23 Oktober 1950.
Lagi-lagi, mimpi itu. Mimpi yang sama seperti beberapa hari lalu. Ingatan itu mulai merusak segalanya, meskipun berusaha menerimanya, rasanya semakin sakit.
Mataku terbuka, mulai melihat sekitar. Aku terkejut. Dokter Nadia ada di hadapanku, duduk tepat di samping kasur, tempat aku berbaring.
"Selamat pagi, Ayu." Ia tersenyum menyapa. Aku segera membenarkan posisi, bangun dari berbaring menjadi duduk, lalu bersandar.
"Selamat pagi, dokter Nadia." Balasku, patah-patah.
Dokter Nadia telah berpakaian rapih. Rambut keritingnya di ikat, sudah siap melakukan aktivitas.
"Kamu bangun terlambat, Ayu, matahari sudah di atas kepala." Dokter Nadia benar. Sekarang sudah pukul 9 pagi. Aku melewatkan sarapan, tidak biasanya. Padahal biasanya aku terbangun bahkan sebelum matahari terbit, kali ini berbeda, tapi kenapa tidak ada yang membangunkanku?
"Maaf. Aku mimpi itu lagi." Mataku menunduk, tidak mau mengingatnya kembali.
"Mimpi itu? Apakah itu mimpi buruk? Perawat Nina bilang kalau akhir-akhir ini Ayu mengalami parasomnia, dia tidak tega membangunkanmu." Perawat yang ada di samping kanan dokter Nadia, perawat Rini, yang berbicara.
Dokter Nadia mendengarkan penjelasan Rini.
Aku mengerti. Pantas saja tidak ada yang membangunkanku.
"Nina sudah mengambil tindakan yang tepat tidak membangunkan Ayu." Dokter mengerti apa yang terjadi.
Aku menelan ludah. Apakah dokter Nadia tahu tentang mimpi itu?
"Oleh karena itu, sekarang kita akan melakukan terapi yang tidak biasa." Lanjut dokter Nadia. Ia menengok kepada Perawat Rini, mengangguk. Rini mengerti, lantas ia bergegas ke luar ruangan.
"Terapi yang tidak biasanya?" Tanyaku, penasaran.
Tak lama Perawat Rini kembali masuk, membawa kursi roda yang biasa kupakai. Dokter Nadia menyuruhku menaikinya, tidak dibantu, aku bisa sendiri. Sudah berlatih cukup keras untuk ini.
"Kita akan berjalan-jalan keliling kota." Jawab dokter Nadia, sembari memindahkan infusku.
Perawat Rini mendorongku, meninggalkan ruangan itu. Dokter Nadia mensejajarkan langkahnya dengan kursi roda.
Kami berjalan di lorong rumah sakit, turun ke lantai dasar menggunakan lift, hingga akhirnya keluar dari gedung rumah sakit.
Ini pertama kalinya aku keluar, berjalan di trotoar jalanan, menghirup udara luar secara langsung. Biasanya di dalam rumah sakit hanya menghirup dari pendingin udara, sangat berbeda rasanya.
Kali ini aku bisa merasakan udara langsung, meskipun agak panas. Tapi tidak apa, bahagia sekali rasanya merasakan angin berhembus menyentuh kulitku, mengacaukan rambut perakku. Angin-angin itu membuat dedaunan kering berjatuan. Sangat indah melihatnya secara langsung.
Rumah sakit itu berdekatan dengan alun-alun kota, banyak sakali orang berlalu-lalang. Sepanjang jalan, penjual kaki lima berjejer. Menjual makanan jalanan. Aromanya tercium sangat lezat, membuat perutku lapar.
Aku melihat penjual cumi bakar yang sedang membakar cumi-cuminya di booth kontainer.
Dokter Nadia yang melihatku, berhenti. Perawat Rini juga menghentikan kursi rodaku. "Apakah kamu mau membelinya, Ayu?" Ia menawarkan.
Aku mengangguk.
Kami menghampiri penjual cumi bakar itu.
"Cumi bakarnya neng, dijamin enak." Bapak-bapak penjual menyambut kami, menawarkan.
