21 Oktober 1950.
Pukul 9 malam. Hari berlalu begitu cepat, tidak banyak hal yang bisa diceritakan. Hanya saja, ada beberapa hal yang mengganggu fikiranku. Dokter Nadia belum kembali sejak beberapa hari yang lalu. Perawat Sari memberitahuku kalau dokter Nadia sedang sibuk, ada urusan yang harus diselesaikan, belum bisa kembali ke ibu kota.
Sementara dokter Nadia pergi, para perawat yang menggantikannya. Mereka adalah orang yang dipercayai olehnya. Banyak pasien yang sedang ditangani oleh dia di rumah sakit ini, bukan hanya aku. Wajar memiliki banyak asisten.
Meskipun Sari, Rini, dan Nina berstatus sebagai perawat, sebenarnya mereka adalah asisten dokter Nadia. Menggantikannya, jika sedang pergi ke luar kota.
Belakangan ini aku menjalankan latihan bersama para perawat. Bukan seperti yang dokter Nadia lakukan, hanya latihan menggunakan kursi roda dan sedikit latihan motorik tubuh. Seperti pergi ke toilet menggunakan kursi roda. Tidak terlalu sulit, kakiku masih ada satu, jadi itu tidak terlalu masalah untuku.
Bunga-bunga juga sudah mulai tumbuh. Aku selalu menyiramnya. Sangat senang rasanya.
Aku lebih sering berjalan-jalan di sekitar rumah sakit, sendiri. Para perawat mengijinkannya. Bertemu dengan orang-orang yang sama denganku, mengobrol dengan mereka membuatku menyadari sesuatu.
Tidak memiliki ingatan tentang diriku sendiri benar-benar menakutkan. Karena itu, aku selalu memikirkan mimpi itu, tidak peduli seberapa menakutkan, seberapa menyedihkan diriku. Aku akan menerimanya. Itu lebih baik daripada tidak mengetahui siapa diriku sendiri.
Tetapi 'mimpi' itu, semakin lama kufikirkan, semakin yakin jika itu adalah pecahan memoriku. Aku ingin segera bertemu dengan dokter Nadia, memastikan yang sebenarnya. Dia pasti mengetahui sesuatu.
***
12 Desember 1946.
Aku tersadar, mataku mulai membuka. "Di mana Aku?" aku membangunkan tubuh. Menatap sekitar. Yang pertama kali kulihat adalah pria dengan kumis tebal sedang bersandar kepada pohon besar, empat anak lain tertidur di sampingnya, termasuk aku.
"Dingin." Aku melipat tangan, kedinginan. Tak sengaja melihat baju yang basah berlumuran darah. Tanganku bergetar, menatap tangan yang bersimbah darah. Bergegas kembali melihat sekitar.
"Ibu! Melati! Dimana kalian?" Suaraku dengan agak keras, membangunkan pria berkumis tebal yang ada di hadapanku.
Pria itu membuka matanya, menatapku.
"Hei, di mana ibu dan adikku?" Tanyaku kepada pria itu. Dia masih menatapku, tak berkata apapun. "Hei, apakah kau mendengarkan." Aku menggoyang-goyangkan tubuhnya, memaksa untuk menjawab.
Lagi-lagi pria itu tidak menjawab.
Aku menyerah. Menatap kosong langit. Gelap, hanya bulan dan bintang yang menemani. Sesekali terlihat bintang yang berjatuhan, berharap bisa memutar kembali waktu. Setidaknya aku bisa beri tahu diriku di masa lalu untuk segera pergi dari desa itu sebelum para penjajah biadab menyerang.
Ingin menangis rasanya, tapi air mataku sudah tak bersisa.
Mataku kembali melihat pria itu, pakaiannya compang-camping, penuh dengan luka tembak. Di sampingnya ada empat anak, Aku mengenali mereka. Teman sekelasku.
Kami berada di hutan, tak jauh dari desa. Pepohonan besar menjulang di mana-mana. Suara serangga menari-nari diantara kegelapan. Ini adalah hutan dekat danau. Aku segera mengetahui apa yang terjadi. Bukan hanya rumahku, bahkan seluruh desa diserang oleh penjajah itu. Ibu... Melati... Semoga kalian baik-baik saja, selamat.
"Setidaknya berbicaralah!" Suaraku meninggi.
Pria itu menempatkan jari di mulutnya, seakan memberitahu jangan berisik. "Jangan berisik, musuh akan segera menemui kita." Ia berbisik.
Aku menggeleng. "Lebih baik aku mati oleh penjajah itu daripada kehilangan adikku." Suaraku tidak menurun. Masih menatap kosong pria itu.
