Pada tempat duduk kayu, Isla berdiam diri sembari terfokus pada buku novel yang kini tengah dibaca. Jam istirahat biasanya menjadi jam-jam yang begitu Isla gemari sebab setelah melalui pelajaran yang begitu melelahkan, ia bisa menikmati waktu bebas itu untuk melanjutkan bacaannya. Suara riuh rendah kelas sudah menjadi latar belakang yang biasa baginya. Tetapi jam istirahat yang seharusnya penuh rileks berubah drastis sejak dirinya tampil bersama Spica di Dreamy Festival. Walau Isla bukanlah seorang center sekalipun, kehadirannya tetap mendapat sorotan. Di atas panggung gadis tersebut memang tampak penuh kepercayaan diri, menari tanpa adanya rasa takut di hadapan ribuan penonton, tetapi pada kenyataannya ia seorang penakut yang bahkan tidak bisa berhadapan dengan teman sekelasnya."Isla, aku boleh panggil kamu Isla dari sekarang kan?""Isla, kamu kok bisa nari sebagus itu, latihannya gimana?""Iya iya, bisa tampil cantik banget di depan ribuan orang! Aku juga pengin tau caranya!" sekelompok gadis tak henti-henti bertanya sembari duduk di tepi meja Isla.Sebelum Isla sempat menjawab, yang lain ikut nimbrung. "Iya, kamu kelihatan beda banget waktu di panggung! Kaya... beneran kaya idol!""Kamu latian tiap hari? Kapan tampil lagi?"Pertanyaan-pertanyaan itu terus datang tanpa henti, mengelilinginya seperti gelombang yang tiada habisnya. Isla bisa merasakan napasnya mulai pendek. Pikirannya kacau, perasaan cemas mulai merayap naik. Di dalam hatinya, Isla ingin sekali berkata, tolong beri aku sedikit waktu. Namun, seperti biasa, kata-kata itu terperangkap di tenggorokannya. Sebagai seorang idol, ia diajarkan untuk selalu tersenyum dan ramah kepada semua orang, tetapi ketika di dalam kelas ia hanya ingin menjadi Isla yang diacuhkan seperti dulu."Eh, Isla? Kamu denger nggak?" seseorang menepuk pelan bahunya, membuyarkan lamunannya."Err... ah... dengar kok. Aku mendengarnya." jawabnya pelan, mencoba menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat."Kita tanya kapan kamu tampil lagi?""So... soal itu... aku tidak tahu." jawab Isla singkat, suaranya nyaris berbisik.Kerumunan di sekitarnya terus bertambah, membuatnya merasa semakin terjebak. Isla benar-benar ingin pergi dari situ. Ia merindukan kesunyian, ruang pribadi yang tidak ia dapatkan lagi sejak Dreamy Festival. Pikiran untuk kabur sejenak ke belakang sekolah atau perpustakaan melintas di benaknya. Kini matanya menatap kosong pada buku yang tengah dipegang, dikelilingi oleh suara teman-teman sekelas yang tak berhenti mengoceh. Kepalanya terasa berat dan semua bunyi terdengar seperti dengung yang semakin keras di telinganya."Kamu ga bisa lari terus, Isla." Suara dari seseorang kini terdengar dari dalam benak Isla."Semuanya gak bakal selese kalo kamu lari terus. Kamu harus tenang, baru hadapi. Pikirkan aja mereka itu kaya rusa yang cuma peduli sama kubis. Mereka gak bakal ganggu kok, ga bakal peduli juga, kalo dikasih apa yang mereka pengin bakal diem atau justru pergi. Santai aja, oke?"Pada hari libur kemarin, saat ia dan anggota Spica berkumpul untuk membantu dirinya, Lily mengajari banyak hal, termasuk trik sederhana itu. Tawa Lily yang renyah dan santai masih terngiang di telinga Isla. Ia ingat betapa absurd nan lucu nasihat itu saat pertama kali mendengarnya. Tapi sekarang, di tengah kepanikan yang perlahan merayap, ucapannya terasa seperti pelampung yang ia butuhkan untuk tetap bertahan di tengah lautan cemas."Bayangkan... jadi rusa..."Dengan perlahan, Isla menarik napas dalam-dalam dan mulai membayangkan. Dalam pikirannya, wajah teman-temannya yang penasaran dan bersemangat mulai berubah. Hidung mereka memanjang, telinga mereka bergerak ke atas, dan mata mereka yang cerah berubah menjadi lembut. Mereka tidak lagi terlihat seperti teman-teman sekolahnya, melainkan seperti kawanan rusa yang berdiri dengan tenang, hanya peduli pada kubis yang kini tengah dipegang oleh Isla."Haha... haha... lucu juga kalau dibayangkan seperti ini."Isla menahan tawa kecil yang nyaris meledak dari bibirnya. Pikiran itu konyol—sangat konyol—tetapi anehnya, hal itu berhasil. Meski wajah teman-temannya tetap sama dalam kenyataan, bayangan bahwa mereka berubah menjadi rusa yang tenang dan tak acuh membantu Isla merasa lebih rileks. Suara mereka yang sebelumnya terasa menekan kini terdengar lebih seperti obrolan ringan yang bisa ia abaikan sesekali."Ada apa Isla, kok ketawa gitu?""Kita salah ngomong kah?"Bayangan rusa yang mengerubunginya, berebut kubis yang tak terlihat, membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Ia mulai bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana dari teman-temannya dengan senyum kecil. Ketegangan di pundaknya berangsur-angsur menghilang."Engga... engga... ah, tadi apa saja yang kalian