"Kami beli tiga, mang." Dokter Nadia memesan.
"Siap, silahkan ditunggu di kursi itu." Bapak penjual cumi menunjuk meja bundar yang dikelilingi kursi, di tangahnya terdapat payung besar yang melindungi dari sinar matahari.
Rini memarkirkan kursi rodaku, kemudian mereka duduk.
Sembari menunggu, aku memberanikan diri untuk bertanya tentang mimpi itu, meskipun takut jika mengetahui kebenarannya.
"Dokter Nadia, tentang mimpi itu, perawat Rini benar, itu adalah mimpi buruk, sangat buruk." Aku menceritakan semuanya. Mulai dari pembantaian di rumah, ibuku, dan adikku. Mereka telah tiada, hingga dikejar oleh para penjajah itu. Aku menceritakan segalanya.
Dokter Nadia mendengarkanku.
"Bukannya cerita adik mirip dengan pembantaian 4 tahun lalu?" Itu adalah suara perawat Rini.
Aku tidak menjawab, tidak tahu. Tapi bukankah pembantaian sebuah desa itu empat tahun lalu? Sementara Aku baru ada di rumah sakit ini tiga tahun yang lalu. Lantas, kemana diriku selama satu tahun itu?
"Apakah kamu ingin mengetahuinya, Ayu? Maka kamu harus menerima apapun dirimu di masa lalu." Suasana seketika hening, Dokter Nadia terhenti. "Kamu sudah menemukan sedikit pecahan memorimu, Ayu." Kata dokter Nadia.
Aku tidak mengerti. Apakah itu benar-benar diriku? Jika iya, aku...aku... Tidak. Meskipun itu menyakitkan, harus kuterima.
Bapak penjual cumi menghampiri, mencairkan suasana, memberikan cumi bakar yang sudah matang dibakar. Rini menerimanya, membayar cumi itu. Dia memberikannya kepadaku satu.
"Apakah kau sedang sakit?" Penjual cumi itu bertanya kepadaku.
Aku tidak menjawab. Tidak tahu apakah aku benar-benar sedang sakit.
"Semoga cepat sembuh." Tangannya mengusap kepalaku. "Kau mengingatkan pada anakku. Dia mengalami kecelakaan. Rambut peraknya sama denganmu." Ia melepaskan usapannya, lalu kembali ke booth kontainer, banyak pembeli yang mengantri.
Aku merasakan kesedihannya. Saat berbalik badan, air matanya menetes. Itu yang selalu kurasakan, kehilangan orang yang berharga. Tetapi penjual cumi bakar itu tidak putus asa, tetap berjuang untuk hidup.
Cumi bakar di tanganku masih panas. Melihatnya saja terasa enak. Semoga di mulutku juga terasa enak.
Aku menggigitnya. "Enak." Aku serius. Ini benar-benar enak.
"Benar, rasanya enak. Cuminya juga lembut." Rini setuju denganku.
Dokter Nadia juga tampak menikmati cumi bakar itu.
Sepuluh menit berlalu, kami telah menghabiskannya. Sebelum kembali ke rumah sakit, kami berjalan-jalan sebentar ke pusat alun-alun ibu kota. Menikmati pemandangan, melihat orang-orang yang hilir-mudik, hingga akhirnya kembali ke rumah sakit.
Entah apa yang dimaksud terapi yang tidak biasanya oleh dokter Nadia, tapi aku merasa sedikit tenang. Tidak terlalu stress karena terus memikirkan mimpi itu. Setidaknya itu yang kuketahui.
Kami berdiri di gerbang depan, rumah sakit ini terlihat sangat besar, bukan hanya gedungnya, halamannya pun sangat besar. Gedung rumah sakit ini membentuk huruf u, di tengahnya terdapat danau dan pepohonan yang lebat. Seperti hutan mini rumah sakit.
Sesekali terlihat mobil ambulan keluar masuk gerbang, suaranya sangat bising. Aku agak terganggu dengan suaranya, membuat perasaanku menjadi cemas, entah mengapa.
