"Pahit, aku tidak mau memakannya."
Mataku tertuju pada Bayu, lidahnya keluar, memuntahkan kembali ikan yang dimakannya.
"Makanlah, kita butuh energi untuk terus berjalan selanjutnya." Komandan menceramahi Bayu.
Bayu tidak peduli, dia tetap tidak ingin makan. Menaruh ikannya kembali.
Arif tampak kesal dengan prilaku Bayu, lantas menegurnya. "Bayu, kalau kau tak makan nanti akan lemas kelelahan. Bakal jadi penghambat. Kami tak mau mati gara-gara kamu."
"Kita harus bersyukur masih bisa makan, Bayu." Aku ikut membujuk.
Ratih mengangguk, setuju.
Komandan Mahendra yang sejak tadi asyik mengunyah ikan, terhenti. "Sudah-sudah, jangan ribut. Kamu Bayu, makanlah, paksakan saja."
Teo yang berada di sebelah kiri Bayu, menginjak kakinya, berbisik. "Jangan egois, oke?"
Bayu yang diinjak kakinya oleh Teo, kesal. Tetapi dia tidak bisa apa-apa, hanya menurut. Bayu mengambil ikan yang ditaruhnya, memakan kembali. Sebenarnya aku tidak terlalu terganggu dengan rasanya, tidak ada bumbu dapur di sini.
Aku menghabiskan ikan itu. Komandan Mahendra bergegas mengambil air, menyiram api unggun, memadamkannya. Terlalu beresiko membiarkan musuh mengetahui keberadaan kita.
Kami semua telah bersiap, melanjutkan perjalanan menuju posko pengungsian.
"Komandan, kita akan ke posko pengungsian bukan?" Ratih bertanya.
Komandan menatap ratih, mengangguk sebagai balasan.
"Apakah penduduk desa yang lain juga ada di sana?"
Komandan Mahendra menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu, tapi rekan-rekanku pasti berhasil mengevakuasi warga."
Ratih terdiam. Menunduk.
"Ayahku juga bagian dari militer, dia pasti akan menyelamatkan warga desa, Ratih." Aku merangkul Ratih.
Ratih menatapku, tersenyum.
"Baiklah, ayo kita berangkat!" Komandan berseru.
"Ayo!" Suara anak-anak, bersemangat.
Mereka mempunyai harapan yang sangat luar biasa, bahkan di saat seperti ini, menganggap seperti tur anak-anak. Aku sangat iri.
Kami berkemas, bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Masing-masing dari kami membawa dua botol air dari bambu yang telah dibuat, jaga-jaga kalau tidak menemukan sumber air kedepannya.
Setelah membersihkan jejak manusia pernah singgah di sekitar, kami pun meninggalkan tempat ini.
***
2 jam berjalan di jalan setapak. Depan, belakang, kiri, kanan, hanya melihat pepohonan tinggi. Sesekali aku melihat hewan-hewan yang sedang bermain-main di tepi sungai, memanjat dari satu pohon ke pohon lainnya, juga burung-burung yang sedang singgah dari perjalanan panjangnya.
Matahari tepat berada di atas kepala kami, terhalang awan gelap, membuat suhu udara tidak terlalu panas. Meskipun begitu, baru saja 2 jam berjalan, pergelangan kakiku mulai terasa sakit. Anak-anak lain juga sepanjang jalan mengeluh, meminta beristirahat. Tetapi komandan terus berjalan. Aku tidak berani mengeluh, apalagi perotes, takut malah merepotkan yang lain.
"Masih jauh, Komandan?" Bayu yang sejak tadi jauh tertinggal di belakang mengeluarkan suara, memecah keheningan.
"Kita baru saja mulai, Bayu."
Wajah Bayu tampak frustasi, semangat dua jam lalu benar-benar sudah hilang.
Arif dan Teo memperlambat langkahnya, mensejajarkan dengan Bayu. "Biarkan aku membawa botol airmu." Teo membantunya.
"Terima kasih."
"Lagian tadi tak mau makan, jadi lemas 'kan." Arif malah menyalahkan Bayu.
Bayu yang mendengarnya, kesal. Wajahnya memerah. Tapi apa yang Arif bicarakan ada betulnya, perut Bayu berbunyi.
"Ya, aku menyesal sekarang. Andai saja waktu bisa diulang, aku bakal memakan semua ikan yang ada di sungai itu, termasuk kamu, Arif." Sembari mempercepat langkahnya, melewati Arif.
"Aku bukan ikan, lho. Lagian salah sendiri. Lain kali jangan ngeyel kalau dikasih tahu." Arif yang tidak terima, menembali.
"Sudahlah kalian berdua, jangan berkalahi seperti anak-anak." Teo menengahi mereka.
Percakapan mereka terdengar sampai depan. Meski samar, Aku bisa mendendengar percakapan mereka.
Komandan Mahendra, yang berada tepat di depanku terhenti. Tangannya melambai ke atas, sinyal untuk berhati-hati. Kami semua mendekat, mensejajarkan.
"Ada apa, komandan?" Arif yang waspada, bertanya dengan suara rendah.
