Dewi menarik napas panjang, menegakkan punggung sembari menatap sosoknya yang tengah berdiri di depan cermin besar. Sinar matahari sore yang masuk dari jendela studio tari membuat cermin itu berkilauan, tetapi Dewi hanya bisa fokus pada gerakan tarinya yang terus-menerus salah. Grup Spica tengah melakukan latihan rutin untuk mengasah koreografi terbaru mereka, dan kali ini gerakannya jauh lebih bervariatif dan cepat. Meski begitu, Dewi berusaha sekuat tenaga untuk mengejar teman-temannya."Ayo sekali lagi! Dewi! Kamu sekarang ada di barisan kedua, lebih perhatikan gerakan teman di samping!""Yang lain juga sama, Istar! Jangan letoy gitu deh!"Langkah demi langkah ia ulangi, keringat mulai menetes deras melalui dahinya. Di sebelah ia melihat rekan-rekannya, seperti Cia dan Wulan yang sudah mulai luwes mengikuti irama musik, sementara Celi dan Rain tampak seperti menari dengan mudah. Sedangkan Dewi merasa kakinya terlalu berat untuk mengikuti tempo, terseok-seok. Namun, ia menolak menyerah. Setiap kali merasa putus asa, Dewi selalu mengingat teman-teman yang ada disekitarnya, tidak ingin mengecewakan mereka."Kak Dewi gapapa?" tanya Isla sambil menghampirinya saat mereka mengambil jeda istirahat.Dewi tersenyum lelah, lalu mengusap keringat di dahinya dengan handuk kecil."Gapapa, cuma kehabisan napas doang. Gerakannya makin rumit aja, ya?""Iya, aku juga kesusahan di barisan paling belakang. Tapi kak Dewi hebat, sudah berada di barisan kedua sekarang." Ujar Isla sembari menyemangati.Mereka semua duduk bersandar di pojok studio, beberapa tampak menghampiri Dewi yang duduk di lantai. Rain, Yuna, Cia, Wulan, Isla, dan Lily, yang semuanya masih bersekolah, tampak santai berbincang tentang kehidupan mereka di sekolah kepada Dewi. Percakapan mereka selalu penuh tawa dan kehangatan, terutama saat membicarakan guru yang konyol, tugas sekolah yang menumpuk, atau drama di antara teman sekelas mereka."Kak Dewi... dengerin deh, lagi-lagi aku dimarahin guru gara-gara ketiduran di kelas. Padahal dia ngomongnya bosenin banget sampe bikin aku ngantuk." Rain memulai terlebih dahulu mengenai ceritanya hari ini."Ketiduran ya. Dulu waktu SMA temen sekelasku juga ada yang suka ketiduran sama kaya kamu. Dia disuruh tiarap di tiang bendera sampai pulang loh." Dewi terkekeh mendengar cerita Rain."Kok bisa samaan... bedanya aku cuma disuruh bersihin ngepel kelas doang." Sahut Cia."Kak Dewi tuh tiap kali ngomong lemah lembut banget ya. Mana selalu dengerin sama nanggepin cerita kita lagi, kaya kakak perempuan." Lily menambahkan dengan mata berbinar."Iya! Kaka Dewi!" balas Wulan semangat.Dewi tersenyum hangat mendengar pujian itu. Meskipun mereka baru bersama belum genap setahun, ia merasa senang bisa menjadi tempat mereka berbagi dan mencari dukungan. Tetapi, ia tidak bisa menahan diri untuk bercanda."Duh, jangan panggil kakak gitu dong, aku jadi ngerasa tua. Aku tuh cewe-cewe muda sama kaya kalian." keluhnya dengan nada bercanda.Wulan dan yang lain tertawa mendengar candaan Dewi, tapi kemudian Celi, salah satu anggota tertua selain Dewi, menimpali dengan senyum jahil."Kamu tuh setahun lebih muda dari aku loh? Artinya kamu dah nggak terlalu muda lagi, Kak Dewi."Mendengar itu, Dewi pura-pura meringis, seolah merasa 'terluka' oleh kenyataan yang diucapkan Celi."Makasih banget ya Celi... dah ngingetin lagi." jawab Dewi dengan suara dramatis, membuat yang lain tertawa terbahak-bahak.Meski bercanda, kata-kata Celi sedikit menyentil perasaan Dewi. Di tengah-tengah para anggota yang masih remaja, terkadang ia merasa sedikit canggung dengan usianya. Tetapi ia tahu betul bahwa kebersamaan mereka adalah salah satu alasan yang membuatnya tetap semangat. Bukan hanya dukungan dari para anggota yang lebih muda, tapi juga semangat mereka yang menular selalu memberinya kekuatan untuk terus berusaha.Setelah tawa mereda, Dewi menatap mereka semua dengan penuh kasih sayang."Ah iya, walau aku lebih tua setahun dua tahun dari kalian, aku juga masih butuh belajar banyak. Jadi, tolong ajarin kakak ini kalo misal gak bisa ya..." pintanya.Rain, Yuna, Cia, Wulan, Isla, dan Lily serempak tersenyum dan mengangguk. Meski Dewi mungkin merasa berbeda karena usianya, bagi gadis-gadis SMA tersebut, Dewi tetaplah kakak yang selalu memberikan