo kamu pengin membantunya, kamu harus tanya langsung padanya sendiri. Gak ada orang yang pantas jawab kecuali Celi seorang. Dan... mungkin, ini baru kemungkinan saja... dia sedang berada di rumah neneknya sekarang. Trus kebetulan saja, aku punya alamatnya." kata Ruri sambil menyerahkan secarik kertas dengan alamat rumah nenek Celi tertulis di atasnya."Ruri... akan kugunakan ini semaksimal mungkin. Makasih banyak!""Bawa gadis keras kepala itu kembali, oke?"--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dengan secarik kertas di tangan yang berisi alamat rumah nenek Celi, Rian tidak membuang waktunya dan segera berlari kembali. Dengan hati yang dipenuhi kecemasan, ia segera bergegas menuju stasiun besar yang berada di dekatnya yaitu Stasiun Gambir. Nafasnya begitu tersengal-sengal begitu ia menaiki ojek online yang mendatanginya, matanya terus menatap ke layar ponsel, mencoba menghubungi orang-orang di agensi. Di atas ojek, Rian menelpon ke agensi, suaranya penuh dengan ketegasan, meskipun kegelisahan jelas terdengar di balik nada bicaranya."Dengar semuanya. Aku akan mengatasi soal Celi, pasti akan kubawa kembali gadis itu. Kalian fokus saja pada latihan dan persiapan Dreamy Festival. Spica tetap tampil, dengan Celi di sana, aku janji pada kalian."Rian memutuskan panggilan setelah memastikan semua orang di agensi mengerti situasinya. Begitu sampai di stasiun Gambir, ia berlari menuju loket tiket, dengan satu tujuan dalam pikirannya—membawa Celi pulang. Beruntunglah masih terdapat tiket yang bisa Rian pesan tanpa perlu mengantre lama, ia menunggu kedatangan kereta tersebut begitu cemas, dengan perasaan campur aduk."Kereta dengan tujuan Gambir – Bandung akan tiba di Peron 2, kereta dengan tujuan—"Kedatangan kereta disambut oleh pengumuman yang menggema ke penjuru stasiun, memberikan rasa lega pada hati Rian yang menunggu selama setengah jam lebih. Saat kereta tiba, Rian segera melangkah masuk dan mencari tempat duduk. Jendela kereta terbuka, menawarkan pemandangan kota yang mulai menghilang saat kereta mulai melaju. Selama perjalanan, kereta yang melaju cepat ke arah Bandung tak mampu menenangkan pikirannya yang dipenuhi berbagai skenario."Jika telah sampai apa yang harus kukatakan padanya? Bagaimana kalau dia menolak kembali? Atau lebih buruk lagi, bagaimana kalau dia tidak berada di sana?"Sambil duduk di kursi kereta, ia mencoba memusatkan perhatian. Matanya menatap keluar jendela, melihat pemandangan yang dipenuhi oleh hiruk pikuk kota digantikan hijaunya padang luas di ujung sana. Ia berusaha memikirkan mengenai keberadaan Celi, bukan hanya ketika dirinya berada di Spica namun mengenai dirinya di masa lalu. Bagaimana Celi begitu bersinar semasa di Kawaii Sekai, bagaimana Rian menyaksikan sendiri gadis tersebut menari wajah penuh bahagia di atas panggung. Rian seakan tidak percaya saat mendapati bahwa gadis tersebut tiba-tiba saja memutuskan keluar dari Kawaii Sekai sewaktu dirinya lulus kuliah, merasakan rasa sedih serta bingung, sama seperti yang ia rasakan sekarang.Saat kereta mulai memasuki pinggiran Bandung, jantung Rian berdetak lebih kencang. Rumah nenek Celi berada di salah satu kawasan pinggiran, jauh dari hiruk-pikuk kota. Tempat itu mungkin menjadi tempat pelarian bagi Celi, tempat di mana ia bisa menyembunyikan diri dari semua tekanan dan rasa sakit yang ia alami. Namun, Rian tidak datang hanya untuk membawa Celi kembali ke panggung—ia datang untuk menolong seorang gadis yang terluka, sebab masa lalunya dulu.Ketika kereta akhirnya berhenti di stasiun, Rian turun dengan langkah cepat. Ia tak mau membuang