12 Desember 1946.
Matahari mulai menunjukan pesonanya, seperti putri yang keluar dari kamar. Bersinar, menerangi gelap hutan. Hewan-hewan keluar dari tempat persembunyannya, mencari makan. Begitu pula dengan kami, bersiap-siap meninggalkan hutan, dengan senyap dan sembunyi-sembunyi.
Suhu udara dingin sekali, setiap nafas yang kuhembuskan mengeluarkan uap. Pakaianku tipis, tidak bisa menahan sisa dingin malam.
Terlihat sangat jelas bercak merah darah, bukan cuma pada pakaianku, seluruh orang juga sama. Terlihat sangat jelas saat sinar matahari memantulkan cahayannya.
Aku sudah bangun, juga Ratih, entah dia tidur atau tidak. Komandan sudah bangun sejak kami masih tidur, melakukan sesuatu di tepi sungai. Bayu, Teo, Arif, juga sudah bangun.
Teo yang lebih dulu bangun diantara mereka, dia membangunkan yang lain. Arif yang selanjutnya bangun, dia benar-benar berantakan. Mengantuk, tidak ingin bangun, tetapi Teo memaksa. Arif menyerah, memaksakan dirinya untuk bangun.
Tinggal Bayu yang belum bangun, dia tertidur pingsan sejak kemarin. Teo menggoyangkan badan Bayu yang gemuk, maju mundur. Tapi gagal, sama sekali tidak menunjukan tanda-tanda akan bangun. Sepertinya dia masih pingsan.
Teo tidak menyerah, ia memutuskan menggunakan cara lain. Dia bangkit dari duduknya, berdiri, kemudian berjalan menuju sungai. Ia mengambil sesuatu, kemudian kembali ke samping Bayu yang sedang tertidur. Teo menumpahkan air yang baru saja diambilnya tepat di wajah Bayu. Sepersekian detik Bayu terbangun, keget. Kebingungan.
Bayu terdiam sejenak, mencoba memahami keadaan. "Woi, apa-apaan sih!" Ia menatap tajam Teo.
Teo tertawa. Begitu pula dengan kami, menertawakan Bayu.
"Akhirnya kau bangun juga." Teo merangkul bahu Bayu yang sedang terduduk, kebingungan.
"Syukurlah, Bayu." Ratih menimpali.
Aku mengangguk, ikut bersyukur.
"Heh, aku masih hidup, lho. Jangan perlakukan aku seperti orang yang akan mati." Bayu melotot.
Teo melepaskan rangkulannya, "Maaf-maaf, tapi aku benar-benar tenang ketika kau sadar." Sembari memberikan kain kering.
Bajunya basah kuyup, terlebih wajah dan rambutnya. Bayu menerima kain kering itu, segera mengeringkan rambutnya yang basah.
***
Bayu dan Teo sedang berjalan di hutan, mencari kayu kering. Mereka disuruh oleh komandan, sementara yang lain mempunyai tugasnya masing-masing. Awalnya bayu menolak, kejadian semalam seperti mimpi buruk baginya, tapi Teo memaksa.
"Hei, apa-apaan sih, memaksaku seperti ini." Bayu mengeluh.
Teo tidak menanggapi, fokus mencari kayu-kayu kering.
"Jawablah! Apakah kau bisu?" Suaranya menginggi, mengotot.
"Kita harus berjuang untuk hidup." Jawab Teo, singkat. Wajahnya sama sekali tidak melihat Bayu. Seakan memendam sesuatu.
Teo terus berjalan, melewati semak-semak, akar belukar, tanaman berduri. Sulit sekali mencari kayu kering, kemarin baru saja hujan, hutan masih basah.
"Untuk apa Aku hidup. ORANG TUAKU, KAKAK-KAKAKKU... MEREKA SEMUA MATI TERBUNUH. TIDAK ADA ALASAN LAGI UNTUK HIDUP KAU TAHU." Suaranya bergetar, nafasnya menderu. Air matanya mengalir deras.
Teo terdiam.
"KAU TIDAK MENGERTI APA YANG AKU RASAKAN." Bayu jatuh terduduk. Air matanya semakin deras.
Teo menghentikan langkahnya, putar balik. Ikut duduk di akar besar penuh dengan lumut.
Hening, Teo tidak berbicara. Hanya terdengar tangisan Bayu yang semakin kencang.
"Aku mengerti yang kau rasakan, Bayu. Sangat mengerti." Suaranya terhenti. Tangannya menutup mata. "Kau lebih muda dariku, meskipun hanya satu tahun, tapi kau harus kuat. Meskipun sangat berat. Meskipun aku sendiri selalu berfikiran sama seperti itu. Ketika melihat para gadis itu berjuang mati-matian untuk hidup, aku malu, malu sekali. Orangtuamu, kakak-kakakmu pasti menginginkan kau selamat, hidup dengan bebas. Karena itu kita harus tetap hidup." Suaranya kembali terhenti. Isak tangisnya tak bisa dibendung, meskipun menutupi matanya, dia tidak bisa menyembunyikan tangisannya.