kehangatan serta kenyamanan bagi mereka. Mereka berjanji untuk terus mendukung satu sama lain—di atas panggung maupun dalam kehidupan sehari-hari.Setelah kegiatan hari ini selesai, satu per satu anggota Spica mulai pulang. Ruangan agensi yang tadinya riuh dengan tawa dan canda perlahan mulai sepi, menyisakan setiap staff yang masih sibuk melakukan tugasnya. Dewi berkemas dengan perlahan, merapikan barang-barangnya ke dalam tas sambil tersenyum melihat anggota yang lebih muda berlarian ke arah pintu sambil melambaikan tangan padanya."Sampai besok, kak Dewi!" teriak Lily dengan semangat, diikuti oleh yang lainnya."Hati-hati di jalan ya, kalian semua!" Dewi melambai sambil tersenyum lebar.Seusai membereskan tas, kini ia memberikan salam kepada para staff yang masih menetap."Kalau begitu, saya duluan, Produser, Manajer, kak Sekretaris.""Hati-hati ya pulangnya Dewi!"Setelah memberikan lambaian tangan Dewi akhirnya keluar dari studio, melangkah perlahan menyusuri trotoar menuju stasiun terdekat. Udara malam yang sejuk menenangkan tubuhnya yang lelah. Lampu-lampu jalan mulai menyala, kota terasa sibuk seperti biasanya dengan suara kendaraan, dan hiruk-pikuk orang yang pulang kerja. Meski tubuhnya lelah, hati Dewi terasa hangat. Ia menyukai momen-momen tenang seperti ini, saat ia bisa merenung setelah latihan yang melelahkan.Saat berjalan, pandangannya tertarik pada seorang nenek yang berdiri di tepi jalan, tampak ragu-ragu untuk menyeberang. Jalanan cukup ramai dengan kendaraan yang melaju cepat, dan nenek itu tampak bingung harus menunggu kapan. Ia tanpa ragu, menghampiri nenek tersebut."Nek, mau saya bantu nyebrang?" tanyanya begitu lembut."Boleh kah? Maaf ya ngerepotin." Nenek itu menatap Dewi dengan senyum lemah dan mengangguk.Dewi menggandeng tangan nenek itu dengan hati-hati, melewati penyeberangan ia memberikan tanda kepada setiap pengendara yang lewat untuk memberikan jalan kepada mereka berdua. Setelah berhasil sampai di seberang, nenek itu tersenyum lagi dan mengucapkan terima kasih dengan tulus. Ia hanya mengangguk sopan, merasa lega bisa membantu.Beberapa belokan kemudian, Dewi melihat seorang anak sekolah yang panik karena barang-barangnya terjatuh dari tas. Tanpa berpikir panjang, ia berjongkok dan membantu anak itu mengumpulkan buku-bukunya."Makasih banyak kak!" ucap anak sekolah itu, tersenyum malu-malu.Dewi terdiam sejenak saat mendengar panggilan "Kak", padahal ia merasa baik-baik saja ketika teman-teman di Spica memanggilnya begitu. Tetapi entah kenapa apabila yang memanggilnya itu masih mengenakan seragam SMA sedikit membuatnya merasa sakit. Ia hanya tersenyum kecil dan mengangguk sebelum anak-anak itu kembali melanjutkan perjalanannya, Dewi terdiam dengan beban di hati yang membuatnya tiba-tiba merenung.Ia menatap pada etalase kaca toko yang terdapat di sampingnya, pada kaca tersebut ia bisa melihat pantulan dirinya. Rambutnya yang tergerai, tubuhnya yang telah meninggi, dan wajah yang meski masih muda, mulai menunjukkan tanda-tanda kedewasaan.Ia menatap dirinya sendiri dengan bayangan akan masa lalu mulai menyeruak. Terlintas di pikirannya sosok Dewi saat masih SMA. Dulu, ia adalah gadis remaja yang bersemangat dengan impian menjadi seseorang yang sukses. Ia ingat saat dirinya belajar begitu keras pada kamarnya sendiri, berimajinasi tentang hari-hari di mana ia akan bekerja di perusahaan besar dan membanggakan orang tuanya. Rasanya seperti kemarin ia masih mengenakan seragam sekolah, tertawa bersama teman-temannya di kantin sekolah, atau pulang sekolah sambil mendengarkan musik di headphone-nya.Sekarang, di usia 24 tahun, ia tak lagi melihat sosok gadis SMA itu. Dirinya sudah tumbuh menjadi dewasa, dan entah bagaimana, merasakan bahwa masa mudanya berlalu begitu cepat."24 tahun... ya." gumamnya pelan pada bayangan di kaca.Pikirannya mengembara, memikirkan betapa waktu tak pernah berhenti, terus melaju seiring dengan perjalanan hidupnya. Meskipun usianya masih muda, Dewi tak bisa menahan perasaan bahwa masa-masa paling polos dan penuh kebebasan sudah lama berlalu. Di balik semua senyum dan tawa saat ini, ada tanggung jawab dan harapan yang lebih besar yang harus dihadapinya.Sesampainya di dalam kereta listrik ia duduk bersandar memandang ke luar, menyaksikan deretan