12 Desember 1946.
Mataku terbuka, mendengar keributan yang terjadi di luar. Suara kentongan berbunyi keras, membangunkan seluruh penduduk, pertanda ada situasi yang darurat. Aku melihat jam, Pukul setengah satu pagi, matahari bahkan belum terbit. Segera mencari tahu apa yang terjadi.
"TOK, TOK, TOK. SEGERA BANGUN. PARA PENJAJAH MENYERBU, SELAMATKANLAH DIRI KALIAN. LARI, PERGI KE POSKO PENGUNGSIAN DI KOTA KABUPATEN. SEGERA LAR-" Suaranya berhenti bersamaan dengan ledakan yang keras.
Jantungku berdebar kencang, panik. Berlari ke kamar ibu. Terlambat, seseorang telah masuk ke rumah ini. Mereka memegang senjata yang sangat besar. Kakiku bergemetar, keringat bercucuran. Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tubuhku tidak mau bergerak tertahan di balik pintu kamarku.
Mereka terlihat jelas dari dalam sini, memporak-porandakan seisi rumah. Aku mengepalkan tanganku. Takut, kesal, membuat seluruh tubuhku lemas.
Aku tidak tahu, Aku tidak tahu. Apa yang harus kulakukan.
Melati mulai menangis mendengar keributan yang terjadi, Aku berlari ke arahnya, menggendong untuk menenangkan adikku. "Yosh, yosh, kakak ada di sini. Jangan menangis."
Orang-orang asing itu mulai bergerak mendengar suara tangis Melati, menggeledah seisi rumah. Aku sangat ketakutan, berharap ada yang datang menyelamatkan. Tapi kenyataan selalu menyakitkan.
Ibuku yang baru terbangun mendengar keributan, terbangun. Dia tidak tahu apa yang terjadi, keluar kamar untuk mencari tahu. Yang tidak ibu ketahui ada dua orang membawa senjata besar menunggu.
Belum sempurna pintu kamar ibu terbuka, teriakan keras terdengar. Kaget melihat ada orang memporak-porandakan seisi rumah.
Orang-orang itu yang mendengar teriakan itu tanpa ampun mengarahkan senjata api ke arah ibu.
Aku semakin panik. Aku ingin berlari menyelamatkan ibu, di sisi lain tubuhku tidak mau bergerak, hanya terduduk lemas di balik pintu memeluk adikku.
"BERISIK. DIAMLAH, ANGKAT TANGANMU." Salah satu orang membentak, mengancam menggunakan senjata api besar.
Ibu yang panik semakin manjadi, dia terjatuh tak berdaya. Kakinya meronta-ronta, mundur. Sama sepertiku, tidak bisa menggerakan tubuh. Teriakannya semakin menjadi, terdengar keras seisi rumah.
Orang-orang itu semakin jengkel, sudah siap melepaskan tembakan. Aku menangis.
"Sudahku bilang DIAM." Bersamaan dengan itu, orang itu menarik pelatuk.
DOR, DOR, DOR. Timah panas melesat, menembus tubuh. Darah segar mengalir.
Aku melepaskan pelukan adikku, refleks berlari ke arah ibu, memeluknya. Aku menangis, tak berdaya.
Orang-orang itu melihatku, mengobrol dengan rekannya dengan bahasa yang tidak kumengerti.
"Apakah harus kita habisi juga?" Salah satu dari mereka berbicara.
"Jangan sisakan satupun dari mereka." Satunya menjawab, mengarahkan senjata itu kepadaku.
Mataku melotot, tanganku bergetar penuh dengan darah. Aku tidak memperdulikan mereka, fokusku tertuju pada ibu yang terjatuh duduk bersandar di tambok kayu.
Nafas Ibu semakin lemah, tapi masih sadar. Membalas memeluku, tersenyum. Mendekatkan kepalanya ke telingaku lalu berbisik, "Larilah, nak. Teruslah hidup dan jadilah orang yang bebas." Ucapannya tersendat-sendat, menahan rasa sakit. Nafasnya tidak beraturan, semakin lemah. Hingga akhirnya jatuh tergeletak di lantai, pelukannya terlepas dariku.
Amarahku sampai puncaknya, tidak peduli nyawaku sendiri.
"SIALAN KALIAN. APA YANG KALIAN LAKUKAN PADA IBUKU! KEMBALIKAN DIA PADAKU SEKARANG." Suara teriakanku sangat keras.
Itu adalah energi terakhir yang kupunya. Aku menangis. Aku kesal. Aku marah. Aku mengutuk mereka. Kenapa jadi begini? Apa yang seharusnya aku lakukan? Hei, jawablah.
