17 Oktober 1950.
Lagi-lagi Aku terbangun pukul 3 pagi.
Ada seseorang yang memasuki ruangan ini, aku terbangun karenanya. Itu adalah perawat. Bukan perawat yang sama dengan kemarin. Mereka mencoba melepas sesuatu yang melekat di tanganku.
Jika dilihat sepertinya perawat itu sepuluh tahun lebih tua dariku, 24 tahun mungkin? Tangannya bergerak cekatan memasang kembali alat itu ke tanganku. Menusuknya menggunakan jarum kecil.
"Bolehkah aku bertanya?"
"Tentu saja. Tanyakanlah apapun." Respon perawat itu.
"Apa yang menempel di tanganku? Rasanya menyakitkan."
Perawat itu terhenti. Lantas menjawab pertanyaanku. "Ini adalah Infus, agar nutrisi tubuhmu tetap tercukupi." Kata perawat itu.
Aku tidak banyak bertanya setelahnya.
"Aku ingin ke toilet, bisakah kamu mengantarku?" Aku meminta tolong.
Itu adalah pertamakalinya Aku merasa ingin ke toilet secara sadar.
Perawat itu tersenyum. Menggendongku.
Pada saat itu juga adalah pertamakalinya aku menyadari jika kakiku tidak ada. Kaki kiriku hilang. Panik, tetapi menahannya, mencoba tetap tenang. Tetapi tetap saja tubuhku bergetar, tidak sanggup menahannya.
Perawat yang menyadari tubuhku bergetar, bertanya, "Apakah kamu baik-baik saja, nak?"
Perawat itu menatapku, melihat tubuhku bergetar ketika aku melihat kakiku. Dia ikut bergetar, menurunkanku dari gendongannya. Tangannya menutup mulut, tidak tahan. Apakah dia jijik melihatku?
Aku berusaha berdiri dengan satu kaki.
Ketika sedang fokus menyeimbangkan, tiba-tiba perawat itu memelukku erat, menangis. Hangat rasanya.
"Pasti berat, nak. Pasti berat. Kamu harus kuat, jika ingin menangis, keluarkanlah. Jangan dipendam. Aku akan selalu ada, panggil lah jika ingin menangis. Setidaknya jika saat itu tiba, kamu tidak sendiri." Nafasnya tidak beraturan, sesekali terhenti menahan isak tangis.
Aku tidak mengerti. Tapi, dadaku terasa sesak. Tanpa sadar air mataku menetes keluar. Membasahi baju perawat itu.
***
21 Oktober 1950.
Satu minggu berjalan begitu cepat, tidak terasa. Akhirnya hari ini tiba. Tidak sabar kembali bertemu dengan dokter Nadia, manjalankan terapi.
Sebenarnya aku sudah diperbolehkan pulang oleh rumah sakit, tetapi dokter Nadia menyarankan agar tetap menjalankan terapi di rumah sakit.
Aku menyetujuinya. Walaupun diperbolehkan pulang, apakah ada tempat pulang untukku? Selain itu dokter Nadia menjelaskan pihak rumah sakit kondisiku, bilang jika khawatir ada seseorang dari keluargaku yang ingin menjenguk. Sebelumnya juga dokter ingin membawaku ke rumahnya untuk menjalani perawatan, tapi batal.
Apakah aku memiliki keluarga? Orang yang mengenaliku sebelumnya? Mengapa mereka tidak menjengukku? Apakah mereka tidak tahu? Aku melamun memikirkan hal-hal itu.
Pada akhirnya tidak menemukan jawaban apapun, tapi aku yakin pasti suatu saat akan menemukan jawabannya.
Suara ketukan pintu terdengar, "Masuk." Kataku.
Pintu terbuka. Itu adalah dokter Nadia. Memakai pakaian serba putih seperti biasanya. Aku membenarkan posisiku, duduk bersandar di kasur.
"Bagaimana kabarmu, Ayu?" Bertanya sembari menutup pintu, lalu berjalan dengan anggun mendekat.
Suara langkah kakinya terdengar khas di telingaku.
"Baik." Balasku, sapaan dari dokter Nadia.
Seperti biasa dokter Nadia duduk di kursi samping kasurku.
"Sudah lama tidak bertemu, apakah konsisimu sudah membaik?" Tangannya menyentuh dahiku, mengecek suhu tubuh. "Sepertinya sudah membaik, ya." Dia tersenyum.
Aku mengangguk.
"Itu berkat para perawat yang merawatku, dok." Kataku.
Para perawat menjagaku dengan baik. Aku sangat berterima kasih kepada mereka. Dokter Nadia tersenyum, "Kamu sudah bertemu dengan mereka? Kalau tidak salah ada tiga orang yang khusus merawatmu beberapa tahun ini. Namanya Nina, Rini, dan Sari. Aku yang meminta mereka untuk merawatmu, Ayu."