tanya?""Oh... kupikir kenapa, anu itu... kamu ada niatan mau ikut main bareng kita gak?""Main ya, maaf... tapi kayanya tidak bisa deh. Aku selalu ada jadwal latihan sehabis pulang sekolah, mungkin... di libur nanti.""Eeeh... jadi kamu abis sekolah pun langsung latihan? Wuah... kayanya jadi idol jauh lebih capek daripada yang kukira.""Oh iya, kalian tau gak, kalo ada cewe di kelas sebelah yang pendiem banget loh.""Eh gimana-gimana ceritain.""Jadi... dia tuh—"Setelah suasana di sekitarnya mulai terasa sedikit lebih ringan, tiba-tiba salah seorang teman sekelas Isla mencetuskan candaan yang membuat semua orang tertawa terbahak-bahak. Isla hanya duduk di sana, merasa bingung dan tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Candaan itu begitu asing baginya terutama membahas mengenai seseorang dari kelas lain, tetapi yang paling mengganggu adalah perasaan bahwa ia mungkin sedang menjadi bahan lelucon tersebut.Seketika, perasaan cemas yang tadi sempat mereda mulai kembali menghantui Isla. Ia merasa wajahnya kian memanas, suara tawa terasa menusuk di telinga membuat Isla semakin kecil dan terasingkan. Pikiran negatif mulai memenuhi benaknya, seolah-olah setiap tawa itu ditujukan kepadanya, meskipun ia tak benar-benar yakin. Apakah mereka sedang menertawakannya? Apakah ia telah mengatakan atau melakukan sesuatu yang salah?"Masa gitu doang ga bisa sih, hahaha!""Ya kan? Menurutmu gimana, Isla?""Eh? Ah... err..."Kepanikan luar biasa menyerang Isla. Ia merasa seperti sedang diserang dari semua sisi. Aku harus pergi, pikirnya, dorongan kuat untuk kabur dari situasi itu muncul lagi."Isla, kamu harus belajar buat jangan takut apapun yang dateng ke kamu. Kadang, apa yang orang katakan itu ga semuanya ada maksud buruk. Coba pahami maksudnya, pahami ekspresi mereka, apa yang mereka coba katakan ke kamu." Nasihat dari Rain ketika mereka berjalan keluar dari Taman Burung terangkat kembali, ia ingat bagaimana Rain menjelaskan bahwa maksud orang lain sering kali tidak sesuai dengan yang kita bayangkan.'Amati dengan jeli, Isla. Jangan terus menunduk. Mungkin mereka bukan menertawakanmu, mungkin itu hanya sebuah candaan biasa. Tenang...' Isla menutup matanya sejenak dan menarik napas dalam-dalam.Selepas membuka mata kembali, ia melihat ke sekitar sembari memperhatikan ekspresi teman-temannya. Tawa mereka terlihat ringan, tidak ada tatapan jahat atau sindiran yang diarahkan padanya. Mereka tampak seperti sekelompok remaja yang sedang bercanda, terlebih lagi yang tengah mereka bahas tadi adalah mengenai cewe dari kelas sebelah. Ia pernah mendengar bahwa obrolan yang membahas soal orang lain bagi sekumpulan gadis dikenal sebagai gosip, mungkin saja ini yang dinamakan gosip itu."Soal cewe kelas sebelah tadi... ya? Menurutku dia tidak seperti yang diobrolkan kok. Aku juga sama-sama suka baca buku." Jawab Isla sembari menunjukkan buku yang tengah ia baca di tangan."Heee... Isla suka baca buku toh.""Gimana sih kamu, Dinda. Padahal Isla suka baca buku juga, kok kamu malah ketawa gitu.""Ya soalnya cewek-cewek sekarang kan jarang banget yang baca buku..." gadis yang tadi membawa candaan tersebut kini justru diributkan oleh teman-teman yang lain."Kita gak tau sih yang Isla sukai tuh apa, maaf ya kalo tadi agak nyinggung. Nah, mumpung pas nih, hobi Isla apa emangnya?""Hobi...?"Sewaktu ia mengobrol dengan member Spica lain di kafe, Yuna mengatakan padanya untuk terbuka mengenai apa yang ia sukai dan segalanya berjalan lancar. Gadis tersebut berkata kalau dengan membicarakan hal yang disukai, terkadang mampu membuat obrolan begitu lancar. Dan tentu Isla begitu polosnya mengungkapkan, tanpa terdapat keraguan sama sekali mengenai hobi yang dimilikinya."Aku suka taxidermy serangga."Langsung pada detik itu juga, segala terasa begitu melambat, reaksi dari teman-teman yang berada di hadapan Isla sangat jelas tertanam dalam benaknya. Mereka semua berhenti berbicara, seolah waktu mendadak terhenti. Wajah mereka menunjukkan keterkejutan yang sulit disembunyikan. Mata-mata mereka saling bertatapan, seolah mencari konfirmasi satu sama lain apakah mereka mendengar dengan benar. Suasana yang sebelumnya riang penuh tawa tiba-tiba menjadi canggung, hening."Taxidermy tuh... apa?" balas seseorang begitu ragu, berusaha memecah kesunyian."Coba kucari bentar di hp..."Seseorang dengan cepat membuka ponselnya dan mencari arti kata tersebut. Seketika, layar ponsel menampilkan gambar-gambar serangga yang diawetkan dengan hati-hati dan dipajang di dalam kotak-kotak kaca. Beberapa di antara mereka bergidik melihatnya. Ada yang mencoba tersenyum kecut, sementara yang lain bahkan menutup mulut seolah menahan ketidaknyamanan."Kamu, beneran suka ginian Isla?"Isla hanya mengangguk. Ia memang menyukai taxidermy sedari