Chereads / IDOLIZE / Chapter 26 - Special 1: Lantas, Siapakah Gerangan?

Chapter 26 - Special 1: Lantas, Siapakah Gerangan?

Pada suatu hari ketika tengah berada di kantor agensi, sepuluh gadis dari grup idol Spica duduk mengistirahatkan diri di sofa empuk, mengelap keringat setelah menjalani latihan intens seharian. Hujan deras yang turun sejak sore kini berubah menjadi badai. Angin menderu di luar jendela, menghantam kaca-kaca dan menciptakan suara gemuruh yang membuat suasana semakin kelam.

"Badai lagi?? Gimana caranya kita pulang coba..." Rain menghela napas panjang, memandang keluar jendela di mana butiran hujan yang begitu cepat tidak berhenti menghantam jalanan.

"Aku gak suka musim hujan... bikin basah terus..." balas Cia sembari bersandar lemas ke sofa.

"Sama." Sahut Lily sambil memeluk bantal kecil.

"Mau pakai payung pun, kalau hujan sebesar ini tentu bakal basah kuyup. Bikin kesal." Dewi pun menanggapi.

Wulan yang tengah tiduran di lantai sambil meregangkan badannya, hanya bisa mengangguk setuju. "Di rumahku selalu kebanjiran kalau hujan deras begini. Moga aja adik-adikku gak lupa buat naruh perabotan ke atas..."

"Mana terkadang nyamuk sliweran dimana-mana, sampai aku susah tidur." Timpal Celi sambil menggaruk lengannya yang tampak ada beberapa bekas gigitan.

Valentin duduk dengan santai di pojok ruangan, sembari menyeruput teh hangat dari cangkirnya. "Sayang sekali, tapi aku tipe orang yang menyukai hujan. Sebab rintikannya membuatku begitu tenang." katanya, mencoba membawa optimisme dengan senyum manis di bibirnya.

Istar yang berada di samping Valentin menatap layar handphonenya dengan ekspresi kecewa.

"Padahal gue niatnya mau pulang cepet, tapi kalo hujannya gini gak mungkin bisa. Tau gitu bawa mobil sendiri tadi." Dia melirik ke arah jendela yang bergetar ditiup angin kencang, lalu mendesah pelan.

"Bus dan kereta juga pasti sedang ditahan, jadi bakal sulit pulang sekalipun maksain." Yuna menutup mata pasrah.

Lily, yang sedari tadi diam dengan hoodie menutupi kepala, tiba-tiba membuka suara. "Ah iya... atap kamarku... belum diperbaiki!! Aduh... pasti sekarang basah deh..."

"Di komplekku, biasanya sering mati listrik jika begini..." sahut Isla pelan sembari memegangi buku bacaannya.

Keheningan sejenak memenuhi ruangan, hanya terdengar suara hujan yang tak berkurang sedikit pun intensitasnya. Meski semuanya tampak jenuh, tak bisa dipungkiri bahwa musim hujan yang mereka alami banyak membawa hal yang tidak disukai. Cia menatap teman-temannya yang duduk dengan wajah bosan, terlihat tidak ada gairah ditengah menunggu badai reda. Tiba-tiba, sebuah ide terlintas di kepala. Matanya berbinar, dan tanpa ragu, dia berseru,

"Eh, kalian tau nggak, kalau malam hujan begini, kayanya asik gak sih kalau ngobrolin soal cerita horor?"

Semua mata langsung tertuju ke arahnya. Beberapa mengerutkan kening, beberapa yang lain hanya menatap dengan rasa penasaran. Wulan yang duduk di lantai sambil memeluk lututnya, bertanya,

"Serius? Aku suka dengerin cerita horor!"

"Cerita horor... kaya cerita penampakan atau setan gitu...?" tanya Yuna kembali untuk meluruskan.

"Yoi. Mumpung malam ini malam jum'at juga." Jawab Cia disertai senyuman licik yang terukir di wajah.

"Eeh... masa mau cerita horor sih."

"Iya... kalian gak pada takut kalo setannya beneran nyamperin ap—"

Sebelum sempat Rain dan Lily menyelesaikan perkataan mereka, kilat menyambar begitu cepatnya dari balik jendela, gemuruh keras terdengar menyusul tidak lama hingga menggetarkan jendela gedung. Semua gadis tersentak kaget, sebagian menutup telinga mereka karena suara kencang tadi.

"Wuah, besar banget petirnya." Lea yang ikut kaget karena petir tadi kini memandang ke arah luar.

"Sebaiknya kututup jendelanya, biar gak terlalu silau."

Di sudut ruangan, Rian yang tengah serius menyelesaikan dokumen yang menumpuk, berdiri dari mejanya. Dia menutup tirai jendela yang besar, mungkin karena merasa cahaya petir mulai mengganggu. Sementara itu, para staf lainnya tetap fokus pada pekerjaan mereka, seakan tak terpengaruh oleh badai atau obrolan para idol yang mulai terdengar ramai.

"Ayo, dong! Pasti seru. Bayangin, cerita-cerita seram pas suasana hujan deras gini. Aku yakin pasti ada di antara kalian yang punya pengalaman horor! Daripada bosen?" Cia mendesak lagi, kali ini sambil beringsut mendekat ke tengah ruangan.

"Gue sih ogah. Udah bosen dengerin cerita gitu, soalnya sering tampil juga di sinetron horor. Cerita begituan tuh kebanyakan cuma fiksi, boong, ngibul." Istar langsung menggeleng begitu cepat.

"Aku juga sepertinya tidak... apalagi setelah denger suara petir tadi. Sepertinya ini bukan ide yang bagus, Cia." Valentin menimpal pelan, wajahnya berusaha tegar tapi tidak cukup menutupi rasa takutnya.