"Beberapa tahun terakhir? Dokter Nadia yang memintanya?" Aku bertanya, heran. Tidak mengerti apa yang dibicarakan dokter.
Apa maksudnya beberapa tahun terakhir? Bukankah waktu berlalu beberapa minggu saja? Jika memang mereka telah merawatku beberapa tahun, mengapa aku tidak tahu. Aku menunggu jawaban Dokter.
"Iya, mereka yang menjaga dan merawatmu saat koma. Omong-omong kamu boleh memanggilku Nadia saja, tidak perlu pakai kata dokter." Pintanya menyeruput minuman yang tersedia di meja.
"Berapa lama aku koma?" Tanyaku, tidak sabar menunggu jawabannya. Itu adalah informasi yang baru untukku.
"Kamu sudah ada di rumah sakit ini sejak bulan november tahun 1947, sekarang bulan oktober tahun 1950, jadi kira-kira 3 tahun sejak kamu koma." Ia menjelaskan.
Aku terkejut, tidak percaya. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Para perawat itu telah merawatku selama itu? Aku harus berterima kasih dengan benar kepada mereka.
Kami mengobrol cukup panjang sebelum melakukan terapi, salah satunya adalah tentang para perawat. Aku jadi tahu. Dua perawat yang merawatku saat siang adalah Rini dan Sari, mereka saudara kembar, pantas saja wajah mereka mirip. Dan yang merawatku saat malam hari adalah Nina, dia yang selalu mengganti infusku saat malam.
Tiga puluh menit berlalu, pukul 7:30 pagi. Obrolan berakhir. Dilanjutkan dengan sesi terapi.
Sesi terapi diawali oleh pertanyaan-pertanyaan yang dilemparkan oleh dokter Nadia. Tidak susah, aku menjawab seluruh peryanyaannya.
Pertanyaan seperti, "Apa yang bisa Ayu ceritakan tentang ingatan terakhir yang diingat sebelum Ayu menyadari ada yang hilang dari ingatan Ayu?"
Aku menjawabnya. Meski samar, dan entah mengapa, aku merasa menyukai bunga. Terutama bunga melati yang terpajang di depan jendela itu, aromanya yang lembut membuatku terasa nyaman.
Dokter Nadia berdiri dari kursinya, berjalan ke sudut ruangan, mengambil bunga melati yang terpajang di jendela. "Apa yang kamu sukai dari bunga ini?" Ia mengajukan pertanyaan.
"Aku menyukai baunya. Aromanya lembut, itu membuatku merasa nyaman."
Meskipun bunga melati yang terpajang itu adalah bunga palsu, tetap memiliki aroma khas bunga melati.
Dokter Nadia menulis semua yang aku katakan sebagai jawabanku.
Kemudian beralih kepertanyaan selanjutnya, "Bagaimana perasaan Ayu ketika menyadari ada masalah dalam ingatanmu?"
"Aku tidak tahu. Merasa ada sesuatu yang hilang, tapi tidak tahu apa itu." Lagi-lagi aku menjawabnya dengan baik.
Pertanyaan terakhir, "Apakah ada emosi tertentu yang sering muncul ketika kamu mencoba mengingat periode yang hilang?"
Terkadang dan entah mengapa alasannya, air mata selalu keluar tak tertahan. Bersamaan dengan itu selalu muncul perasaan sedih, kesal, dan putus asa. Seluruh emosi bersatu.
Dokter Nadia mendengarkan dengan baik jawabanku, mencatatnya.
Banyak sekali pertanyaan yang harus kujawab. Dua jam berlalu begitu cepat, sekarang tepat pukul 9:30.
"Baiklah, terima kasih sudah menjawab semua pertanyaannya, Ayu. Untuk hari ini kita akhiri sampai di sini, kita akan melanjutkannya besok. Karena kamu sudah berhasil melewati sesi ini, aku punya hadiah untukmu." Ia memberikan sebuah kit berkebun, sebuah pot kecil.
Ia memintaku untuk menanam dan merawat tanaman.
***
Setelah makan siang aku ingin mencoba keluar dari ruangan ini untuk pertama kalinya. Aku bertanya pada perawat apakah diperbolehkan.
"Boleh, kamu boleh berkeliling sekitar rumah sakit, tapi harus ada yang mendampingimu. Memangnya Ayu mau kemana?" Ujar Sari menimpali. Dia adalah perawat yang selalu merawatku di siang hari.
Biasanya Sari selalu bersama Rini, tapi sepertinya saudara kembarnya sedang ada urusan.
"Ada sesuatu yang inginku lakukan." Jawabku.
"Apa yang ingin kamu lakukan, Ayu?" Ia bertanya, penasaran.