dulu. Baginya, ada sesuatu yang artistik dan menarik dalam keindahan serangga yang diawetkan. Setiap detail sayap, antena, hingga pola tubuh mereka, semuanya memiliki keunikan tersendiri. Itu adalah hobinya yang paling ia banggakan, bahkan setiap teman-teman di Spica pun mengakuinya, tetapi reaksi teman sekelasnya membuat Isla mulai meragukan apakah ia telah membuat kesalahan dengan mengatakan kejujuran tersebut."Gak lah... masa idol kaya Isla suka serangga." seseorang berkata dengan nada setengah bercanda, hampir tidak percaya."Nggak mungkin seorang idol seperti kamu bisa suka sama serangga. Itu aneh banget, sih.""Isla tuh... suka banget bercanda deh, tapi candaan tadi gak bagus tau. Iya gak, hahaha...""Bener. Masa idol suka ginian, hobi ini tuh buat orang aneh doang ahahaha."Beberapa dari mereka mulai tertawa, bukan tawa yang menyenangkan atau penuh candaan, melainkan tawa yang merendahkan hobinya. Mereka bercanda soal bagaimana Isla mungkin punya rak penuh dengan serangga-serangga mati di rumahnya, atau bagaimana "aneh"-nya bagi seorang idol yang dikenal publik menyukai hal yang "mengerikan" seperti itu.Saat ini, Isla tidak mengatakan apa-apa. Meski dalam hati ia merasa tersinggung dan sedih, ia memilih diam. Ia tidak tahu bagaimana harus merespon komentar-komentar yang terus berlanjut, seolah hobinya adalah bahan lelucon. Hatinya menjerit, ingin sekali ia berdiri, meninggalkan kelas, dan lari sejauh mungkin. Rasa malu dan sakit hati bergemuruh di dada, membuat perutnya terasa mual. Di dalam pikiran, ia membayangkan dirinya berlari keluar, menghilang dari semua ejekan dan canda tawa yang tidak ia inginkan.'Kenapa... jadi seperti ini...'Tetapi di tengah perasaan yang semakin bergemuruh, pikiran kembali melintas. Mengenai teman-temannya di Spica, mereka telah mendukung dirinya begitu keras kemarin, mengajarinya tanpa pamrih. Mereka selalu ada baginya di saat dirinya cemas atau butuh bantuan, mereka adalah temannya. Meninggalkan situasi ini berarti menyerah, dan itu akan membuat semua usaha serta dukungan dari teman-temannya terasa sia-sia. Isla tidak ingin mengecewakan mereka, tidak akan.Mau tidak mau, ia menarik napas panjang, mencoba mengusir perasaan tertekan yang mendesaknya untuk kabur. Walau hatinya terasa sangat sakit, ia memutuskan untuk melakukan sesuatu yang sangat sulit bagi dirinya yaitu untuk ikut bercanda, mencoba bergurau tentang hobinya sendiri. Dengan wajah yang dipaksakan, mulutnya kini terangkat."I-Iya ya, mana mungkin ya. Tapi aku suka kupu-kupu kok... jadi bisa dibilang suka serangga dong..."Tawa yang ia paksakan terdengar hampa di telinganya sendiri, tetapi teman-teman sekelasnya langsung menanggapi. Bagi mereka, ini hanya tambahan lelucon yang semakin memeriahkan suasana. Salah satu dari mereka bahkan membalas."Berarti sama aja dong, eh engga... seengaknya kamu sukanya kupu-kupu yang masih idup kan. Suka kok sama serangga yang udah mati, ahahaha... aneh deh."Isla mencoba tersenyum, seolah ia benar-benar ikut menikmati gurauan itu, meski di dalam hatinya ia merasa semakin terpojok. Setiap tawa yang menggema di sekitar membuat rasa sakit di hatinya semakin besar, tetapi ia terus memaksakan diri. Kalau sedikit saja menunjukkan bahwa ia tersinggung, maka mereka akan kembali mengganggu dirinya.'Apa... aku harus terus seperti ini.'Seberapa keras menahan, tak ada yang bisa menyembunyikan perasaan sebenarnya dari dalam hatinya. Isla merasa seperti sedang mengkhianati dirinya sendiri. Tawa yang ia keluarkan terasa palsu, gurauan yang ia lontarkan seperti duri yang terus menerus menusuk tiada henti. Seakan dirinya yang tetap diam dudu, bukan seperti Isla. Tetapi untuk saat ini, ia memilih untuk tetap bertahan. Demi teman-teman Spica, demi dukungan mereka yang tak pernah padam. Mereka yang mengajari Isla untuk tetap kuat, bahkan saat ia merasa tersudut seperti sekarang.Setelah beberapa waktu, tawa di sekitar mulai mereda. Obrolan teman-teman sekelasnya bergeser ke topik lain, meninggalkan Isla sendirian dalam kesunyian yang aneh. Meski semuanya tampak kembali normal, di dalam hati Isla masih terasa sakit. Ia bertahan hari ini, tapi ia tahu, luka yang ditinggalkan oleh candaan itu akan butuh waktu lama untuk sembuh.xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxRintik hujan tiada hentinya mengguyur jalanan, menghasilkan irama lembut yang mengisi keheningan ruangan. Butiran air kian turun beriringan dari kaca jendela, berkelok-kelok seperti air mata yang perlahan mengalir. Di sudut ruangan yang sunyi, seorang gadis berambut hitam pendek berdiri tenang, memandangi sebuah akuarium bening yang berada di atas rak buku. Cahaya remang-remang di dalam ruangan membuat suasana semakin hening, nyaris melankolis. Isla terdiam, memperhatikan akuarium itu