Pria itu menutup mulutku dengan tangannya, meredam suaraku. "Jangan gegabah, kita semua akan terbunuh." Ia manatapku tajam.
Aku menyerah. Itu hanya akan memperburuk situasi dan teman-temanku akan terbunuh. Aku tidak menginginkannya.
Mengingatnya saja membuat hatiku teriris, Aku tidak bisa menerimanya. Ibu dan adikku pasti masih hidup, itu yang ku yakini.
Aku duduk meratap langit, menangis. Air mata keluar semakin deras begitu aku memikirkannya, bukan air, melainkan darah merah. Air mataku telah habis, darah yang menggantikannya. Tidak terasa sakit, tubuhku mati rasa. Tidak peduli apa yang terjadi pada tubuhku, Aku hanya ingin ibuku kembali.
"Bangunlah." Pria itu membangunkan satu persatu anak-anak yang tertidur.
Aku mengenal semua anak-anak itu, mereka satu kelas denganku sebelumnya. Ada lima orang anak. Dua orang perempuan dan tiga laki-laki. Ratih, Bayu, Arif, Teo, dan aku.
Ratih yang pertama kali bangun, kemudian Arif dan Teo menyusul. Hanya Bayu yang tidak bisa dibangunkan, dia sepertinya tidak sadarkan diri, pingsan. Terpaksa pria dengan kumis tebal itu menggendongnya.
Terdengar suara jejak kaki dari semak-semak di selatan kami. Itu adalah arah desa. "Musuh datang." Pria itu bersiap-siap.
Aku tidak mengerti. Bukankah kita seharusnya sudah aman? Mengapa mereka mengejar? Apakah mereka belum puas?
Anak-anak yang terbangun juga tampak bersiaga. Suara semak itu semakin mendekat. Jantungku berdebar kencang. Kami bergerak mundur perlahan, tak bersuara.
"MEREKA DI SINI! ADA YANG MELARIKAN DIRI." Teriak pasukan musuh melihat kami.
Pria berkumis tebal itu dengan cepat mengeluarkan senjata, menembakannya. DOR. Suaranya sangat keras, sampai-sampai membuat kuping berdenging. Anak-anak lain menutup telinga mereka.
Pasukan itu jatuh di tempat, meninggal bersimbah darah.
"Lari! Anak-anak. Ikuti paman." Pria berkumis tebal itu memberi instruksi.
Kami semua berlari secepat yang kami bisa di belakang pria itu. Terlihat jaket yang dikenakannya adalah milik militer, pasti orang itu dari militer desa. Sama seperti ayah.
Semoga ayah baik-baik saja. Aku sangat sedih, tapi tidak ada waktu untuk meratapinya.
Nafasku tidak beraturan, kakiku mati rasa, detak jantungku berdebar kencang. Aku berlari menembus hutan yang gelap. Satu dua kali kakiku tersandung akar yang menjular di tanah, terjatuh. Darah segar keluar dari lututku, sakit, Aku ingin menangis. Namu aku sadar kalau pria itu, dan anak-anak lain sudah jauh di depan. Aku akan tertinggal jika duduk diam.
Pasukan musuh terlihat di belakangku, samar. Aku berusaha bangkit, kakiku gemetaran, lantas aku mulai berlari.
Suara tembakan terdengar, mengenai pohon yang tepat berada di sampingku. Aku terus berlari, tak berani menengok ke belakang.
"Anak-anak, berlindung di belakangku." Pria berkumis tebal yang menyadari musuh telah menyusul, berniat membunuhnya.
Aku bergegas ke belakang pria itu, bersembunyi.
Baku tembak terjadi. Kebanyakan dari peluru timah panas itu melesat menyasar, tidak mengenai kami. Begitu pula dengan pria berkumis tebal, tembakannya meleset. Pasukan musuh terlalu jauh untuk dikenai. Pria dengan kumis tebal itu maju menghampirinya.
Sesekali peluru mendarat di dekatnya, tapi ia berhasil menghindar. Larinya begitu cepat, sulit untuk dilihat pada malam hari.
Jarak pria dengan kumis tebal dan pasukan musuh hanya 10 meter. Ia bersembunyi diantara pohon-pohon besar.
Tanpa disadari, pasukan musuh telah tumbang. Tinju dengan pistol kecil yang berada di genggamannya tepat mengenai kepala belakang pasukan musuh. Gerakannnya sangat cepat.
"Terus berlari, anak-anak." Kata pria itu, kembali berlari.
Kemana kita akan melarikan diri? Aku ingin bertanya, tapi nafasku tidak kuat untuk berbicara.