"Aku ingin menanam di kit berkebun yang diberikan oleh dokter Nadia." Aku menjelaskan.
Perawat itu langsung menyetujuinya. Ia memberitahuku jika di rooftop ada alat-alat yang kubutuhkan. Ia juga menawarkan untuk mendampingku. Aku menerimanya.
Kursi roda sudah terparkir rapih di samping tempat tidurku. Sari yang mengambilnya. Aku bangkit dari tidur, Sari membantuku duduk di kursi roda itu.
"Baiklah, aku sudah siap." Tanganku mengepal ke atas, tidak sabar.
Sari tertawa melihatku, "Ayo." Dia ikut bersemangat, mengepalkan tanganya ke atas.
Kursi roda yang kududuki mulai berjalan meninggalkan ruangan, Sari mendorong kursi rodanya. Ini adalah pertamakalinya aku keluar ruangan itu. Berjalan di lorong-lorong rumah sakit. Terlihat banyak sekali orang yang hilir-mudik, orang yang sedang duduk menunggu cemas, mereka sibuk dengan urusannya masing-masing.
Sari mengajakku untuk berkeliling rumah sakit sebelum ke tujuan utama kita.
Rumah sakit ini sangat besar, ada 12 lantai. Masing-masing lantai memiliki fungsinya tersendiri. Lantai satu untuk penerimaan regitrasi. Aku bisa melihat banyak orang yang sedang menunggu antrian. Terdengar suara tangisan satu atau dua anak yang tidak sabar menunggu.
Kita lanjut menuju lantai dua, menggunakan lift. Tidak mungkin menggunakan tangga sementara aku menggunakan kursi roda.
Lantai dua sampai empat untuk pasien rawat inap. Ruanganku berada di lantai empat. Perawat Sari yang memberitahuku. Di sini cukup sepi, tidak terdengar suara apapun.
Sesekali aku bertanya kepadanya. Dia menjawabnya dengan antusias.
Lantai lima adalah departemen bedah, terlihat dari jendela besar disetiap ruangan alat-alat medis besar yang tak kuketahui.
Lantai enam sampai delapan untuk departemen penyakit dalam dan radiologi, lantai sembilan dan sepuluh adalah tempat departemen kandungan, dan lantai sebelas departemen kesehatan jiwa. Sari banyak menjelaskan. Aku mendengarnya dengan baik.
Yang terakhir adalah lantai dua belas, entah tempat untuk apa. Perawat Sari tidak banyak menjelaskan tentang lantai ini. Aku juga tidak tertarik.
Kita langsung menuju rooftop rumah sakit ini, lantai paling atas. Tidak menggunakan lift, namun berjalan melalui tangga. Untungnya ada tangga datar khusus untuk disabilitas, jadi kursi rodaku bisa melewatinya dengan mudah.
Pintu rooftop dibuka. Silau sekali. Butuh beberapa waktu untuk mataku beradaptasi dan bisa melihat sekitar. "Indah sekali." Aku melihat sekitar, terpesona.
Sari mendorong kursi rodaku, berjalan di lintasan yang telah terhias bunga-bunga.
"Indah bukan? Dulu ada orang yang menanam bunga-bunga ini. Kami merawatnya hingga sekarang." Sari menatap hamparan bunga yang memenuhi rooftop.
Bukan hanya bunga, banyak sekali tanaman hias. Bahkan ada perkebunan kecil khusus buah-buahan.
"Siapa yang menanam tanaman sebanyak ini?" Aku masih terpukau di kursi roda, tak bergerak.
Sari menatap pada salah satu bunga, memetiknya. "Pasien rumah sakit ini. Dia menderita penyakit tuberculosis, penyakit yang tidak ada obatnya. Pasien itu mendedikasikan hidupnya untuk berkebun." Dia mencium bunga itu. "Harum sekali."
"Sekarang di mana orang itu? Apakah dia sudah keluar dari rumah sakit?" Aku menatap Sari.
Sari terdiam mendengar pertanyaanku.
Menggelengkan kepala, lalu tersenyum masam. "Iya, dia sudah bahagia sekarang."
Sari berjalan mendekat. "Omong-omong mari kita cari apa yang kamu butuhkan, Ayu." Ia mendorong kursi rodaku, mengubah topik pembicaraan.
Aku mengangguk. Setuju.
Tanah subur, air, dan peralatan lainnya telah kudapat. Aku kembali ke ruanganku.
"Terima kasih sudah menemaniku, Kak Sari." Aku berterima kasih.
Sari menggelengkan kepala. "Aku senang bisa menemanimu, Ayu. Jika ingin sesuatu, kamu bisa memanggilku." Dia meninggalkan ruangan membawa kursi roda itu.
Pot kecil itu sudah aku tanam dengan bunga yang aku sukai. Tinggal menunggu sampai bunga itu tumbuh dan bermekaran.