waktu. Dengan alamat yang diberikan oleh Ruri, ia menaiki ojek lain untuk menuju rumah nenek Celi. Perjalanan itu terasa lebih panjang daripada seharusnya, setiap menit terasa semakin mendesak, setiap detik membawa kecemasan baru."Apa yang sebenarnya terjadi padamu, sewaktu di Kawaii Sekai... Celi? Kenapa justru sesama member memojokkanmu hingga seperti ini?" pertanyaan itu terlontar dalam kepala Rian ketika angin dingin berhembus melewati wajahnya.Rian turun dari ojek di depan sebuah desa yang sangat jauh dari keramaian kota. Alamat yang tertulis di kertas seharusnya menuntunnya langsung ke rumah nenek Celi, namun kenyataannya lebih rumit dari yang ia bayangkan. Sopir ojek pun menggeleng tak tahu sama sekali soal lokasi tepat rumah tersebut kecuali desanya saja. Pada daerah yang begitu asing bagi Rian mau tak mau ia harus melanjutkan pencarian sendirian.Lantas ia mulai berjalan menyusuri jalanan berdebu, diapit oleh sawah-sawah yang hijau. Suasana desa begitu sunyi dan damai, berisikan suara angin serta segarnya udara menerpa. Sembari menggenggam erat kertas di tangan agar tidak terbawa angin kencang, ia bertanya kepada penduduk desa yang ditemuinya. Orang-orang di sana memperhatikan penampilannya—memakai jas rapi di tengah daerah tinggi yang terjal dan sulit. Tetapi meski penampilannya menarik perhatian, setiap penduduk desa tetap bersikap ramah kepadanya."Akang mending istirahat dulu aja. Panas panas gini euy, kalo lanjut jalan nanti malah sakit." Salah seorang warga bahkan menawarkan Rian untuk berhenti sejenak di rumahnya."Ah, makasih banyak pak. Tapi saya sedang buru-buru, mungkin lain kali saya bisa mampir." Ujar Rian dengan sopannya menolak tawaran tersebut.Semakin ia berjalan mendekati arahan dari orang-orang sebelumnya, semakin jelas pula mereka menjawab pertanyaan Rian. Meski ia merasa lelah, tekadnya untuk menemukan Celi lebih besar dari rasa letih yang melanda. Langkah-langkahnya terus membawa dia melalui jalan-jalan sempit yang berliku, melewati kebun serta jalan terjal yang menanjak naik. Perjalanan tersebut memakan waktu lebih dari satu jam dan keringat sudah mengalir deras di wajah serta pakaiannya."Se... seharusnya di sini tempatnya... gak ada rumah lagi di sekitar sini..."Di depan mata Rian terlihat sebuah rumah tua yang sepertinya sesuai dengan deskripsi yang diberikan oleh penduduk desa. Rumah itu sederhana, dengan dinding kayu yang catnya sudah pudar dan halaman kecil yang dipenuhi tanaman liar. Rian mendekati pintu rumah tersebut dengan hati-hati, berharap tempat ini memang yang ia cari. Menenggak ludah penuh khawatir, Rian mengetuk pintu. Tak lama, pintu kayu itu berderit pelan, dan seorang wanita tua berdiri di baliknya. Wajahnya ramah meski tampak lelah oleh usia. Mata hitamnya yang tajam memandang Rian penuh tanda tanya."Selamat siang, nek. Maaf mengganggu waktunya, saya Rian dari agensi RP710. Saya tengah mencari alamat seseorang, serta seorang gadis bernama Augustina Celine. Ini alamat yang diberikan ke saya... apa betul alamatnya berada di sini?" kata Rian dengan suara lirih yang terdengar sopan, tetapi sebetulnya karena ia telah sangat kelelahan.Wanita tua itu memandangi kertas yang dipegang Rian sejenak sebelum tersenyum lemah. "Ya, ini rumahnya. Rupanya kamu temen Celi ya, si Rian." Wajah dari nenek tersebut bersinar seketika, nampak sangat senang.Ia dipersilahkan masuk, duduk di ruang tamu rumah nenek Celi, sebuah ruang sederhana yang dipenuhi dengan aroma nostalgia dan kehangatan masa lalu. Langit-langitnya rendah, dengan hiasan-hiasan tua tergantung di dinding. Nenek Celi mempersilakan