gedung-gedung yang berlalu cepat. Suara kereta yang berderak di atas rel, sesekali diiringi suara pengumuman, terasa seperti latar belakang yang jauh. Walau sebentar lagi dirinya akan sampai di kasur nan empuk, pikirannya tak bisa berhenti merenung tentang waktu yang seakan terbang begitu cepat. Semakin lama ia merasa seperti tengah berdiri di batas antara masa muda dan kedewasaan—sebuah transisi yang tak pernah ia sadari sebelumnya.Ia masih ingat betul bagaimana ketika dulu, hidupnya dipenuhi dengan kegembiraan kecil dan impian besar. Namun, seiring waktu berlalu, impian itu mulai terasa semakin nyata, namun juga semakin jauh dari apa yang orang-orang di sekitarnya harapkan darinya. Menjadi seorang idol memang tak pernah direncanakan dari awal—ia seharusnya bekerja di sebuah perusahaan, sesuai dengan latar belakang pendidikannya di bidang ekonomi."Pemberhentian berikutnya, Universitas Indonesia. Pemberhentian selanjutnya—"Suara pengumuman stasiun berikutnya membuyarkan Dewi dari lamunan. Kereta mulai melambat, menandakan bahwa pemberhentian berikutnya adalah stasiun tempat Dewi harus turun. Ia menarik napas panjang, mempersiapkan diri untuk melanjutkan perjalanan pulang ke kontrakannya.Setelah turun dari kereta, angin malam menyentuh wajahnya. Udara dingin kota yang mulai sunyi menambah kesan sepi yang ia rasakan di hatinya. Baru beberapa langkah berjalan keluar stasiun, telepon di sakunya bergetar. Di layar, terpampang nama "Ibu". Ia tertegun sejenak, sebelum menjawab panggilan itu dengan senyuman di wajah."Halo, bu?" sapanya lembut."Dewi? Lagi apa sekarang kamu nak. Dah pulang?" suara ibunya terdengar hangat, seperti biasa, membuat Dewi merasa sedikit tenang."Iya bu, sekarang lagi pulang ke kontrakan."Mereka berdua mulai berbicara tentang berbagai hal. Ibunya menanyakan kabar, ia cukup makan, bagaimana kesehariannya di kota besar, dan apa saja yang Dewi lakukan hari ini. Percakapan mereka terasa ringan, penuh kasih sayang, seperti obrolan ibu dan anak pada umumnya. Namun, begitu Dewi hampir sampai di depan pintu kontrakannya, suasana percakapan mulai berubah ketika ibunya tiba-tiba bertanya,"Dewi, kapan kamu pulang ke rumah, Nak? Ibu kangen. Terus, kamu sudah dapat pekerjaan belum di sana? Soalnya kan sudah cukup lama kamu di ibukota, apa sudah dapet kerja?"Pertanyaan itu menghentikan langkah Dewi di depan pintu kontrakan. Tangannya sudah terangkat untuk membuka pintu, tetapi pertanyaan ibunya membuatnya terdiam sejenak. Pikirannya melayang, mencari jawaban yang tepat. Ibu dan ayahnya selalu berharap Dewi akan mendapatkan pekerjaan di perusahaan besar, sesuai dengan gelar sarjana ekonomi yang ia dapatkan. Harapan orang tuanya begitu tinggi, terutama karena mereka telah banyak berkorban untuk pendidikan Dewi.Walau pada kenyataannya, Dewi belum pernah menceritakan tentang kehidupannya sebagai idol di Spica. Bagaimana mungkin ia bisa menjelaskan hal itu pada mereka? Di mata keluarga dan kerabat, menjadi seorang idol mungkin tidak dianggap sebagai pekerjaan yang "serius". Bagaimana mereka akan bereaksi jika tahu bahwa putri mereka, yang telah lulus dari fakultas ekonomi, lebih memilih menari dan menyanyi di atas panggung ketimbang menjadi karyawan di perusahaan besar?Dewi terdiam sejenak, lalu menghela napas. "Belum, Bu... Dewi masih cari-cari yang cocok." jawabnya pelan, meskipun hatinya merasa sedikit bersalah."Ya ampun, Dewi, jangan terlalu lama ya. Nanti apa kata orang-orang kalau kamu di sana lama tapi belum dapat pekerjaan yang bagus. Kamu kan lulusan ekonomi, pasti bisa dapat pekerjaan yang baik di ibu kota. Ibu dan Ayah cuma mau kamu sukses." kata ibunya dengan nada lembut tapi penuh harapan.Dewi menelan ludah. Ada perasaan sesak di dadanya. Ia ingin menjawab bahwa ia sudah memiliki pekerjaan—sebagai idol di grup Spica. Ia ingin menjelaskan bahwa ini adalah sesuatu yang membuatnya bahagia, meskipun jalannya sulit. Tapi ketakutan akan reaksi orang tuanya membuat lidahnya terasa kelu. Dewi tahu betapa besarnya pengharapan keluarga, terutama dari ibunya yang selalu berbicara dengan kerabat tentang keberhasilan anaknya."Iya, bu, Dewi ngerti. Ta-tapi Dewi lagi coba nyambi kerja sambilan kok." Jawab Dewi berasalan sembari berusaha menjaga agar suaranya tetap tenang."Kerja