Chereads / IDOLIZE / Chapter 24 - Bab 22: Rasa akan Kesepian, Part 2

Chapter 24 - Bab 22: Rasa akan Kesepian, Part 2

Pada hari libur, seperti yang telah direncanakan sebelumnya mereka berenam menetapkan untuk berkumpul pada Stasiun KRL Gambir. Berhubung hari libur, keadaan kereta listrik cukup sibuk daripada biasanya sehingga Isla terkadang terhimpit dalam lautan para remaja yang berpikiran sama untuk menghabiskan hari liburnya untuk berekreasi."Isla! Sini, sini!""Pasti capek ya... abis desek-desekan gitu. Rumahmu emang ada di jalur yang ramai sih, jadinya penuh sesak gitu."Lily dan Rain menyapa Isla dengan semangat, cuaca hari ini beruntung begitu cerah tak ada kemungkinan hujan sepeserpun. Ketika Cia tiba, ketiga gadis yang tengah menunggu tersebut terkejut tak terkira sebab ia memakai hoodie hitam yang sangat tidak sesuai dengan fashion untuk bermain. Tapi sebelum Cia sempat membalas komentar mereka, Wulan tiba dengan santai memakai kaus bola dan celana pendek, membuat semua orang tertawa."Napa, kalian kok malah ketawa?" ucap gadis itu dengan wajah tanpa rasa paham sama sekali."Serius, dari segala baju, itu yang kamu pilih, Wulan?" Lily mengomentari sembari tertawa."Yang penting kan nyaman! Hari ini cerah banget, sama kita mau main kan, bukan mau tampil." Wulan hanya menanggapi sembari mengangkat bahunya puas."Noh, Wulan aja sama pikirannya sama aku. Hoodie tuh pilihan terbaik buat jalan-jalan di luar, tiap kali keluar rumah aku pake ginian doang.""Maaf bikin nunggu..."Dari belakang terlihat Yuna yang datang memakai gaun one-piece yang begitu memukau. Setiap gadis memalingkan wajahnya untuk memandangi pakaian Yuna yang begitu indah."Tuh, harusnya tuh bajunya begitu. Kalian cewek tau... tampil cantik dikit kek." Ujar Rain yang akhirnya membuat setiap gadis lain mengangguk setuju."Kenapa kalian liatin aku begitu, ayo berangkat."Tanpa membuang waktu lebih lama lagi, mereka berenam segera menuju ke stasiun untuk menaiki kereta yang siap mengantar ke tujuan pertama dari saran Lily. Selama perjalanan, suasana di kereta terasa penuh canda tawa. Cia dan Wulan terus bersikeras bahwa pakaian mereka paling nyaman untuk hari libur, sementara Rain dan Lily dengan sabar mencoba menjelaskan tentang pentingnya "penampilan" meski hanya untuk acara jalan-jalan, terus menerus menyanjung Yuna sebagai contoh. Sedangkan Isla yang berada di dekat mereka hanya merebahkan diri, berusaha mengumpulkan energi sebanyak mungkin sebelum melakukan agenda pertamanya."Selamat datang di tujuan pertama kita, Istana Bogor!"Sesampainya di Istana Bogor, mereka terpesona oleh pemandangan yang menakjubkan. Gedung putih megah dengan atap khasnya berdiri anggun di tengah taman yang luas. Beberapa orang tua bersama anak-anaknya terlihat senang ketika membagikan makanan berupa sayur mayur kepada rusa-rusa totol yang berkeliaran bebas di sekitar."Kok... kamu milih ke Istana Bogor?" tanya Cia penuh kebingungan."Orang bijak pernah berkata, 'Jika ingin berbicara lancar dengan orang lain, maka cobalah berbicara kepada hewan terlebih dahulu'... begitu." Jawab Lily sembari menirukan pose bijak dari seseorang yang mengatakan hal tersebut.Kelima gadis yang mendengar kata-kata itu terlontar dari seorang Lily hanya dapat diam tanpa reaksi, penuh kebingungan."Maksudmu, kamu nyuruh si Isla buat ngomong sama rusa?""Betul sekali, Wulan. Sebelum memberanikan diri bicara dengan orang, kita harus coba berbicara dengan hewan terlebih dahulu. Mereka tidak akan menghakimi, tidak akan membalas, dan tidak akan peduli... karena mereka sama sekali tidak paham apa yang kita omongin. Makanya bisa jadi temen latian yang pas." Balas Lily tersenyum penuh keyakinan."Ya iyalah! Tapi orang normal mana yang ngomong sama hewan coba?!" Cia yang selalu ceplas-ceplos langsung menimpal."Sini biar kutunjukin caranya kalo kalian ga percaya."Meskipun penjelasan Lily terdengar sangat konyol, gadis-gadis lain mau tidak mau hanya bisa mempercayai dirinya karena tekad yang ditunjukkan. Meski tidak tahu apakah metode tersebut betul atau tidak, tapi rasa penasaran jauh lebih menguasai mereka sekarang. Tanpa lama, mereka semua kemudian menuju area di mana rusa totol berkeliaran dengan bebas. Istana Bogor memang dikenal sebagai tempat penangkaran rusa totol dan rusa-rusa ini sering menjadi daya tarik utama bagi setiap orang yang mengunjunginya."Rusa cantik, sini sini... aku ada kubis enak nih."Dari balik tas yang Lily bawa, ia dengan normalnya mengeluarkan satu bonggol kubis besar dan melepas satu helaian kubis itu untuk memancing rusa mendekat. Tentu menyaksikan kejadian