"Kita akan lari kemana, pak?" Anak laki-laki, Teo, bertanya. Langkahnya mensejajari pria berkumis tebal itu.
Aku kenal dengannya. Meskipun di kelas yang berbeda, dia cukup populer di sekolah. Para gadis selalu membicarakannya. Tetapi itu tidak penting, yang lebih penting pertanyaan itu mewakiliku.
Aku menunggu jawabannya.
"Ke titik kumpul, orang-orang menunggu di sana." Orang dengan kumis tebal menjawab pertanyaan anak laki-laki itu.
Teo mengangguk.
Kami terus berlari. Satu kilometer, semua anak kelelahan. Tetapi pria dengan kumis tebal itu sama sekali tidak berkeringat.
Aku melihat Ratih, temanku. Dia tidak banyak bicara. Wajahnya pucat, kelelahan.
"Bisakah kita istirahat sebentar, pak?" Aku mengusulkan. Aku sudah tidak sanggup berlari. Anak-anak juga membujuk. Pria itu akhirnya menyetujui.
"Panggil aku komandan Mahendra. Baiklah, kita istirahat di sini sampai matahari terbit."
Lagi-lagi kami beristrahat diantara pepohonan besar yang mengelilingi. Di sebelah kanan ada sungai yang mengalir. Airnya terlihat jernih. Pria dengan kumis tebal itu, komandan Mahendra, memeriksanya.
Komandan membalikan badan, memanggil anak-anak yang sedang duduk bersandar di batang pohon besar. "Air ini bisa diminum." Kami menghampiri komandan. Kami meminum air sungai itu, segar sekali rasanya.
Matahari belum terbit. Masih pukul 4 pagi, kami bisa istirahat sejenak.
Ratih terlihat duduk termenung di tepi sungai, sendirian. Aku menghampirinya, duduk di sampingnya.
"Ratih..." Sunyi. Aku tidak bisa membuka percakapan. Dengan senyap, Ratih memeluku, menangis.
"Orangtuaku, kakeku... mereka meninggal karena menyelamatkanku." Ia mengusapkan air matanya ke bajuku.
Aku balas memeluk. Aku tahu rasanya. Kehilangan seseorang, sangat menyakitkan. Hatiku terbakar, berfikir mati saja lebih baik. Tapi itu tidak benar.
"Aku mengerti rasanya, Ratih. Kamu kuat, kamu hebat. Kita semua akan selamat." Tanganku masih erat memeluk Ratih.
Rasanya beberapa jam lalu masih baik-baik saja, masih bermain, tertawa. Sekarang berubah, entah kami bisa menganggapnya bencana atau tidak.
Udara semakin menurun, untungnya baju penuh darahku telah kering. Wajahku penuh dengan bekas darah, karena menangis sebelumnya. Ratih melepaskan pelukannya setelah beberapa menit, dia sudah tenang.
Aku membasuh wajahku di sungai yang mengalir itu. Dingin.
Anak-anak lain tertidur setelah meminum air, mereka sangat kelelahan. Terutama Bayu, dia belum sadar sejak tadi.
"Hei, Arif, berhentilah menangis. Kau laki-laki, jangan kalah dengan para gadis." Teo berbicara kepada Arif yang berada di sampingnya. Mereka membaringkan tubuhnya, tidak menggunakan alas, menjadikan akar besar sebagai bantal.
Arif terbaring membelakangi Teo, menangis. Teo berusaha menyemangatinya dengan caranya sendiri. Meski agak kasar, itu adalah cara Teo. Dia anak laki-laki yang tangguh.
"Berisik." Balas Arif.
"Kita semua merasakan apa yang kau rasakan, Arif. Kami semua bersedih, kehilangan orang yang penting bagi kita di hadapan kita sendiri." Teo kembali menyemangati.
Arif tidak membalas, memilih untuk tidur.
Teo juga tidak melanjutkan.
Bayu, Teo, dan Arif tertidur, berjajar di bawah pohon besar. Di sekitarnya semak-semak, dan di depan terdapat sungai. Komandan Mahendra memilih tempat yang tepat, dia juga sepertinya tertidur, bersandar di batang pohon, samping anak-anak. Entah dia tertidur atau berjaga.
Setelah membasuh wajah, aku memutuskan untuk tidur. Ratih masih terduduk menatap pantulan langit di sungai.
"Sebaiknya kita istirahat, Ratih. Besok akan menjadi lebih lelah." Kataku. Ratih menatapku, mengangguk.
Aku mengoap, lalu menutup mulut dengan tangan. Ratih ikut mengoap, tertular. Kami memutuskan untuk istirahat. Dan tidak lama, tanpaku sadari, telah jatuh tertidur.
***