30 Oktober 1950.
Kepalaku berdengung keras, membuatku terbangun dari mimpi itu. Aku mengambil segelas air dari meja samping kananku, meminumnya. Mataku tertuju pada jam dinding yang ada di atas jendela. Pukul 2 siang. Jarang sekali rasanya tertidur di siang hari, benar-benar tidak mengenakan. Sekujur tubuhku sakit karenanya, kepalaku juga menjadi pusing.
Aku tahu itu bukan mimpi, melainkan pecahan ingatanku yang hilang. Satu-persatu pecahan itu menyatu kembali membentuk ingatan yang sempurna, seperti puzzle yang sedang dibentuk. Itu yang dokter Nadia katakan. Meskipun terkadang perasaan takut menyelimutiku, aku harus kuat.
Suara langkah sepatu terdengar dari lorong rumah sakit. Tok. Tok. Tok. Ketukan pintu terdengar. "Masuk." Ucapku.
Itu pasti dokter Nadia, sebelumnya dia telah berjanji akan menemuiku.
Pintu yang ada di sudut ruangan itu terbuka. Benar, dokter Nadia yang datang. Dia tidak datang sendirian, perawat Nina, Rini, dan Sari menemaninya. Tumben sekali melihat mereka berkumpul bersama.
Mereka melangkah masuk. Nina menutup kembali pintu, kemudian menyusul masuk. "Selamat siang, Ayu. Lama tidak bertemu, apakah kamu baik-baik saja?" Seperti biasa, dokter Nadia menyapaku, duduk di kursi samping kananku. Perawat Nina, Rini, dan Sari berdiri di sampingnya.
"Halo, adik." Rini melambaikan tangannya, menyapaku. Nina dan Sari juga tidak mau kalah, melambaikan tangan.
Aku mengangguk, membalas mereka.
"Aku mempunyai kabar baik. Kamu sudah boleh pulang, Ayu."
"Meskipun dokter Nadia berkata seperti itu, tapi aku tidak punya tempat untuk pulang." Jawabku, kebingungan.
Dokter Nadia tersenyum, mengangkat salah satu tangannya, meletakkannya di atas kepalaku, mengelusnya. Hangat. Perasaan yang sebelumnya pernah aku rasakan ketika bersama ibu dulu. Nyaman sekali.
"Jangan khawatir. Kamu akan tinggal bersamaku." Jawab dokter Nadia, menenangkan.
Belum selesai dokter Nadia berbicara, Suara isak tangis haru terdengar.
Suara itu berasal dari para perawat, yang telah merawatku beberapa tahun ini. Entah kenapa mereka mengeluarkan air mata, tetapi melihat mereka, aku tak kuasa menahan air mata.
Sari mengulurkan tangannya, memeluku. Rini dan Nina menyusul, ikut memeluk. Kami saling berpelukan, mengeluarkan air mata. Aku mengerti. Karena diperbolehkan meningalkan rumah sakit, itu berarti kami tidak akan bersama lagi. Akan sulit bertemu. Meskipun aku akan sesekali menemui mereka, tetap saja kami akan jarang bertemu. Itu yang membuat kami sedih.
Dokter Nadia yang melihat kami, tersenyum tulus. "Jangan menangis, kalian akan selalu bertemu kembali. Perpisahan berlinang air mata terlalu menyedihkan, akan memalukan jika kita bertemu kembali."
Meskipun dokter Nadia sudah memperingatkan, Rini, Sari, dan Nina tidak mau melepaskan pelukan.
"Aku tidak bisa bernafas. Sesak." Aku mengeluh.
Mendengar itu, para perawat melepaskan pelukannya, lantas meminta maaf.
"Kita akan sering bertemu, ya. Kakak akan selalu menantikannya." Rini mengucapkan kata perpisahan. Tangannya sesekali mengusap air mata di pipinya, tidak ingin ada orang lain melihat.
"Jangan lupakan kami, Ayu." Sari yang mengatakannya. Suaranya gemetaran, kalah keras dengan isakannya. Tak mampu menahan air mata.
"Aku akan selalu berkunjung saat libur." Nina satu-satunya yang mengucapkan kata perpisahan dengan senyuman.
Aku mengangguk, tersenyum tipis. "Kita akan selalu bertemu."