itu membuat setiap orang yang menyaksikannya kaget. Padahal beberapa pengunjung lain membeli pakan rusa untuk bisa memberi makan mereka, tetapi gadis ini malah membawanya sendiri dari rumah."Itu satu tas... isinya kubis doang, Lily?" Rain yang berada di sampingnya memandangi Lily dengan wajah penuh tak percaya."Ya engga lah, ada apel, pir, sama makanan lain juga.""Kamu mau main apa mau piknik?!""Ssst, jangan berisik nanti rusanya malah kabur!"Ketika para rusa mulai mendekat pada Lily, segera ia memanggil Isla dengan lambaian tangan. Isla yang tampak begitu ragu serta takut, kini mendekati rusa yang tengah menunggu dirinya memberikan helaian kubis."Yang penting tenang, mereka dah biasa sama manusia kok, ga bakal nyerang." Ucap Lily begitu lembut, berusaha memberikan keberanian pada Isla."Ha-Halo, rusa... anu... salam kenal. Aku... aku Isla." dia mulai berbicara kepada rusa itu, suaranya begitu pelan nan canggung.Tentu saja si rusa sama sekali tidak memahami apa yang Isla katakan, langsung menyambar helaian kubis yang ada di tangan dan kemudian menguyah kubis tersebut. Isla yang kaget sedikit tersentak ke belakang, sampai Lily memegangi punggungnya agar tidak terjatuh."Gimana? Asyik? Nakutin? Atau malah canggung?""Err... sejujurnya sedikit menakutkan.""Kalo gitu kita coba lagi! Sekarang rusa jantan itu, yang ada tanduknya.""E-Eh...?!"Sementara di sisi lain teman-teman lain yang melihat kejadian barusan menjadi tertarik untuk ikut mencobanya. Cia yang begitu penasaran kini mendekati seekor rusa yang tengah santai duduk pada rumput."Yo, rusa. Aku mau tanya pendapatmu, hoodie yang kupakai cocok gak buat jalan-jalan?"Si rusa yang tadi penasaran dengan kehadiran Cia hanya mendengus pelan, memalingkan wajahnya ke arah lain."Bwahaha...! Ditolak gak tuh!" Wulan yang melihat itu langsung tertawa terbahak-bahak."Rusa mana paham fashion! Ahahaha...!" Rain pun ikut tertawa begitu keras saat menyaksikan ekspresi kesal Cia.Meskipun semuanya terlihat konyol, latihan berbicara dengan rusa itu ternyata memberi efek positif. Isla mulai merasa lebih rileks dan meskipun rusa-rusa itu tidak memberikan respon, setidaknya mereka tidak menolak Isla yang mendekat. Saat Isla mulai berani mendekati rusa tanpa bantuan dari Lily, ia tersenyum tipis dan mulai bercerita kepada gadis tersebut."Dulu, aku sering ke sini sama orang tuaku. Waktu kecil, ayahku yang ngajarin buat ngobrol sama rusa-rusa ini, biar lebih berani bicara ke orang lain."Isla yang mendengar hal itu merasa tersentuh, kini ia berusaha keras untuk bisa memenuhi bantuan yang telah Lily berikan padanya. Dia mulai mengobrol banyak hal dengan rusa-rusa di sekitarnya. Meski hewan-hewan itu tentu saja tidak bisa membalas, tetapi ia tidak peduli, justru semakin merasa bahwa ia bisa mengobrolkan banyak hal dengan bebas tanpa diejek sama sekali. Sampai ada satu hal yang terlupakan, kini bonggol kubis telah diberikan Lily kepada Isla untuk memberi makan rusa-rusa itu."I-Isla, kamu ga boleh diem terus di satu tempat loh... Isla...?"Setiap rusa yang berkeliaran di taman tersebut mulai memperhatikan Isla, dan satu per satu, rusa-rusa itu mendekat, bukan karena mereka tertarik mendengarkan ceritanya, melainkan karena tertarik pada kubis segar yang ada di tangan. Tanpa disadari, Isla yang terlalu fokus mengobrol dengan rusa-rusa itu, tiba-tiba mendapati dirinya dikelilingi oleh banyak rusa yang perlahan mendekat untuk mendapatkan kubis di tangannya."Ah—"Pada awalnya, Isla tidak menyadari bahwa dia telah dikelilingi oleh kawanan rusa. Namun, ketika dia melihat ke sekeliling dan menyadari bahwa banyak rusa sudah sangat dekat dengannya, dia mulai panik. Kedua tangan yang memegang kubis mulai gemetar, dan ekspresi tenangnya berubah menjadi cemas."Cia! Wulan! Rain! Yunaaa! Bantuin!!!" teriak Lily begitu panik sementara setiap rusa semakin mendekatkan langkahnya pada Isla.Isla merasa panik saat menyadari telah sepenuhnya terjebak di antara kawanan rusa yang terus mengerubunginya demi kubis. Dia mencoba menghindar ke kiri dan kanan, tetapi rusa-rusa itu terus mengikutinya dengan lapar. Sementara Lily yang meminta bantuan tiba-tiba berhenti berteriak dan malah menyaksikan pemandangan yang jauh lebih konyol."Wulaaannn!!! Bantuin Wulan!!!""Kok aku ikut dikejar juga siiihhhh!!!!"Di kejauhan, Cia dan Rain sedang dikejar oleh seekor rusa jantan bertanduk besar. Wajah mereka benar-benar panik dan teriakan ketakutan mereka semakin membuat suasana lucu."Kupikir gak bakal nyerangg!!!" Cia yang memiliki tubuh begitu kecil seakan setara dengan rusa jantan besar yang tengah mengejar