sambilan? Hah... kalo misal belum dapet kerjaan tetap terus, kenapa gak coba pulang dulu, nak? Ibu dan Ayah nggak mau kamu terlalu lama di sana. Lagipula, umur kamu sudah cukup untuk... ya, menikah. Ibu bisa bantu carikan calon kalau kamu belum punya. Sudah ada yang dekat belum, Nak?"Mendengar perkataan yang terlontar dari ibunya, ia hanya dapat terdiam menenggak ludah. Pikiran tentang pekerjaan yang belum bisa ia ceritakan ke orang tuanya sudah cukup berat kini ditambah dengan pertanyaan mengenai pernikahan. Di usia 24 tahun, Dewi tahu bahwa di mata ibunya, ia sudah seharusnya memikirkan tentang pernikahan, membentuk keluarga, seperti harapan kebanyakan orang tua pada anak perempuan mereka. Walau menurut Dewi pernikahan adalah hal yang jauh dari pikirannya saat ini, ia masih ingin mengejar hal lain terlebih dahulu dibandingkan menikah.Sebelum ibunya bisa berbicara lebih jauh, Dewi segera memotong dengan nada tegas, "Bu, soal itu... Dewi akan pikirkan nanti. Dewi masih fokus sama kerja sambilan dan cari pekerjaan tetap di sini. Jadi, tolong jangan khawatir soal calon atau menikah.""Ya sudah, Nak, kalau memang itu yang kamu mau. Tapi ingat, ibu cuma ingin yang terbaik buat kamu. Jangan terlalu lama di sana kalau nggak ada hasil, ya. Kalau memang susah, pulang saja." ucap ibunya dengan suara yang lembut namun jelas masih penuh dengan kekhawatiran."Iya, Bu. Dewi ngerti. Nanti Dewi kabari lagi. Sekarang Dewi mau istirahat dulu, ya."Setelah pamitan, ia menutup telepon tersebut sembari masuk ke dalam. Ruangan kontrakannya yang kecil terasa begitu sunyi. Suara lalu lintas kota yang samar terdengar dari luar, tapi di dalam hanya ada keheningan yang membuat pikirannya semakin penuh. Ia berjalan ke dinding dan menyandarkan tubuhnya di sana, perlahan membaringkan punggungnya ke tembok yang dingin. Kepalanya terasa berat, dan hatinya terasa semakin sesak.Matanya mulai berair, walau seberapa kuat ia mencoba menahan. Kata-kata tak mampu keluar hanya menyisakan bibir yang bergetar dan gadis tersebut berusaha keras menggigit bibirnya sendiri untuk tidak membiarkan air mata jatuh. Tetapi perasaan itu jauh lebih keras—berisikan antara tekanan dari harapan orang tuanya, ketidakmampuan untuk mengungkapkan kebenaran, dan kekhawatiran tentang masa depannya sendiri."Kenapa semuanya kerasa begitu rumit?" gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.Perlahan, Dewi menurunkan dirinya menyentuh dinginnya lantai, perlahan merasakan tubuhnya lemas di bawah tekanan perasaan yang menumpuk. Dalam hatinya, meskipun ia merasa sangat lelah, ada keyakinan yang samar bahwa ia harus terus berjalan. Ia tidak bisa menyerah sekarang, tidak setelah semua usaha yang telah ia lakukan. Ia tahu, suatu saat nanti, ia harus menghadapi kenyataan ini—memberitahu orang tuanya tentang pilihannya, tentang kehidupannya sebagai idol, dan tentang jalannya yang berbeda dari yang mereka harapkan. Meskipun akan sulit, Dewi berharap bahwa pada akhirnya, mereka akan mengerti dan menerima pilihannya.xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxSore itu di agensi, Dewi duduk pada sofa sembari menikmati secangkir teh hangat. Aroma teh yang menenangkan seharusnya membuatnya merasa rileks setelah malam yang penuh beban pikiran. Di sekelilingnya, anggota Spica yang lain sedang bersiap-siap. Jadwal mereka hari ini cukup padat dan sebentar lagi mereka harus berangkat untuk menghadiri acara rutin yang telah disusun oleh agensi.Walau setiap orang tampak sibuk dengan persiapannya masing-masing, Dewi malah masih berdiam diri, termenung menatap kosong ke arah jendela. Pikirannya kembali melayang ke percakapan telepon dengan ibunya semalam. Pertanyaan tentang pekerjaan, harapan agar ia pulang dan menikah, semua itu terus berputar di kepalanya, seakan-akan tak memberi ruang bagi hal lain.Di antara lamunan itu, sebuah ingatan kembali muncul—tentang tawaran pekerjaan yang pernah diberikan padanya beberapa bulan lalu. Seseorang dari majalah terkenal, yang mengetahui dirinya adalah anggota Spica memberikan tawaran menarik sebagai model foto. Pada saat itu Dewi ragu-ragu, tapi kini, tawaran itu kembali menghantuinya. Apa yang akan terjadi jika ia menerima tawaran tersebut? Apakah itu bisa menjadi solusi untuk mengurangi beban pikiran keluarganya?Tapi