***
Aku mulai berkemas, membawa barang-barang penting. Meski yang kumiliki hanya pot tanaman dan kit berkebun mini, itupun pemberian dari dokter Nadia.
Bunga melati yang kutanam hampir mekar sempurna, setiap hari aku menyiram bunga itu, hanya tinggal menunggu waktu untuk bermekaran. Pada akhirnya hanya itu yang dibawa, benar-benar tidak mempunyai apapun.
Suara ketuk pintu terdengar. Dokter Nadia masuk menjemputku, membawa kursi roda yang biasa kugunakan. Aku menaikinya, sembari membawa kita berkebun yang ada digenggamanku.
Kami berjalan di lorong rumah sakit. Dokter Nadia yang mendorong kursi roda, didampingi oleh para perawat, mereka menemani sampai gerbang rumah sakit.
Lift terbuka tepat di depan lobby rumah sakit. Banyak sekali orang yang hilir-mudik, sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang cemas sedang menunggu, sibuk menenangkan anak-anak mereka yang rewel, ada pula yang sedang bermain bersama anak-anaknya di perosotan dalam rumah sakit.
Tepat di hadapanku gerbang rumah sakit. Mobil kecil sudah menunggu kami, mengantarkanku ke rumah dokter Nadia.
Kami berjalan, keluar dari gerbang besar yang terbuat dari kaca. Semakin dekat, semakin jantungku berdebar. Aku benar-benar akan meninggalkan rumah sakit ini.
Para perawat, yang tepat berasa di belakangku menahan kesedihan. Menutupinya dengan senyum. Tapi aku tahu, mereka tidak ingin aku merasa sedih.
Kursi rodaku sudah berhadapan dengan benda kotak yang disebut mobil itu. Para petugas membantuku memasuki mobil, meninggalkan kursi roda yang biasa kupakai.
Aku menatap dokter Nadia. "Dokter tidak ikut?"
Dokter Nadia menggelengkan kepala. "Dokter masih ada urusan di sini, nanti akan menyusul." Jawabnya.
Aku mengangguk.
Tatapanku berganti ke para perawat. Mereka tersenyum, melambaikan tangan. Aku membalasnya kembali dengan lambaian tangan.
"Sampai jumpa lagi perawat Rini, Sari, Nina. Terima kasih telah merawatku beberapa tahun ini, aku benar-benar menyayangi kalian."
Tepat ketika kalimatku selesai, mobil itu berangkat, meninggalkan rumah sakit yang sudah menjadi tempat tinggalku.
Para perawat itu, sepertinya tadi mengucapkan sesuatu, tetapi aku sama sekali tidak mendengarnya.
Hanya ada aku dan wanita paruh baya yang mengendalikan mobil ini. Namanya Siti, dia adalah asisten pribadi dokter Nadia. Sesekali dia bertanya kapadaku, tentang hobi dan banyak hal tentang kehidupanku di rumah sakit.
Sepanjang jalan, kiri dan kanan, aku melihat bangunan-bangunan tinggi yang sangat indah. Besar. Sesuatu yang jarang kulihat sebelumnya.
"Kau akan terkejut begitu sampai, nak." Wanita paruh baya itu yang mengatakannya. Matanya mencuri-curi pandang kepadaku yang duduk di belakang.
Aku tidak mengerti apa yang Siti katakan. "Maksud bu Siti?" Tanyaku, kebingungan.
Siti tidak langsung menjawab. Sedang fokus mengganti gigi menjadi rendah, menghentikan mobil, di depan kami ada lampu merah.
Siti tersenyum, "Di rumah sakit, kau tidak memiliki teman sebaya 'kan?"
"Benar, itu yang kukatakan sebelumnya. Meskipun berkali-kali mendapatkan teman, mereka selalu pulang lebih dulu. Jadi aku lebih sering sendirian." Jawabku.
Lampu merah berganti menjadi kuning, yang kemudian berubah menjadi hijau. Kendaraan yang di belakang kami terus menyalakan klakson, tidak sabaran. Siti terlihat kesal mendengar klakson-klakson itu, segera memasukan gigi dan mobil kami kembali melaju di jalanan besar.
Siti menatapku melalui kaca spion dalam. "Tempat yang kita tuju, rumah tuan Nadia, sudah seperti tempat perlindungan anak. Kau akan mempunyai banyak teman di sana."