"Yang lain kebanyakan pada ga mau. Aku pilih netral aja." Dewi yang sedari tadi hanya mendengarkan, tertawa kecil.

"Aku sih nggak masalah. Lagipula hantu itu gak nyata, keberadaan hantu itu tidak bisa dibuktikan secara ilmiah."

"Setuju dengan pendapat Yuna. Aku tidak takut oleh hantu, yang kutakutkan hanya gelap saja, karena aku tidak bisa lihat apa-apa di kegelapan... takut ada sesuatu yang lain berada di sana selain diriku."

Sedangkan bagi Yuna dan Isla, mereka berdua memang duo yang sepenuhnya percaya kepada bukti nyata bukanlah cerita takhayul seperti kisah hantu. Celi yang tengah rebahan di sofa kini mengangkat kepalanya.

"Omong-omong soal hantu... aku ada cerita... tapi, itupun kalo kalian mau denger." Ujarnya begitu pelan.

Seketika semua mata beralih kepada Celi. Meski sebagian besar dari mereka memang tidak mau mendengar atau bercerita soal hal horor, rasa penasaran mulai merayap saat Celi mulai beranjak dari tidurnya.

"Apa, apa?" tanya Cia yang begitu tertarik.

"Ceritanya beneran nakutin. Beneran mau denger? Nanti malah jadi gak bisa tidur..." jawab Celi, membuat suasana makin tegang.

Yuna dan Isla masih tampak ragu, tetapi rasa ingin tahu mulai melunak di wajah mereka. Dewi yang biasanya menjadi cahaya di antara setiap orang pun merasa sedikit takut, akhirnya bergeser lebih dekat ke Lily. Gadis-gadis yang lain menunggu, dengan atmosfer ruangan yang tiba-tiba berubah menjadi lebih serius. Bahkan produser mereka, meskipun sibuk di mejanya, melirik sesekali, mendengar bahwa percakapan mulai berubah arah.

"Oke deh, kuceritain. Ini cerita tentang rumah tua di desa tempat nenekku dulu tinggal. Pernah waktu itu aku kebangun di tengah malem..."

Celi menarik napas panjang sebelum melanjutkan cerita, wajah lelah kini berganti sepenuhnya menjadi penuh serius. Sedangkan setiap member Spica kini mendekat ke arah sumber suara, begitu penasaran mengenai kisah menyeramkan yang hendak Celi ceritakan.

"Waktu itu, ketika masih kecil aku lagi nginap di rumah nenekku di desa. Kalian tau sendiri kan betapa tuanya rumah nenekku. Di malem hari, aku kebangun karena pengin ke toilet. Di jaman itu rumah nenek gak punya kamar mandi dalem, jadi harus keluar sedikit ke halaman belakang."

Beberapa dari mereka mulai bergeser tak nyaman di tempat duduk mereka, sementara Rain yang duduk di samping Lily tampak mulai menggigit bibir, cemas dengan apa yang akan ia dengar selanjutnya.

"Kalo malem, rumah nenek tuh gelap banget. Jadi aku harus megangin tembok, ngeraba-raba biar bisa jalan. Aku inget banget, waktu itu lagi nyusuri lorong rumah yang ngelewatin kebun nenek."

"Trus, trus?" tanya Istar, ia bahkan sampai menaruhkan ponselnya sebab begitu penasaran.

Celi tersenyum samar, menikmati perhatian penuh dari teman-temannya. "Begitu nyampe di bagian rumah yang punya jendela besar menghadap kebun, tiba-tiba aku liat sesuatu lewat cepet banget."

"A-Apa itu...?" Valentin menyela.

"Awalnya kupikir itu cuma kucing. Di desa emang banyak kucing liar, jadi tanpa pikir panjang kukejar itu kucing yang lari ke pohon besar di kebun."

Dewi tak henti-hentinya memegangi bantal kecil yang berhasil ia rebut dari Lily, mulai ketakutan saat mendengar arah ceritanya. Semua yang mendengarkan kini merasakan ketegangan yang tak nyaman, terutama saat Celi melanjutkan dengan suara yang semakin rendah dan penuh misteri.

"Tapi... waktu kuikuti malah bayangan itu tiba-tiba aja ngilang. Sampai kerasa ada angin dingin lewat... bawa bau wewangian."

"Wa-wangi...? Masa ada angin yang baunya wangi? Wanginya gimana?" tanya Yuna dengan dahi mengerut.

"Wangi bunga melati..." jawab Celi dengan suara hampir berbisik, membuat beberapa gadis di ruangan itu saling berpandangan. Rain yang sudah mulai gelisah meremas lengan Lily lebih erat, wajahnya kian memucat.

"Tentu aja aku mikirnya aneh dong, soalnya gak ada yang nanem bunga melati sama sekali di sekitaran sini. Tapi bau itu makin kuat dan perasaanku semakin gak enak." Celi melanjutkan dengan tenang.

Ruangan itu kini terasa makin sunyi. Suara hujan deras dan gemuruh petir di luar jendela seperti menjadi latar suara yang sempurna untuk membangun ketegangan dalam cerita Celi.

"Dan waktu aku liat ke atas..." Celi berhenti sejenak, matanya melirik teman-temannya satu per satu, menikmati rasa penasaran yang kini terlihat jelas di wajah mereka.

"Waktu kamu liat ke atas...?" Hampir setiap orang menanyakan hal yang sama, menunggu begitu debar-debar.

"Aku lihat... sosok putih berambut panjang... nggelantung di atas pohon!"