Suara tangisan terdengar dari kamarku. Salah satu dari mereka tidak ragu melepaskan timah panas ke pintu itu.
Suara tangisan itu terhenti.
Aku terdiam, duduk. Menatap kelangit-langit. Rambut perak panjangku terurai kusut, tatapanku kosong, sudah siap untuk menghilang dari dunia ini.
Aku sudah pasrah. Orang yang mengarahkan senjata padaku, para penjajah itu, melepaskan pelatuk. DOR. DOR. Terdengar suara keras. Aku menutup mata, tapi aneh, tubuhku tidak terkena timah panas itu.
Mataku terbuka, terlihat dua orang itu telah tergeletak di lantai penuh darah. Timah panas menembus kepala mereka.
Aku melihat seorang dengan pakaian militer seperti ayah berlari masuk. "Apakah kamu baik-baik saja?" Seorang pria dengan kumis tebal bertanya padaku.
Aku mengangguk tipis. "Daripada aku, tolong... Tolong selamatkan ibu dan adikku." Suaraku lemah. Energiku sudah habis, mentalku hancur.
Tatapanku masih kosong menatap langit-langit. Bajuku berlumuran darah. Kesadaranku mulai menghilang, dan pada akhirnya aku kehilangan kesadaran.
***
18 Oktober 1950.
Aku terbangun. Apa itu tadi? Mimpi? Itu terlalu nyata untuk mimpi. Apakah itu Aku?
Aku menyandarkan tubuh, menatap tangan yang gemetaran. Bukan hanya tangan, tubuhku juga. Kepalaku pusing sekali, suara nging keras terdengar di kepala. Tubuhku yang sedang bersandar menjadi meringkuk kesakitan, mengeliat.
Sekarang pukul 7 pagi. Jarang sekali rasanya bangun ketika matahari telah terbit, biasanya aku terbangun pukul tiga pagi dengan sendirinya, kali ini berbeda.
Perawat yang mengantarkan makanan melihatku meringkuk, dia segera bergegas mendekat, menyuntikan sesuatu ke infusanku. Perlahan rasa sakit itu menghilang, juga suara nging yang terdengar. Tubuhku berhenti meringkuk, tenang.
"Terima kasih." Kataku. Menyandarkan posisi.
Orang yang membantuku adalah perawat Rini, dia sedang mengantarkan makanan. Ia duduk di kursi samping tempat tidurku, menaruh makanan yang dibawanya di meja. "Kamu baik-baik saja, dik?" Ia bertanya.
Aku menggelengkan kepala. "Tidak apa, kepalaku hanya terasa sakit."
Rini yang mendengar, menjulurkan tangannya ke dahiku, memeriksa. Tangannya terasa dingin.
"Tubuhmu panas, Ayu, biarkan kakak mengompresmu." Rini segera keluar ruangan, mengambil alat kompres.
Aku membaringkan tubuhku, memakai selimut. Entah mengapa, padahal sedang kedinginan, tapi tubuhku berkeringat. Hanya tubuhku saja yang kedinginan, kepalaku justeru sebaliknya, merasa gerah.
Fikiranku tidak bisa terlepas dari kejadian tadi. Apakah itu mimpi? Tidak, bagaimana pun itu terlalu nyata. Mungkinkah itu ingatan masa laluku? Tidak tahu. Kepalaku menjadi semakin pusing ketika memikirkannya.
Lima menit, Rini kembali. Membawa sebuah baskom berisi air hangat dan alat kompres. Tangannya cekatan ketika membasahi handuk kering, memerasnya, lalu meletakan di dahiku. Lalu kembali duduk di kursi.
Rasanya hangat, sangat nyaman.
Tubuhku terbaring tak berdaya. Sepertinya efek obat yang disuntikan ke dalam infusku hanya sementara. Kepalaku kembali merasakan sakit, meski tidak separah sebelumnya.
"Hei. Apa yang kamu lakukan kepada infusku sebelumnya, kak Rini?" Aku menatap perawat Rini, bertanya.
Rini tanpak berfikir sejenak.
"Ahh, itu obat penenang, Ayu. Untuk menenangkan pasien." Rini menjelaskan.
Aku mengerti, itulah sebabnya.
Rini mengambil handuk yang telah dingin dari dahiku. Mencelupkannya kembali ke air hangat, memerasnya, dan kembali menaruhnya di dahiku. Terus berulang, sampai tiga kali.