di sisi lain, Dewi sadar betul bahwa menerima tawaran pekerjaan itu berarti meninggalkan atau setidaknya mengurangi waktunya sebagai idol di Spica. Bagaimana dengan teman-temannya di grup? Mereka sudah melalui banyak hal bersama. Ia tidak ingin mengecewakan mereka, apalagi setelah semua usaha yang mereka lakukan sebagai tim untuk bisa sukses. Dan lagi, apakah mungkin bagi Dewi untuk menjalani dua pekerjaan sekaligus? Menjadi idol sudah memakan sebagian besar waktunya—dari latihan, pertunjukan, hingga promosi. Ia tidak yakin apakah mampu membagi fokus dan energinya untuk dua hal yang sama-sama menuntut komitmen penuh."Hah..."Ia memandangi cangkir teh di tangannya. Keputusan apa pun yang ia buat akan membawa konsekuensi besar. Tidak hanya bagi dirinya, tapi juga bagi orang-orang di sekelilingnya. Rasa ragu semakin menyelimuti pikiran, untuk sesaat ia merasa seolah terjebak di antara dua dunia—perasaan asli yang ia miliki dan tanggung jawabnya sebagai orang dewasa."Kak Dewi, kok masih duduk aja. Istar, Celi, sama Valentin dah siap-siap loh. Kakak hari ini ada kerjaan kan sama mereka?" suara ceria dari Lily menyadarkan Dewi dari lamunan.Dewi tersentak. Ia segera menurunkan cangkir teh dari bibirnya dan menatap sekeliling. Semua anggota Spica sudah siap, hanya tinggal dirinya yang masih duduk terdiam."Ah iya, lupa, maaf ya... maaf." kata Dewi, tersenyum lemah.Mereka pun kini menaiki mobil agensi dengan Dewi duduk di kursi paling belakang, sesekali ia melirik pemandangan di luar jendela sambil berpikir tentang apa yang akan terjadi hari ini. Di sebelahnya Celi tengah tertidur seperti biasa, sedangkan Istar dan Valentin sibuk mengobrol dengan produser mereka yang tengah menjelaskan detail pekerjaan yang akan mereka lakukan. Hari ini, mereka akan syuting iklan untuk produk makanan yang akan ditayangkan di internet. Iklan itu membutuhkan penampilan dari para anggota Spica yang lebih dewasa, sehingga hanya Dewi, Istar, Celi, dan Valentin yang dipilih.Mobil berhenti di depan sebuah studio besar. Begitu mereka masuk ke dalam, para staf sudah siap dan langsung menjelaskan konsep iklan. Dewi mendengarkan dengan cermat, meski pikirannya masih bercabang. Ia berusaha mengingat semua detail naskah dan bagaimana ia harus bertindak di depan kamera. Namun, bayangan tentang percakapan dengan ibunya semalam masih mengganggu pikirannya, begitu juga keraguannya mengenai tawaran pekerjaan yang sempat ia dapatkan."Baik, kamera ready! Action!"Saat pengambilan gambar dimulai, Dewi berdiri di antara aktor dan aktris lain yang sudah profesional di bidang mereka. Meski ia sudah terbiasa dengan sorotan kamera sebagai idol, dunia akting adalah hal yang berbeda. Setiap kali kamera mulai merekam, Dewi merasa gugup, dan tanpa sadar pikirannya mulai buyar. Beberapa kali ia melupakan kalimat yang harus diucapkan, membuat sutradara harus menghentikan pengambilan gambar."Kamu gimana sih, masa lupa naskahnya terus. Ingat-ingat lagi sana!""Maaf... saya minta maaf..." ucap Dewi berulang kali, merasa semakin tertekan dengan kesalahan yang ia buat. Ia tahu bahwa para kru dan aktor lain juga merasa lelah dengannya dan ia tidak ingin membuat mereka kecewa.Setelah beberapa kali salah, sutradara memutuskan untuk mengistirahatkan gadis tersebut, memberikan ruang bagi dirinya sendiri untuk menghapal ulang naskah. Ia duduk di sudut ruangan dengan cemas, sambil memegang naskahnya erat-erat. Tetapi justru ia menatap kosong ke arah lantai, semakin tenggelam dalam rasa kecewa pada dirinya sendiri.Istar yang melihat Dewi tampak terganggu, mendekati dan duduk di kursi di sebelahnya."Lu napa dah, Dewi? Kayaknya dari tadi nggak fokus. Gugup kah gara-gara manggung bareng artis?" tanya Istar penasaran.Dewi menoleh perlahan, tersenyum lemah sebelum menjawab. "Sedikit sih. Aku nggak nyangka bisa syuting bareng orang jago kaya mereka. Mereka semua udah profesional, sementara aku gak ada pengalaman samsek..."Istar tertawa kecil dan menepuk bahu Dewi."Mikirin amat sih. Mau artis kek atau siapa kek, sama aja tau, sama-sama orang kayak kita. Santai aja. Lagipula, ini cuma iklan di Utube, gak serius-serius amat." ucapnya dengan senyum yang menenangkan.Dewi mencoba menarik napas panjang dan tersenyum kembali, merasa sedikit lebih lega mendengar