Serentak, beberapa dari mereka terperanjat di tempat duduk. Dewi menutup mulutnya dengan tangan, Wulan bergidik, sementara Rain terlihat semakin pucat dan memeluk Lily lebih erat wajahnya menunjukkan rasa takut yang mendalam. Dan Lily yang kesakitan karena digenggam sangat kencang tidak jadi takut, menyuruh Rain buat segera melepas tangannya.

Rain yang sejak awal paling takut dengan cerita horor tapi tidak berani mengatakannya, kini benar-benar merinding.

"U-udah dong... jangan lanjut, plis." katanya memohon, tangannya menggenggam lengan Lily erat-erat seolah mencari perlindungan.

"Maap maap... emangnya senakutin itu ya? Ahahaha..." sang pelaku justru hanya tertawa seakan tidak merasakan salah sama sekali.

"Abis itu kamu ngapain Celi?" tanya Yuna yang masih penuh penasaran.

"Hm? Oh, tentu aku lari kebirit-birit sambil nangis. Hampir semua orang bangun nanyain aku kenapa sambil gak nyadar kalau aku ngompol..."

"Ya elah..." Istar memalingkan wajahnya, tidak percaya bahwa cerita semenegangkan tadi memiliki akhir yang begitu anti-klimatis.

Setelah mendengar cerita Celi yang membuat suasana semakin tegang, Cia tampaknya semakin semangat. Ia tersenyum licik, melihat ketakutan telah muncul di wajah teman-temannya. Tanpa ada niat untuk berhenti, ia langsung melanjutkan dengan ceritanya sendiri.

"Kalau kalian pikir cerita Celi tadi udah cukup bikin merinding, tunggu sampai kalian dengar ceritaku," ucap Cia dengan nada rendah yang membuat semua orang langsung fokus.

"Cia... yang bener aja, mau dilanjut nih." Rain yang belum selesai gemetar semakin dibuat khawatir.

"Waktu itu, aku pulang dari minimarket malam-malam." Cia memulai, tatapannya menembus ruangan, seolah kembali ke kejadian menyeramkan yang pernah ia alami.

"Biasanya waktu pulang, aku selalu ambil jalan pintas yang biasa kulewati. Gang kecil sepi, yang gak ada lampu sama sekali."

Kini setiap gadis telah saling berkumpul begitu dekat, mendengarkan dengan ekspresi penuh serius.

"Tapi di hari itu, ada yang aneh, aku ngerasa... ada yang mengikuti dari belakang. Awalnya kupikir itu cuma perasaanku aja. Tapi, semakin lama, perasaan itu makin kuat. Rasanya... kaya emang beneran ada orang di belakang." lanjut Cia, suaranya semakin pelan, tapi terdengar jelas di ruangan yang hening itu.

"Terus... gimana? Apa itu penguntit kah?" tanya Lily.

"Nah, aku juga mikirnya penguntit. Karna penasaran, aku balikin badan. Dan... gak ada siapa-siapa. Gang itu kosong, cuma ada aku doang."

Valentin menelan ludahnya, terlihat merinding mendengar ucapan tadi. Di sisi lain Isla dan Yuna pun dibuat penasaran mengenai fenomena yang didapati oleh Cia.

"Tentu aku biarin aja, jalan lagi. Tapi makin sini... makin aneh aja, hawa itu tetep ngikutin. Aku beneran yakin kalo emang ada yang ngikut di belakang. Sampai akhirnya tinggal ngelewatin satu belokan terakhir..." Cia berhenti sejenak, membuat suasana semakin tegang.

Dia menggantung kalimatnya, membuat semua gadis di ruangan itu menahan napas. Lily sudah membeku di tempatnya, matanya membesar menunggu kelanjutan ceritanya. Petir kembali menyambar di luar.

"Aku dengar bisikan di telinga..." lanjut Cia dengan suara nyaris berbisik.

"Suara itu bilang... 'Lari. Jangan ambil gang itu.'"

Dewi menutup mata dengan kedua tangannya, tak percaya mengenai apa yang diceritakan oleh Cia. Sedangkan Rain sudah ada di ambang kepanikan, seakan bisa merasakan langsung teror yang Cia alami di saat itu juga.

"Tanpa mikir apa-apa lagi, aku lari secepet mungkin!" Cia melanjutkan, kini dengan nada yang lebih cepat, seolah ia kembali merasakan adrenalin waktu itu.

"Tapi, dia yang ngikutin di belakang justru... makin deket. Hawanya makin bikin bulu kudukku berdiri, aku sama sekali gak berani buat nengok ke belakang, semakin lari sekuat mungkin."

Semua gadis di ruangan itu menahan napas. Istar terlihat gemetar, sementara Lily terus menerus menahan rasa sakit dari Rain yang meremas lengan kanannya begitu kencang. Isla meski dengan wajah datar, tak bisa menyembunyikan ketegangannya sebab tubuhnya berdiri tegak.

"Makin deket... dia begitu deket hampir ngenain aku...." Cia mengisahkan, nadanya penuh ketegangan.

"Sampai akhirnya, di ujung sana ada cahaya terang. Aku pun sampai di jalan raya, begitu menoleh ke belakang..."

Dia berhenti lagi, membuat semua gadis di ruangan itu hampir meledak karena rasa penasaran dan ketakutan. "Sosok itu... menghilang begitu saja. Seolah tak pernah ada."

Semua orang menarik napas panjang, berusaha meredakan ketegangan yang menggantung di udara. Suasana ruangan itu masih mencekam, setiap gadis merasakan dinginnya cerita Cia merambat ke tulang mereka.

"Aku ngerasa lega banget... saking takutnya, sampai sekarang aku gak lagi lewat jalan itu."