dengan pandangan kosong, seolah pikirannya melayang jauh entah ke mana.Pintu kantor agensi tiba-tiba terbuka dengan suara yang sedikit berderit, namun Isla sama sekali tidak teralihkan. Suara langkah kaki basah terdengar jelas di lantai, disusul keluhan pelan dari seorang pria yang baru saja masuk."Haduh... ramalan cuaca hari ini bener-bener gak akurat." keluh pria tersebut, mengibaskan jasnya yang penuh basah kuyup akibat hujan deras. Itu adalah Rian, produser grup idol Spica. Wajahnya tampak kelelahan, rambut hitam yang biasanya jabrik tersebut kini sedikit melemas karena terkena hujan."Baru ada Dara doang? Mana si Lea... sama, lampunya nyalain dong. Gelap banget, dah tau di luar mendung."Begitu Rian melangkah masuk lebih jauh untuk memencet saklar lampur, ia mendapati hanya ada satu orang lain di kantor selain dirinya—Dara, sekretaris yang selalu sibuk, tengah mengetik di komputer tanpa memperhatikan kedatangan Rian. Setelah berjalan melewati deretan meja kerja, sampailah dirinya di ruang tengah. Di sana, pandangannya segera tertuju pada sosok yang begitu dikenal. Seorang gadis berambut hitam pendek, berdiri di dekat rak buku, tenggelam dalam pikirannya sendiri."Isla?" panggil Rian pelan, suaranya lebih terdengar seperti bisikan di antara bunyi hujan yang mengalir di luar.Rian melangkah lebih dekat, memperhatikan Isla yang masih terpaku menatap akuarium kecil di depannya. Di dalam sana, seekor belalang sembah yang diawetkan berdiri dengan megah, memamerkan cakar tajamnya di antara ranting-ranting kecil yang ditata dengan hati-hati. Lampu penerang memantulkan bayangan serangga itu di kaca akuarium, menciptakan kesan bahwa belalang sembah tersebut masih hidup, siaga dan siap menyerang. Isla tampak tenggelam dalam dunianya sendiri, matanya kosong, penuh kesunyian dan kehampaan, seperti tidak ada yang mampu menghubungkan gadis tersebut dengan kenyataan di sekitarnya."Isla, kamu sudah dari lama di sini? Tadi di luar hujannya deras banget, kamu gak kehujanan kan?" tanyanya dengan lembut, berharap suaranya bisa menjangkau gadis itu.Tetapi tiada perhatian yang bisa menarik dirinya kembali dari lamunan, pandangannya terpaku begitu dalam kepada sang belalang sembah. Seolah ia menyimpan sesuatu yang tidak Isla pahami, atau justru menjadi tempat baginya untuk lari dari realita. Jas hitam yang termasuk dalam seragam sekolah miliknya itu terlihat basah di berbagai bagian, menandakan bahwa ia sama sekali belum pulang ke rumah dan langsung pergi ke sini di tengah guyuran hujan. Rian semakin khawatir, pertanyaan muncul di benaknya.'Kenapa dia belum pulang sama sekali? Sudah berapa lama dia di sini.' Adalah apa yang menjadi pertanyaan Rian, namun sesuatu yang paling mencolok tentu raut wajah Isla—begitu kosong, matanya tak ada warna sama sekali, kehilangan semangat.Pria tersebut terdiam sejenak demi bisa memahami gadis tersebut. Ia tahu betul Isla bukan tipe gadis yang mudah mengungkapkan perasaannya. Selama ini, Isla selalu menyembunyikan emosinya dengan rapi, bahkan dari teman-temannya di Spica. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Isla tidak hanya pendiam seperti biasanya, ia tampak... hilang. Seolah ada beban berat yang sedang ia pikul, tak seorang pun tahu apa yang sedang terjadi dalam pikirannya. Kecuali dirinya, yang merupakan produser dan seseorang yang ahli dalam bidang ini."Isla... ada apa? Apa sesuatu terjadi? Mungkin... di sekolah tadi?" tanya Rian begitu lembut, berusaha menggali lebih dalam.Ia menunggu begitu sabar, tidak memaksakan gadis yang berada di depannya untuk menjawab. Keheningan yang menyelimuti keduanya terasa berat dan mencekik, namun Rian paham bahwa butuh waktu bagi Isla untuk merasa nyaman untuk berbicara. Dia mulai merasa bahwa dugaannya benar yaitu sesuatu memang terjadi di sekolah, sesuatu yang membuat Isla terguncang. Untuk memecah kebekuan, Rian memutuskan untuk membicarakan hal yang ia tahu bisa menjadi jembatan bagi Isla—belalang sembah yang ada di dalam akuarium. Dia berharap dengan mengalihkan pembicaraan ke sesuatu yang Isla sukai, bisa membantu gadis itu merasa lebih nyaman."Aku masih ingat waktu kamu nangkap belalang sembah itu selama di kampung halamannya Celi. Nunjukin ke yang lain betapa besarnya belalang sembah itu sampai tiap orang kaget dan ketakutan. Benar-benar belalang yang indah..." ujar Rian, memandangi sang belalang sembah yang telah diawetkan di dalam akuarium.Isla masih terdiam, tetapi kali ini, ada sedikit pergerakan di matanya. Pandangannya sedikit bergeser dari kosong menjadi lebih fokus pada belalang sembah itu, seolah kata-kata Rian berhasil menarik sebagian kecil dari dirinya kembali ke kenyataan."Kamu memang suka taxidermy kan, bahkan waktu pertama kali kita ketemu di audisi, kamu bilang suka banget