Dokter Nadia di belakangku sedang mengobrol dengan petugas rumah sakit. Aku bersama dengan perawat Rini menatap kebun bunga di samping pos gerbang. Sangat indah. Kupu-kupu menari-nari di antara bunga berwarna-warni, tatapanku berbinar terpesona dengan keindahannya.
Perawat Rini melangkah ke depan, mendekat taman bunga itu, mengambil salah satu bunga, memetiknya. Aku iri, ingin mendekat dan menyentuh secara langsung bunga-bunga itu. Mencium aromanya.
"Apakah Ayu menyukai bunga?" Perawat Rini menjulurkan tangannya, memberikan bunga yang telah dipetik.
Aku mengambilnya. Bunga putih bersih yang seakan memantulkan sinar matahari. Bunga melati, bunga yang sama dengan yang sedangku tanam.
Aku mencium bunga itu. "Aromanya membuatku terasa nyaman."
Mendengar itu, perawat Rini memetik lebih banyak bunga dari taman, memberikannya padaku.
"Tidak, tak perlu sebanyak itu." Aku menggelengkan kepala.
Dokter Nadia telah kembali, selesai mengobrol dengan petugas itu.
Kami kembali ke kamarku. Melewati lorong-lorong rumah sakit, menaiki lift, hingga akhirnya sampai, memasuki ruangan. Aku memindahkan tubuh ke kasur, dibantu oleh dokter Nadia. Perawat Rini memarkirkan kursi roda di dekat kasurku, membawa kursi roda.
"Apakah dokter Nadia akan pergi lagi?" Tanyaku.
"Masih ada sedikit urusan yang perlu diselesaikan. Tenang saja, minggu depan kita bertemu kembali, melanjutkan sesi terapi." Ia tersenyum tipis, mengelus rambut perakku.
"Jangan khawatir, adik, Rini dan para perawat lain akan selalu menemani." Rini menghiburku.
Rini benar, aku tidak boleh cengeng. Dokter Nadia punya banyak urusan yang lebih penting. Banyak pasien di rumah sakit lain yang mungkin sangat membutuhkannya.
"Terima kasih." Aku menganggukan kepala, tersenyum tipis.
***
Dokter Nadia dan perawat Rini telah pergi, meninggalkanku sendiri. Pukul 4 sore, waktunya menyiram tanaman. Aku membangkitkan tubuh, meraih kursi roda yang terparkir di samping kanan kasur. Membutuhkan sedikit usaha, namun tidak masalah, tubuhku telah sempurna duduk di kursi roda itu. Aku melepas infus yang menempel di tanganku.
Kursi roda bergerak, tanganku yang menggerakan rodanya. Aku menuju jendela di sudut kanan ruangan. Aku mengambil air, menyiramkan pada tanaman di kit berkebun yang terpajang di jendela.
Tanamannya telah tumbuh, masih kecil, bunganya belum bermekaran. Aku menaruh bunga yang diberikan oleh perawat Rini di samping tanamanku, menaruhnya di atas air.
Bunga-bunga itu mengingatkanku kepada ibu dan adikku, meskipun samar, aku merasa mereka ada pada bunga itu.
Sebelum kembali, aku pergi ke toilet. Toilet itu menyatu dengan kamar, masih satu ruangan, jadi tidak terlalu jauh menggerakan kursi roda ini. Sangat melelahkan jika menggerakannya terlalu jauh.
Toilet itu telah didesain agar mudah digunakan oleh orang sepertiku, pihak rumah sakit benar-benar memperhatikannya. Setelah selesai, aku kembali. Memarkirkan kursi roda, lalu beranjak ke kasur.
Meskipun tidak terlalu menyusahkanku, tetap saja merepotkan. Meskipun aku memiliki satu kaki yang tersisa, kaki itu benar-benar lemah. Tidak kuat menampung beban tubuhku, walaupun bisa dipaksakan, tetap saja tidak akan bisa stabil.
"Benar-benar membosankan." Aku mengoap.
Matahari telah terbenam, suhu udara menurun, bulan telah menggantikan matahari. Aku telah mengantuk. Sebelumnya perawat Nina telah memberikan makan malam untukku, Aku memakannya. Sangat lezat. Juga tidak lupa memasang kembali infus yang terlepas.