Rian duduk di sofa lusuh yang tampak nyaman. Dari dapur, suara gemerincing piring terdengar sebelum nenek kembali dengan secangkir teh dingin di tangannya."Minum dulu ya, kamu dah capek-capek datang ke tempat pelosok seperti ini." ujar nenek itu sambil meletakkan teh di meja kecil di depan Rian.Rian tersenyum lemah dan mengucapkan terima kasih, meskipun pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran tentang Celi. Sambil menyesap teh, nenek Celi duduk di depannya dan mulai mengajukan pertanyaan, penasaran dengan alasan kedatangan Rian. Terlebih lagi, mencari keberadaan dari cucunya seorang."Sebenarnya, ada perlu apa pria sepertimu ini datang jauh kemari? Tadi kamu bilang, nak Rian bilang, dari agensi?"Memahami bahwa mungkin alasan yang ia utarakan tadi terdengar mencurigakan bagi nenek, segera Rian menjelaskan dengan lebih sederhana."Saya salah satu produser dari grup idol, Nek. Dan Celi adalah salah satu anggota kami. Tapi, selama dua hari ini dia menghilang tanpa kabar, dan kami sangat khawatir. Itulah mengapa saya kemari, untuk memastikan dia baik-baik saja."Nenek Celi menatapnya dengan mata yang bingung. Kata "idol" tampaknya tak familiar bagi wanita yang tumbuh di lingkungan tradisional ini. Melihat kebingungan di wajahnya, Rian berusaha menjelaskan lebih lanjut dengan menggunakan istilah yang lebih mudah dipahami."Celi adalah penari di grup kami, Nek. Penari yang begitu berbakat dan penting di grup kami dan saya adalah ketua dari grup tersebut." Ujar Rian begitu hati-hati.Mendengar kata "penari," mata nenek Celi tampak cerah sejenak, seolah mengingat sesuatu. "Oh, penari! Celi memang suka menari sejak kecil." ujarnya sambil tersenyum."Ibunya dulu selalu membawa Celi ke sanggar tari di kota. Sejak kecil dia sudah diikutkan lomba-lomba tari tradisional dan sering menang. Sebentar, biar nenek tunjukkan foto-foto waktu dia menang dulu."Nenek itu bangkit dari kursinya dan berjalan menuju lemari kayu tua yang terletak di sudut ruangan. Ia membuka pintu lemari tersebut dan mengeluarkan sebuah album foto tua dengan sampul berwarna cokelat yang telah memudar. Ia membuka album itu dengan hati-hati, seolah menyentuh kenangan masa lalu yang berharga."Lihat, ini Celi waktu masih SD. Sejak umur tujuh tahun dia sudah mulai menari di sekolah."Rian tersenyum saat melihat foto-foto itu. Celi kecil tampak begitu bersemangat dan penuh kehidupan di setiap foto, dengan kostum tari yang indah dan senyum cerah di wajahnya. Terlihat jelas bahwa menari telah menjadi bagian dari hidup Celi sejak dini. Saat ia terus melihat-lihat album itu, ia semakin memahami betapa mendalamnya cinta Celi terhadap kesukaannya tersebut."Ibunya sangat bangga pada Celi. Setiap kali dia menang lomba, Celi akan berlari pulang dengan membawa piala dan tersenyum lebar. Tapi... entah kenapa, waktu dia semakin gede, Celi sering murung dan sekarang pun jarang sekali pulang. Sampai beberapa hari kemarin, dia tiba-tiba saja datang ke mari.""Nek..." Rian duduk dengan perasaan bercampur aduk ketika nenek Celi bercerita tentang cucunya."Yah, namanya juga cucu, bahkan anak nenek saja sudah pergi ke sana kemari kok. Setidaknya hanya Celi saja yang masih sering berkunjung. Bahkan dia sering cerita soal hidupnya di kota, terutama soal Nak Rian.""Eh? Soal saya?"Di tengah cerita, tiba-tiba terdengar suara pintu yang terbuka dari arah lorong, diikuti oleh teriakan lembut Celi yang memanggil neneknya."Ni? Niniii...?" suara Celi berulang-ulang terdengar, berusaha mencari kehadiran neneknya."Nini di ruang tamu." Balas dari neneknya begitu lantang.Saat Celi mendapati pintu ruang