"Hei. Aku ingin bertanya. Apakah kamu mengetahui tentang pembantaian beberapa tahun terakhir?" Aku bertanya tentang 'mimpi' itu.
"Pembantaian? Kenapa Ayu ingin mengetahui itu?" Rini bertanya balik.
"Hanya penasaran." Jawabku, singkat.
Aku tidak ingat apapun, tetapi mimpi itu seperti bagian dari ingatanku. Siapa anak itu? Dia seperti anak berumur dua belas tahun, Apakah itu aku? Siapa anak berusia tiga tahun itu? Apakah anak itu adikku? Wanita itu, apakah itu ibuku?
Aku ingin memastikan semuanya.
Rini terdiam, berfikir. "Kalau tidak salah, empat tahun terakhir ada peristiwa semacam itu. Kakak tidak tahu detailnya, hanya sekedar mengetahui." Jelasnya.
"Apakah ada yang selamat dari kejadian itu?" Aku bertanya kembali, berharap mendapat petunjuk.
Rini menggelengkan kepala. "Kakak tidak tahu."
Rini bilang pembantaian itu terjadi empat tahun lalu, dan kalau tidak salah, dokter Nadia memberitahuku jika aku telah koma selama tiga tahun. Sepertinya itu hanya mimpi.
Empat puluh menit telah berlalu, Perawat Rini masih menemaniku, duduk di kursi samping tempat tidur. Sekarang pukul 7.40. Seharusnya dokter Nadia telah datang, sepertinya dia terlambat.
Aku menghabiskan waktu mengobrol dengan perawat Rini, dia bercerita tentang adiknya, perawat Sari. Bilang kalau adiknya selalu membicarakan soal berjalan-jalan denganku ke taman bunga. Rini iri, ingin ikut jalan-jalan ke taman bunga. Tapi batal, dia tidak bisa ikut karena harus mengurus sesuatu.
Perawat Rini selalu mengurusku di pagi hari, perawat Sari sore hari, dan perawat Nina yang selalu mengganti infusku di malam hari. Aku mengerti. Meski sulit untuk membedakan perawat Sari dan perawat Rini, mereka saudara kembar.
"Tok, tok, tok." Suara ketukan pintu terdengar.
Perawat Rini bangkit dari kursinya, membukakan pintu.
"Halo, Rini. Apakah kamu sedang bersama Ayu?" Seseorang menyapa Rini.
Orang yang mengetuk pintu itu adalah dokter Nadia.
"Ayu keliatannya sedang sakit, dok. Jadi Rini sedikit menemaninya." Rini tersenyum.
Dokter Nadia menatapku, melihat ada kompresan di dahiku, dia melangkah masuk.
Rini menatapku, "Sampai jumpa, dik Ayu." Ia melambaikan tangan kepadaku. Meninggalkan ruangan.
Seperti biasa, dokter selalu duduk di kursinya, memeriksaku. "Apakah kamu merasa tidak enak badan, Ayu? Tubuhmu pasti kedingian, tapi kepalamu merasa gerah?" Dokter Nadia bertanya. Tangannya meraba-raba kompres yang ada di dahiku, dia dengan cepat menggantinya, sama seperti yang dilakukan oleh perawat Rini.
Aku mengangguk. Terkejut, dokter bisa mengetahuinya.
"Kalau begitu sepertinya kita harus menunda sesi terapi hari ini." Dokter Nadia berdiri, mengecek infusku. "Apakah perawat Rini menyuntikan sesuatu ke dalam infusmu, Ayu?"
Aku kembali mengangguk. "Katanya itu adalah obat penenang." Jawabku.
Dokter Nadia mengambil sesuatu, itu adalah selimut, dia menyelimutiku. Tubuhku masih terbaring, selimut berlapis membungkus tubuhku.
"Baiklah, kita akan melanjutkan sesi terapi ketika kamu sudah sembuh. Istirahatlah, Ayu." Dokter Nadia berjalan, meninggalkan ruangan.
"Tunggu, aku ingin bertanya tentang sesuatu." Aku menahan Dokter Nadia.
Langkah kakinya terhenti, membalikan badan. "Ada apa, Ayu?"
"Tentang mimpi."
Dokter Nadia tersenyum. "Simpan pertanyaanmu hingga kamu sembuh, Ayu. Kamu bisa bertanya sepuasnya disesi terapi berikutnya nanti." Melambaikan tangan. Keluar.
Sekarang hanya aku sendiri. Tidak ada siapapun. Dokter Nadia benar, tidak ada gunanya bertanya sekarang, hanya akan memperparah kondisiku. Meski begitu, mustahil untuk tidak memikirkannya.
***