soal taxidermis."Kata-kata Rian mulai memecah lapisan keheningan yang melingkupi Isla. Dengan suara yang masih kecil dan pelan, akhirnya Isla membuka mulut, meski ragu."Apa... ini aneh? Apa yang kulakukan itu... aneh? Apa menyukai serangga... aneh? Apa hobiku... aneh?" tanyanya pelan, tanpa menolehkan wajah sekalipun.Rian terkejut mendengar pertanyaan Isla datang beruntutan. Ia bisa merasakan keraguan dan ketidakpastian dalam suaranya, yang membuat hatinya semakin cemas. Gadis pendiam yang penuh tertutup itu, kini tampak terbuka dengan keraguan mendalam tentang dirinya sendiri, sesuatu yang jarang ia tunjukkan pada orang lain."Apa aku itu aneh... Produser?" ia bertanya lagi, kali ini lebih tegas disertai getaran kecil dalam suaranya. Isla tetap tidak menoleh, tapi jelas ia sedang menunggu jawaban yang bisa menghapus keraguan di hatinya.Rian merasakan beratnya pertanyaan itu. Ia tahu bahwa Isla tidak sekadar bertanya tentang hobinya, tapi mengenai dirinya sendiri, sebagai seorang individu. Tentang apakah dunia, mungkin saja soal teman-teman sekelasnya, mengenai bisakah mereka menerima Isla dengan semua keunikan yang ia miliki—atau malah sebaliknya, mengejek dan merendahkan Isla karena dia berbeda. Ia menatap Isla begitu lembut, kata-katanya terdengar begitu pelan saat terucap."Isla, coba pikirkan soal belalang sembah yang ada di dalam akuarium itu." Ucapnya sembari menunjuk ke arah serangga yang telah diawetkan."Menurutmu, apakah belalang sembah ini pernah merasa dirinya aneh karena memiliki dua cakar tajam? Apakah dia pernah berpikir bahwa dirinya berbeda atau salah dibandingkan dengan serangga lain?"Isla tertegun mendengar pertanyaan itu. Akhirnya, ia menoleh sepenuhnya ke arah Rian, mata hitam tersebut berkilat dengan air mata yang mulai menggenang. Isak tangisnya tertahan, kedua mata yang tengah menatapnya itu mengatakan semuanya. Dia tengah berada di ambang runtuh, berusaha mempertahankan sisa-sisa kendali atas emosinya yang kian merapuh. Saat mata mereka bertemu, Rian merasakan sesuatu yang dalam—sebuah rasa yang sangat akrab. Seolah melihat dirinya sendiri di masa lalu, ketika dia pernah merasakan penghinaan dan pengucilan yang sama, rasa sakit karena merasa tidak diterima, dan ketidakpastian apakah dirinya cukup baik sebagaimana adanya. Dia tahu persis bagaimana perasaan Isla sekarang, dan itu menyentuh hatinya lebih dari yang bisa ia ungkapkan dengan kata-kata."Aku... aku tidak tahu." jawab Isla dengan suara bergetar.Kedua matanya berkedip, disertai setetes air mata jatuh mengalir pada pipinya yang pucat."Aku hanya merasa... berbeda. Aku merasa... mereka benar. Bahwa aku aneh."Rian mendengarkan dengan seksama saat Isla menyuarakan keraguan yang lebih dalam tentang dirinya sendiri, sebuah pertanyaan yang tampaknya sudah lama menggelayuti pikirannya. Isla memandang belalang sembah di akuariumnya dengan tatapan ragu dan berkata lirih."Kalau aku mau berkembang, terutama menjadi seorang idol... apa aku harus membuang kesukaanku? Tidak ada... idol yang suka serangga mati sepertiku."Rian menarik napas dalam, merenungkan bagaimana menjawab pertanyaan yang sangat sulit ini. Dia tahu betapa pentingnya peran seorang idol dalam masyarakat—terutama di mata para penggemar yang mengidolakan, bahwa citra idol itu haruslah sempurna. Tetapi, dia juga tahu betapa pentingnya bagi seseorang untuk tidak kehilangan diri sendiri di balik semua itu."Isla, tidak ada yang aneh dari dirimu. Dunia ini penuh dengan berbagai keunikan. Setiap orang diciptakan dengan minat, keahlian, dan passion yang berbeda. Orang lain tidak berhak menilai atau merendahkan apa yang kamu sukai, terutama jika itu sesuatu yang membuat kamu bahagia. Kesukaanmu terhadap serangga, bahkan taxidermy, itu adalah bagian dari siapa kamu. Itu bukan sesuatu yang harus disembunyikan atau dibuang." Balas Rian begitu tegas.Kini kedua tangannya meraih bahu Isla dengan erat namun penuh kelembutan, memastikan gadis tersebut memandang dirinya saat ini."Kamu bebas untuk menyukai apa pun yang kamu inginkan. Kamu adalah manusia dan itu yang membuatmu istimewa. Seorang idol bukanlah dewi yang sempurna tanpa cela. Idol adalah manusia, sama seperti yang lainnya. Kita memiliki keunikan, kekurangan, dan kesukaan yang berbeda. Itulah yang membuat kita berwarna."Sang gadis menatap produsernya dengan tajam, ia sedikit tergetar akan kalimat yang terlontar bertubi-tubi. Kata-kata Rian mulai menembus dinding kecemasannya, meskipun ia belum sepenuhnya yakin."Kalo bicara soal 'aneh' aku juga sama sepertimu, Isla. Waktu SMA, aku menyukai idol—sangat menyukai mereka, bahkan sampai diejek oleh teman-teman sekolah. Mereka bilang aku nggak normal, menertawakanku, bahkan sampai ada yang menjauhiku. Tapi lihat aku sekarang." Katanya sembari