Valentin dan Istar saling memandangi satu sama lain, menyadari keringat dingin mengucur dari dahi. Wulan yang sama sekali tak percaya akan hantu, menatap Cia dengan tatapan tak percaya. Dewi menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya, sementara Rain yang paling terpengaruh, hampir tidak bisa melepaskan pegangan eratnya dari lengan Lily.

Suara hujan yang deras dan gelegar petir di luar semakin menguatkan suasana seram yang ditinggalkan oleh cerita Cia. Meski beberapa dari mereka berusaha tertawa kecil untuk mengusir rasa takut, tak ada yang bisa menyangkal bahwa cerita itu telah membuat mereka bergidik ketakutan.

"Kenapa kita mulai cerita-cerita ini sih..." gumam Rain, hampir menangis.

Sang manajer yang telah selesai dengan pekerjaannya memutuskan untuk memeriksa apa yang tengah dilakukan para gadis itu. Dari arah meja kerjanya, ia bisa mendengar tawa bercampur teriakan-teriakan kecil yang tampaknya berasal dari arah ruang tengah. Rasa penasaran membawanya mendekat tanpa ada yang sadar, karena perhatian mereka telah sepenuhnya tertuju pada cerita horor yang sedang berlangsung.

Tanpa sepengetahuan mereka, Lea sudah berdiri di belakang Valentin. Dia mendengarkan sejenak sebelum bertanya dengan suara normal,

"Kalian lagi cerita apa?"

Valentin yang sama sekali tidak menyadari kehadiran Lea, langsung berteriak kaget, "AAaaaa!"

Teriakan Valentin mengejutkan semua orang di ruangan. Lily dan Dewi melompat dari tempat duduk mereka, Istar menjerit, dan bahkan Cia yang baru saja bercerita pun tersentak. Tetapi yang paling kaget adalah Lea sendiri yang ikut berteriak refleks karena terkejut oleh reaksi spontan para idolnya.

"Kok kalian semua malah teriak sih?!" tanya Lea sambil memegang dadanya, berusaha mengendalikan napasnya yang mendadak tersengal.

Tetapi sebelum Lea mendapat jawaban, tiba-tiba semua mata tertuju ke arah Rain, yang sudah terlihat pucat sejak cerita Cia. Gadis itu mendadak terjatuh ke sofa, tubuhnya lemas tak sadarkan diri.

"Rainnn!!!" seru Lily yang langsung panik, mendekati temannya yang terkapar

Semua orang berkerumun di sekeliling Rain, terlihat sangat khawatir. Lily tampak hampir menangis, sementara Celi dan Valentin mencoba menenangkan yang lain. Lea meskipun masih terkejut, berusaha mengambil alih situasi. Dewi yang biasanya paling tenang di antara mereka, langsung mengamati keadaan Rain. Bersama Yuna, ia mendekat dan meraba pergelangan tangan Rain, memeriksa denyut nadinya.

"Dia cuma pingsan." kata Yuna akhirnya setelah beberapa detik yang terasa sangat panjang. Dewi mengangguk, setuju dengan analisis Yuna.

"Iya, karena shock, dia jatuh pingsan. Biarkan dia istirahat dulu selama beberapa menit." tambah Dewi, mencoba menenangkan suasana.

"Begitukah, kalau Dewi yang mantan anggota P3K bilang begitu... aku bisa sedikit lega."

Mendengar itu, seluruh ruangan akhirnya bisa bernapas lega. Valentin yang tadinya tampak cemas, langsung memegangi kepalanya tersenyum lega.

"Ya ampun, aku takut kalau dia beneran kenapa-napa."

Setelah memastikan Rain beristirahat nyaman di sofa, suasana di ruangan mulai tenang lagi. Cia, yang merasa bersalah karena telah membuat Rain pingsan dengan ceritanya, segera meminta maaf.

"Maaf, aku nggak bermaksud buat Rain sampai kayak gitu." Ucapnya menunduk, begitu menyesal.

Tetapi Lily dengan cepat menenangkan Cia.

"Nggak apa-apa kok, Cia. Rain memang sering pingsan kalau terlalu kaget apalagi kaya tadi." katanya sambil tersenyum kecil.

Lea, yang berdiri di dekat mereka, ikut mengingatkan, "Sebaiknya kalian nggak kebanyakan cerita horor, deh. Apalagi malam-malam begini."

Mendengar itu, beberapa dari mereka saling berpandangan. Isla yang penasaran, bertanya, "Kenapa, Manajer? Apa manajer takut hantu seperti Rain?"

"Bukan gara-gara aku takut hantu atau gimana. Aku gak suka... karna yah, aku pernah ngalami kejadian supranatural beneran." Balas Lea sembari menggelengkan kepala.

Semua mata langsung terfokus pada Lea. Suasana di ruangan itu berubah lagi—rasa penasaran memenuhi wajah-wajah mereka.

"Kejadian supranatural? Coba ceritain dong, manajer." tanya Dewi dengan nada penuh minat.

Sang manajer menghela nafas pelan sebab tidak bisa menolak tatapan penuh penasaran dari mereka semua, padahal tadi saja baru ada kejadian pingsan tetapi masih tidak mau berhenti. Akhirnya, ia duduk dan mulai bercerita.

"Waktu itu aku masih kuliah. Karna pernah masuk UKM pecinta alam, suatu hari, kami ada acara pendakian ke gunung. Perjalanannya seru, penuh kebersamaan dan canda tawa. Kami berlima waktu itu, dan aku ditempatkan di barisan tengah sebagai penanggung jawab memastikan nggak ada yang tertinggal. Ketika naik tentu semuanya asyik banget dan kita begitu seneng bisa sampai puncak. Nah... tapi waktu kami turun, keadaannya jadi jauh lebih menantang."

Angin kencang tak henti-hentinya berderu, beberapa ranting pohon yang terbawa terkadang menghantam jendela sehingga menambah suasana mengerikan di malam tersebut.