mereka sehingga berlari sekuat tenaga."Ya kamu malah niruin gerakan nyeruduk! Kita cuma ngajak bicara, bukan ngajak berantem tauu!!" Rain yang seharusnya tidak ikut-ikutan, malah terjebak bersama Cia.Wulan yang berusaha membantu dari belakang, tidak bisa berhenti tertawa sambil berlari mengikuti mereka. "Cia, Rain, jangan lari lurus gitu! Belookk! Belokin ke aku!"Tapi meski begitu, usaha Wulan belum berhasil menghentikan rusa itu. Malah para pengunjung yang melihat kejadian ini tertawa terbahak-bahak, beberapa bahkan mulai merekam adegan konyol tersebut. Beberapa petugas yang berjaga di sekitar kini tengah menyiapkan peralatan mereka untuk mengatasi kejadian kejar-kejaran mereka bertiga.Di sisi lain, pada bawah pohon rindang Yuna malah tengah dikerumuni oleh sekelompok anak-anak TK yang sedang melakukan studi wisata ke Istana Bogor. Mereka yang didampingi oleh sang guru tampak antusias mendengarkan Yuna menjelaskan sejarah Istana Bogor dengan sangat detail."Istana Bogor dulu didirikan pada tahun 1744, ketika Gubernur Jenderal Belanda, Johannes van den Bosch ingin membangun sebuah rumah peristirahatan yang dikenal sebagai Buitenzorg. Pada tahun 1866, baru rumah ini diubah menjadi istana oleh Gubernur Jenderal J. W. van Lansberge. Kemudian seiring waktu berjalan, istana ini menjadi tempat tinggal resmi bagi para gubernur jenderal dan kemudian untuk presiden Indonesia."Gurunya terlihat tersenyum puas dan merasa terbantu dengan penjelasan Yuna yang tak disangka-sangka begitu fasih dalam sejarah. Anak-anak itu pun mendengarkan dengan penuh perhatian, meski sesekali mereka melirik ke arah kejadian lucu yang melibatkan rusa-rusa dan teman-teman Yuna. Lily, yang melihat semuanya, hanya bisa menggelengkan kepala dan menepuk jidatnya sendiri."Kok malah jadi begini..."Begitu akhirnya mendapat tempat duduk di dalam KRL, mereka segera menyandarkan tubuh pada kursi empuk dalam wajah yang begitu lelah. Dengan cepat mereka membuka minuman dingin yang telah dibeli, menghilangkan dahaga setelah kejadian yang dialami barusan. Lily, yang duduk di samping Isla, tersenyum lebar dan bertanya,"Gimana, Isla? Berhasil gak saranku?"Sebelum Isla bisa menjawab, Cia dan Rain langsung menyela serempak, "Gak. Yang ada traumatis!""Serius deh, aku gak nyangka bakal dikejar rusa segede itu!" Rain menambahkan sambil menghela napas panjang."Bahkan aku gak tau kalo punya skill manjat pohon kaya tadi!" balas Cia begitu kesal.Wulan yang duduk di tengah-tengah mereka, tak bisa berhenti tertawa mengingat betapa konyolnya adegan tersebut."Cia udah kaya ninja loh! Naiknya cepet banget! Petugasnya aja sampai kewalahan buat pisahin kamu sama rusanya, sampai harus pake tongkat!""Benar-benar, kalian bikin heboh satu taman loh." Ucap Yuna.Cia memalingkan wajah, sedikit malu tapi tidak bisa menahan tawa saat membayangkan kembali betapa kacau situasinya. Lily yang masih penasaran, menoleh kembali ke Isla."Kalo kamu gimana Isla?""Menyenangkan, walau... aku merasa... entah kenapa terpikir sesuatu. Apa orang-orang itu, semenakutkan rusa? Mereka mengerubungi diriku dan cuma peduli soal kubis, bukan sama aku..." balasnya dengan wajah penuh putus asa."Ra-rasanya bukan itu deh yang hendak kuajarin ke kamu..."xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxPerjalanan mereka cukup memakan waktu cukup lama sebab harus kembali lagi ke pusat kota setelah pergi dari Kota Bogor. Rain sebagai pemandu kini mengambil alih kendali, seusai keluar dari stasiun mereka diajak menuju ke satu tempat yang tentu saja mengejutkan setiap gadis."Maap ya kalo saranku tuh agak gimana, kalo liburan aku ke sini sih biasanya...""TMII...?"Sebuah gerbang berbentuk tiga gelombang menjadi ciri khas dari taman tersebut yang merupakan Taman Mini Indonesia Indah. Seketika, nostalgia melanda Lily, Rain, dan Wulan. Mereka bertukar cerita tentang kunjungan mereka sebelumnya ke tempat ini saat masih anak-anak, saat pertama kali melaksanakan karya wisata mereka. Bagi gadis-gadis tersebut, taman ini penuh banyak kenangan nostalgia. Sementara bagi Isla, Cia, dan Yuna tampak asing karena ini adalah kali pertama mereka berkunjung."Kalian bertiga belum pernah ke sini? Wah, sayang banget.""Paling pol liburan aku kalo gak ke monas ya... ancol sih." Ujar Yuna."Lagipula ini tuh... taman kan? Mana mini lagi..." Cia yang tidak paham akan konsep taman ini terlihat bingung."Cih cih cih, taman ini bukan taman biasa. Sesuai namanya, ini tuh taman soal Indonesia tapi versi mini!"Dia mulai menjelaskan satu per satu wahana edukasi yang mereka lewati. Ada rumah-rumah adat dari berbagai provinsi, museum