tersenyum begitu bangga."Kini aku justru bekerja sebagai seorang produser idol, menjadikan gadis-gadis sepertimu untuk bersinar. Hobiku yang dianggap aneh, menjadi penyemangat agar diriku terus melangkah maju."Isla terlihat mulai tergerak oleh cerita Rian. Baginya, mendengar bahwa seseorang yang ia hormati juga pernah melalui rasa pengucilan dan ejekan memberikan kekuatan tersendiri. Ia merasa tidak sendirian."Kesukaan kita—apa pun itu—bukan hal yang perlu dihilangkan atau ditutupi, Isla. Karna itu adalah bagian dari perjalanan kita untuk tumbuh dan berkembang. Itulah yang membuat kita unik dan berbeda dari orang lain. Kamu nggak harus berubah hanya karena apa yang orang lain katakan. Hanya kamu, dan dirimu seorang lah, yang berhak memutuskan siapa kamu sebenarnya." lanjut Rian dengan keyakinan penuh.Saat mendengar kata-kata Rian, sesuatu dalam diri Isla mulai bergerak. Rasa hangat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya perlahan memenuhi hatinya, membara bagaikan api yang perlahan memecah setiap dinding es yang telah lama membelenggu dirinya. Tanpa ia sadari, sebuah senyum tulus muncul di wajahnya—senyum yang begitu murni, penuh dengan perasaan. Itu adalah senyum yang tidak pernah dia bayangkan bisa keluar darinya, terutama di tengah tangisan yang tak dapat lagi ia bendung.Rian, yang berada di depannya, diam membatu, terbuai oleh pancaran kehangatan yang tiba-tiba muncul dari senyum Isla. Mata Rian terbelalak, seakan terhipnotis dengan kebahagiaan sederhana yang terpancar dari Isla. Dia hampir tidak percaya apa yang dilihatnya, karena selama ini, Isla selalu terlihat layaknya boneka tanpa ekspresi. Namun sekarang, gadis itu tersenyum—bukan hanya sekadar senyuman kecil, tetapi senyuman yang begitu jujur tanpa paksaan."Kok kaya ada suara orang nangis...""Kak Dara, ada apa, apa ada yang nangis...?""Soal itu... sebaiknya kalian sendiri yang lihat..."Di sudut lain ruangan, tanpa disadari oleh mereka berdua, para member Spica lain yaitu Lily, Rain, dan Dewi—telah memasuki ruangan. Mereka terdiam di tempat, terkejut ketika menyaksikan pemandangan yang begitu jarang terjadi. Seorang Isla yang wajahnya begitu datar, kini tersenyum untuk pertama kalinya di depan mereka. Senyuman yang begitu manis dan lembut, seakan-akan Isla baru saja menemukan apa arti dari senyuman itu sendiri."Isla?! Ka-Kamu—" Lily menutup mulutnya dengan kedua tangan, berusaha menahan keterkejutannya.Rain yang biasanya lebih tenang pun ikut kaget dengan kedua matanya terbuka lebar. "Aku... gak nyangka bisa lihat hari di mana Isla senyum kaya gitu.""Aku... nggak tahu Isla bisa tersenyum seindah itu." Dewi yang begitu emosional di antara mereka kini tengah berkaca-kaca, teharu oleh apa yang ia saksikan.Tetapi sepertinya Isla sendiri tidak menyadari apa yang terjadi. Ia merasa aneh melihat ekspresi terkejut di wajah Rian, lalu mendengar gumaman tak percaya dari teman-temannya. Dengan bingung, ia bertanya,"Ada apa? Kenapa kalian semua menatapku seperti itu?""Isla... sekarang kamu lagi tersenyum loh." Balas Rian begitu bahagia."Aku? Tersenyum...?" Isla mengerutkan kening, kebingungan semakin memenuhi benaknya."Coba liat liat sendiri deh, di kaca."Isla pun berdiri sembari memandangi kaca di sudut ruangan, mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Kedua matanya kini tersadarkan sepenuhnya, menyaksikan bahwa bibirnya memang sedikit terangkat, dan tiba-tiba perasaan hangat itu terasa semakin kuat di dalam dadanya. Senyuman itu, walau terasa asing baginya, tidak lagi terasa sulit untuk dipertahankan. Justru, semakin lama, semakin terasa alami.Sewaktu berpaling kepada setiap teman-temannya, tanpa berpikir panjang Isla berlari dan memeluk mereka bertiga secara bersamaan. Suasana yang tadinya dipenuhi dengan melankoli kini berubah menjadi penuh keceriaan. Ketiga gadis sekarang tersenyum bahagia, memeluk Isla kembali dengan erat. Mereka mengucapkan selamat, memuji Isla atas langkah besar yang berhasil ia capai."Islaa... selamat! Akhirnya... akhirnya kamu bisa senyum juga..." Lily berseru begitu riang.Di tengah kebahagiaan itu, Rian mulai berjalan pergi sembari mengamati dari kejauhan dengan senyuman tipis di wajahnya. Ia menyadari bahwa tugasnya telah selesai—Isla telah menemukan jawaban dalam dirinya. Perlahan, ia berbalik, berniat meninggalkan ruangan tanpa menarik perhatian siapapun. Tetapi Isla, yang menikmati momen hangat bersama teman-temannya, tiba-tiba menyadari bahwa produser mereka telah pergi. Senyum yang tadi terpancar di wajahnya kian sirna. Wajah Isla kembali datar seperti biasa, seakan cahayanya meredup begitu Rian tidak lagi berada di sana."Loh, kok balik lagi? Kenapa, Isla?" Teman-temannya terdiam sejenak, kebingungan melihat perubahan drastis itu."Produser ke