"Kami mulai turun ketika sore hari, tapi ya namanya di gunung, pasti gelapnya itu jauh lebih cepet sewaktu di kota. Medan sulit, penerangan cuma dari beberapa senter yang kami bawa, bikin semuanya semakin lama. Ketika mulai masuk ke area jalan setapak di hutan... aku mulai merasa ada sesuatu yang aneh." Kata Lea, menatap mereka dengan begitu serius.

Semua gadis mulai merinding mendengar itu, termasuk Cia yang biasanya tak gentar dengan cerita horor.

"Di tengah perjalanan, aku sempet ngeliat ada bayangan gelap... besar... berdiri di kejauhan, menanti di jalur yang akan kami lewati. Tapi tiap kali aku coba senterin, bayangan itu hilang di antara pepohonan." lanjut Lea, suaranya makin rendah, membuat suasana semakin intens.

"Terus... gimana, manajer?" Wulan yang pemberani pun kini tengah memegangi lututnya sendiri, berusaha menahan takut.

"Mengingat tugasku jadi penengah barisan, terkadang tiap menit aku selalu ngehitung jumlah tiap orang. Buat mastiin gak ada yang ilang atau nyasar. Bahkan ketika lagi istirahat sebentar, aku mulai hitung lagi jumlah barisan kami. Kami dari awal cuma berlima... tapi waktu itu, aku ingat aku hitung ada enam orang."

"E-Enam?! Jadi ada yang ngikutin kalian?!" Istar langsung terkejut.

Lea mengangguk, wajahnya mulai serius. "Aku lelah waktu itu, jadi aku nggak terlalu mikirin bener atau enggaknya. Dan waktu kami mulai jalan lagi... aku lagi-lagi ngehitung dan jumlahnya tetap enam."

Sekarang semua gadis di ruangan itu mulai merasakan bulu kuduk mereka berdiri. Dari segala cerita yang baru saja didengarkan, milik Lea-lah yang memiliki alur begitu mencekam.

"Beruntung sebelum bener-bener gelap, kami tiba di pos yang ada di bawah gunung. Ketua kelompok pun ngitung lagi, ia bilang kalau jumlahnya ada lima orang. Aku yang bingung, langsung tanya memastikan ulang. 'Bentar, kita emang dari awal berlima kan?' Aku tanya mereka. Dan mereka jawab, 'Iya, kita memang berlima dari awal.'."

Suasana menjadi sunyi, hanya suara hujan di luar yang terdengar, menambah kesan menakutkan. Lea menarik napas panjang, seolah-olah masih merasakan ketegangan dari pengalaman itu.

"Aku merinding seketika. Sebab yakin betul, ketika di atas, aku hitung ada enam orang. Tapi gak ada yang merasa ada tambahan orang di belakang. Ketika kubilang itu ke semuanya, mereka saling liat satu sama lain, bertanya-tanya... terus orang keenam yang ikut bersama kami turun, itu siapa?"

Semua gadis di ruangan itu kini terlihat ketakutan. Rain, yang tadinya pingsan, kini tampak bergerak sedikit di sofa, mungkin mendengar cerita seram itu di bawah sadarnya. Cia, yang tadinya semangat bercerita, sekarang justru terlihat paling tegang.

"Dan sejak saat itu, aku nggak pernah naik gunung lagi." Lea mengakhiri ceritanya dengan senyum tipis, meskipun kenangan itu tampaknya masih menghantuinya.

Semua orang terdiam, tak ada yang berani membuka suara. Mereka masih meresapi cerita horor Lea, membayangkan sosok misterius yang menghantui pendakian tersebut. Di tengah suasana tegang akibat cerita horor Lea yang baru saja berakhir, tiba-tiba saja Rian, produser mereka, datang mengendap-endap dari belakang. Tanpa memberi tanda, dia mengagetkan seluruh ruangan dengan teriakan mendadak.

"BAA!"

"AAAAAAAAA!!!" Semua gadis, termasuk Lea, berteriak histeris.

Bahkan Dara, yang tengah mengerjakan dokumen begitu tenangnya, ikutan histeris kaget mendengar teriakan serempak itu. Rain yang sebelumnya pingsan saja sampai terbangun dan ikut berteriak.

Sontak, wajah Rian berubah canggung setelah menyadari bahwa ia telah mengacaukan suasana. Dengan penuh bersalah, dia berkata,

"Maaf, maaf! Aku gak ngira kalian bakal sekaget itu. Karena momennya pas, jadi coba isengin sedikit."

"Produser! Jahat banget!" Dewi mendelik kesal, diikuti oleh pandangan tajam yang kini datang silih berganti dari gadis lain.

"Untung aja kita gak pingsan bareng-bareng!" keluh Yuna sambil mengatur nafasnya yang berdetak kencang.

Rian mengangkat tangan sebagai tanda menyerah.

"Aku bener-bener minta maaf. Tapi serius deh, jangan terlalu percaya sama cerita-cerita horor kayak tadi. Kalau kalian terlalu percaya takhayul, nanti malah betulan ada yang datang. Orang tua sering bilang begitu."

Ucapan Rian, meskipun dimaksudkan untuk menenangkan, justru membuat suasana semakin runyam. Semua gadis saling berpandangan, merasa tidak nyaman dengan perkataan itu. Mereka sepakat untuk menghentikan cerita horor, mengingat situasinya sudah cukup seram, ditambah lagi cuaca buruk di luar.

Tetapi tiba-tiba saja, sebuah petir besar menggelegar begitu keras di luar jendela, membuat semua orang berteriak lagi. Suara gemuruh itu diikuti oleh padamnya seluruh lampu di ruangan. Kantor agensi Spica mendadak tenggelam dalam kegelapan total.