kata-kata Istar. Lantas kini terdapat sesuatu yang mengganjal di pikirannya, sebuah pertanyaan yang ia ingin tanyakan kepada Istar yang kebetulan tidak hanya seorang idol, tapi juga seorang aktris."Istar, aku... mau nanya. Gimana rasanya sih punya dua kerjaan? Kamu, jadi idol sama artis barengan kan? Apa... gak kesusahan nyeimbangin keduanya?""Hmmm... kalo boleh jujur sih susah bat. Makdarit, gue sempet mutusin buat hiatus dari sinetron biar bisa fokus ke idol dulu. Kegiatan di Spica makin berat kan, sama gue tuh gak pinter bagi waktu. In the end, ya... berenti dulu jadi artis, biar gak kecapean."Jawaban itu membuat Dewi terdiam sejenak. Ia berpikir, kalau Istar saja, yang sudah berpengalaman, merasa kesulitan menyeimbangkan dua pekerjaan, bagaimana dengan dirinya? Tawaran pekerjaan itu semakin membingungkan Dewi, membuatnya semakin ragu. Ia sudah merasa kesulitan hanya dengan tugas-tugasnya sebagai idol. Bagaimana jika ia menambah beban dengan pekerjaan baru?Namun sebelum Dewi bisa melanjutkan pertanyaannya, seorang kru memanggil Istar untuk kembali ke set. Istar bangkit dari kursinya, memberikan satu lagi tepukan di bahu Dewi sebelum beranjak pergi."Jangan kebanyakan mikir gitu, Dewi. Santai, dibawa pd aja," katanya sebelum berjalan menjauh.Ia membalas kata-kata dari Istar dengan sebuah anggukan pelan, lalu kembali duduk sendirian. Kata-kata Istar terus terngiang di kepalanya. Sejenak ia menatap ke lantai, merasakan beratnya tekanan yang semakin hari semakin menghimpitnya. Tapi di sisi lain, ia juga tahu bahwa ada hal-hal yang tak bisa ia hindari selamanya.Rian yang baru saja selesai berbincang dengan setiap staff kini menyadari bahwa kehadiran Dewi tidak bisa ditemukan di depan kamera. Matanya menyapu sekeliling studio hingga akhirnya menemukan Dewi yang duduk termenung di sudut ruangan. Dengan langkah tenang, Rian mendekat."Ada apa, Dewi. Apa kamu sedang kepikiran sesuatu?" sapa Rian dengan begitu lembut.Dewi tersentak, kaget karena kedatangan Rian. Ia cepat-cepat memasang senyum tipis, meskipun senyum itu tidak mampu menyembunyikan kecemasan di matanya."Nggak, nggak ada apa-apa kok, Produser. Cuma... kurang tidur aja. Jadi agak nggak fokus hari ini."Rian mengangguk sambil menatap Dewi dengan tatapan penuh pengertian. Ia tahu bahwa Dewi tidak sepenuhnya jujur, tapi ia tidak ingin memaksanya untuk berbicara."Kalau kamu nggak enak badan atau kecapean, jangan paksain diri. Toh, kita cuma figuran di iklan ini, nggak perlu terlalu menonjol atau akting bagus hari ini. Lebih baik kamu ambil istirahat kalau memang butuh."Dewi tersenyum lagi, kali ini sedikit lebih tulus, merasa sedikit lega bahwa Rian tidak menekan dirinya. Tapi dalam hatinya, perasaan tidak tenang itu belum hilang. Sambil mengingat obrolannya dengan Istar tadi, ia semakin bertanya-tanya, mengapa sebenarnya ia memilih menjadi seorang idol. Apakah ini benar-benar yang ia inginkan? Atau hanya sekadar pelarian dari harapan keluarganya dan tekanan tentang masa depan yang tak jelas baginya?Tiba-tiba, rasa penasaran merasuki dalam pikiran. Dewi melirik Rian yang masih berdiri di sampingnya, menatapi pengambilan video dengan serius. Tanpa berpikir panjang, ia akhirnya bertanya,"Produser, apa aku boleh nanya sesuatu?""Hm, boleh kok. Tanyain aja." Ujar Rian sembari menoleh kembali ke arah Dewi."Kenapa... Produser memilih jadi produser? Bukankah kerjaan produser itu berat dan sibuk banget?"Rian terdiam sejenak, tampak memikirkan pertanyaan itu dengan serius. Dewi merasa sedikit canggung, khawatir kalau pertanyaannya menyinggung."Maaf, produser, kalau pertanyaannya kurang sopan... aku cuma penasaran aja," tambah Dewi cepat-cepat, merasa bersalah.Rian tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. "Nggak apa-apa, Dewi. Pertanyaanmu nggak salah kok.""Sejujurnya, aku nggak pernah nyangka bakal jadi produser idol seperti sekarang. Awalnya, aku nggak punya rencana buat ke sini. Dan ditunjuk karena kebetulan ada kesempatan, sampai ya... di sinilah aku sekarang." Jawabnya sembari menggaruk kepala, malu-malu.Tentu saja Rian tidak bisa mengucapkan kejadian sebenarnya, di mana itu adalah mandat langsung dari Apollo Production. Tetapi dirinya berharap bahwa dengan alasan tadi sudah cukup untuk bisa menjawab pertanyaan dari