Mereka duduk di sana beberapa saat. Bayu terpukul, bukan hanya dia, anak-anak lain juga sangat terpukul.
Anak-anak berusia 12 tahun harusnya bermain bersama teman-temannya, mendapat kasih sayang orang tua. Tetapi mereka mengalami tragedi itu. Kasihan sekali. Bahkan orang dewasa sekalipun akan sangat terpukul, mentalnya akan hancur, hatinya pecah seperti gelas kaca yang dibanting ketika mereka mengetahui hanya dia satu-satunya yang selamat. Bunuh diri yang menjadi pilihan, jika mereka tidak kuat.
Teo bangkit, berdiri. Menjulurkan tangannya kepada Bayu. "Marilah kita hidup, Bayu."
Aku bersama Ratih sejak tadi sedang membuat sesuatu dari bambu, kebetulan banyak sekali bambu di sekitar sini. Komandan Mahendra menyuruh kami membuat botol minum, untuk persediaan air. Sementara kami membuatnya, Mahendra bersama Arif sedang menangkap ikan di sungai.
"Akhirnya jadi." Aku mengacungkan bambu yang telah dipotong.
"Gimana caranya, Ayu? Punyaku tak mau terpotong." Ratih mengeluh.
Kami diberikan pisau oleh komandan untuk memotong bambu-bambu ini. Sepertinya pisau milik Ratih tidak tajam.
"Biarkan aku membantu." Tanganku mengambil bambu Ratih. Memotongnya.
Aku dan Ratih mendekat ke tepi sungai, membawa bambu yang telah dipotong. Cipratan air sungai dari bebatuan itu sangat dingin. Kami mencuci bambu itu, kemudian mengisinya satu-persatu dengan air sungai.
Ketika kami kembali, Komandan Mahendra dan Arif juga telah kembali. Membawa beberapa ikan besar, hasil tangkapan pagi ini.
Teo dan Bayu juga telah kembali, mereka membawa kayu-kayu kering untuk membakar ikan.
Komandan Mahendra membentuk kayu-kayu itu melingkar, seperti api unggun, dia mencoba menyalakannya.
"Butuh bantuan, komandan?" Teo menawarkan.
"Serut kayu kering itu menggunakan pisau, ambil serbuknya." Tanpa disuruh dua kali, Teo segera bergerak. Menyerut kayu kering, kemudian memberikan serbuk kayu kepada komandan.
Komandan Mahendra kembali mencoba menyalakan api, dia terlihat kesulitan. Memutar-mutar batang kayu kecil, menggesekannya kepada kayu yang lebih besar.
Sementara komandan sedang berusaha menyalakan api, Teo membersihkan ikan dari kotoran, sisik, dan dalamannya. Aku membantu Teo, kami berdua bahu-membahu bekerja sama. Tidak terlalu menyulitkan untukku karena sudah terbiasa melakukan ini di rumah.
Setelah beberapa menit, muncul asap dari gesekan kayu itu. Wajah komandan berkeringat, tangannya bergerak semakin cepat, hingga akhirnya muncul serbuk api. Dia segera memasukan sebuk api itu ke serbuk kayu yang telah diserut oleh Teo, meniup-niupnya. Apinya muncul! Aku dan Ratih menatap tertegun. Bayu, Arif, Teo, yang melihatnya juga berbinar. Komandan tersenyum tipis, memindahkan api itu ke tumpukan kayu yang telah disusun.
"Bayu, Arif, tolong tusukan ikannya." Komandan melemparkan kayu kecil kepada mereka.
Bayu dan Arif mengangguk, cepat-cepat mengambil ikan yang sudah ditangkap, menusuknya. Total enam ikan yang mereka tusuk. Mereka lantas memberikannya kepada komandan.
Apinya mulai membesar, membentuk api unggun. Komandan menancapkannya ke tanah, membiarkan api membakar ikan-ikan itu.
Kami mengobrol, sesekali Bayu melontarkan lelucuan, kami tertawa. Setidaknya ini bisa melupakan sejenak kesedihan yang baru saja berlalu. Aku sangat mengetahui, mereka semua telah kehilangan orang yang berharga, bahkan di hadapan mereka sendiri. Mereka sangat kuat, tidak sepertiku yang cengeng, hanya bisa menangis.
Asap keluar dari api unggun, aroma dari ikan yang sedang dibakar menjulur di sekitar kami, lezat sekali. Asap yang menjulur tidak banyak, komandan meminimalisir asap yang keluar menggunakan cairan yang tidak aku ketahui, mengantisipasi agar musuh tidak menemukan kami.
Tiga puluh menit, ikan itu matang. Masing-masing dari kami mengambil satu. Aku memegang kayu yang menusuk ikan itu, memakannya. Ratih juga dengan lahap memakannya, meskipun agak terasa pahit karena gosong. Benar-benar murni rasa ikan, tidak ada asin atau bumbu, hambar.
Komandan menyantapnya, tanpa ekspresi, seakan sudah terbiasa memakan makanan seperti ini.