"Eh?! Mati listrik?!" seru Isla dengan nada panik.

"Kenapa lampunya mati semua?!" tanya Wulan dengan suara cemas.

Kegelapan yang datang mendadak tersebut membuat setiap orang dilanda kepanikan. Rian mencoba tetap tenang meskipun ia sendiri juga terkejut oleh kejadian mendadak itu.

"Mungkin cuma mati lampu sebentar. Jangan khawatir." katanya sambil meraba-raba jalan ke jendela.

"Sebentar gimana? Ini kayaknya semua lampu mati, gak cuma kantor kita!" Lea menimpali, sembari memegangi tangan seseorang di sampingnya.

Rian kemudian membuka tirai jendela dan mencoba melihat keluar. Hujan deras masih mengguyur, tapi yang membuatnya lebih heran, bangunan di sebelah sudah mulai menyala kembali satu per satu. Lampu-lampu di jalanan juga perlahan hidup lagi, sementara kantor mereka tetap dalam gelap gulita.

"Loh? Gedung lain dah mulai pada nyala, kok cuma kita yang masih belum." Rian mengerutkan dahi, merasakan ada yang aneh.

Lea yang ikut mengamati dari belakang juga merasa ada yang ganjil. "Jadi cuma kita yang masih mati lampu?"

"Mungkin saklarnya kena jepret. Biasanya kalau ada lonjakan listrik besar, saklarnya otomatis mutus aliran listrik buat keamanan. Aku bakal cek ke bawah, siapa tahu cuma perlu nyalain saklarnya lagi." kata Rian, yang selesai menganalisa situasi.

Meskipun mencoba terdengar tenang, kegelapan dan cerita horor yang baru saja mereka bahas sebelumnya membuat suasana semakin menyeramkan. Cia mengerutkan kening, sementara Lily tampak menahan cemas. Semua orang berusaha tidak berpikir macam-macam, tapi rasa takut perlahan merambat di udara.

"Kalian tetap di sini saja, jangan banyak gerak nanti tersandung atau jatuh. Aku mau turun ke bawah buat ngecek saklar listriknya." suara berat terdengar dari arah pintu. Rian kini telah melangkah hingga sampai di depan pintu, hanya terlihat sebagai siluet samar darinya di tengah kegelapan.

"Ah iya lupa, manajer, ambilkan hpku di meja! Gelap banget ternyata."

Walau diberikan nasihat tadi oleh Rian seakan tidak cukup untuk meredakan ketegangan yang menyelimuti ruangan.

"Gara-gara kalian cerita nyeremin sih, aku jadi ikut takut gini." Bisik Yuna pelan.

"Santai aja, itu cuma cerita, gak bakal kejadian kok." Wulan tetap berusaha untuk berani walau ia sendiri pun tidak suka di dalam kegelapan seperti ini.

Sebab pintu agensi yang dibuka lebar-lebar, suara dari badai di luar semakin terdengar begitu kuat. Angin berdesir seolah mengetuk-ngetuk jendela, dan suara berderak samar-samar terdengar dari ujung ruangan. Isla yang memiliki ketakutan akan gelap, tidak bisa berhenti bergerak. Dengan napas tersengal-sengal, ia terus mencari siapa pun di tengah kegelapan, meraba-raba untuk menemukan seseorang di dekatnya. Tubuhnya bergerak tak menentu, membuat beberapa member lain yang juga cemas mulai saling menabrak.

"I-Itu siapa tadi? Aku gak tau siapa yang nyentuh aku tadi!" kata Cia berusaha keras untuk tetap tenang, tapi jelas ada kegugupan dalam suaranya.

"Tadi juga ada yang dorong-dorong, tenang semuanya, jangan banyak gerak!"

Di sisi lain, Lily, yang sudah mulai merasa kewalahan oleh situasi tersebut, mengambil inisiatif. "Dengar semua, kita perlu ndeket satu sama lain! Kalau terus-terusan begini, kita bisa saling nabrak dan malah bisa jatuh."

"Bener kata Lily, semuanya, ndeket ke sumber suara sini." Balas Celi begitu tegas.

Semua gadis mulai mendekat, namun gerakan mereka yang tergesa-gesa dan ketakutan yang terus menghantui membuat mereka semakin panik. Di tengah itu, Isla bergerak dengan terburu-buru, terus meraba-raba hingga akhirnya menyentuh seseorang, tetapi ia tidak tahu siapa.

"I-Itu siapa tadi...?" seru Isla ketakutan. Yang lain pun mulai panik, karena tak ada yang bisa memastikan siapa menyentuh siapa dalam kegelapan.

Tiba-tiba, seseorang menggenggam tangan Lily begitu erat, seakan memberitahukan padanya untuk tenang. Sentuhan itu dingin, sangat dingin, namun erat dan terasa berusaha membantunya. Perlahan, satu demi satu gadis lain merasakan genggaman yang sama, mereka dibimbing mendekat ke tengah ruangan untuk saling bertemu satu sama lain.

"Oke, ayo semua saling pegang tangan. Ini bakal bikin kita merasa lebih aman dan nggak bikin kita panik lagi." Lily yang merasakan genggaman tersebut kini menyerukan hal itu.

Satu per satu mereka mulai saling menggenggam tangan, mencoba merasa aman di tengah kegelapan. Namun, setelah beberapa detik, Wulan bergumam dengan suara rendah,

"Eh, tapi... tangan siapa yang dingin banget ini?"

Mereka semua mulai saling bertanya-tanya, sampai Dewi akhirnya menjawab sambil tertawa gugup,

"Mungkin itu tangan si manajer. Dia kan tadi nggak suka cerita hantu, mungkin dia lagi ketakutan sekarang."