tamu terbuka, dan melihat Rian duduk di sana, ekspresinya langsung berubah. Matanya membelalak kaget terlebih lagi kini dirinya tengah mengenakan pakaian yang begitu terbuka, lantas tanpa berkata sepatah kata pun, ia langsung berbalik dan berlari menuju kamarnya. Rian, yang tidak menduga pertemuan ini akan berjalan secepat itu, segera berdiri dan mengejarnya."Celi, tunggu! Aku pengin bicara sebentar! Tolong dengarkan aku!" panggil Rian, suaranya penuh kekhawatiran.Gadis tersebut sama sekali tidak peduli mengenai perkataan Rian, menutup pintu kamarnya dengan keras begitu sampai di dalam, seakan ingin menutup diri dari semua hal yang terdapat di luar. Rian berdiri di depan pintu kamar itu, napasnya masih terengah-engah dari mengejar Celi. Ia merasa putus asa, tetapi tidak ingin menyerah begitu saja."Celi... kamu pergi tanpa kabar selama dua hari. Kami semua khawatir. Ruri, Manajer, Dara, sampai semua anggota Spica nanyain soal kamu. Ditambah lagi Dreamy Festival, kamu juga sangat menantikannya, kan? Lantas kenapa tiba-tiba saja mengirimkan surat seperti itu?" bujuk Rian, suaranya begitu pelan namun penuh ketulusan."Yang kamu pedulikan cuma idol-idol itu, kan? Posisiku bisa digantikan siapa saja. Orang lain bisa menari lebih baik dariku. Aku nggak mau lagi menari, Rian." Dari dalam suara Celi terdengar penuh akan frustasi.Kata-kata Celi itu menghantam Rian dengan keras. Ia terdiam di depan pintu, tak mampu langsung menjawab. Hatinya dipenuhi berbagai emosi—rasa bersalah, kebingungan, dan keputusasaan. Celi, yang biasanya penuh semangat dan impian, kini terdengar begitu patah. Ia tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata seakan hilang begitu saja dari pikirannya, dan yang tersisa hanya rasa sakit mendengar gadis yang begitu ia pedulikan memutuskan untuk menyerah pada impian yang selama ini menjadi jiwanya.Suasana hening menyelimuti rumah itu. Nenek Celi hanya bisa mengamati dari jauh, membiarkan Rian dan Celi menyelesaikan masalah mereka sendiri. Rian berdiri tak bergerak, menatap pintu kayu di depannya seolah berharap pintu itu bisa terbuka lagi, dan Celi akan keluar dengan senyuman seperti biasanya. Namun, ia tahu itu tidak akan semudah itu.Saat ia masih memikirkan kata-kata yang tepat untuk menenangkan perasaan Celi, nenek datang mendekat. Ia menggerakkan tangannya dengan lembut, memberikan isyarat agar ia kembali duduk di ruang tamu dan membiarkan Celi sendirian untuk sementara. Dengan berat hati, Rian mengikuti isyarat nenek tersebut. Mereka berdua duduk di ruang tamu yang sunyi, sementara suara samar isakan dari kamar Celi terdengar. Nenek Celi memandang Rian dengan tatapan yang hangat namun penuh pengertian."Sebenarnya, anak itu bilang sesuatu waktu datang kemari. Ia datang sambil nangis, terus berkata kalau dirinya ingin berhenti menari. Bilang kalau dirinya sudah terlalu muak akan segalanya."Rian terdiam, menunduk. Mendengar itu dari nenek Celi membuat rasa bersalah yang ia rasakan semakin mendalam. Ia merasa seolah telah gagal memahami apa yang dialami Celi selama ini."Saya minta maaf, Nek. Mungkin ini salah saya. Karena saya yang tidak memikirkan mengenai Celi, terlalu sibuk dengan grup, sampai saya tidak sadar kalau dia sedang mengalami kesulitan."Nenek Celi menatapnya dengan lembut, lalu menggeleng pelan. "Bukan begitu, nak. Justru karena kamu peduli, Celi terus menari sampai sekarang."Hari berakhir lebih cepat di desa, tanpa Rian sadari langit telah mulai menggelap dengan suara hewan-hewan serta serangga malam telah saling membalas satu sama lain. Rian, yang tadinya berniat untuk pulang, mau