dengan koleksi budaya dan sejarah, serta area di mana para pelajar sedang melakukan karyawisata. Rain dengan antusias mengajak mereka melihat Anjungan Daerah, yang menampilkan kekayaan budaya setiap provinsi di Indonesia."Bahkan sampai ada rumah adat loh, baru pernah kuliat rumah adat Sulawesi... kaya perahu kebalik." Cia mengamati rumah Tongkonan yang berdiri megah di hadapannya."Dulu waktu SD aku pernah ke sini, waktu study tour. Bahkan sampai sekarang ga banyak yang berubah, masih banyak anak SD juga yang dateng." Timpal Wulan."Banyak sekali hal-hal baru yang kuketahui... kalau ingin tahu semuanya, gak bakal cukup dalam waktu sehari." Mata Isla berbinar-binar penuh oleh rasa penasaran, terus mengamati berbagai tempat dengan wajah yang mulai merona.Perjalanan mereka berlanjut menuju Taman Burung, tempat yang langsung mencuri perhatian karena arsitektur dome besar yang mencakup area luas di dalamnya. Ketika memasuki taman tersebut, mereka disambut oleh pemandangan indah dari berbagai jenis burung Indonesia yang terbang bebas di dalam dome. Para pawang yang bertugas dengan antusias menjelaskan setiap jenis burung yang ada, mulai dari Elang Jawa hingga Cenderawasih, sambil memberikan demonstrasi interaktif yang melibatkan para pengunjung."Oke, sekarang kita mau ngasih tau ke kalian lebih dekat lagi nih soal burung-burung dari Indonesia. Ada yang mau ikut turun ke panggung gak???"Mereka yang tengah duduk di antara para pengunjung lain di kursi mendapati sesi pertunjukan terakhir di Taman Burung. Tentu banyak sekali yang mengangkat tangan mereka karena ingin ikut serta dalam pertunjukkan tersebut atau sekedar ingin menyentuh burung-burung yang menawan di sana. Rain dengan jahilnya mengangkat tangan Isla ke atas sehingga pawang melirik ke arah dirinya."Itu kakak cantik yang di sana! Iya, ayo ikut turun sini!"Isla yang tidak sadar tangannya di tarik ke atas oleh Rain kaget bukan kepalang saat dirinya ditunjuk langsung oleh pawang, ia begitu gugup ketika berdiri dan berjalan turun ke bawah. Jantungnya berdetak begitu kencang, sementara teman-temannya dari atas tribun menyemangatinya dengan teriakan dan lambaian tangan. Wulan dan Cia berteriak-teriak memberikan semangat, sementara Yuna diam-diam merasa sedikit khawatir mengenai Isla."Rain! Ih, kamu jail banget deh! Bisa-bisanya gitu ke Isla!" Lily tentu saja langsung mengomel ke Rain karena aksi kejahilannya."Tenang dulu Lily, santai... ini bentuk latian buat Isla juga...""Kalo dia kenapa-napa gimana coba?!""Gak bakal kok... ga bakal... kayanya sih..."Ketika pawang mulai berinteraksi dengan para peserta, Isla yang pemalu hanya bisa menjawab dengan suara pelan, hampir tak terdengar. Pawang dengan lembut tersenyum, menenangkan Isla dengan sabar dan menjelaskan bahwa dia akan berinteraksi dengan burung elang—seekor elang jawa yang akan terbang dari ketinggian dan hinggap di lengannya."Tenang saja kak Isla, rileks. Selama kamu memahami burung, burung juga akan memahami kamu kok." kata pawang, sambil memberikan sarung tangan pelindung dan pengaman untuk lengannya. Isla menelan ludah, wajahnya pucat karena takut. Ia lantas mengangguk pelan, meski wajahnya jelas ketakutan.Kemudian, pawang meletakkan potongan daging di dekat Isla, sebagai umpan untuk burung elang. Elang yang telah terbang begitu tingginya dengan sayap terbentang lebar, mulai memperhatikan potongan daging yang terdapat di lengan Isla. Sang pawang memberi tanda dan elang tersebut langsung menukik tajam dari ketinggian, menyambar daging dengan kecepatan yang mengagumkan. Isla hanya bisa berdiri mematung saat melihat burung itu datang begitu cepat ke arahnya.Selepas berhasil mendapatkan daging, elang berjambul itu hinggap di tangan Isla seakan menganggapnya seperti dahan pohon. Kakinya yang penuh cakar tajam mencengkeram erat sarung tangan pengaman yang dipakai, Isla sama sekali tidak bergerak dan terus menerus menatap elang dengan kedua matanya terbuka lebar. Sang elang sama sekali tidak menganggap Isla sebagai ancaman, terfokus mencabik daging tersebut sembari sesekali memandanginya."Bagaimana? Elangnya cantik kan." Pawang perempuan yang berada di sampingnya perlahan mengelus elang tersebut, berusaha membuat Isla lebih tenang lagi.Setelah beberapa saat menghilangkan seluruh pemikiran-pemikiran buruk dari kepalanya, rasa takut dari diri Isla perlahan mereda. Ia kini bisa merasakan berat elang di lengannya, sembari sang pawang memberikan kesempatan pada gadis tersebut untuk mengelus elang yang tengah berdiri begitu megahnya.Dari kejauhan, teman-temannya bertepuk tangan dan