Semua gadis tertawa kecil, meski rasa tegang masih jelas terasa di udara. Tetapi momen itu sedikit membantu mengurangi kepanikan mereka. Mereka tetap bergandengan tangan dalam lingkaran kecil, merasakan sedikit kenyamanan di tengah ketidakpastian.

Lantas, kilatan petir kembali menerangi ruangan sesaat, dan Yuna, yang berdiri di pojok lingkaran, melihat sesuatu yang membuat jantungnya serasa berhenti. Di antara mereka, berdiri sesosok gadis dengan rambut yang sangat panjang, menjuntai sampai hampir menyentuh lantai.

"Aaaah!!" Yuna berteriak panik, tubuhnya gemetar, dan dalam kekacauan itu, semua member Spica jatuh terhuyung-huyung ke lantai.

Mereka terjatuh satu sama lain, menyebabkan kekacauan di tengah ruangan.

"Kenapa?! Ada apa, kenapa kamu tiba-tiba teriak Yuna?!" seru Valentin, mencoba mengangkat tubuhnya dari lantai dengan napas tersengal.

Sebelum Yuna sempat menjawab, lampu tiba-tiba menyala kembali. Ruangan yang tadinya gelap gulita kini kembali terang, membuat semua orang merasa lega, walau kebanyakan dari mereka masih terkulai lemas di lantai. Dara yang menyaksikan mereka semua terjatuh kini membantu sembari bertanya kebingungan.

"Kalian kenapa jatuh begitu, tidak apa-apa kan?"

Gadis-gadis itu perlahan bangkit, dibantu oleh Dara, namun wajah mereka masih jauh dari menunjukkan rasa lega akan listrik yang kembali menyala. Yuna yang telah berdiri sembari gemetaran, akhirnya menjawab dengan suara bergetar.

"Aku... aku tadi lihat seseorang... berdiri di antara kita. Rambutnya panjang banget. Aku nggak bohong. Dia ada di sana, barusan."

"Hah? Gak ada ah, kamu panik kali Yuna, jadi salah liat." Balas Cia seakan tidak percaya sama sekali.

"Mungkin saja itu kak Dara, kan dia tadi bareng sama kita." Tambah Wulan dengan yakin.

Meski mereka semua berusaha menganggap kejadian itu sebagai hal biasa, wajah Yuna tetap pucat. Ia yakin, apa yang dilihatnya tadi bukanlah sekadar bayangan atau imajinasinya. Tapi, demi menjaga suasana tetap tenang, ia hanya mengangguk kecil, berusaha mengabaikan perasaannya. Beranggapan bahwa mungkin memang benar itu hanya sebuah ilusi yang tercipta karena dirinya yang merasa panik di antara kegelapan.

Beberapa saat setelah lampu menyala, pintu ruangan terbuka dengan cepat. Lea dan Rian masuk dengan wajah bingung, terkejut melihat para gadis Spica yang tampak sangat berantakan, sebagian masih duduk di lantai.

"Kalian kenapa, kok kaya lemas gitu." tanya Rian, memandang dengan heran.

Dara, yang sudah lebih dulu berada di ruangan, menjawab sambil tersenyum tipis.

"Tadi mereka semua jatuh bersamaan, Produser. Mungkin kaget karena petir, atau... panik."

Setiap gadis menunjukkan senyum terpaksa, berusaha menyembunyikan rasa malu dan sisa ketakutan. Mereka tak ingin memperburuk situasi, walau degup kencang di setiap hati belum sepenuhnya hilang.

"Ada-ada saja. Ketika aku benerin saklarnya di bawah, badainya dah mereda. Jadi, kalian aman buat pulang sekarang."

Mendengar itu, seharusnya mereka merasa lega. Tetapi bukannya berdiri dan bergegas pulang, mereka semua justru saling memandang dengan ragu. Rasa takut yang tadi menguasai mereka di tengah kegelapan belum benar-benar hilang, terutama setelah cerita menyeramkan serta omongan Yuna yang menyaksikan sosok berambut panjang. Isla, yang masih merasa cemas, akhirnya berbicara lebih dulu.

"Produser... apa boleh, aku minta diantarkan pulang?"

"A-Ah... iya, Produser. Kayanya lebih aman deh kalo kita dianter pulang bareng-bareng naik mobil..." tambah Lily cepat-cepat.

Rian dan Lea saling memandang bingung. Sebelumnya, gadis-gadis ini biasanya lebih suka pulang sendiri-sendiri karena lokasi rumah mereka berbeda-beda. Tapi melihat wajah-wajah yang masih dipenuhi kecemasan, Rian akhirnya mengangguk.

"Oke, nggak masalah. Bakal kuantar kalian semua naik mobil kantor. Termasuk staff juga, jadi kita kemas-kemas sekarang."

xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Begitu semuanya bersiap dan masuk ke dalam mobil, suasana di dalam kendaraan terasa jauh lebih ringan. Satu demi satu, gadis-gadis Spica mulai saling tertawa dan bercerita, seolah ketakutan mereka tadi perlahan memudar. Lea, yang duduk di depan bersama Rian, tak bisa menahan kebingungannya.

"Aneh. Tadi aja, mereka ketakutan sampe minta dianter pulang. Sekarang bisa ngobrol ketawa-ketiwi." bisiknya pelan kepada Rian.

"Iya ya. Memangnya tadi waktu aku turun, ada apa?"

Di bangku belakang, tawa kecil dari para gadis terus terdengar. Cia memulai cerita dengan senyum lebar.

"Jadi, waktu mati lampu tadi, kita semua takut banget. Sampai akhirnya Lily bilang buat saling pegangan tangan biar nggak panik."