mana?" tanya Isla lemah."Produser tadi berkata hendak mengurus sesuatu sebentar di bawah." Dara yang berada di ujung ruangan membalas pertanyaan Isla."Begitu kah...""Isla... kok gak senyum lagi sih, ayo senyum lagi dong." Rain berulang kali meminta Isla untuk kembali menunjukkan wajah senyumnya, bersiap dengan kamera handphone."Aku... lelah. Cukup melelahkan juga tersenyum seperti itu."Setiap gadis memandang satu sama lain, tak tahu bagaimana harus merespons. Tetapi mereka bisa memaklumi bahwa tahu bahwa Isla sedang berjuang untuk berubah, sehingga perlu diberikan waktu. Hujan di luar mulai mereda. Suara rintik yang tadinya memenuhi ruangan kini berangsur menghilang, digantikan dengan keheningan yang menenangkan. Satu per satu, anggota Spica lainnya mulai berdatangan ke kantor, mengisi ruangan dengan canda tawa mereka yang khas. Suasana yang tadinya penuh dengan emosional berubah kembali menjadi seperti biasanya—ramai, penuh semangat, dan hangat."Kok kamu malah di luar, gak masuk ke dalam, Rian?" Lea mendapati sosok Rian yang tengah duduk sembari menikmati sebotol kopi dingin."Yah... aku gak mau ganggu momen cewek-cewek itu. Tugasku sebagai seorang pria, ah bukan, sebagai seorang produser... telah selesai."Menyaksikan Rian yang mengucapkan kalimat sekeren itu membuat bulu kuduk Lea berdiri. Dan tentu saja, ia tidak bisa membiarkan Rian untuk berleha-leha di bawah sini sementara waktu mereka untuk latihan sudah semakin mepet."Udah cepet naik, jangan sok ngomong keren gitu!""Aku nunggu bawah di sini aja! Nanti bilangin kalo dah selese siap-siap, biar kupanasin dulu mobilnya!""Pake alasan segala!!!"Meski kehadiran produsernya tidak lagi berada di sisinya, kata-kata tersebut masih terngiang di benaknya, bahwa hanya Isla yang berhak mengubah dirinya, tidak ada yang salah dengan menjadi dirinya sendiri. Dengan tatapan tenang, Isla bergabung bersama teman-temannya. Suasana kembali seperti biasa, tetapi ada sesuatu yang telah berubah dalam dirinya—sebuah kesadaran kecil, bahwa ia tidak perlu terburu-buru. Senyum itu akan kembali lagi, ketika ia siap untuk membagikannya, dan kali ini ia tahu bahwa senyum itu datang dari tempat yang sejati, dari hati yang mulai menerima dirinya sendiri.xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxKeesokan hari, Isla kembali ke kelas dengan perasaan yang jauh lebih ringan. Setelah merenungkan nasihat dari Rian dan dukungan teman-temannya di Spica, ia merasa lebih siap menghadapi teman-teman sekelasnya. Saat suasana obrolan kembali seperti biasa, topik mengenai hobi Isla tiba-tiba muncul lagi, mungkin karena rasa penasaran mereka belum benar-benar reda."Beneran kan, kamu tuh gak punya hobi... taksi... taksi apa lah itu kan?""Iya, soalnya masih agak penasaran sih kita-kita."Tetapi berbeda dengan sebelumnya, Isla tidak lagi merasa ingin melarikan diri atau bahkan minder karena pertanyaan itu. Dengan mata begitu tajam, ia berkata di hadapan teman-teman sekelasnya."Aku memang menyukai taxidermy, terutama serangga. Dan, meskipun kalian menganggap itu aneh, bagiku itu bukanlah hobi yang aneh. Setiap orang bebas menyukai apa pun yang mereka mau."Mereka langsung terdiam. Beberapa menunjukkan reaksi terkejut, tidak menyangka Isla akan berkata sejujur itu. Lantas sebelum ada siapapun yang berani untuk melanjutkan obrolan, kembali perkataan terlontar."Aku sadar kalau beberapa dari kalian juga punya hal-hal yang ingin disembunyikan, sebab merasa akan dipandang aneh oleh orang lain. Tapi, aku tidak akan pernah mengejek kalian karena itu. Sebab, kita semua punya sesuatu yang unik, dan itu yang membuat kita berwarna, bukan?"Suasana menjadi semakin tegang, sampai Isla menambahkan dengan sedikit senyum di wajahnya, "Faktanya, setelah aku mengamati kalian beberapa hari ini, aku tahu beberapa dari kalian juga punya kesukaan yang bisa dianggap aneh."Tiba-tiba beberapa teman mulai saling bertukar pandang, merasa tidak nyaman. Isla pun mulai menyebutkan satu per satu,"Seperti kamu, Mayang, yang suka mengoleksi foto-foto cowok ganteng dari kelas tiga. Dan Dinda, yang diam-diam suka menonton drama Korea meski kamu sering bilang gak suka di depan orang lain. Lalu ada juga Lisa, yang diam-diam suka menyimpan gantungan kunci kodok karena kamu suka banget sama kodok."Tidak lama setelahnya wajah mereka berubah menjadi merah padam karena malu, bahkan beberapa berusaha membungkam Isla agar tidak membeberkan kesukaan aneh mereka."Oke deh oke, Isla! Kamu gak perlu nyebutin satu-satu!""Aku tak ada niatan mempermalukan kalian kok. Hanya ingin berkata, meskipun kalian punya hobi yang aneh menurut orang lain, aku tidak akan mengejek atau menilai kalian. Karna aku ingin berteman dengan kalian, itu pun kalau kalian juga mau."Suasana yang awalnya tegang perlahan