tidak mau menerima nasihat nenek Celi untuk menginap. Jalanan di desa yang sulit dan berbahaya saat malam membuat Rian merasa tidak punya pilihan selain mengikuti saran sang nenek.Pada malam hari itu, segalanya terasa jauh lebih sunyi, hanya ditemani oleh suara angin yang berbisik lembut di antara pepohonan serta jangkrik yang bersaut-sautan. Rian terbaring di tempat tidur kamar yang disediakan nenek Celi, namun matanya enggan terpejam. Pikirannya dipenuhi oleh bayangan Celi, pertanyaan tentang masa lalunya, dan kekhawatiran akan Dreamy Festival yang semakin dekat. Ia juga teringat bahwa Kawaii Sekai, mantan grup Celi, akan menjadi salah satu pesaing utama mereka di festival tersebut. Ia tahu ada sesuatu yang belum terungkap sepenuhnya antara Celi dan grup lamanya, namun sampai saat ini, Celi tidak pernah mau membicarakannya secara mendalam."Kenapa dulu Celi keluar dari Kawaii Sekai... dia tidak pernah bercerita soal itu..."Setelah beberapa jam gelisah di tempat tidur, Rian memutuskan untuk bangun dan mencari udara segar. Ia berniat menuju kamar mandi, berharap bisa menenangkan pikirannya. Saat berjalan menyusuri lorong rumah yang temaram, matanya menangkap sosok seseorang yang duduk di beranda, diterangi cahaya bulan yang memancarkan sinar keperakan. Itu adalah Celi. Rambut hitam keunguannya tersebut berkilauan di bawah sinar rembulan, gadis tersebut memandangi langit malam yang bertabur bintang. Wajahnya tampak sendu, seolah tenggelam dalam lautan pikirannya sendiri."Sebaiknya aku gak ganggu dia... semuanya bisa dibicarakan dengan baik-baik besok pagi."Saat hendak berjalan kembali dalam ketidaksengajaan, ia meleng dan menabrak tembok yang ada di depannya. Bunyi dentuman itu cukup keras, membuat Celi yang masih duduk memandangi bulan segera panik. Tanpa berpikir panjang, ia mengira ada sesuatu yang tidak beres—entah itu maling, atau lebih buruk lagi, hantu."Sing saha di ditu? Maling nya? Jurig ?! Ulah wani-wani ngaganggu abdi nya!"Dengan cepat, Celi meraih sapu yang terletak di sudut rumah, jantungnya berdetak kencang. Ia berjalan perlahan menuju arah bunyi, matanya waspada, mencoba memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Sementara itu, Rian yang merasa bersalah karena sudah mengagetkan Celi, keluar dari balik tembok untuk menjelaskan. Tetapi sebelum sempat mengucapkan apa pun, Celi yang sudah diliputi kepanikan langsung mengayunkan gagang sapu dengan keras, tepat mengenai kepala Rian."WAAAA!"Duk!Rian terhuyung sejenak, matanya berputar dengan pandangannya yang mulai menggelap, tubuhnya pun langsung jatuh tak sadarkan diri di lantai. Celi terperanjat. Ia baru menyadari bahwa orang yang ia hantam dengan sapu bukanlah maling atau hantu, melainkan Rian."Rian?!" teriaknya, segera melepaskan sapu dan berlutut di samping tubuh Rian yang tergeletak.Kepanikannya berubah menjadi rasa bersalah yang dalam, wajahnya memucat saat menyaksikan tubuh Rian yang tak bergerak sama sekali. Ia lantas membaringkan tubuh pria itu dengan sebuah bantal, sembari menjaganya di samping, mengamati keadaan Rian dengan penuh cemas."Erngh..."Setelah setengah jam lebih dirinya tak sadarkan diri, Rian perlahan dapat merasakan kesadaran mulai kembali memasuki kepalanya. Begitu kedua mata terbuka, ia menyaksikan wajah Celi yang dipenuhi kekhawatiran, gadis tersebut terus menerus mengucapkan maaf dan rasa bersalahnya."Aku... aku minta maaf, Rian! Aku tidak tahu itu kamu."Rian, yang masih bingung dengan apa yang baru saja terjadi, mengangkat tangannya untuk menyentuh kepalanya yang terasa sakit."Aku nggak nyangka kamu bisa memukul sekeras