"Tapi abis kita semua pegangan tangan, tiba-tiba Yuna teriak ketakutan bilang kalau dia ngerasa ada seseorang yang rambutnya panjang banget di antara kita." Wulan menambahkan dengan tawa pelan.

"Eh, tapi itu benar kok! Aku nggak bohong. Rambutnya panjang banget, kayak... sampai nyentuh lantai. Aku serius!" sela Yuna cepat.

"Iya deh iya, tapi setelah itu kan kita jatuh karena Yuna teriak sama Rain panik duluan." Lily tertawa kecil, mengusap pundak Yuna.

"Ya kalian pada ikut teriak juga! Aku ya panik lah!" Rain yang duduk di sebelahnya membalas ketus, terlihat malu.

Kali ini Isla coba meluruskan suasana dengan tenang. "Mungkin yang kalian lihat itu kak Dara. Rambutnya panjang, kan? Rambut kak Dara juga panjang, dan dia bareng di ruangan sama kita tadi."

Mereka saling memandang ke arah Dara yang tengah diam tenang di samping jendela, ia memang memiliki rambut panjang hitam yang dikuncir ke belakang, menjadikan asumsi dari Isla ada benarnya. Semua gadis pun tertawa mendengar penjelasan itu, meski masih ada sisa-sisa ketegangan di wajah Yuna dan Rain. Mereka terus bercanda soal siapa yang punya rambut paling panjang di antara mereka, mencoba mencairkan suasana.

Di dalam mobil, suasana yang semula penuh tawa tiba-tiba berubah menjadi hangat ketika Lily, yang duduk di tengah, tersenyum dan berkata,

"Makasih banget, manajer, tadi pas gelap Kakak pegang tanganku. Karena itu, aku bisa lebih tenang. Berkat manajer juga, kita semua jadi nggak panik."

Yang lain pun setuju. Dewi, Celi, dan bahkan Wulan ikut tertawa, merasa lega.

"Iya, manajer hebat banget, bisa nenangin kita semua. Tapi, tangannya dingin banget, deh! Apa masih takut gara-gara cerita horor yang manajer ceritain tadi?" ujar Wulan sambil terkekeh.

Tawa riuh kembali memenuhi mobil, dan sesaat semuanya merasa lebih ringan. Namun, Rian, yang sedang menyetir, mengernyit bingung. Tanpa menoleh, ia bertanya dengan nada heran,

"Manajer? Bukannya tadi kamu ikut sama aku ke bawah, ya? Bantuin aku bawain ponsel buat nerangin jalan?"

Lea yang duduk di kursi depan terdiam sejenak, matanya membesar. "Iya, tadi aku ikut Produser ke bawah, pegangin ponsel buat benerin saklar. Baru balik pas lampu udah nyala..."

Suasana di dalam mobil mendadak berubah, tawa tadi seakan lenyap begitu saja. Semua orang terdiam membisu, pikiran mereka mulai berpacu mencoba mengingat apa yang terjadi ketika kegelapan meliputi ruangan tadi. Lily yang tadinya ikut tertawa kini memandangi tangannya sendiri, sembari wajah penuh pucat pasi kian muncul dari sana.

"Tunggu... kalau manajer ikut produser ke bawah... terus siapa yang pegang tanganku tadi?"

Lea perlahan memutar tubuhnya, memandang ke arah para gadis di kursi belakang dengan ekspresi serius. "Berarti, yang megang tangan kalian itu siapa...?" tanyanya dengan suara rendah.

Wajah para gadis yang tadinya dipenuhi senyum kini berubah menjadi pucat. Semua kenangan tentang genggaman tangan dingin yang menenangkan mereka di tengah kegelapan kembali terbayang. Mereka semua merasakan tangan itu, tetapi kini muncul pertanyaan yang jauh lebih menakutkan, siapa yang sebenarnya menyentuh mereka di dalam gelap?

Lea kini mengalihkan pandangan ke Dara dengan serius, matanya seolah meminta kepastian. "Dara, bukan kamu yang pegang?" tanyanya dengan nada mendesak.

Tetapi bahkan seorang Dara yang biasanya tenang, terlihat tegang. Suaranya bergetar ketika ia menjawab, "Sa... saya sewaktu mati lampu tetap duduk di meja kerja. Tidak bergerak sama sekali."

Keadaan dalam mobil semakin sunyi, setiap gadis memandang satu sama lain dengan tatapan ketakutan. Napas mereka terdengar berat, ketegangan kembali menyeruak. Perlahan, kesadaran mulai menghantam mereka semua.

"Terus... siapa dong?" Lily menarik napas dalam-dalam, menatap tajam ke arah para gadis seakan mencari jawaban kepada mereka yang juga panik.

Tak ada yang menjawab. Mereka semua saling berpandangan dengan wajah pucat. Mobil yang tadinya penuh dengan tawa kini hanya dipenuhi keheningan yang mencekam. Wulan menggenggam tangannya sendiri dengan erat, seolah berusaha mengingat bagaimana dinginnya tangan itu, begitu nyata, namun kini terasa semakin menakutkan.

Yuna yang masih terbayang sosok berambut panjang di kegelapan, hanya bisa bergumam pelan, "Aku bilang juga apa... aku lihat seseorang... dan sekarang ini... tangan itu..."

Yuna, yang tadinya masih bersikeras menganggap semuanya cuma imajinasi, kini terdiam ketakutan. Ketika mobil itu melaju pelan di bawah sisa-sisa badai, di antara banyak ketidakpastian terdapat satu hal yang pasti—malam ini bukan hanya tentang mati lampu dan cerita horor biasa. Ada sesuatu yang nyata di antara mereka.

Dan mereka tidak tahu apa itu.