Dewi."Jadi, produser nggak pernah kepikiran kalau bisa dapet kerjaan ini?""Tentu. Awalnya aku kerja di perusahaan yang berfokus di bidang hiburan, padahal diriku bukan berimpian buat berada di sana. Tapi ya, beruntung takdir berkata lain. Dan meski bekerja jadi produser itu hal yang baru bagiku, dengan jadi produser itu berarti kamu harus memastikan semuanya berjalan lancar. Bukan cuma ngurus jadwal, tapi juga harus memikirkan tiap anggota, perkembangan grup, sampai popularitas mereka di mata publik. Semuanya sibuk sama berat banget."Dewi terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Rian. Pekerjaan produser terdengar lebih kompleks dan penuh tekanan daripada yang pernah ia bayangkan. Menyaksikan sepertinya Dewi merasa bersalah dan terbebani akan ucapannya, Rian berusaha untuk tetap tenang dan tidak menunjukkan beban yang mungkin dirasakannya."Aku, nggak tau kalo seberat itu. Tapi... meski berat, kenapa produser tetap di sini... bukankah lebih enak kalau cari pekerjaan lain?" tanya Dewi dengan nada lembut, pertanyaannya murni sebab ingin tahu tanpa ada maksud apapun."Semuanya, karena aku menyukai kerjaan ini, Dewi. Meski berat, ada sesuatu yang bikin aku terus bertahan di sini. Melihat kalian tumbuh, berkembang, mencapai impian kalian... itu memberi kepuasan tersendiri. Mau seberat apapun kerjaan ini, selama aku menyukainya, maka itu dah cukup." Balas Rian dengan sebuah senyum merona terpancar dari pipi.Setelah mendengar kata-kata bijak dari Rian, Dewi sempat tertegun. Kata-kata itu sedikit memberikannya gambaran, walau sebelum ia sempat membalas, namanya dipanggil kembali untuk melanjutkan pengambilan gambar."Semangat Dewi, kamu pasti bisa kok." Ujar Rian memberikan semangat kepadanya.Dewi tersenyum kecil dan berjalan kembali ke set, bersama dengan rasa gelisah yang masih belum sepenuhnya hilang. Ia menyelesaikan take-nya dengan lebih baik dari sebelumnya, berkat bantuan dari Istar serta kata-kata penyemangat produser. Setelah syuting selesai, mereka semua bersiap untuk kembali ke jadwal latihan menyanyi di tempat lain.Sesampainya pada ruang latihan, suara instrumen mulai mengalun, dan anggota Spica mulai berlatih menyelaraskan suara mereka. Dewi berdiri di antara gadis-gadis lain, berusaha menyanyi mengikuti ritme. Selama latihan, ia tidak bisa menghilangkan khawatir dari dalam benaknya yang terus menguasai. Setiap kali ia menarik napas dan mengeluarkan suara, ada suara lain di dalam kepalanya yang terus bertanya."Kamu ngelakuin ini semua, buat apa?"Hidupnya terasa seperti rangkaian aktivitas yang tak pernah berakhir. Latihan menyanyi, latihan menari, syuting, kerja sampingan, dan promosi. Segalanya terus berulang dengan ritme yang sama. Tidak ada titik akhir yang jelas. Dewi mulai merasa seolah hidupnya berjalan di jalur yang sama tanpa variasi dan perasaan monoton itu mulai menyusup ke dalam hatinya.Pada sela-sela istirahat, pikiran Dewi terbang kembali pada orang tuanya. Telepon demi telepon dari ibunya selalu menanyakan kapan Dewi akan pulang, apakah sudah mendapatkan pekerjaan yang 'benar', dan kapan ia akan mulai memikirkan soal pernikahan. Setiap pertanyaan itu membawa tekanan yang semakin besar. Dewi tidak ingin mengecewakan orang tuanya, tidak ingin mendengar bahwa mereka menjadi bahan pembicaraan tetangga di kampung halaman karena anak mereka memilih jalan yang berbeda dari tujuan awalnya.Serta pada saat bersamaan, ia juga tidak tahu bagaimana cara menjelaskan kepada mereka tentang dirinya yang kini telah menjadi idol. Bagi setiap orang, pekerjaan di dunia ini mungkin terasa tidak pasti dan tidak sebanding dengan pendidikan tinggi yang telah Dewi capai. Dewi takut jika orang tuanya akan merasa malu atau kecewa jika mereka tahu apa yang sebenarnya ia lakukan di ibu kota. Teman-temannya di Spica sering memandangnya sebagai kakak, seseorang yang dewasa dan tegar. Tapi di dalam dirinya, Dewi merasa rapuh dan kebingunganxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxLatihan hari itu pun selesai tanpa banyak kendala, tapi hati Dewi masih penuh dengan kegelisahan. Ketika ia berjalan pulang bersama teman-temannya, senyum dan canda mereka tidak mampu menghapus perasaan berat yang menekan hatinya. Di tengah malam, saat ia tengah berjalan melewati jalanan menuju ke