bersorak-sorai untuknya. Lily yang sebelumnya sangat khawatir bahkan berteriak,"Hebat! Kamu hebat Isla!" diikuti oleh sorakan lainnya, memberikan dukungan penuh.Setelah sang elang terbang lagi ke arah pawang, Isla merasakan sedikit perasaan bangga sebab bisa mengatasi ketakutannya Pengalaman itu meski penuh mencekam pada awal, memberinya keberanian baru. Saat dia naik kembali ke atas tribun, dia disapa dengan sambutan hangat dari teman-temannya. Rain bahkan meminta maaf sambil terkekeh,"Maaf ya, Isla buat tadi. Tapi seengaknya kamu bisa ngelus elang kan, hehe.""Gapapa, Rain... meski memang agak menakutkan.""Jadi, apa kamu paham apa yang hendak kukasih tau ke kamu?"Isla yang baru saja lepas dari ketakutannya seakan kosong, sama sekali tidak mengerti apa yang hendak Rain sampaikan dari kejadian yang baru saja ia lakukan. Teman-teman yang lain pun berkata tidak paham sama sekali mengenai maksud dari Rain menjadikan Isla sebagai umpan elang."Umpan ela— aku gak sejahat itu tau! Yang ingin kukasih tau ke kamu, itu soal ngadepin rasa takut."Rain yang biasanya dikenal sebagai sosok jahil dan penuh canda, tiba-tiba berbicara dengan nada yang serius dan bijak, membuat seluruh teman-temannya terperangah. Tidak ada yang menyangka bahwa di balik sifat konyolnya, Rain bisa mengeluarkan kata-kata yang begitu dalam."Menghadapi... rasa takut?"Isla masih merasa sedikit gemetar setelah pengalaman berinteraksi dengan burung predator tadi, mendengarkan dengan seksama kata-kata Rain. Rain menjelaskan bahwa rasa takut sering kali hanya merupakan hasil dari pikiran-pikiran negatif yang terus berkembang di kepala seseorang, bukan karena ancaman nyata yang ada di depan mata."Orang cenderung lari karena mereka bayangin hal-hal yang buruk bakal terjadi ke mereka, sama seperti kamu tadi yang mikir si elang bakal nyerang kamu. Padahal, burung itu cuma mau daging yang ada di tanganmu, bukan kamunya sendiri. Sama kaya kita interaksi sama orang lain, mereka gak selalu seburuk yang kita pikirkan. Kadang, pikiran kita justru yang bikin segalanya terasa gak jelas."Bagi seorang Yuna yang begitu skeptis tentang hal-hal seperti ini, tak bisa menahan diri untuk mengangguk setuju. Cia dan Wulan saling bertukar pandang, masih terkejut bahwa perkataan Rain bisa begitu mendalam. Bahkan Lily, yang telah mengenal Rain sejak lama terkesima menyaksikan sahabatnya bisa menyampaikan hal sebagus itu. Isla sendiri merasa kata-kata itu menyentuh hatinya. Ia mulai merenungkan bagaimana rasa takut dan kecemasan yang selalu menghinggapinya mungkin saja bukan berasal dari dunia luar, tetapi dari pikirannya sendiri. Selama ini, ia takut pada interaksi dengan orang lain karena mengira mereka akan menghakiminya, tetapi mungkin ketakutan itu hanyalah proyeksi dari rasa kurang percaya dirinya sendiri."Jadi Isla, kamu gak perlu takut sama orang-orang atau hal-hal baru yang kini mulai datengin kamu. Coba hadapi aja, siapa tau mereka cuma pengin hal sepele, kaya si elang yang pengin daging doang." Ujar Rain sembari menunjukkan senyum lembut.Isla mengangguk pelan, merasa bahwa pelajaran yang dia darinya lebih dari sekadar saran belaka. Ia merasa bahwa mungkin dia bisa belajar menghadapi ketakutan-ketakutannya, meski begitu lambat nan perlahan setidaknya ia akan berusaha. Dan meskipun awalnya mengira Rain hanya ingin mengerjai dirinya, sekarang dia merasa berterima kasih."Noh liat, Rain ternyata bisa jadi filosofis juga. Sering-sering deh pakai mode gitu, biar gak ngeselin tiap hari." Cia berusaha mengembalikan suasana serius di sekitar mereka dengan mode bercandanya."Bener deh, tau gitu tadi kurekam!" Lily pun ikut membalas. Semua pun tertawa, dan dengan suasana hati yang lebih ringan, mereka melanjutkan perjalanan.Keenam gadis tersebut kini tengah duduk pada kursi stasiun, dengan sebuah kebingungan yang terasa untuk menentukan langkah selanjutnya selepas ini. Setiap saran yang diutarakan oleh sisa pemandu terdengar tidak begitu meyakinkan. Wulan yang memiliki semangat begitu tinggi mengusulkan untuk membagikan selebaran seperti yang dilakukan oleh seseorang di depan stasiun. Namun, saran itu dengan cepat ditolak oleh yang lain karena dianggap terlalu ekstrim dan tidak bisa dilakukan sembarang orang, terutama oleh Isla. Lagipula, mereka pernah disuruh melakukan pekerjaan seperti itu dulu dan hasilnya nihil.Cia yang memiliki ide kreatif out of the box menyarankan untuk pergi ke warung internet dan bermain game online."Selain kita bisa ngehibur diri main game, di game online bisa ngelatih kemampuan koordinasi dan bicara sama orang lain loh!" katanya penuh