itu, Celi," katanya setengah bercanda, meskipun nyeri masih terasa di ubun-ubun.Celi tersenyum lemah, rasa bersalah masih menyelimuti wajahnya. "Maafkan aku... pasti sakit ya..."Rian duduk perlahan, memegang kepalanya sambil mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya."Sebetulnya, aku yang harusnya minta maaf, Celi. Aku nggak sadar soal sesuatu yang penting...""Kenapa kamu minta maaf? Semuanya tuh salahku.""Aku nggak sadar, kalau lawan kita, lawan Spica di Dreamy Festival itu grup lamamu. Kawaii Sekai." Ujarnya sembari menatap pada Celi.Celi langsung terdiam, seperti tertusuk oleh kenyataan yang baru saja diungkapkan Rian. Ia menunduk, menghindari tatapan pria itu.Rian menghela napas panjang, lalu melanjutkan, "Aku nggak pernah benar-benar ngerti kenapa kamu memutuskan keluar dari Kawaii Sekai waktu itu. Tapi ada satu hal yang pasti aku paham sepenuhnya—yaitu kesukaanmu pada menari. Dan aku ingin kamu kembali, Celi. Kami semua ingin kamu kembali ke Spica.""Aku... aku tidak bisa kembali lagi ke sana. Aku... terlalu takut untuk kembali." Gelengnya pelan, matanya pun kini mulai berair."Apa ini berhubungan dengan kepergianmu dari Kawaii Sekai? Apa sesuatu terjadi di sana, sesuatu yang gak aku ketahui?"Celi menelan ludah, menahan emosinya yang semakin menumpuk."Ya. Aku takut kalau suatu saat aku akan kembali dibenci hanya karena aku melakukan apa yang aku sukai. Mereka dulu menjatuhkanku, membuangku, dan akhirnya menggantikanku seperti aku ini cuma alat. Aku nggak sanggup kalau harus melalui semua itu lagi."Mendengar pernyataan Celi, Rian merasa hatinya tertekan. "Aku nggak mungkin melakukan itu, Celi." katanya dengan nada serius."Aku tahu, aku paling tahu bahwa kamu gak bakal ngelakuin itu, Rian. Tapi yang aku takutkan... bukan kamu. Aku takut orang lain yang akan melakukannya. Bahkan... mungkin teman-temanku sendiri di Spica." Ujarnya dengan kepala yang menunduk jauh lebih dalam daripada sebelumnya."Kenapa...kamu sampai berpikir seperti itu...?" Rian memandang Celi dengan tatapan penuh kebingungan."Waktu aku masih di Kawaii Sekai, awalnya semuanya berjalan baik. Aku menari dengan sepenuh hati, dan aku pikir aku menemukan keluarga baru di sana. Tapi lama kelamaan, aku mulai bersinar lebih terang dibandingkan yang lain. Mereka nggak suka itu. Satu per satu dari mereka mulai menjauh, menggosipkan aku di belakang. Sampai akhirnya... mereka mulai menjatuhkanku."Ia pun mulai menceritakan masa lalunya kepada Rian, saat-saat di mana dirinya masih begitu bersinar di Kawaii Sekai. Pada saat itu Rian masih menjadi seorang mahasiswa dan Celi adalah adik angkatannya, bahkan seorang Rian sekalipun tidak tahu bahwa saat itu Celi yang berada di Kawaii Sekai menghadapi kesulitan yang dipendamnya seorang diri. Sewaktu Celi menceritakan ia tidak dapat berhenti merasakan kesal serta marah, tetapi dirinya pun merasa bersalah sebab tidak dapat melakukan apapun. Luka yang begitu dalam membuatnya tidak bisa mempercayai orang lain lagi, bahkan teman-temannya sendiri di Spica."Celi... aku... Spica... Spica gak mungkin—" meski telah mendengar dan memahami segalanya, Rian masih berusaha membujuk gadis tersebut untuk kembali mencoba.Tetapi sebuah gelengan pelan serta air mata yang menuruni pipi menjadi jawaban atas permintaannya."Kamu bisa temukan orang lain, Rian. Ada banyak gadis yang lebih baik dariku. Aku nggak bisa kembali. Hirupku mah tos siga ngadahar simalakama... "Dengan suara serak, Celi bangkit dari tempat duduknya dan melangkah pergi, meninggalkan Rian yang masih duduk terdiam. Rian hanya bisa menatap punggung Celi, merasa tak berdaya.