Situasi menjadi senyap, hanya terdengar suara jangkrik yang saut menyaut. Jantungku berdebar, air keringat mengucur deras, sampai-sampai aku menahan nafas, tidak berani mengeluarkan suara.
Komandan berada di depan kami, merentangkan tangan kanannya. Menahan kami agar tidak mengeluarkan suara.
Aku mulai mendengar langkah kaki dari depan, di balik bambu-bambu yang menjulang itu. Jantungku berdetak semakin kencang, alih-alih suara nafas, sepertinya lebih keras suara jantungku.
Komandan menolehkan kepalanya kebelakang. Teo bertatapan dengannya, seakan mengerti apa maksudnya.
"Bayu, Ratih, Arif, ikut dengan komandan." Teo menatap mereka bergantian, lalu menatapku "Ayu, ikut denganku." Dia menggenggam erat tanganku, menariknya.
Kami saling bertatapan, tidak mengerti apa yang terjadi. Tidak ada waktu untuk berfikir, suara langkah kaki dari balik semak bambu semakin mendekat. Bahkan aku bisa mendengar percakapan dari balik bambu itu dengan samar.
"Ayo, Ayu." Teo menarik paksa tanganku.
Tanpa percakapan, kami berpencar. Berlari sekencang mungkin. Tapi terlambat, suara langkah kaki kami terdengar, membuat mereka melemparkan timah panas ke arah kami dengan sembarang.
Aku dan Teo berlari ke arah timur. Komandan, Arif, Bayu, dan Ratih ke arah selatan. Teo berlari sembari menarik tanganku, dia berlari terlalu cepat, kakiku tidak mampu mensejajarkan.
DOR. DOR. Timah-timah panas yang melesat tidak beraturan itu sangat mengerikan. Aku dan Teo berlari zigzag menghindarinya, sesekali melompati akar-akar pohon besar. Satu dua pohon yang kami lewati terkena peluru nyasar, seketika berlubang. Jantungku hampir terhenti melihatnya.
Aku melihat ke belakang. Seseorang yang berpakaian serba hitam sedang mengejar kami. Wajahnya ditutupi oleh kain berwarna hitam dengan corak emas. Baju yang sama dengan mereka.
"Jangan lihat ke belakang, Ayu. Fokus berlari." Teo memarahiku. Langkahku tidak stabil, pergerakan kami semakin melambat.
Kakiku mati rasa, sangking sakitnya. Tapi aku tidak bisa berhenti, nanti malah menghambat Teo.
"Maaf." Suaraku terengah-engah, menderu tak beraturan.
Peluru-peluru itu semakin kuat, tidak ditembak secara asal lagi. Orang yang mengejar kami semakin dekat.
"Maaf mengatakan ini, Teo. Kamu lanjutkan saja larinya, aku sudah tidak kuat."
Teo menatapku, marah. Genggamannya semakin erat. "Bicara apa kamu, kita akan terus bersama. Aku sudah berjanji kepada komandan."
Aku menatap Teo, matanya sangat serius. Padahal dia bisa saja lari tanpaku.
Suara tembakan kembali terdengar, tapi kali ini berbeda, langkahku benar-benar terhenti. Tubuhku terjatuh ke tanah. Teo yang melihatku, menghentikan langkahnya.
Kakiku terasa panas. Apa ini? Aku menatap telapak tanganku, gemetaran. Apa ini? Darah? Telapak tanganku merah, penuh darah. Kakiku terkena timah panas itu.
Teo yang terhenti tangannya, bergegas membelakangiku. Mengeluarkan sesuatu dari ransel kecil buatannya.
Orang yang mengejar kami terlihat jelas. Dor. Dor. Teo tidak menghindar, tangannya terkena timah panas. Dor. Dor. Kali ini bukan orang yang mengejar kami yang melepaskan timah panas, melainkan Teo. Dia mengeluarkan pistol kecil dari ranselnya, menembak orang yang mengejar kami.
Orang itu, yang mengejar kami, kabur terbirit-birit ketika tahu Teo mempuyai pistol. Tapi Teo tidak membiarkannya, dia terus menambak. Sampai peluru berkali-kali menembus perut orang itu. Anehnya, meskipun telah tertembus peluru, orang itu masih berlari hingga menghilang dari pandangan kami.
Teo berbalik mendekatiku. Ia memasukkan kembali pistol ke ranselnya. "Kamu baik-baik saja, Ayu?"
Begitu menyadari kakiku penuh darah, Teo segera menggendongku.
"Kamu berlebihan, Teo. Padahal tidak perlu sampai seperti itu." Aku mengeluh.
Teo yang sedang berjalan menggendongku terhenti sejenak. "Bakal gawat kalau dia berbalik menyerang komandan." Ia melanjutkan kembali langkahnya.
Teo benar. Semoga Ratih dan yang lainnya baik-baik saja. Apa? Kepalaku menjadi sangat berat, aku memegang bagian belakang kepala. Darah? Apa ini darah? Tapi sejak kapan?
Aku tidak bisa menjaga kesadaranku, ngantuk sakali. Sampai akhirnya aku benar-benar kehilangan kesadaran.
***