semangat.Tetapi saran itu juga ditolak, sebab yang diinginkan mereka adalah interaksi langsung dengan orang nyata bukanlah dunia maya. Setelah beberapa saat yang terasa seperti kebuntuan, suara perut dari seseorang di antara mereka membuat keenamnya saling memandang."Hah... kalau misal gak ada saran lain, kita pergi ke kafe aja yuk. Aku juga dah mulai lapar dikit." Yuna memberanikan diri sebagai penengah untuk memutuskan tempat mereka berlabuh."I-Ide bagus... aku pengin makan sesuatu juga, dari siang tadi cuma makan roti lapis doang." Kata Lily, menyembunyikan fakta bahwa itu adalah suara perutnya.Setelah sampai di kafe terdekat, mereka memilih tempat duduk yang nyaman di sudut dengan jendela besar yang memudahkan mereka melihat ke luar. Masing-masing memesan makanan dan minuman favorit mereka. Setelah menunggu sejenak, pesanan mereka pun tiba dan suasana mulai hangat dengan aroma kopi dan kue manis yang menggoda.Saat menikmati makanan, Cia dan Rain mulai mengobrol, sementara Wulan dan Lily membahas menu yang mereka pilih. Isla yang masih yang tidak biasa mendatangi tempat seperti ini, mengamati dengan seksama setiap interaksi yang terjadi di sekitar mereka."Kamu jarang ke sini ya, Isla?""Ah... ya... aku baru pertama kali datang ke kafe. Sebelumnya, tidak pernah, walau beberapa pernah di ajak oleh teman sekelas." Balas Isla, menjawab pertanyaan Yuna dengan wajah kecewa."Begitu ya. Sekarang, coba katakan padaku, apa yang bisa kamu amati dari setiap orang yang berada di kafe ini?"Beberapa dari mereka mengangkat bahu, bingung mengenai apa yang Yuna hendak lakukan. Tetapi gadis tersebut tidak peduli, kembali menjelaskan kepada Isla."Coba perhatikan gimana para pengunjung kafe bicara satu sama lain. Kenapa beberapa ada yang ketawa? Kenapa ada yang keliatan seneng? Kenapa ada yang sendirian? Apa yang lagi mereka bicarain? Gimana wajah mereka sekarang, nunjukin ekspresi apa mereka, apa seneng, sedih, atau bahagia?"Kini mereka mulai memandangi sekitar, mengamati apa yang terjadi di sekeliling. Terdapat sekelompok remaja tengah tertawa lepas saat bercerita mengenai film yang baru saja mereka tonton. Ada pria paruh baya yang tengah duduk sendirian di pojok, wajahnya tampak begitu serius saat tengah melihat layar handphonenya. Dan begitu banyak pengunjung lain yang tentu saja memiliki kisah yang diobrolkan serta ekspresi yang ditunjukkan."Apa yang lagi kalian lakukan sekarang itu salah satu bagian dari interaksi antar manusia. Kita bisa belajar banyak dari mengamati orang lain. Perhatikan bagaimana nada suara mereka, bahasa tubuh, dan reaksi mereka terhadap satu sama lain. Semakin kita memahami orang lain, semakin kita bisa beradaptasi dalam berinteraksi." Yuna menjelaskan hal tersebut menirukan gerakan manajer mereka sendiri."Pantes aku kaya gak asing sama pembicaraanmu... kak Lea pernah ngomongin soal itu di latihan kan.""Emang. Tapi sedikit dari kita yang pakai langsung di kehidupan sehari-hari kan."Setiap orang mengangguk setuju mendengar perkataan dari Yuna yang kini tengah menyeruput kopi latte hangatnya. Lantas gadis tersebut menyarankan kepada setiap orang di meja untuk melakukan simulasi langsung, sebuah topik pertama dari obrolan pun diusung oleh Yuna sendiri."Kita ngobrol soal apa yang kita sukai coba, pertama dari aku. Aku suka nyanyi tentu saja.""Yang disukai ya, aku suka gambar sih, dari dulu pengin banget bisa gambar komik." Balas Rain."Kesukaanku banyak, dari dengerin musik, nonton anime, baca komik, ngegame... ngikutin virtual singer... terus—" kesukaan yang disebutkan oleh Cia begitu banyaknya sampai setiap orang terheran-heran."Banyak amat sih yang kamu suka. Kalo aku, olahraga. Apapun yang bisa bikin aku gerak, tentu kusuka. Tapi lebih suka lagi sama duit, hehe." Wulan mengutarakan hal yang benar-benar tidak disangka oleh setiap dari mereka."Aku... yang kusukai apa ya..." Lily berpikir cukup panjang mengenai apa yang ia sukai, sebab merasa bahwa sejauh ini ia tidak memiliki memiliki suatu hobi atau kesukaan yang benar-benar didalami oleh dirinya."Buat sekarang, idol mungkin... aku suka kegiatanku jadi idol." Lanjutnya dengan senyuman ringan.Akhirnya perhatian semua orang beralih ke Isla, yang masih tampak ragu."Isla, apa yang kamu suka?" tanya Yuna pelan."Aku..."Terdiam cukup lama, Isla berpikir begitu keras mengenai apa yang harus ia katakan. Ia takut apabila mengatakan bahwa dirinya menyukai serangga bisa menghentikan obrolan, sebab kebanyakan dari mereka itu memiliki hobi yang menarik dan normal, dibandingkan dengan dirinya yang justru menyukai serangga yang telah mati."Kayanya