mencair. Teman-teman Isla mulai menyadari bahwa dia tidak sedang menyerang mereka, melainkan menunjukkan bahwa setiap orang memiliki sesuatu yang unik, bahkan jika dianggap "aneh" oleh standar orang lain. Perlahan, salah satu teman mendekat dan memeluk Isla."Kami minta maaf, Isla. Kami nggak bermaksud ngejek hobimu enggak..." ujar teman itu dengan tulus. Yang lainnya mengikuti, satu per satu memeluk Isla sambil meminta maaf."Kita juga punya kesukaan yang aneh sama sepertimu... tapi kamu baik banget deh, masih tetep mau nerima kita." ucap seorang teman lain sambil tersenyum.Isla merasa lega. Masalah yang sempat membuatnya cemas berhari-hari akhirnya terselesaikan. Bukan hanya karena ia mendapatkan kembali penerimaan dari teman-temannya, tapi juga karena ia telah menemukan kekuatan untuk menerima dirinya sendiri sepenuhnya. Setelah momen itu, suasana kelas menjadi lebih menyenangkan, dan Isla tahu bahwa dengan keberanian untuk menjadi dirinya sendiri, ia tidak hanya mendapatkan pengertian dari orang lain, tapi juga menghargai setiap perbedaan yang ada di sekitarnya.Hari itu, Rian mengadakan briefing sejenak dengan setiap member Spica yang memiliki giliran untuk berjaga di toko CD. Dalam pertemuan sejenak tersebut, ia menekankan bahwa setiap gadis memiliki peran dan karakter unik mereka sebagai member Spica, dan Rian dengan tegas menekankan satu hal penting."Kalian gak perlu ngubah karakter demi naikin popularitas. Setiap karakter yang ada di diri kalian lah yang membuat Spica memiliki warna."Lea yang selama ini mengamati grafik penjualan merasa sedikit khawatir mengenai apa yang dikatakan oleh Rian dan membisikinya."Tapi penjualan Isla kecil banget loh daripada yang lain, beneran gak perlu ada yang dirubah?"Namun Rian menggelengkan kepala sembari tersenyum, "Pamor Isla itu sudah seperti dirinya. Sesuatu yang gak bisa muncul tiba-tiba, tetapi tumbuh perlahan layaknya ulat menjadi kupu-kupu."Lea tampak bingung mendengar perbandingan itu, tetapi ia mempercayai insting produser mereka. Sementara di konter penjualan, Isla, yang sebelumnya sempat merasa kesulitan dengan interaksi sosial, mulai menemukan jawaban atas keraguannya selama ini. Setelah belajar banyak dari teman-temannya, ia kini jauh lebih jago berinteraksi dengan fans, meskipun wajahnya tetap datar dan sulit mengekspresikan emosi yang ceria atau penuh semangat seperti idol pada umumnya. Terdapat sesuatu yang begitu menonjol darinya kali ini—Isla mulai menyadari kelebihan yang ia miliki.Fans yang datang untuk berbincang dengannya awalnya mungkin merasa canggung dengan ekspresi datarnya, tetapi Isla yang kini pandai membaca bahasa tubuh dan ekspresi wajah, perlahan mulai memutarbalikkan keadaan. Dia memperhatikan dengan seksama cara mereka menyapa, cara mereka berbicara, bahkan hingga gerakan tubuh mereka. Gadis tersebut dengan tenang mulai berbicara, seolah-olah ia bisa membaca pikiran setiap fans yang datang."Kamu, sepertinya baru pertama kali menyukai idol ya?" tanyanya kepada seorang fans yang tengah terdiam di tempat sedari tadi.Isla melihat dari gerak-geriknya, bagaimana cara orang itu menatap sekeliling begitu cemas, dan membuat prediksi yang tepat. Fans itu terperangah, menyadari bahwa apa yang ia rasakan bisa ditebak begitu benar, perbincangan mereka semakin intens. Isla bahkan bercanda kecil tentang hal itu,"Jangan khawatir, aku tidak bisa baca pikiranmu kok. Hanya saja, merasa demikian mengenai dirimu..." ucap Isla begitu lembut.Kehadirannya yang tenang dan misterius mulai memikat para fans. Isla mulai dikenal sebagai "Idol esper yang bisa membaca pikiran". Beberapa fans bahkan mulai menyebutnya sebagai seorang penyihir, karena kemampuannya yang tampak luar biasa dalam menebak suasana hati orang lain. Kehadirannya di acara fansigning menjadi lebih dinantikan, bukan karena energinya yang ceria atau sikap manis seperti idol lainnya, melainkan karena auranya yang penuh misteri.Popularitas Isla pun perlahan naik. Para fans mulai penasaran dengan daya tariknya yang unik—seorang idol yang sulit dibaca, tetapi justru bisa membaca mereka. Semakin hari, suasana di konter Isla semakin meramai, dengan perlahan tapi pasti, ia mulai mendapatkan lebih banyak perhatian dari sebelumnya. Bahkan beberapa fans menyebarkan cerita tentang pengalaman mereka dengan Isla di media sosial, menambah daya tarik tentang idol yang tampaknya bisa "meramal.""Tuh, kamu liat sendiri kan, Lea? Kaya yang kubilang kemarin-kemarin. Isla bisa jadi seperti sekarang bukan dengan ngubah dirinya, tapi dengan menerima siapa dia sebenarnya." Ujar Rian yang tengah mengawasi keadaan toko sekarang."Kuakui... kalo soal mahami karakter idol, emang tiada lawan kamu, Rian." Balas Lea dengan anggukan pasti, menandakan bahwa untuk kali ini dialah yang kalah.