Mataku berbinar mendengarnya, "Sungguh?" aku menegakan tubuhku, meletakan kedua tangan ke kursi depan. Antusias. Menunggu jawaban dari Siti.
Siti tertawa tipis melihat kelakuanku. "Iya, sungguh. Sudah kubilang bukan? Nak Ayu akan terkejut begitu sampai di sana."
Berteman, ya... Aku akan menantikannya!
Tiga jam telah berlalu. Sepanjang jalan, hanya menghabiskan waktu menatap jendela. Melihat transisi dari perkotaan ke perdesaan, kemudian bertransisi kembali ke daerah perkotaan yang tidak terlalu besar. Itu adalah kota tempat dokter Nadia tinggal, kota kecil di daerah perbukitan.
Mobil kami tepat berhenti di sebuah rumah besar yang terletak di kaki-kaki bukit.
Tatapanku terfokus pada orang-orang yang menyambut kami di luar. Banyak sekali. Satu dua orang memegang bunga, yang lainnya berdiri berjejer di depan rumah itu.
"Selamat datang di rumah, Nak. Silahkan turun, yang lain sudah menunggu." Siti tersenyum, menyuruhku turun.
Aku membuka pintu, turun dari mobil yang dibawa oleh Siti. Dia juga ikut keluar dari mobil begitu aku turun. Satu orang laki-laki sudah bersiap membawa kursi roda, meletakkannya di depan pintu mobil. Dia membantuku menaiki kursi roda.
"Terima Kasih." Kataku, tersenyum.
Pandanganku semakin jelas. Melihat orang-orang... Tidak, teman-temanku di masa depan. Dua orang gadis yang memegang bunga sepertinya lebih muda dariku, 14 tahun, mungkin?
Sebelum dibawa ke rumah sakit, umurku masih 12 tahun. Dan menurut dokter Nadia, sudah 3 tahun aku dirawat di rumah sakit. Jadi seharusnya umurku 15 tahun. Tapi yang membuatku janggal adalah kejadian itu, tradegi itu, terjadi 4 tahun lalu. Bulan Desember tahun 1946. Kemana diriku selama satu tahun itu? Apakah terjadi sesuatu? Tidak. Tak ada gunanya memikirkan itu sekarang, lebih baik nanti saja kupikirkan.
Di belakang dua gadis itu ada lima orang yang berjejer. Tiga orang perempuan dan dua orang laki-laki. Sepertinya usianya tidak berbeda jauh denganku.
Tepat ketika aku menutup pintu mobil, "Selamat datang, Ayu. Selamat datang di rumah ini." Mereka semua serempak mengatakannya.
Mataku berbinar melihatnya, merasa diterima. "Eh, bagaimana kalian tahu namaku?"
"Kak Nadia memberi tahu kami, dia selalu, selalu, selalu menceritakan kak Ayu." Gadis di depanku, yang membawa bunga mengatakannya. Sembari memberikan bunganya kepadaku.
Aku menerima bunga yang mereka berikan. Tapi, kenapa mataku malah mengeluarkan air. Semakin lama, semakin deras air mataku keluar, tidak bisa dihentikan.
Tanganku mencoba menyeka. tidak ingin orang lain melihat. Sangat memalukan. Tetapi meski begitu, ada perasaan senang di bagian paling dalam diriku.
"Eh, kenapa malah menangis." Gadis yang memberikan bunga itu panik, kepalanya menengok kiri, kanan, dan belakang. Khawatir terjadi sesuatu yang serius.
"Ahahaha, jangan khawatir, Novi. Ayu menangis karena sangking senangnya kita sambut." Anak laki-laki yang mengatakan itu.
Tidak asing rasanya ketika aku melihat dia. Apakah kita pernah bertemu sebelumnya? Entahlah.
"Jangan begitu, Te. Jangan meledek Ayu!" Perempuan yang di sampingnya menyikut anak laki-laki itu.
"Aduhh. Maaf-maaf, tapi aku engga meledeknya, lho ya." Balasnya.
Orang-orang yang melihatnya, tertawa, begitu pula denganku. Meskipun masih ada sisa-sisa air mata di wajahku.
"Sudah-sudah, mari kita masuk. Kasihan Ayu, panas-panasan menunggu di luar." Siti memotong tawa kami.
***