aku salah nanya soal itu ke kamu deh."Isla terkejut mendengar perkataan Yuna dan gadis-gadis lain pun terperanga tak mengira bahwa seorang Yuna akan mengatakan hal seperti tadi. Isla menatap Yuna, merasa sedikit kecewa karena tidak bisa menjawab pertanyaan sederhana tadi, tapi sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh Yuna kembali membuka mulutnya."Dah jelas-jelas Isla tuh suka serangga, ngapain aku tanya gituan coba, bodohnya aku."Tersentak kaget, Isla tidak mengira bahwa Yuna betul-betul tahu yang ia sukai, padahal dia tak pernah memberitahu siapapun soal itu kecuali manajer produser."Setiap kali mengamati kamu, biasanya suka baca-baca buku soal serangga, bahkan sering ngamatin taxidermis yang kamu punya di atas rak itu."Raut wajah Isla perlahan berubah. Awalnya ia tampak tertegun, tapi kemudian dirinya mulai sedikit merasa lega dan sudut bibirnya mulai menaik menunjukkan senyuman begitu kecil."Iya... aku sangat menyukai serangga."Para gadis merasa lega karena situasi tidak menjadi runyam, malah justru berbalik menjadi momen yang hangat. Isla sekarang tampak sedikit lebih santai, bahkan menunjukkan senyum kecil yang nyaris tak terlihat. Melihat perubahan itu, mereka mulai menanyakan lebih banyak tentang serangga, terutama soal hobinya yang tampak unik, mengenai isi dari akuarium berisi belalang sembah di atas rak agensi yang sering mereka lihat."Itu... namanya taxidermy. Dengan mengawetkan serangga yang telah mati, aku biasa mendekorasikannya di akuarium bening... menjadi hiasan.""Taxi... dermy? Satu jenis sama taksi kah?" tanya Wulan begitu bingung."Beda banget woy. Trus serangga yang kamu suka itu apa Isla?" usai menimpal, kini Cia yang ganti bertanya.Sekarang Isla mampu berbicara dengan lancar tanpa adanya ragu atau gagap, mulai bercerita mengenai jenis-jenis serangga yang ia sukai dan mengapa mereka begitu menarik baginya."Aku suka kumbang tanduk, tapi belalang sembah juga termasuk serangga yang sangat ingin kubuat taxidermy. Menurutku, mereka begitu anggun serta misterius. Banyak keunikan yang mereka miliki seperti cakar tajam di tangannya, tetapi yang paling menarik adalah bagaimana mereka berburu dengan begitu sabar, mengamati serangga lain begitu teliti dan lalu menyergapnya dalam sekali loncatan.""A-Anggun... aku malah takut tiap kali liat mereka, cakarnya keliatan tajem banget. Apalagi kalo bayangin loncat ke muka, hii..." balas Lily dengan dirinya yang gemetar takut.Tawa ringan terdengar dari yang lain, tetapi Isla tetap tenang menjelaskan, "Sebenarnya mereka tidak berbahaya untuk manusia. Mereka memang terlihat menyeramkan karena posisi tangannya yang seperti sedang berdoa, tapi mereka tidak akan menyerang kecuali diganggu kok.""Omong-omong soal serangga, bahkan aku pun takut sama serangga loh. Terutama semut rangrang, pernah dulu waktu kecil waktu lagi naik pohon rambutan tetangga, aku dikerubuti terus kena gigit banyak banget. Sampai bentol-bentol sekujur tubuh." Bahkan seorang Wulan yang pemberani menceritakan mengenai ketakutannya soal serangga.Saat membawa topik mengenai pengalaman mereka mengenai serangga, obrolan tersebut menjadi lebih berwarna. Mereka mulai saling berbagi pengalaman mengenai serangga walau kebanyakan merupakan kisah buruk seperti dikerubungi nyamuk, menghadapi kecoa terbang, dan bahkan kelabang yang tiba-tiba muncul di rumah. Namun, yang paling penting, mereka kini lebih memahami Isla. Melalui cerita-cerita dan pengalamannya, Isla perlahan membuka diri dan menemukan bahwa teman-temannya bukan hanya menerima hobinya, tetapi juga tertarik untuk mendengarnya.Hari kian mulai menggelap, sang surya telah mulai tenggelam pada ufuk barat. Kini tiba saatnya bagi mereka untuk menyudahi pertemuan ini dan membayar pada kasir, tetapi sebelum sempat untuk mengantre Yuna memiliki pemikiran lain."Setelah belajar, tentu saja ada tes. Isla, ini jadi tes apakah kamu berhasil memahami pembelajaran yang kita kasih di hari ini atau tidak."Ia menyuruh Isla untuk maju dan membayar tagihan ke kasir sementara mereka berlima menunggu di belakang. Berada dalam antrean, Isla terlihat gemetaran dan gugup, matanya tidak bisa berhenti menatap bawah ketika dirinya perlahan mendekati kasir. Tatapannya terpaku pada kasir cewek yang terlihat santai di balik meja, sibuk dengan pekerjaannya. Isla yang tidak terbiasa menghadapi orang asing, terutama dalam situasi interaksi langsung, mulai ragu-ragu. Dia menggenggam dompetnya begitu erat, saat tiba di depan kasir mulutnya sulit untuk terbuka."Silahkan, untuk nomor meja 76 ya."Dari belakang, teman-temannya mengawasi