kontrakan, Dewi merenung. Ia memandangi teleponnya, menimbang-nimbang apakah ia harus menelepon ibunya.Saat melangkahkan kaki di bawah langit malam nan sepi, pikirannya selalu berkutat pada masalah yang belum menemukan jawabannya. Jalanan dipenuhi lampu-lampu kota yang meredup, angin malam meniup lembut rambutnya yang tergerai. Ia berharap momen ini bisa memberinya sedikit ketenangan, jauh dari keramaian dan latihan yang membuat kepalanya penuh. Sampai, semua berubah ketika ia melihat seorang pria berdiri di depan minimarket tak jauh dari tempatnya berada.Pria itu memiliki tubuh jangkung dengan rambut hitam yang tertata stylish, ia tampak seperti tengah menunggu seseorang di sana. Sekilas, Dewi merasa ada sesuatu yang familiar tentang pria itu, tapi ia mencoba mengabaikannya. Hingga pria itu memalingkan wajah dan matanya bertemu dengan Dewi, perasaan tidak nyaman mulai merayap di hati gadis itu."Kamu... Puspa kan ya? Si Puspa Dewi? Wah, kebetulan banget bisa ketemu kamu di sini. Sudah lama banget ya!" Pria itu menyapanya dengan nada yang seolah-olah mereka sudah lama tidak bertemu, tapi masih mengenal satu sama lain dengan baik.Seketika Dewi merasakan gemetar dalam tubuhnya. Suara si pria membangkitkan ingatan yang sudah lama ia coba lupakan. Wajahnya kini tampak jelas dalam ingatan— yaitu mantan pacarnya semasa SMA dulu. Mereka pernah menjalin hubungan ketika kelas dua, namun hubungan itu berakhir menyakitkan ketika pria itu memutuskan Dewi karena memilih wanita lain. Kejadian yang sempat menghancurkan hatinya waktu itu.Dewi berusaha menahan perasaannya dan menjaga sikap tenang, meskipun dalam hati ia merasa risih. Ia tidak ingin bertemu pria ini, apalagi sekarang, saat hidupnya sudah cukup memusingkan."Iya, bener... lama nggak ketemu." jawab Dewi singkat, sambil mencoba tersenyum tipis.Pria itu tampak santai, seakan tidak ada yang terjadi di antara mereka. "Gimana kabarmu sekarang? Lagi sibuk apa? Udah lulus kuliah, kan? Sekarang kerja di mana?"Gadis tersebut terdiam sejenak, tidak tahu harus menjawab seperti apa. Tidak mungkin ia akan mengungkapkan bahwa dirinya menjadi idol sekarang, dan di saat yang sama, ia tidak mau membuka kembali luka lama yang sudah tertutup."Baru... lulus. Lagi cari kerja." jawabnya cepat, berharap percakapan ini bisa segera berakhir."Oh, gitu ya. Baguslah, semoga sukses ya. Eh, mumpung kita udah lama nggak ketemu, gimana kalau kita ketemuan lagi kapan-kapan? Ya, sekadar ngobrol-ngobrol, reunian lah." katanya sambil tersenyum penuh percaya diri, tak ingin menutup pembicaraan."Ah... err... soal itu aku gak bisa janjiin. Maaf, aku lagi buru-buru. Sampai jumpa." jawab Dewi sambil cepat-cepat melangkah menjauh, tidak ingin memberi ruang lebih bagi percakapan ini. Ia bisa merasakan tatapan pria itu di punggungnya saat ia mempercepat langkahnya menuju kontrakan.Begitu sampai di kontrakan, Dewi langsung mengunci pintu dengan rapat dan merosot duduk di belakang, menjaga pintu tersebut. Dadanya masih berdegup kencang dengan ingatannya terlempar ke masa lalu yang begitu ingin ia lupakan—masa-masa SMA ketika hubungan mereka kandas dan meninggalkan luka dalam. Dewi tidak menyangka bahwa di saat hidupnya sedang dipenuhi sulit dan ragu, ia harus bertemu dengan sosok yang mengingatkannya pada kenangan pahit itu."Kenapa harus sekarang..." bisiknya lirih, sambil menggenggam lututnya erat.Ingatan-ingatan lama mulai mengalir kembali dalam benaknya, seolah dinding pertahanan yang selama ini ia bangun runtuh seketika. Ia teringat bagaimana rasanya saat diputuskan dengan alasan yang begitu menyakitkan, bagaimana ia merasa begitu dikhianati. Perasaan takut dan tidak berharga yang dulu ia alami kembali menghantamnya. Semua ini terasa seperti tekanan yang menumpuk dan pertemuan itu seolah menjadi puncak dari kegelisahan yang selama ini ia tahan.Dewi menutup matanya, mencoba menenangkan diri. Tetapi kenangan masa lalunya terus menghantui, seolah mengingatkan bahwa meskipun waktu telah berlalu, kenangan akan masa muda masih terus menghantui dirinya. Dalam kesunyian malam itu, Dewi merasa semakin kecil, semakin tersesat. Di luar kontrakannya suara kota terus berlanjut, tetapi di balik pintu, Dewi terjebak dalam kesedihan yang belum bisa ia lepaskan."Apa yang harus kulakukan..."