dengan penuh perhatian. Mereka tahu betapa besar usaha yang sedang dilakukan Isla. Dengan suara lirih, mereka memberi semangat kepadanya. Bisikan-bisikan penuh semangat tidak henti-hentinya diucapkan kepada Isla. Petugas kasir yang melihat kegugupan Isla berusaha untuk tetap mendukung. Dengan senyum lembut, ia berbicara dengan suara yang pelan dan penuh pengertian, mencoba membuat Isla merasa lebih nyaman."Untuk totalnya, sekian—"Ketika kasir memberitahukan jumlah yang harus dibayar, Isla dengan panik mencoba mengeluarkan uang dari dompetnya, tetapi karena tegang uangnya malah terjatuh ke lantai, membuat setiap orang di sekitar terkejut."Ah— Ma-maaf... maaf..." dengan cepatnya ia meminta maaf, telinganya begitu merah malu. Tetapi sang kasir begitu ramahnya menanggapi kejadian tersebut."Tidak apa-apa kok kak, pelan-pelan saja." Kasir itu kemudian menunggu Isla mengumpulkan kembali uangnya, memberikan waktu bagi Isla untuk tenang.Dengan tangan yang masih sedikit gemetar, Isla akhirnya berhasil membayar dengan benar, dan sang kasir mengucapkan terima kasihnya dengan tulus sebelum menyerahkan struk."Terima kasih banyak, kak. Kami tunggu kedatangannya kembali." katanya dengan senyum lembut.Begitu mereka melangkah keluar dari kafe, suasana pun berubah. Teman-temannya langsung bersorak dengan penuh semangat, Rain segera berucap."Nah itu bisa. Lulus deh kamu Isla."Sementara Cia dan Lily ikut bersorak dan tertawa senang. Wulan memberikan tepukan pelan di punggung Isla, dan Yuna hanya tersenyum puas dari belakang."Sekarang waktunya kita pulang!"xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxSaat mereka berjalan bersama menuju stasiun, Isla merasakan dadanya dipenuhi oleh perasaan begitu hangat. Baginya, ini adalah pertama kalinya merasa benar-benar diterima dan diperhatikan oleh orang lain, terutama mengenai apa yang ia sukai. Setiap langkah terasa ringan dan hatinya dipenuhi dengan rasa syukur karena memiliki orang-orang yang mau membantu dirinya ini."Oh? Keretamu dah sampai tuh Isla."Kereta begitu cepatnya tiba pada peron tempat mereka menunggu, panggilan bagi penumpang agar segera menaiki kereta terdengar menggema ke penjuru stasiun. Sebelum Isla menaiki gerbong, ia memberanikan diri untuk mengucapkan terimakasih kepada setiap orang."Terima kasih banyak, semuanya, untuk hari ini... untuk semuanya." Katanya begitu tulus, meski suaranya masih tetap datar tapi kini dapat terdengar jelas di antara hiruk pikuknya stasiun."Ish, Isla tuh, ga perlu makasih ah. Kita kan temen, dibawa santai aja." Wulan tersenyum lebar sembari menepuk pundak Isla."Bener kata Wulan, ga perlu makasih gitu deh. Kapan-kapan kita main bareng lagi ya!" Lily menambahkan dengan senyuman sempurna miliknya itu."Yoi, kita kan temen. Wajar kok buat bantu sama curhat satu sama lain." Kata Rain, tidak mau kalah."Lain kali kamu bakal ku ajak ke warnet atau ke game center sekalian Isla, biar bisa ngelatih kemampuan ngomongmu." Balas Cia penuh semangat, tak sabar menunggu saat itu tiba.Sementara Yuna tidak berucap apapun tetapi hanya mengangguk pelan, seakan puas dengan perkembangan Isla di hari ini. Lantas dirinya menaiki gerbong, pengumuman mengenai keberangkatan kereta mulai terdengar. Saat pintu kereta perlahan menutup, Isla menyaksikan lambaian tangan teman-temannya dengan hati yang hangat. Dalam momen itu, ia terdiam sejenak, merenungkan perasaan yang begitu baru baginya. Sebuah ucapan terus terngiang, 'karena kita adalah teman'. Kata-kata sesederhana itu bisa membuatnya merasa sebahagia ini, memikirkan mengenai apakah ini yang dinamakan teman itu.Sepanjang hidupnya, Isla selalu merasa terasing dan kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain. Tapi hari ini, dengan bantuan Wulan, Cia, Rain, Yuna, dan Lily, dia diterima sepenuhnya, tanpa merasa ketakutan atau bahkan melarikan diri. Mereka peduli padanya, mendukungnya, dan memperlakukannya bukan hanya sebagai anggota grup idol, tapi sebagai seseorang yang penting dalam hidup mereka.Isla berdiri diam, mengamati mereka yang terus tersenyum dan melambaikan tangan sampai pintu benar-benar tertutup. Saat kereta mulai bergerak, tanpa bisa ia sadari bibirnya kian mengembang ketika memahami bahwa dirinya kini benar-benar memiliki teman. Sebuah rasa syukur yang mendalam memenuhi dadanya. Hari ini bukan hanya soal latihan saja, tapi juga hari di mana Isla belajar arti pertemanan yang sejati—sebuah dukungan tanpa syarat, kepercayaan satu sama lain, dan saling menerima."Jadi ini... rasanya memiliki teman." Dengan senyum kecil menghiasi wajah, ia berbisik pada dirinya sendiri.